Ayat yang menjelaskan tentang tata cara berpakaian

Masjid adalah tempat yang mulia bagi kaum Muslimin. Masjid adalah rumah Allah dan menjadi tempat untuk melakukan berbagai macam ibadah, baik ibadah mahdah (ibadah yang telah diatur secara rinci oleh syara’ tata cara peribadahannya; salat, membaca dan mengkaji al-Qur’an dsb.) maupun ibadah ghair mahdah (ibadah yang umum dan tidak diatur secara rinci tata caranya, seperti diskusi ilmiah, rapat, dsb.) Dengan begitu kaum Muslimin hendaknya memperhatikan adab-adab setiap kali hendak memasukinya. Hal tersebut sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap masjid sebagai tempat peribadatan. Di antara adab memasuki masjid adalah menggunakan pakaian yang bagus (terbaik), sopan, serta menutup aurat.

Baca juga; Surah Al-Isra Ayat 23-24: Etika dalam Merawat Orang Tua

Perintah untuk Menggunakan Pakaian Terbaik Saat Memasuki Masjid

Di dalam al-Qur’an Allah swt telah memerintahkan kepada anak-cucu Adam, terkhusus kaum Muslimin agar memakai pakaian yang bagus (terbaik) setiap kali hendak memasuki masjid, baik untuk mengerjakan sesuatu kewajiban maupun sesuatu lainnya yang bersifat sunnah atau mubah. Allah berfirman:

يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ

Artinya: Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaian kamu yang bagus setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. ( QS. al-A’raf: 31)

Secara eksplisit ayat tersebut berisikan perintah untuk menggunakan pakaian yang bagus (terbaik) setiap kali memasuki masjid, dan perintah untuk makan dan minum tetapi tidak boleh israf (berlebihan). Lalu, adakah makna atau faedah lain yang terkandung dalam ayat tersebut?

Tafsir Surah al-A’raf Ayat 31

Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitabnya Tafsīr al-Qur’an al-Azhīm atau yang masyhur dengan Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat yang mulia ini berisikan bantahan/penentangan terhadap kaum musyrikin yang mereka –memiliki adat/kebiasaan—  melakukan thawwaf di Baitullah dalam keadaan telanjang (tidak berbusana). Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasa’i dari sahabat Ibnu Abbas bahwa beliau mengabarkan: Mereka –kaum musyrikin— senantiasa melakukan thawwaf di Baitullah dengan keadaan telanjang, baik laki-laki maupun perempuan. kaum laki-laki melakukannya di siang hari, sedangkan kaum perempuan melakukannya di malam hari.

Kemduian, maksud dari firman Allah “Pakailah olehmu pakaian yang bagus setiap memasuki masjid” diawali oleh adanya sekelompok laki-laki yang melakukan thawwaf di Baitullah dengan keadaan telanjang, lalu Allah –dengan turunnya ayat ini— langsung memerintahkan mereka untuk mengenakan az-Zinah (pakaian yang bagus/terbaik). Selain itu, mereka juga diperintahkan untuk mengenakan pakaian terbaik setiap kali memasuki masjid.

Baca juga; Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Al-Quran

Berdasarkan ayat ini –QS. al-A’raf ayat 31— secara pemaknaan ini menjadi dasar adanya sunnah/anjuran untuk berhias diri setiap kali hendak ke masjid terlebih pada saat hari Jum’at dan hari raya (idul fitri dan idul adha), lalu mengenakan parfum atau wangi-wangian juga termasuk bagian az-Zinah (berhias diri), serta bersiwak (membersihkan gigi). (Tafsir Ibnu Katsir, 1997)

Di antara pakaian yang paling utama untuk digunakan adalah pakaian yang berwarna putih, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ ؛ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْوَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ

Artinya: Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Pakailah pakaianmu yang berwarna putih, karena sesungguhnya pakaian putih termasuk pakaian terbaik, dan kafanilah dirimu saat mati dengannya (kain berwarna putih).” (HR. al-Khamsah)

Selanjutnya, As-Sa’di (w. 1376 H) dalam kitab tafsirnya Taisir al-Karīm ar-Rahmān fī tafsīr kalām al-Mannān atau yang masyhur dengan Tafsir as-Sa’di menjelaskan juga bahwa ayat ini –QS. al-A’raf ayat 31— adalah penegasan dari firman Allah swt sebelumnya –QS. al-A’raf ayat 26—, yaitu Allah telah  telah menyediakan bagi anak-cucu Adam pakaian untuk menutupi aurat dan juga sebagai perhiasan bagi mereka.

