Argumen yang berkaitan dengan Indonesia sebagai daerah rawan bencana gempa bumi adalah

Argumen yang berkaitan dengan Indonesia sebagai daerah rawan bencana gempa bumi adalah

Indonesiabaik.id - Sebagai negara yang berada di daerah Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), Indonesia tidak akan lepas dari ancaman gempa bumi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan pada tahun 2018 akan terjadi gempa di Indonesia rata-rata 500 kali setiap bulan.

Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan wilayah di Indonesia yang rawan gempa dan tsunami diantarannya Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng, Jogjakarta, Jatim, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulut, Sulteng, Sulsel, Maluku Uatara, Maluku Selatan, Biak, Yapen dan Fak-Fak di Papua serta Balikpapan.

Gempa yang berpusat di laut terkadang juga akan mendatangkan bencana lainnya seperti tsunami. Saat ini, Indonesia belum memiliki alat yang bisa memprediksi gempa lebih detail. Peringatan dini tsunami baru akan diaktivasi jika gempa di atas skala 7 Skala Richter dan kedalaman 20 km. Untuk itu, diharapkan masyarakat tetap dapat waspada jika ada tanda maupun peringatan gempa.

[Catatan Minggu Pertama Agustus]

Indonesia dikenal sebagai negara rawan bencana. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga pertengahan Desember 2018, bencana alam telah terjadi sebanyak 2.436 kali. Angka itu kemudian ditambah dengan bencana tsunami Selat Sunda, yang menyebabkan setidaknya 430 kematian dan 1.500 orang luka-luka. Kejadian bencana ini merupakan yang tertinggi selama satu dekade terakhir.

Memasuki 2019, kondisi tidak tampak membaik. Dalam empat bulan pertama 2019 saja, telah terjadi 1.586 kali peristiwa bencana alam yang menyebabkan 325 orang meninggal dan 1.439 orang luka-luka. Hampir 1 juta orang terpaksa mengungsi akibat rentetan bencana tersebut.

Kerawanan Indonesia akan bencana alam, sebagaimana disebutkan oleh para pakar, disebabkan oleh lokasi geografis Indonesia yang berada di Cincin Api Pasifik. Banyaknya jumlah gunung berapi aktif dan titik pertemuan lempengan bumi membuat negeri ini harus siap dihantam bencana kapan saja. Ditambah dengan kondisi spasial penduduk yang belum terencana dengan baik, sulit untuk berharap dampak bencana alam pada manusia dapat diminimalisir dalam waktu dekat.

Sebagian pihak menggunakan aspek geologis ini sebagai argumentasi untuk menentang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Alasannya, Indonesia rawan gempa. Khawatir jika terjadi gempa besar, akan terjadi bencana nuklir yang mengerikan. Dongeng sejenis ini bukan dongeng baru, tetapi terus menerus diulang seolah-olah memiliki legitimasi secara rasional maupun ilmiah.

Dalam pembuatan Laporan Analisis Keselamatan (LAK) untuk pembangunan PLTN, selalu ada analisis potensi kebencanaan yang mungkin dapat terjadi di lokasi tapak. Analisis ini dilakukan sampai penggalian data historis kejadian kebencanaan seperti gempa maupun tsunami hingga ratusan tahun ke belakang. Semua tertuang dengan detail dalam dokumen LAK, sehingga vendor dapat menyesuaikan kebutuhan PLTN berdasarkan data kebencanaan tersebut.

Lokasi tapak sendiri pada dasarnya memang dicari yang bebas atau minim potensi gempa. Dua dekade silam, Jepara dipilih sebagai calon tapak PLTN pertama Indonesia karena potensi gempa yang relatif rendah. Selain Jepara, kawasan lain yang saat ini telah dianggap layak sebagai tapak PLTN adalah Bangka Belitung dan Kalimantan, yang mana keduanya relatif bebas dari potensi kebencanaan geologis. Sehingga, realitanya, pencegahan terhadap potensi kebencanaan telah dilakukan sejak awal.

Lantas, apa ini berarti PLTN tidak bisa dibangun di lokasi-lokasi yang memiliki potensi bencana geologis cukup tinggi? Tidak bisa juga dikatakan seperti itu. Dongeng yang mengait-ngaitkan antara bencana geologis dengan bencana nuklir setidaknya memiliki tiga kecacatan berpikir.

