Hak untuk Bekerja sebagai Hak Asasi ManusiaHak untuk bekerja dinyatakan di dalam ICESCR, khususnya pada pasal 6, 7, dan 8. ICESCR tidak hanya meenjadi dasar pengakuan hukum atas hak untuk bekerja sebagai hak asasi manusia, namun juga memberikan konsep luas untuk hak untuk bekerja itu sendiri, yang berisi tidak hanya kewajiban bagi negara untuk menjamin akses lapangan kerja bagi semua orang, namun juga memerinci hak setiap orang atas kondisi kerja yang adil dan baik sebagai berikut:
Selain dimensi individu atas hak untuk bekerja, ICESCR juga memberikan hak kolektif bagi pekerja untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja yang mereka pilih. Dalam Komentar Umum No. 18, Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (CESCR), sebagaimana hak lain di bawah ICESCR, menjabarkan elemen-elemen dasar hak untuk bekerja, yang mencakup ketersediaan, aksesibilitas, keberterimaan, dan kualitas. Di Indonesia, hak untuk bekerja diabadikan di dalam UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (2) dan 28 ayat (1). Selain pengakuan atas hak untuk bekerja di bawah UU No.11/2005 tentang Ratifikasi ICESCR, dan juga ratifikasi berbagai konvensi ILO, Indonesia juga memiliki UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 yang memberikan dasar hukum untuk perlindungan mayoritas elemen kerja layak. Meskipun sudah ada pengakuan hukum terhadap hak untuk bekerja, diperkirakan bahwa 60 persen masyarakat yang bekerja berada dalam lapangan kerja rentan dan juga satu dari tiga orang ‘dibayar rendah’. Terjadi kecenderungan ekonomi formal diinformalkan, dan kepatuhan terhadap peraturan upah minimum juga masih rendah.[1] Terkait dimensi kolektif hak untuk bekerja, Indonesia menunjukkan tren penurunan jumlah dan kepadatan serikat pekerja. ILO mencatat bahwa tingkat kepadatan serikat pekerja hanya sekitar 12 persen untuk seluruh karyawan pada 2009.[2] Selain itu, selain Serikat Pekerja, inspektur buruh/pekerja juga memainkan peran penting dalam memastikan kepatuhan pengusaha dalam memenuhi hak pekerja di tempat kerja. Namun, jumlah inspektur masih rendah dan tidak cukup dibandingkan dengan jumlah perusahaan di Indonesia. [1] UNPDF [2] ILO, Decent Work Country Profile: Indonesia, 2011.
Berdasarkan data dari BPS, dari sekitar 118 juta pekerja di tahun 2016, hanya 50 juta pekerja yang bekerja di sektor formal.[1] Sayangnya, walaupun terdapat fakta bahwa lebih dari setengah dari jumlah pekerja di Indonesia bekerja di sektor informal, perlindungan hukum terhadap pekerja informal masih bisa dianggap tidak cukup. Pekerja informal, khususnya mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, kebanyakan underpaid dan harus menghadapi jam kerja yang tidak masuk akal, tanpa disediakan dengan perlindungan kesehatan maupun jaminan ketenagakerjaan. Maka dari itu, untuk melindungi hak-hak pekerja informal, adalah penting bagi pemerintah untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih kuat untuk melindung pekerja informal dari eksploitasi. Eksploitasi pekerja anak di dalam angkatan kerja juga harus diatasi secara serius. Maka dari itu, adalah penting bagi pemerintah Indonesia untuk mengawasi bentuk bentuk terburuk dari pekerja anak, khususnya di sektor pertanian, industri, dan jasa di mana jutaan anak telah dipekerjakan. Lebih dari itu, untuk memperkuat pemenuhan hak-hak pekerja, adalah penting bagi pemerintah Indonesia untuk melindungi kemerdekaan berasosiasi dan melarang praktek penghilangan serikat-serikat buruh, karena serikat buruh merupakan sebuah elemen penting dalam menyeimbangkan posisi pemberi kerja dengan para pekerja. Lebih dari itu, untuk serikat buruh, peran Pengawas Ketenagakerjaan juga penting untuk meningkatkan kepatuhan (compliance) nasional. Saat ini hanya ada 0,6 pengawas di setiap 100 perusahaan, dan angka ini jelas jauh dari cukup karena seorang pengawas ketenagakerjaan di Indonesia hanya bisa melakukan inspeksi kepatuhan hak-hak buruh kepada 5-10 persen perusahaan yang terdaftar setiap tahunnya. Maka dari itu, pemerintah perlu meningkatkan jumlah Pengawas Ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya untuk melindungi hak-hak buruh dan pelaksanaan kerja layak di negara ini. [1] See, BPS, Penduduk 15 Tahun Ke Atas Menurut Status Pekerjaan Utama 1986 – 2016, available at: https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/971
Dengan mempertimbangkan analisis kesenjangan di atas, berikut ini adalah usulan indikator-indikator tambahan yang dapat memperkuat strategi pembangunan nasional terhadap perwujudan pekerjaan yang layak di Indonesia.
Berbagai badan dan program PBB di Indonesia berkomitmen untuk memainkan peran yang kuat di dalam membantu Pemerintah Indonesia untuk mencapai SDGs dengan tiga cara utama, yaitu advokasi kebijakan dan konsultasi, peningkatan kapasitas dan berbagi pengetahuan. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, pekerjaan yang produktif dan layak, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dapat menjadi mitra pembangunan yang sangat penting bagi Pemerintah Indonesia di dalam pelaksanaan rencana-rencananya untuk mencapai target-target SDG ke-8, mengingat ILO di Indonesia juga berfokus pada pembangunan sebuah pembanguan yang terintegrasi, yang terkait dengan hak-hak atas pekerjaan dan dialog sosial dengan kebijakan-kebijakan ketenagakerjaan dan perlindungan sosial Sumber Lain: |