“Wahai anak-cucu Adam! pakailah pakaian kamu yang bagus setiap memasuki masjid”. As-Sa’di menambahkan maksud dari ayat tersebut adalah tutuplah auratmu setiap kali memasuki masjid, baik untuk mengerjakan sesuatu yang wajib maupun sesuatu yang nafilah (sunnah). Sesungguhnya menutup aurat termasuk bagian dari menghias diri, sebagaimana menyingkapkannya berarti membiarkan tubuh pada keadaan yang jelek/hina. Adapun yang dimaksud dengan az-Zinah dalam ayat adalah sesuatu yang lebih dari menutup aurat, yaitu menggunakan pakaian yang bersih lagi bagus (terbaik).

Secara singkat perintah dalam ayat tersebut –QS. al-A’raf ayat 31— menunjukkan perintah untuk menutup aurat ketika salat, menghias/memperbagus keadaan diri (dengan pakaian yang bagus bersih), serta menjaga kebersihan tabir (kain atau kondisi tempat) dari segala najis dan kotoran. (Tafsir as-Sa’diy)

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 222: Ikhtiar Menyucikan Diri Lahir dan Batin

Berdasarkan penafsiran di atas QS. al-A’raf ayat 31 berisikan perintah untuk menggunakan pakaian terbaik yang bersih dari segala kotoran dan najis, serta dapat menutup aurat setiap kali hendak memasuki masjid. Jangan sampai mengikuti kebiasaan buruk kaum musyrikin atau orang-orang jahiliyah dahulu yang mereka memasuki dan melakukan thawwaf di Baitullah dalam keadaan tidak berbusana. Perbuatan tersebut seakan-akan bertujuan untuk merendahkan dan melecehkan Baitullah. Dengan demikian, semoga kita senantiasa dapat  menjaga adab ini setiap kali hendak memasuki masjid, dan semoga hal tersebut menjadi washilah bagi kita untuk mendapatkan rida Allah dan pahala dari-Nya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawwab [].

Ayat yang menjelaskan tentang tata cara berpakaian

KATA PENGANTAR

Puji syukur tercurahkan untuk kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah kepada kita semua. Berkat Karunia-Nya makalah ini dapat rampung tepat waktu, makalah yang berjudul ”Tafsir Ayat Ayat Seputar Pakaian”.

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas ”Tafsir 2” yang diampu oleh ibu Khoirul Umami. Terimakasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini sehinggga dapat menyelesaikan penyusunan makalah. Dan tidak lupa juga kami ucapkan terima kasih kepada dosen  pembimbing yang telah membimbing kami.

Surabaya, 5 Mei 2013

BAB I

PENDAHULUAN

Berbusana atau menutup aurat pada dasarnya merupakan hak manusia yang diaktualkan pada saat mereka memiliki kesadaran. Bahkan semenjak bapak kita yang pertama Adam AS telah memiliki pakaian untuk menutupi aurotnya, juga siti Hawa. Namun di peradaban yang lain, ternyata masih ada golongan yang  belum mengenal pakaian, seperti di Athena kuno, sezaman dengan filosof termasyhur Plato, menurut sejarahwan ternyata mereka bersosialisasi tanpa menggunakan sehelai pakaian pun.

Dari fenomena ini kemudian timbul beberapa pertanyaan yang terkait, seperti apa makna pakaian itu sendiri, apa fungsinya, dan seperti apa pakaian yang dianjurkan dalam Alquran?.