Pertama, masalah kegempaan merupakan masalah struktur bangunan. Sebagai sesama penghuni Cincin Api, Jepang lebih rawan gempa daripada Indonesia. Tiap tahun, Jepang dapat dilanda hingga 1.500 kali kejadian gempa, atau sekitar 4 kali gempa dalam sehari. Nyatanya, Jepang lebih mampu ‘bersahabat’ dengan gempa. Pasca Gempa Kobe pada tahun 1995, Jepang melakukan revolusi besar-besaran dalam perancangan struktur bangunan. Sistem isolasi seismik yang diadaptasi dari kuil-kuil tradisional Jepang menjadikan bangunan-bangunan di negeri Sakura lebih tahan terhadap hantaman gempa.

Desain struktur bangunan tahan gempa tentu saja dapat diterapkan pada PLTN. Saat ini, sekitar 20% dari PLTN yang beroperasi di seluruh dunia terletak di kawasan dengan aktivitas seismik tinggi, termasuk PLTN yang beroperasi di Jepang dan PLTN Diablo Canyon di California, Amerika Serikat. Pada umumnya, PLTN konvensional didesain dengan nilai peak ground acceleration (PGA) antara 0,2-0,3 g. Namun, di wilayah rentan gempa, nilai PGA ditetapkan lebih tinggi, bisa mencapai 0,5-1 g. PLTN Kashiwazaki-Kariwa, sebagai contoh, memiliki desain seismik hingga 1,02 g.

PLTN Fukushima Daiichi didesain dengan PGA hingga 0,61 g. Ketika gempa Tohoku dengan kekuatan 9.0M menghantam pantai timur Jepang, angka tersebut tidak terlampaui. Bangunan PLTN sukses bertahan dari hantaman gempa. Unit-unit reaktor yang sedang beroperasi pun mengalami shutdown dengan selamat. Walau sering diungkit-ungkit, nyatanya gempa bukanlah penyebab kecelakaan PLTN Fukushima Daiichi.

Kedua, hubungan antara gempa dengan bencana nuklir. Menjadi pertanyaan besar untuk para pendongeng, bagaimana sebenarnya gempa dapat menyebabkan bencana nuklir? Menyebabkan kerusakan bangunan PLTN tentu saja mungkin, tapi apakah selalu linier dengan menyebabkan bencana?

Sulit untuk menemukan skenario kecelakaan yang dapat menjadi benang merah antara gempa dan so-called bencana nuklir. Apakah terjadi patahan atau kerusakan struktur yang menyebabkan teras hancur dan bahan bakar rusak? Lalu somehow bahan bakar nuklir itu ‘bocor’ ke lingkungan? Mengingat PLTN memiliki sistem pertahanan fisik berganda untuk mencegah lepasan radioaktif ke lingkungan, event sequence dari gempa dan berujung pada kerusakan total reaktor sedemikian rupa memiliki probabilitas terjadi hampir mustahil.

PLTN Onagawa mungkin bisa menjadi contoh menarik. Berada paling dekat dengan episentrum gempa Tohoku 2011, PLTN Onagawa mampu menahan hantaman gempa tanpa kerusakan berarti pada gedung reaktor. Reaktor mampu shutdown dengan selamat, bahkan menjadi shelter bagi penduduk sekitar yang terpaksa mengungsi. Semakin sulit untuk menemukan benang merah gempa dan bencana nuklir, ketika PLTN terdekat dengan episentrum gempa saja tidak mengalami kecelakaan karenanya.

Ketiga, apakah yang disebut-sebut sebagai bencana nuklir itu benar-benar ada? Kecelakaan parah pernah terjadi tiga kali dalam sejarah operasional PLTN, tidak ada yang disebabkan oleh gempa. Dari ketiganya, hanya dua yang menyebabkan lepasan radioaktif signifikan ke lingkungan, yakni kecelakaan Chernobyl tahun 1986 dan Fukushima Daiichi tahun 2011. Sementara, kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa hanya satu, Chernobyl 1986.

