Bagaimana hubungan kopi dengan sistem tanam paksa 1830 1870

Tanam paksa kopi adalah kebijakan pemerintah kolonial Belanda di Minangkabau sejak tahun 1847. Kebijakan tanam paksa kopi ini terdapat dalam surat keputusan Gubernur Sumatra’s Westkust Andreas Victor Michiels tertanggal 1 November 1847. Isi dari surat keputusan tersebut mengatakan setiap keluarga yang memiliki tanah dan iklim yang cocok untuk tanaman kopi, diwajibkan menanam kopi sebanyak 150 batang. Semua hasil panen kopi dijual ke gudang-gudang kopi yang telah disediakan di kota-kota penghasil kopi. Pada tahun-tahun pertama sistem tanam paksa kopi ini dijalankan, pemerintah hanya membeli kopi yang terbaik. Upah yang diterima penduduk dari kebijakan yang ditentukan pemerintah harganya jauh lebih murah dari harga penjualan kepada saudagar asing yang berada di Padang. Perbedaan harga yang ditetapkan oleh kebijakan pemerintah kolonial Belanda mencapai tiga kali lipat lebih rendah dari harga yang ditawarkan oleh saudagar asing.[1][2]

  1. ^ Asnan, Gusti (2003). Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam dan Minangkabau. hlm. 321. ISBN 979-97407-0-3. 
  2. ^ http://ksgeo.ppj.unp.ac.id/index.php/ksgeo/article/download/204/141/

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tanam_paksa_kopi&oldid=19273501"

Bagaimana hubungan kopi dengan sistem tanam paksa 1830 1870

Bagaimana hubungan kopi dengan sistem tanam paksa 1830 1870
Lihat Foto

National Museum van Wereldculturen (TM 60018862)

Perkebunan gutta percha Cipetir sudah ada sejak 1885, namun pabriknya baru dibangun dan mulai beroperasi pada tahun 1921. Foto ini diabadikan sekitar tahun 1925-1937. tujuan pemerintah kolonial belanda melaksanakan sistem tanam paksa adalah, jenis tanaman yang menjadi fokus sistem tanam paksa yaitu tanaman, sistem tanam paksa, apakah tanam paksa itu, mengapa pemerintahan hindia belanda melaksanakan tanam paksa, tanam paksa adalah

JAKARTA, KOMPAS.com - Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang dikeluarkan di era Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch (1830-1833).

Apakah tanam paksa itu dan mengapa Pemerintahan Hindia Belanda melaksanakan tanam paksa?

Sistem tanam paksa sendiri yakni setiap petani desa wajib menyisihkan 20 persen tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor yang ditentukan pemerintah kolonial.

Jenis tanaman yang menjadi fokus sistem tanam paksa yaitu tanaman seperti kopi teh, tebu, dan nila.

Baca juga: PG Colomadu, Simbol Kekayaan Raja Jawa-Pengusaha Pribumi era Kolonial

Tujuan pemerintah Kolonial Belanda melaksanakan sistem tanam paksa adalah untuk memperbaiki kas negara yang banyak terkuras membiayai Perang Jawa serta melunasi utang negara.

Mengutip Harian Kompas, ide tanam paksa sempat ditentang beberapa kalangan pejabat Hindia Belanda, termasuk Dewan Pertimbangan Agung Hindia Belanda, tetapi disetujui Raja Belanda Willem I.

Pada dasarnya, tujuan tanam paksa adalah mengembalikan kondisi keuangan Belanda selepas krisis keuangan usai Perang Diponegoro. Selain itu, juga bertujuan untuk memberikan keuntungan yang besar bagi pemerintah kolonial.

Sistem tanam paksa berjalan kurun 1830-1870, sebelum kemudian dicabut karena dinilai sangat menyengsarakan rakyat Hindia Belanda. Rakyat diperlakukan sebagai hamba, dieksploitasi tenaga dan tanahnya untuk kekayaan Kerajaan Belanda.

Baca juga: Mengenal Gobog, Uang yang Berlaku di Era Majapahit

Sistem tanam paksa

Sistem tanam paksa yang berlaku adalah penduduk wajib menyediakan tanahnya maksimal seperlima dari tanah miliknya untuk ditanami dengan tanaman komoditas ekspor atau laku di pasaran Eropa.