  1. B.    Rumusan Masalah
    1. Apa saja ayat yang menjelaskan tentang berpakaian?
    2. Jelaskan beserta tafsir setiap ayat tersebut!
  1. C.    Tujuan Penulisan
    1. Agar mengerti tentang ayat-ayat yang menerangkan tentang pakaaian.
    2. Dan mengerti tentang cara berpakaian yang baik menurut syariat.

BAB II

PEMBAHASAN

وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.

Kosa Kata

وَهُوَ الَّذِيْ سَخَّرَ اْلبَحْرَ  (Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan untukmu), maksudnya adalah Allah membuat laut menjadi jinak sehingga dapat dinaiki dan diselami. لَحْمٌا َطرِيٌّا  (daging yang segar) adalah ikan. حِلْيَةٌ تَلْبَسُوْنَهَا (perhiasan yang kamu pakai) berupa mutiara dan marjan.[1]

Tafsir

Surat an Nahl ayat 14 ini menerangkan tentang isi laut yang disediakan untuk diambil manfaatnya oleh manusia. Isi laut yang dimaksud dalam ayat ini adalah ikan dan perhiasan. Ikan mengandung gizi yang bermanfaat bagi tubuh kita yaitu berupa omega 3 dan 6. Disamping itu juga memiliki rasa yang enak dan dagingnya empuk.[2]      

     Selain ikan, Allah juga menciptakan mutiara dan marjan sebagai  perhiasan yang berharga dan mempermudahkannya dalam mengeluarkan dari tempatnya.[3] Dan Allah menundukkan laut sehingga dapat dijadikan sebagai sarana lalu lintas perlayaran, perdagangan, tempat wisata dan sumber penghasilan para nelayan.

Kapal merupakan alat pengangkutan penting yang telah ada di dunia sejak beribu-ribu tahun yang telah lalu, mengharungi lautan menghubungkan benua dengan benua, pulau dengan pulau, membawa pindah boyongan manusia dari benua ke benua, sehingga ahli-ahli ilmu pertumbuhan bangsa-bangsa (Antropologi), ahli Sejarah Bangsa, ahli ilmu bumi dan lain-lain telah mencari hubungan di antara bangsa-bangsa yang sekarang berjauhan letak negerinya, padahal satu rumpun juga bangsanya.

Dalam kitab Musnad yang dikarang oleh Al- Hafidz Abu Al-Bazzar menemukan riwayat dari Muhammad Ibnu Mu’awiyah Al- Baghdadi bahwa Allah berfirman kepada laut Barat dan Timur. Allah bertanya pada laut barat sesungguhnya Dia(Allah) akan membawa sebagian dari hambaNya untuk berlayar melaluinya, kemudian apa reaksi laut barat. Laut Barat menjawab dia akan menenggelamkan hamba-hamba tersebut, kemudian Allah menjawab Dia kan membawa hamba-hambanya dengan Kekuasaan-Nya dan mengharamkan perhiasan serta hewan buruan di laut tersebut. Allah juga memberi pertanyaan yang serupa pada laut timur. Tetapi jawabannya berbeda, dia mengatakan bahwa akan membawa hamba-hamba tersebut di atas permukaan laut dan seolah-olah menjadi ibu yang melindungi anaknya. Dengan jawaban tersebut Allah memberinya balasan berupa perhiasan dan hewan buruan di dalamnya.[4]

     Pernyataan-pernyataan di atas adalah sebagai bukti bahwa Allah Maha Kuasa,dan semua diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan manusia serta agar mereka mengambil pelajaran dan bersyukur

    وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَٰذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَٰذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ ۖ وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُونَ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا ۖ وَتَرَى الْفُلْكَ فِيهِ مَوَاخِرَ لِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

   Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu Lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.

