Apakah nama bakteri yang berperan dalam menanggulangi pencemaran lingkungan akibat tumpahan minyak?

Oleh : adminwebits | | Source : its.ac.id

Harmin Sulistyaning Titah ST MT PhD saat melakukan penelitian untuk menguraikan polutan minyak bumi menggunakan mikroorganisme di laboratorium

Kampus ITS, ITS News – Salah satu manfaat mikroorganisme ialah mampu mengembalikan kondisi ekosistem tercemar sehingga kembali seperti sediakala. Biodegradasi merupakan metode pemulihan pencemaran dengan memanfaaatkan mikroorganisme tertentu dengan menguraikan senyawa kimia pencemar. Biodegradasi ini juga mampu menjadi solusi ramah lingkungan pada lingkungan tercemar.

Penelitian ini dilakukan oleh sivitas akademika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang terdiri dari Harmin Sulistyaning Titah ST MT PhD (dosen Departemen Teknik Lingkungan), Herman Pratikno ST MT PhD (dosen Departemen Teknik Kelautan), Ipung Fitri Purwanti ST MT PhD (dosen Departemen Teknik Lingkungan), dan Widhowati Kesoema Wardhani ST (mahasiswa PMDSU Departemen Teknik Lingkungan).

Dalam penelitian tersebut, tim peneliti ini memanfaatkan biodegradasi untuk mengatasi masalah pencemaran minyak bumi yang terjadi di laut. Pencemaran minyak bumi bisa disebabkan oleh kebocoran saat aktivitas pengeboran minyak bumi dan tumpahan saat melakukan pengiriman menggunakan kapal.

Sampel polutan dalam laboratorium yang akan diuraikan dengan mikroorganisme

Harmin menuturkan bahwa untuk mengukur seberapa besar tingkat tercemarnya, ditentukan dengan nilai Total Petroleum Hydrocarbon (TPH). Pada sampel air laut tercemar yang diambil dari perairan Madura didapatkan nilai TPH sebesar 2.600-3.000 mg/L, sementara nilai TPH untuk lingkungan yang baik adalah 1.000 mg/L atau di bawah 1 persen. “Berarti air laut di kawasan tersebut sudah sangat tercemar,” ungkapnya.

Biodegradasi pada penelitian ini memanfaatkan bakteri Bacillus subtilis dan Pseudomonas putida. Harmin menjelaskan bahwa penelitiannya menggunakan metode bertahap, di mana metode ini merupakan metode kombinasi penambahan dari dua bakteri. Sebagai contoh, kombinasi tersebut menggunakan bakteri Pseudomonas putida untuk bekerja menguraikan sampel terlebih dahulu, kemudian ditambahkan dengan bakteri Bacillus subtilis.

Tujuan menggunakan metode ini ialah untuk mengetahui tingkat efektivitas bakteri dalam menguraikan senyawa kimia polutan dengan kadar yang tinggi. Terbukti dalam pengujian laboratorium selama 35 hari, sampel polutan sudah terurai sebanyak 66 persen. “Kombinasi tersebut memiliki efektivitas lebih tinggi dalam mengurai bakteri,” tuturnya.

Selain itu, Harmin juga menyampaikan bahwa selain faktor jenis bakteri yang efektif dimanfaatkan untuk menguraikan polutan, juga terdapat tambahan nutrisi sebagai makanan tambahan untuk bakteri. Nutrisi tersebut didapatkan dari pupuk yang memiliki kandungan unsur kimia nitrogen, fosfor, dan kalium. Fungsi nutrisi ini untuk mempercepat proses penguraian polutan dalam sampel tersebut.

