Pesawat tempur Angkatan Laut Amerika Serikat F/A-18E Super Hornet mendarat di dek kapal induk USS George H. W. Bush di Teluk Oman, 20 Maret 2017.Super Hornet merupakan sayap kapal induk Amerika yang sangat diandalkan dan telah mengalami pertempuran di berbagai konflik dunia. REUTERS/Hamad I Mohammed
Pemerintah perlu mengantisipasi dampak konflik antara Amerika Serikat dan Iran. Kendati pertikaian mulai sedikit reda, situasi masih belum stabil. Dampaknya bagi perekonomian dunia, terutama harga minyak, pun sudah terasa. Awal pekan ini, harga minyak Brent untuk kontrak Maret 2020 naik 2,14 persen ke level US$ 70,07 per barel. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020, harga minyak dipatok pada angka US$ 65 per barel. Walau harga minyak dunia masih akan berfluktuasi, pemerintah tetap perlu mengantisipasi lonjakan mendadak. Konkretnya, langkah mitigasi bisa dilakukan dengan efisiensi penggunaan minyak dalam negeri dan menjaga stok bahan bakar minyak. Pemerintah perlu juga mencari pasokan baru minyak bumi selain dari Timur Tengah, misalnya dari Afrika dan Rusia. Begitu pula dengan kurs rupiah, yang pada awal pekan sempat melemah terhadap dolar Amerika hingga menyentuh angka 14 ribu per dolar. Kemarin, rupiah sudah mulai menguat lagi ke angka 13.854 per dolar Amerika. Dampak ekonomi seperti itu selalu terjadi ketika konflik di Timur Tengah memanas. Negara kita pun terkena imbas ketika terjadi Perang Teluk pada 1990-1991, Perang Irak (2003-2011), dan Arab Spring (2010-2012). Satu titik sentral yang harus diperhatikan di kawasan ini adalah Teluk Persia. Inilah urat nadi pengiriman minyak dunia. Setiap hari kapal-kapal tanker wara-wiri di teluk ini mengangkut 18 juta barel atau 30 persen pasokan minyak mentah dunia. Jika Iran sampai menutup Selat Hormuz-satu-satunya jalan untuk keluar dari Teluk Persia-negara-negara Asia harus mencari pasokan alternatif. Selama ini negara-negara Timur Tengah memproduksi sepertiga dari total minyak bumi dunia. Iran di posisi kedua, yakni 4,7 juta barel per hari, setelah Arab Saudi dengan produksi 12,3 juta barel per hari. Pemerintah semestinya pula mengutuk keras sikap Amerika Serikat yang memicu krisis ekonomi dan politik dunia. Amerika telah membunuh Mayor Jenderal Qasim Solaemani lewat serangan udara. Serangan brutal ini menyebabkan Iran marah, lalu membalasnya dengan meluncurkan rudal ke pangkalan militer Amerika di Irak. Pembalasan itu tidak menimbulkan korban jiwa, hal yang menyebabkan Amerika sedikit melunak. Menyikapi konflik itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah menghubungi Vietnam selaku Presiden Dewan Keamanan Perserikatan Banga-Bangsa. Ia meminta PBB meredam eskalasi konflik tersebut. Menteri Retno juga bertemu dengan Duta Besar Amerika Serikat dan Iran untuk meminta kedua negara menahan diri. Langkah seperti ini cukup bagus, tapi akan lebih afdal jika pemerintah mengecam secara terbuka sikap pemerintah Amerika. Pertikaian Iran-Amerika masih berpotensi memanas lagi jika Iran tidak sepakat soal sanksi ekonomi tambahan yang akan diberikan Amerika setelah konfrontasi tersebut. Itulah yang perlu diantisipasi pemerintah, terutama dampaknya bagi perekonomian kita. Catatan: Ini merupakan artikel tajuk koran tempo edisi 10 Januari 2020
Lihat Foto KOMPAS.com - Perang Teluk I adalah bentuk konfrontasi politik dan militer yang melibatkan Irak dan Iran. Perang ini berlangsung pada tahun 1980 hingga 1988 di kawasan Teluk Persia. Oleh karena itu, perang antara Irak dan Iran sering disebut sebagai Perang Teluk I. Terjadinya Perang Teluk I antara Irak dan Iran disebabkan oleh adanya masalah yang kompleks dan saling berkaitan antara kedua negara. Beberapa faktor yang menjadi latar belakang Perang Teluk I, yaitu:
Baca juga: Revolusi Beludru dan Runtuhnya Cekoslovakia KronologiPerang Teluk I diawali dengan invasi pasukan Baghdad (Irak) ke wilayah Iran pada 22 September 1980. Dalam buku Bara Timur Tengah (1991) karya M Riza Shihbudi, sengketa perbatasan dan instabilitas politik Iran mendorong Saddam Hussein untuk melancarkan invasi ke wilayah Khuzestan yang merupakan lumbung minyak Iran. Presiden Iran Ayatullah Khomeini membalas serangan Irak dengan mengerahkan ratusan ribu relawan dan tentara veteran. Dengan pasukan tersebut ia mampu menyudutkan pasukan Irak dan membalikkan keadaan Perang Teluk I. Dalam Perang Teluk I, Irak mendapatkan dukungan dari Arab Saudi, Kuwait, Eropa dan Amerika Serikat. Di sisi lain, Iran juga mendapatkan dukungan dari negara Timur Tengah seperti Suriah, Libia dan Yaman Selatan. Pada tahun 1982, perang antara Irak dan Iran mengalami kebuntuan. Kedua belah pihak mampu saling menggagalkan serangan satu sama lain di wilayah perbatasan. Baca juga: Sejarah Runtuhnya Yugoslavia Pada perkembangannya, Ayatullah Khomeini berusaha untuk terus melanjutkan perang dan meruntuhkan rezim Saddam Hussein di Irak. Namun usahanya mengalami kegagalan yang disebabkan oleh kuatnya pertahanan dari pasukan Irak. Serangan-serangan pasukan infanteri Iran dengan mudah dihalau oleh kekuatan udara Irak yang superior. Dampak Perang Teluk IPerang Teluk I berakhir ketika Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang berisi tuntutan gencatan senjata antara Irak dan Iran. Pada 17 Juli 1988, Irak dan Iran menyetujui resolusi PBB dan secara resmi Perang Teluk I berakhir. Baca juga: Sejarah Kebijakan Apartheid di Afrika Selatan Dalam buku Sejarah Timur TengahJilid I (2012) karya Isawati, Perang Teluk I membawa dampak yang besar bagi aspek sosial, ekonomi dan politik masyarakat internasional, sebagai berikut:
Baca berikutnya
Lihat Foto KOMPAS.com - Pasca Perang Teluk I (1980-1988), kawasan Teluk Persia kembali bergejolak dengan pecahnya Perang Teluk II. Perdamaian negara-negara kawasan Teluk Persia hanyalah sebatas imaji dari masyarakat di kawasan tersebut. Perang Teluk II berlangsung pada tahun 1990-1991. Perang ini berawal dari upaya invasi dan aneksasi Irak atas Kuwait pada tanggal 2 Agustus 1990. Pada perkembangannya, Perang Teluk II menjadi konflik antara Irak dan Amerika Serikat untuk mewujudkan ambisi ekonomi dan politis di kawasan Timur Tengah Dalam buku Sejarah Timur Tengah Jilid 2 (2013) karya Isawati, Perang Teluk I memberi dampak yang luar biasa bagi kondisi ekonomi dan politik Irak. Pasca Perang Teluk I, Irak mengalami krisis ekonomi dan politik yang disebabkan oleh utang luar negeri. Baca juga: Peristiwa Perang Teluk I (1980-1988) Beberapa faktor yang menjadi latar belakang terjadinya Perang Teluk II, sebagai berikut:
Kronologi Perang Teluk IIIrak mulai melakukan invasi terhadap Kuwait pada 2 Agustus 1990 dengan mengerahkan 100.000 personel, 2.000 tank dan beberapa pesawat jet penyerbu. Irak hanya membutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menguasai seluruh wilayah Kuwait. Invasi Irak menyebabkan timbulnya korban jiwa dari masyarakast sipil serta kerusakan bangunan yang masif di Kuwait. Baca juga: Revolusi Beludru dan Runtuhnya Cekoslovakia Dalam buku Bara Timur Tengah (1991) karya M Riza Shihbudi, Perang Teluk II mengharuskan Keluarga Emir (Presiden) Kuwait dan sekitar 300.000 masyarakat Irak mengungsi ke Arab Saudi. Invasi Irak terhadap Kuwait mendapatkan kecaman dari dunia internasional. PBB, Amerika Serikat dan Uni Eropa melakukan beberapa tindakan seperti membekukan kekayaan Irak, embargo senjata internasional terhadap Irak, serta memutuskan hubungan ekonomi dengan Irak. |