Kosa Kata

            Kata فُرَاتٌ  berasala dari kata فَرَتَ  berati menundukkan. Jika kata ini diperuntukkan untuk menyifati air maka bermakna air yang sangat tawar sehingga menundukkan/mengalahkan rasa haus. عَذَب  berarti air yang sangat segar untuk diminum. مِلْح asin dan اُجَاج berarti pahit. Dan kata حُلْيَة adalah sesuatu yang dapat diperoleh dari laut dan sungai berupa mutiara dan marjan.[5]

Tafsir

            Surat al Fathir ayat 12 ini menerangkan tentang kekuasaan Allah dalam mngatur lautan serta isi di dalamnya. Ayat ini sama dengan surat an Nahl: 14. Ayat ini menguraikan perbedaan air laut dan sungai. Air laut memiliki air yang rasanya asin dan pahit sedangkan air sungai rasanya sangat tawar, segar dan enak diminum.

            Perbedaan tersebut dijadikan ulama’ sebagai penggambaran tentang orang mukmin dan kafir. Keduanya adalah manusia dan memiliki martabat yang sama namun perbedaannya pada sifatnya. Sifat orang mukmin sejalan dengan fitrahnya sedangkan orang kafir sebaliknya.

            Di kedua laut tersebut terdapat ikan, bintang-binatang laut dan juga perhiasan. Dahulu ulama’ membatasi pengertian hilyah atau perhiasan hanya pada marjan dan mutiara, dengan dasar surat ar rahman:22. Namun pendapat ini tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan manusia. Karena ulama’ dahulu hanya menganggap mutiara hanya ada di laut yang asin. Tapi ternyata di air tawar juga ditemukan mutiara seperti yang telah diteliti oleh Negara Inggris, Skotlandia, Cekoslovakia, Jepang dan lain-lain. Selain mutiara di air tawar juga di temukan batu-batu mulia seperti berlian.

            Perhiasan identik penggunanya adalah wanita. Dalam hal ini ada beberapa pendapat. Al Biqa’i menggunakan bentuk maskulin (ditujukan pada pria). Walaupun perhiasan banyak dipakai wanita namun sebagai kesatuan antra pria dan wanita. Sedangkan Ibnu ‘Asyur memahami dengan taghlib (penilaian banyak). Kebanyakan perhiasan dipakai oleh wanita kecuali cincin dan hiasan  pedang. Bahkan sekarang cincinpun banyak dipakai wanita.

            Dari kedua pendapat di atas yang paling tepat adalah pendapat al Baqai’i karena yang mencari bahan mentah, mengolah atau membelinya adalah pria, jadi redaksi ayat ini juga diperuntukkan untuk pria.

            Dan dapat melihat kapal yang berlayar untuk mencari karuniaNya. Ibnu ‘Asyur memahami kata karuniaNya  pada aktivitas  perdagangan. Secara umunya untuk mencari rizki. Hal ini membuktikan bahwa Allah sang pemberi rizki dan pengatur segalanya serta agar manusia bersyukur.[6]

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Kosa Kata

خُمُرِ = bentuk jamak dari khimar, artinya kain kerudung yang dipakai untuk menutupi kepala; dikenal pula dengan sebutan muqani’

بِعْلٌ = bentuk jamaknya adalah bu’ul artinya suami.

يَغُضُّوْا = bentu mudari’ dari gadda (غض) artinya mengurangi pandangan mata atau suara.

وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ = janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya). Kata yubdina adalah bentuk mudari’ dari bada (بدا) artinya muncul dengan jelas.

Tafsir Ayat

     Apa yang diharamkan oleh Allah bagi mereka, yaitu memandang kepada selain suami mereka. Karena itulah kebanyakan ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh memandang lelaki lain yang bukan maramnya, baik dengan pandangan birahi atau tidak.

     Perintah memelihara kemaluan, yaitu memelihara kemaluannya dari perbuatan keji (menurut sa’id ibnu jubair), sedangkan menurut qatadah dan sufyan adalah memelihara diri dari perbuatan yang tidak dihalalkan baginya (memeliharanya dari perbuatan zina).