Ilustrasi pencemaran polutan minyak bumi di laut (sumber dari Jawapos.com)

Perempuan asal Malang ini juga mengungkapkan, keunggulan dari biodegradasi ini adalah bakteri Bacillus subtilis dan Pseudomonas putida yang masing-masing memiliki kemampuan menguraikan polutan dengan sangat baik, kemudian dalam penelitian ini dikombinasikan menjadi satu. Namun, kekurangan dalam penelitian ini terdapat pada durasi waktu biodegradasi yang sangat lama. “Apabila ingin benar-benar bebas polutan, dibutuhkan waktu tiga bulan,” tambahnya

Harmin berharap, dalam waktu dekat penelitian ini dapat diterapkan dalam skala nyata bukan hanya dalam skala laboratorium. Meskipun begitu, harus tetap memerhatikan banyak faktor seperti luas wilayah tercemar, gelombang air laut, iklim, dan banyaknya bakteri yang harus dipersiapkan. (HUMAS ITS)

Reporter: Regy Zaid Zakaria

Para peneliti telah mengurutkan genom ribuan bakteri dari berbagai sumber.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Tumpahan minyak dari saluran pipa maupun tangki memiliki dampak yang memprihatinkan terhadap lingkungan. Bencana ini terjadi dari waktu ke waktu dan menyebabkan tantangan tersendiri. Sebab, upaya dekontaminasi membutuhkan investasi besar, baik dari waktu maupun sumber daya.

Profesor Sainter Kaur Brar dan tim dari Institut National de la Recherche Scientifique (INRS) menemukan solusi yang bersifat mikroskopis dari bakteri pemakan hidrokarbon yang bernama Alcanivorax borkumensis.

Tim ini melakukan tes laboratorium yang menunjukkan keefektifan enzim yang diproduksi oleh bakteri dalam mendegradasi produk petroleum di tanah dan air. Hasil penelitian ini menawarkan harapan untuk metode yang sederhana, efektif, dan ramah lingkungan dari dekontaminasi air dan tanah di lokasi minyak.

Dalam beberapa tahun terakhir, para peneliti telah mengurutkan genom ribuan bakteri dari berbagai sumber. Rekan peneliti Dr Tarek Rouissi menuangkan "lembar data teknis" untuk banyak strain bakteri dengan tujuan menemukan bakteri yang tepat untuk membersihkan kotoran berupa tumpahan minyak. Tarek fokus pada enzim yang mereka hasilkan dan kondisi ketika mereka berevolusi.

A. borkumensis merupakan bakteri laut nonpatogenik yang menggelitik rasa ingin tahu para peneliti. Genom mikroorganisme ini mengandung kode-kode sejumlah enzim yang menarik dan diklasifikasikan sebagai "hidrokarbonoklastik". Ini merupakan bakteri yang menggunakan hidrokarbon sebagai sumber energi.

A. borkumensis muncul di semua samudra dan hanyut bersama arus. Bakteri ini berkembang biak dengan cepat di daerah-daerah dengan konsentrasi senyawa minyak tinggi, yang sebagian menjelaskan degradasi alami yang diamati setelah beberapa tumpahan. Kendati demikian, potensi perbaikannya belum dinilai.

"Saya punya firasat," kata Rouissi, "dan karakterisasi enzim yang dihasilkan oleh bakteri ini tampaknya telah membuktikan saya benar!"

Menurut Rouissi, A. borkumensis menawarkan seperangkat alat yang mengesankan. Selama berevolusi, bakteri ini mengakumulasi berbagai enzim yang sangat spesifik yang mendegradasi hampir semua yang ditemukan dalam minyak. Di antara enzim-enzim ini adalah hidroksilase dari bakteri ini lebih menonjol dari yang ditemukan pada spesies lain. Hidroksilase pada A. borkumensis bekerja secara jauh lebih efektif, lebih fleksibel dan tahan terhadap kondisi kimia.

Untuk menguji kemampuan bakteri ini membersihkan minyak secara mikroskopis, tim peneliti memurnikan beberapa enzim dan menggunakannya untuk membersihkan sampel tanah yang terkontaminasi. "Degradasi hidrokarbon menggunakan ekstrak enzim kasar benar-benar mendorong dan mencapai lebih dari 80 persen untuk berbagai senyawa," kata Brar.

Proses ini dinilai efektif dalam menghilangkan benzena, toluena, dan xilena. Peneliti juga telah melakukan pengujian pada sejumlah kondisi yang berbeda untuk menunjukkan bahwa itu adalah cara ampuh untuk membersihkan tanah tercemar dan lingkungan laut.