Kecelakaan PLTN tidak bisa lebih parah dari kecelakaan Chernobyl, dan korban jiwa yang disebabkannya tidak lebih dari 60 orang. Sebagian besar kawasan Chernobyl dan Pripyat masih bisa dihuni, dengan dosis radiasi tahunan lebih rendah dari berbagai belahan dunia seperti, katakanlah, Mamuju. Dibandingkan dengan Tragedi Bhopal di India tahun 1984, yang menyebabkan lebih dari 3.000 kematian dan 500 ribu cedera, atau jebolnya Bendungan Banqiao di Tiongkok tahun 1975 yang menyebabkan 230 ribu kematian, “bencana nuklir” Chernobyl jadi tidak tampak mengesankan.

Kecelakaan Chernobyl terjadi pada jenis reaktor yang hanya ada di bekas negara Uni Soviet dan tidak mungkin mendapat lisensi operasi di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Sehingga, mustahil mengharapkan “bencana nuklir” sebagaimana imajinasi banyak orang dapat terjadi di abad 21. Apalagi dengan inisiator berupa gempa bumi.

Retorika gempa bumi yang digunakan untuk menolak PLTN tidak berbeda dengan dongeng Poseidon yang mampu menyebabkan bencana bagi pelaut. Menakutkan, tapi hanya imajinasi belaka. Maka, sudah selayaknya kalangan intelektual berbicara dengan data dan fakta ilmiah, bukan mendongeng untuk menakut-nakuti publik dengan bahaya yang tidak pernah ada.

R. Andika Putra Dwijayanto, S.T. - Peneliti Ahli Pertama Bidang Teknologi Keselamatan Reaktor

(Artikel ini telah dimuat di Harian Republika Edisi 30 Juli 2019)

Deskripsi Kejadian:

Gempa bumi terjadi pada hari Jum'at, tanggal 25 Februari 2022, pukul 08:39:29 WIB. Berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), lokasi pusat gempa bumi terletak di Utara G. Talamau pada koordinat 99,98° BT dan 0.15° LU, berjarak sekitar 17,5 km timur laut Simpang Ampek, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatra Barat, dengan magnitudo (M6,2) pada kedalaman 10 km. Menurut informasi dari The United States Geological Survey(USGS) Amerika Serikat, lokasi pusat gempa bumi terletak pada koordinat 100,106° BT dan 0,233° LU dengan magnitudo (M6,2) pada kedalaman 12,3 km. Berdasarkan data GeoForschungsZentrum (GFZ), Jerman, lokasi pusat gempa bumi berada pada koordinat 99,97° BT dan 0,11° LU, dengan magnitudo (M6,0) pada kedalaman 10 km. Kejadian gempa bumi didahului oleh gempa bumi awal dengan kekuatan M5,2 pada kedalaman 10 km, pukul 08:35:51 WIB, pada koordinat 99,99° BT dan 0,14° LU berjarak 18 km timur laut Pasaman Barat.

Rekomendasi:

(1) Masyarakat diimbau untuk tetap tenang, mengikuti arahan serta informasi dari petugas BPBD setempat, dan tetap waspada dengan kejadian gempa bumi susulan. Jangan terpancing oleh isu yang tidak bertanggung jawab mengenai gempa bumi dan tsunami. (2) Bagi penduduk yang rumahnya mengalami kerusakan agar mengungsi ke tempat aman. Waspada terhadap gempa bumi susulan yang dapat merobohkan bangunan yang sudah rusak pada gempa bumi kuat pertama (3) Kejadian gempa bumi ini berpotensi mengakibatkan terjadinya bahaya ikutan berupa retakan tanah, penurunan tanah, dan gerakan tanah. Oleh karena itu penduduk agar waspada dengan gejala tersebut. (4) Agar penduduk mewaspadai retakan tanah pada bagian atas perbukitan yang dapat berpotensi berkembang menjadi gerakan tanah dipicu oleh guncangan gempa bumi kuat dan/atau curah hujan tinggi.

(5) Tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non gedung sesuai BSN, SNI 1726:2019 sebaiknya dapat dipatuhi.

6.2 SR Tidak berpotensi Tsunami

Lihat Detail