      Ayat ini juga menerangkan larangan menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada lelaki lain, kecuali apa yang tidak bisa disembunyikan. Menurut Ibnu Mas’ud, hal yang dimaksud adalah seperti kain selendang dan pakaiannya, yakni sesuai dengan tradisi pakaian kaum wanita arab yang menutupi seluruh tubuhnya, sedangkan bagian bawah pakaian yang kelihatan tidaklah berdosa jika ditampakkan[7].

 Menurut ibnu mas’ud perhiasan itu ada dua macam yaitu:

  1. Perhiasan yang tidak boleh diperlihatkan kecuali hanya kepada suami (cincin dan gelang).
  2. Perhiasan yang boleh terlihat oleh lelaki lain, yaitu bagian luar dari pakaian.

إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

Kecuali yang (biasa) tampak darinya

Ibnu Abbas dan para pengikutnya menafsirkan kalimat ini dengan wajah dan kedua telapak tangan. Pendapat inilah yang masyhur dikalangan ulama. Hal ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud, bahwa telah menceritakan kepada kami Ya’qub Ibnu Ka’ab Al-Intaki Dan Muammal Ibnul Fadlal-Harrani; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami al-Walid, dari Sa’id Ibnu Basyir, dari Qatadah Dari Khalid Ibnu Duraik, dari Aisyah r.a., bahwa Asma binti Abu Bakar masuk kedalam rumah nabi SAW, dengan memakai pakaian yang tipis, maka nabi memalingkan muka darinya seraya bersabda:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ اْلمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيْضِ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذاَ

Hai asma, sesungguhnya wanita itu apabila telah berusia baligh, tidak boleh ada yang terlihat dari tubuhnya kecuali hanya ini.

Nabi bersabda demikian seraya mengisyaratkan ke arah wajah dan kedua telapak tangannya.

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.

Kerudung yang dimaksud adalah kerudung panjang yang dapat menutupi dada dan bagian sekitarnya, agar berbeda dengan pakaian wanita jahiliyah. Karena sesungguhnya wanita jahiliyah tidak berpakaian demikian, bahkan seorang dari mereka lewat dihadapan laki-laki dengan membusungkan dadanya tanpa ditutupi sehelai kainpun. Adakalanya pula menampakkan lehernya dan rambut yang ada di dekat telinganya serta anting-antingnya. Maka Allah memerintahkan kepada wanita yang beriman agar menutupi seluruh tubuhnya.

أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ

Atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka.

Mereka yang disebutkan di atas adalah mahram wanita, mereka diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada orang-orang tersebut., tetapi bukan dengan cara tabarruj. Tidak disebutkan paman dari pihak ayah, tidak pula paman dari ibu; karena keduanya dinisbatkan kepada anak keduanya. Untuk itu seorang wanita tidak boleh meletakkan kain kerudungnya di hadapan pamannya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Demikian itu karena dikhawatirkan keduanya akan menggambarkan pada anak-anak keduanya.

Adapun terhadap suami, sesungguhnya hal tersebut hanyalah untuk suaminya. Karena itu, seorang wanita dianjurkan merias dan mempercantik dirinya di hadapan suaminya,dan tidak boleh di hadapan lelaki lain.

أَوْ نِسَائِهِنَّ

Atau wanita-wanita Islam.

     Seorang wanita diperbolehkan menampakkan perhiasannya kepada wanita muslimat, bukan wanita kafir Dzimmi agar mereka tidak menceritakan keadaan kaum wanita muslimat kepada kaum laki-laki mereka. Adapun wanita muslimah, sesungguhnya ia mengetahui bahwa perbuatan menceritakan perihal wanita lain (kepada lelaki) adalah haram, sehingga ia menahan dirinya dari melakukan hal tersebut

أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ

Atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita).