Tim Brar kini masih mencoba mengetahui lebih lanjut bagaimana bakteri ini memetabolisme hidrokarbon dan mengeksplorasi potensi mereka untuk melakukan dekontaminasi di wilayah tertentu. Salah satu keuntungan dari pendekatan yang dikembangkan INRS adalah penerapannya di lingkungan yang sulit diakses, yang menghadirkan tantangan besar selama upaya pembersihan tumpahan minyak.

Minyak terbukti menjadi pencemar lautan nomor satu. Separuhnya dihasilkan dari aktivitas industri. Selebihnya akibat kegiatan pelayaran hingga kecelakaan kapal tanker. Lautan Indonesia sebagai jalur kapal tanker internasional pun rawan tercemar limbah minyak. Namun laut Indonesia juga memiliki mekanisme tersendiri untuk menetralisasi pencemaran. Laut Indonesia kaya mikroba pengunyah minyak yang mampu meremediasi kawasan tercemar.

"Mikroba itu perlu diberdayakan untuk mengurangi pencemaran laut, " kata Ahmad Thontowi, salah satu anggota tim peneliti bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Thontowi berhasil meraih hibah dari Indonesia Toray Science Foundation (ITSF) untuk risetnya itu, di Jakarta, akhir Februari silam. Dengan dana hibah tersebut, Thontowi berharap bisa melanjutkan penelitian tentang bakteri pemakan minyak. Thontowi memiliki waktu untuk melakukan riset hingga 31 Maret ini.

Menurut Thontowi, penelitian itu dimulai pada 1 April 2005. "Benar telah berlangsung lebih dari tiga tahun, " katanya. Dana murni berasal dari Pemerintah Jepang, sedangkan Indonesia menyumbang fasilitas laboratorium, sumber daya hayati, dan tenaga peneliti. Penelitian itu diperkiraan menghabiskan dana Rp 3 milyar. Riset itu merupakan kerja bersama antara LIPI dan National Institute of Technology and Evaluation (NITE), Jepang.

Kerja sama riset ini dipayungi MOU Ristek-NITE/NEDO, Jepang. Di LIPI sendiri, ada tiga pusat penelitian (puslit) yang terlibat, yaitu Puslit Bioteknologi, Puslit Biologi, dan Puslit Oseanografi. Latar belakang penelitian itu adalah bahwa tanker-tanker internasional --termasuk Jepang-- melalui jalur laut Indonesia, Selat Malaka, Sunda, dan Lombok. Kepadatan lalu lintas memungkinkan suatu saat bisa terjadi kecelakaan tanker yang dapat menyebabkan pencemaran minyak.

Dengan menguasai teknologi penanganan limpahan minyak, bila terjadi kasus pencemaran minyak, akan lebih mudah mengatasinya. Yaitu menggunakan bakteri pengunyah limbah yang akan mengubah minyak menjadi senyawa lain yang tidak berbahaya. Penelitian itu memang bertujuan mengisolasi dan mengarakterisasi bakteri pendegradasi minyak di laut tropis, terutama wilayah jalur tanker dari negara produsen minyak ke Jepang melalui Indonesia.

Telah dikoleksi 53 jenis mikroba pendegradasi senyawa minyak di laut. Penelitian itu difokuskan pada isolasi dan karakterisasi mikroba pendegradasi di laut. Sedangkan monitoring keberadaan mikroba sepanjang musim pada kondisi alami di laut tercemar juga merupakan bagian faktor yang diamati dan diteliti. "Mekanisme penguraian minyak atas peran bakteri-bakteri tersebut di amati, diteliti, dan dilakukan dalam skala lapangan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, " katanya.

Selanjutnya, di laboratorium, penelitian komposisi dan komunitas bakteri yang bertanggung jawab atas penguraian minyak di laut diamati menggunakan metode pendekatan molekuler, yang disebut teknik DGGE (denaturing gradient gel elektrophoresis). "Kami juga melakukan karakterisasi gen yang bertanggung jawab atas penguraian senyawa hidrokarbon beserta kloningnya, " kata Thontowi.