  Yakni seperti orang-orang sewaan dan para pelayan yang tidak sepadan. Selain dari itu akal mereka kurang dan lemah, tiada keinginan terhadap wanita pada diri mereka dan tidak pula berselera terhadap wanita. Ibnu abbas mengatakan, yang dimaksud adalah lelaki dungu yang tidak mempunyai nafsu syahwat. Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud adalah lelaki yang tolol. Sedangkan menurut ikrimah adalah laki-laki banci yang kemaluannya tidak dapat bereaksi.

أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ  

Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.

Yakni anak-anak kecil mereka yang masih belum mengerti keadaan wanita dan aurat mereka seperti perkataannya yang lemah lembut lagi merdu, lenggak lenggoknya dalam berjalan, gerak-gerik, dan sikapnya. Apabila anak lelaki kecil masih memahami hal tersebut, maka ia boleh masuk menemui wanita.

Adapun jika seorang anak lelaki menginjak masa pubernya atau dekat usia pubernya yang telah mengenal hal tersebut dan ia dapat membedakan wanita yang jelek danwanita yang cantik, maka tidak diperkenankan lagi baginya masuk menemui wanita lain. Menemui saudara ipar juga dilarang oleh Rasulullah, Sebagaimana dalam kitab sahihain telah disebutkan sebuah hadis, Rasulullah bersabda “masuk menemui saudara ipar artinya maut.”

وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ

Dan janganlah mereka memukulkan kakinya.

Di masa jahiliah bila seorang wanita berjalan di jalan, sedangkan ia memakai gelang kaki; jika tidak ada laki-laki yang meihat dirinya, ia memukul-mukulkan kakinya ke tanah sehingga kaum lelaki mendengar suara gemerincing gelangnya (dengan maksud menarik perhatian mereka). Maka Allah melarang kaum wanita mukmin melakukan hal semacam itu. demikian pula halnya bila seorang wanita memakai perhiasan lainnya yang tidak kelihatan, bila digerakkan akan menimbulkan suara dan dapat menarik perhatian lawan jenisnya; hal ini pun termasuk ke dalam apa yang dilarang oleh Allah SWT. Termasuk ke dalam apa yang dilarang adalah memakai parfum bila keluar rumah, sebab kaum laki-laki akan mencium baunya.

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kalian beruntung.

Artinya adalah, kerjakanlah segala sesuatu yang telah aku perintahkan kepada kalian, yaitu dengan menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji dan akhlak-akhlak yang mulia ini. Tinggalkanlah tradisi masa lalu di zaman jahiliah, yaitu dengan meninggalkan sifat dan akhlaknya yang rendah, karena sesungguhnya keberuntungan yang paling prima berada dalam mengerjakan segala sesuatu yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, hanya kepada Allah memohon pertolongan.

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.

Kosa Kata

رِيْشَ = pakaian yang indah untuk perhiasa. Kata ini pada mulanya berarti bulu burung. Sebagaimana bulu pada burung menjadi hiasan baginya, begitu pula dengan kata risy pada ayat ini maksudnya adalah pakaian yang indah untuk hiasan.

قَبِيْلُهُ = pengikut-pengikutnya. Akar katanya adalah ق-ب-ل yang artinya sesuatu yang berhadp-hadapan.

Tafsir Ayat

Ayat ini menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu penutup aurat dan perhiasan. Sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa ayat ini berbicara tentang fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa. Dalam arti pakaian dapat menghindarkan terjerumus ke dalam bencana dan kesulitan, baik bencana duniawi dan ukhrawi.

لِبَاسُ التَّقْوَى (libasut taqwa) dibaca oleh imam nafi’ ibnu amir, al-kisa’i dan abu ja’far dengan nashab (dibaca libasa sehingga kedudukannya sebagai objek penderita). Ini berarti sama dengan pakaian-pakaian lain yang diciptakan, dan tentunya pakaian ini tidak berbentuk abstrak, melainkan konkrit. Takwa yang dimaksud adalah pemeliharaan, sehingga yang dimaksud pakaian takwa adalah pakaian berupa perisai yang digunakan dalam peperangan untuk memelihara dan menghindarkan pemakainya dari luka dan bencana.

Ada juga yang membaca libasu at-taqwa, sehingga katatersebut tidak berkedudukan sebagai objek. Namun salah satu makna yang dikandungnya adalah adanya pakaian bathin yang dapat menghindarkan seseorang dari bencana duniawi dan ukhrawi.

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلالا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُونَ

Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).

Tafsir ayat

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلالا

Dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah Dia ciptakan

Menurut qatadah, makna yang dimaksud adalah pohon.

وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا

Dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-gunung

Yaitu benteng-benteng dan tempat-tempat perlindungan. Seperti juga yang disebutkan dalam firman selanjutnya:

وَجَعَلَ لَكُمْ سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ

dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas.

Maksudnya adalah pakaian yang terbuat dari katun, kapas dan bulu.

وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمْ بَأْسَكُمْ

dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan.

Pakaian jenis ini adalah seperti baju besi, tameng, dan lain sebagainya yang digunakan untuk melindungi diri dalam peperangan.

كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ

Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).

Artinya, demikianlah dia menjadikan bagi kalian apa yang dapat kalian jadikan sebagai sarana untuk urusan kalian, dan apa yang kalian perlukan agar hal tersebut dapat dijadikan sebagai sarana bagi kalian untuk mengerjakan ketaatan dan beribadah kepada-Nya.

لَعَلَّكُمْ تُسْلِمُونَ

Lafadz تُسْلِمُونَ menurut tafsir jumhur ulama, dibaca dengan huruf lam yang di-kasrah-kan, yang berasal dari kata إِسْلاَم. Abdullah Ibnul Mubarak dan Abbad ibnul Awam telah meriwayatkan dari Hnzalah as-Sadusi, dari Sahr ibnu Hausyab, dari ibnu Abbas, bahwa ibnu Abbas membacanya dengan huruf lam yang di-fathah-kan, yakni agar kalian selamat dari pelukan. Abu Ubaid al-Qasim ibnu Salam telah meriwayatkan asal ini dari Abbad. Ibnu Jarir mengetengahkannya dari dua jalur, dan ia menjawab qira’at ini.

Qatadah mengatakan bahwa surat ini dinamakan “surat an-Ni’am” karena beliau melihat dari firman-Nya كَذَلِكَ يُتِمُّ نِعْمَتَهُ. Ata al-Khurrasani mengatakan, sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan hanya sebatas pengetahuan orang-orang Arab. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa tidakkah engkau melihat firman Allah Swt. berikut:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِمَّا خَلَقَ ظِلالا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنَ الْجِبَالِ أَكْنَانًا

Dan Allah menjadikan bagi kalian tempat barnaung dari apa yang telah diciptakan, dan dia jadikan bagi kalian tempat-tempat tinggal di gunung-gunung.

Padahal lembah atau daratan rendah yang diciptakan oleh Allah Swt. jauh lebih luas dan lebih besar daripada pegunungan. Dikatakan demikian karena mereka (orang-orang Arab) adalah orang-orang pegunungan.

  1. 6.    Surat Al-A’raf ayat 31 – 32

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِي

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

  31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

32. Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.

Tafsir

Perintah makan dan minum, lagi tidak berlebih-lebihan, yakni tidak melampaui batas, merupakan tuntunan yang harus disesuaikan dengan kondisi setiap orang. Ini karena kadar tertentu yang dinilai cukup untuk seseorang, boleh jadi telah dinilai melampaui batas atau belum cukup buat orang lain. Atas dasar itu, kita dapat berkata bahwa penggalan ayat tersebut mengajarkan sikap proporsional dalam makan dan minum.[8]

Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang dimaksud zinah dalam ayat ini ialah pakaian, yaitu pakaian yang menutup aurot, terbuat dari kain yang baik dan bahan lainnya yang dapat dijadikan pakaian. Mereka diperintahkan untuk memakai pakaiannya yang indah disetiap memasuki masjid.