"Kami menduga, setiap bakteri yang bekerja untuk meremediasi minyak di laut punya peran sendiri-sendiri di habitat alamnya, " katanya. Dari hasil isolasi, bakteri tertentu dinyatakan dominan dan relatif memiliki kemampuan mendegradasi minyak yang signifikan (tinggi), yaitu Marinobacter, Oceanobacter, Alcanivorax, Thalassospira, Stappia, Bacillus, Novospingobium, Pseudomonas, Spingobium, dan Rhodobacter.

"Untuk di Indonesia, biasanya yang banyak dikenal Pseudomonas, " ujarnya. Jika minyak tumpah ke laut, yang terjadi adalah penguapan, dibawa ombak ke pantai, atau terendapkan. Minyak mentah sendiri terdiri dari empat jenis senyawa, yaitu saturates/parafin, aromatik termasuk PAH (polycyclic aromatic hydrocarbon), resin, dan aspalten.

"Kami menangani untuk pencemar hingga dua senyawa, saturates dan aromatik, " katanya. Secara teori, resin dan aspalten juga bisa diuraikan oleh bakteri. Namun itu memerlukan penelitian lebih lanjut. Adapun teknik untuk mengunyah minyak tersebut menggunakan bioremediasi atau biodegradasi. Bioremediasi adalah proses remediasi atau pemulihan area terpolusi menggunakan mikroba sebagai agen pendegradatornya.

Bioremediasi dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu bioaugmentasi dan biostimulasi. Bioaugmentasi adalah teknik menebarkan mikroba ketika terjadi pencemaran minyak. Sedangkan teknik biostimulasi menggunakan "pupuk " mineral untuk menumbuhkan mikroba di lingkungan yang tercemar. "Sehingga mikroba yang tumbuh itu siap menguraikan minyak menjadi senyawa yang lebih ramah lingkungan. Dan itu yang paling banyak direkomendasikan, meskipun tidak tertutup kemungkinan menggunakan teknik bioaugmentasi, " paparnya.

Thontowi mengingatkan bahwa mikroba yang bekerja menguraikan minyak tidak hanya sejenis, tapi suatu komunitas. Setiap setiap jenis mikroba memiliki kemampuan sendiri-sendiri dalam mengurai minyak. "Ada yang kemampuannya mengurai parafin, tugas selanjutnya dilakukan jenis lain, " katanya. Namun yang banyak dikenal mampu mengurai saturates dan aromatik adalah Alcanivorax borkumensis. "Dia memang dikenal memiliki kemampuan yang tinggi, " ujarnya.

Efektivitas bakteri dalam mengurai minyak bervariasi, bergantung pada jenis bakteri, dari 0 persen-100 persen. Efektivitas bakteri dalam mengurai minyak didasarkan pada jumlah minyak yang ada dalam larutan kultur dibandingkan dengan sesudah treatment bakteri, dihitung seberapa besar minyak yang tertinggal dalam larutan, termasuk bakterinya.

Monitoring dilakukan menggunakan GC-Mass, alat penera gas kromatografi yang dapat menganalisis komponen senyawa apa yang ada dalam larutan tersebut dan bermassa berapa, sehingga diketahui persis masih mengandung minyak atau tidak. "Dalam percobaan, setelah treatment dengan bakteri, minyak habis termakan bakteri, " katanya.

Prosesnya, sebelum makan minyak, bakteri menghasilkan surfactan. Yaitu sejenis enzim yang dapat menyatukan minyak dengan air. Setelah minyak dan air menyatu, mulailah bakteri makan minyak. "Ditandai dengan terpecah-pecahnya gumpalan minyak menjadi kecil-kecil, " tuturnya. Akhirnya minyak diubah menjadi senyawa lain yang tidak berbahaya.

"Dengan mengembangkan mikroba tropis Indonesia, akan mudah mengembangkan sistemnya karena telah sesuai dengan habitat tumbuh mikroba tersebut, " katanya. Di luar negeri, yang sudah mempraktekkannya adalah Jepang, Kanada, dan Amerika Serikat. Pencemaran tanker di sekitar perairan Jepang, Kanada, dan Amerika terjadi akibat tenggelamnya Exxon Valdez yang berisi 38.800 ton minyak pada 1989.

Rohmat Haryadi Gatra Nomor 22 [Terbit Kamis, 9 April 2009]