Berdasarkan ayat ini dan hadis yang menerangkan hal yang semisal, disunahkan memakai pakaian yang indah disaat hendak melakukan salat, terlebih lagi salat jum’at dan shalat hari raya. Disunatkan pula memakai wewangian, karena wewangian termasuk ke dalam pengertian perhiasan. Juga disunahkan bersiwak, mengingat siwak merupakan kesempurnaan bagi hal tersebut.[9]

Pakaian yang paling utama ialah yang berwarna putih, seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Bahwa

Pakailah pakaian kalian yang berwarna putih, karena sesungguhnya pakaian putih adalah pakaian terbaik kalian, dan kafankanlah dengannya orang-orang mati kalian. Dan sesungguhnya sebaik-baik celak kalian memakai ismid, karena sesunnguhnya ismid itu dapat mencerahkan pandangan mata dan menumbuhkan rambut.

Kata Akhraja dikeluarkan dalam firman-Nya (اخرج لعبا ده), dipahami dalam arti dinampakkan olehNya dengan mengilhami manusia mendambakan keindahan, mengekspresikan dan menciptakan, kemudian menikmatinya, baik dalam rangka menutuoi apa yang buruk pada dirinya, maupun untuk menambah keindahannya. Keindahan adalah satu dari tiga hal yang yang mencerminkan ketinggian peradaban manusia. Mencari yang benar menciptakan ilmu, berbuat yang baik membuahkan etika, dan mengekspresikan yang indah melahirkan seni. Ketiga hal itu, ilmu, etika, dan seni adalah tiga pilar yang menghasilkan peradaban.     

  Bahwa yang dituntun untuk digunakan dari rezeki adalah yang baik-baik mengandung yang menggunakan apa yang sesuai dengan kondisi manusia, baik dalam kedudukannya sebagai jenis, maupun pribadi demi pribadi. Manusia sebagai satu jenis makhluk yang memiliki ciri-ciri tertentu jasmani maupun rohani, tentu saja mempunyai kebutuhan bagi kelanjutan dan kenyamanan hidupnya rohani dan jasmani. Karena itu tidak semua yang terhampar di bumi dapat dia makan atau gunakan. Ada  diantara yang terhampar itu, yang disiapkan Allah bukan untuk dia gunakan atau makan, tetapi untuk digunakan dan dimakan oleh jenis yang lain yang keberadaannya dibutuhkan manusia. Karbondioksida tidak dibutuhkan manusia tetapi ia diciptakan Allah karena dibutuhkan oleh tumbuhan demi kelangsungan hidup jenis itu, dan disisi lain tumbuhan tersebut dibutuhkan manusia. Oksigen dikeluarkan oleh tumbuhan, tetapi ia amat dibutuhkan oleh jenis manusia. Demikian terlihat, apa yang baik untuk satu jenis makhluk boleh jadi tidak baik untuk satu jenis makhluk boleh jadi tidak baik untuk jenis makhluk lain.[10]

BAB III

SIMPULAN

Diharamkan wanita untuk memandang kepada selain suami mereka. Karena itulah kebanyakan ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh memandang lelaki lain yang bukan maramnya, baik dengan pandangan birahi atau tidak.

Oleh karena itu, di anjurkan untuk menutup aurat. Dan berpakain yang dengan kain yang tidak transparan dan ketat. Dilarangan makan, minum serta berpakaian yang berlebihan Karena Allah tidak menyukai hal tersebut.

Dituntun untuk digunakan dari rezeki adalah yang baik-baik mengandung yang menggunakan apa yang sesuai dengan kondisi manusia, baik dalam kedudukannya sebagai jenis, maupun pribadi demi pribadi.

[1]Imam Jalaludin al Mahali, Tafsir Jalalain…,1073.

[2]Hamka, Tafsir al Azhar Juz 14,( Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 230.

[3]Al Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir Juz 14,( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), 122.

[4]Al Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir, Tafsir Ibnu Kasir…,123.

[9]Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,ter. Abu Bakar, (Bandung: Algensisindo, 2004), hal287

[10]M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera hati, 2002), hal 78