Selain menyediakan tanah, petani juga harus menanam dan merawat tanaman tersebut dengan batasan tak boleh melebihi waktu yang dibutuhkan untuk menanam padi.

Jakarta -

Cultuurstelsel itu apa, sih? Cultuurstelsel adalah kebijakan sistem tanam paksa yang terjadi pada masa pemerintah kolonial Hindia Belanda di bawah Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch (1830-1833).

Secara garis besar, cultuurstelsel dilakukan dengan cara memaksa para petani untuk memberikan tanah mereka dan menanam tanaman ekspor yang laku di pasar internasional.

Sistem tanam paksa ini membawa keuntungan besar di negara Belanda. Sebaliknya bagi petani di Jawa, sistem ini membuat masyarakat menderita. Waktu dan energi masyarakat terkuras untuk mengurus tanah milik pemerintah kolonial.

Sebelum diberlakukan kebijakan cultuurstelsel, pemerintah kolonial di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles telah menetapkan kebijakan landrente atau sistem sewa tanah. Kebijakan ini ditempuh saat Inggris menguasai Hindia Belanda pada 1811-1816.

Namun, kebijakan ini dianggap gagal memenuhi kebutuhan keuangan pemerintah kolonial saat Hindia Belanda kembali ke Belanda. Ditambah lagi, pada 1825-1830 terjadi perang Diponegoro yang menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mengalami defisit keuangan karena pengeluaran tidak sebanding dengan pemasukan.

Selain itu, berdasarkan penelitian bertajuk 'Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa di Jawa pada Tahun 1830-1870" yang dilakukan Agnes Dian Anggraini dari Fakultas Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, hutang Belanda semakin bertambah akibat perang-perang Napoleon dan kegagalan Belanda merebut kembali Belgia.

Maka dari itu, untuk mengatasi krisis keuangan pihak Belanda, Johannes Van den Bosch mengajukan gagasan cultuurstelsel kepada Raja Wilem I dan mendapat persetujuan. Dengan demikian, cultuurstelsel dilakukan dengan tujuan utama mengatasi krisis keuangan dan mengisi kekosongan kas negara pihak Belanda.

Kebijakan Cultuurstelsel

Johannes Van den Bosch membuat kebijakan untuk meminta para petani menanam tanaman ekspor, seperti tebu, tembakau, kopi, dan nila di seperlima bagian dari tanah milik mereka.

Jika petani tidak memiliki tanah, mereka harus bekerja tanpa upah di perkebunan negara selama 66 hari dalam setahun.

Berikut ini adalah beberapa ketentuan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa yang dimuat dalam Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No.22.

1. Penduduk menyediakan Sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan cultuurstelsel atau sistem tanam paksa

2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan cultuurstelsel tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa

3. Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman cultuurstelsel tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi

4. Tanah yang disediakan untuk tanaman cultuurstelsel dibebaskan dari pembayaran pajak tanah

5. Hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan cultuurstelsel wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat

6. Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan petani, menjadi tanggungan pemerintah

7. Penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan cultuurstelsel berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedangkan pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum

8. Penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun

Ciri Utama Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa

Kebijakan eksploitasi dari pemerintah kolonial Hindia Belanda ini memiliki ciri yakni kewajiban rakyat Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yakni hasil-hasil pertanian dan bukan dalam bentuk uang.

Pemerintah kolonial mengharapkan dengan pungutan pajak dalam bentuk natura ini tanaman dagang dapat dikirim ke negeri Belanda untuk dijual pada pembeli dari Eropa, dengan keuntungan yang besar.

Penyimpangan Cultuurstelsel

Berdasarkan kebijakan di atas, kebijakan yang dibuat terlihat tidak memberatkan rakyat kan detikers? Namun, dalam praktik cultuurstelsel terjadi penyimpangan dari kebijakan-kebijakan tersebut. Ini dia beberapa penyimpangannya.

1. Pelaksanaan sistem tanam paksa memakai seluruh bagian tanah petani

2. Petani tetap dikenakan pajak atas tanah yang digunakan untuk menanam tanaman ekspor

3. Pengembalian kelebihan hasil sangat sedikit, tidak sebanding dengan kelebihan yang seharusnya

4. Tenaga sukarela ternyata dilaksanakan secara paksa dan melebihi waktu yang sudah ditetapkan dan tak jarang mereka bekerja jauh dari tempat tinggalnya sehingga tidak sempat menanam padi untuk kebutuhan

Dengan adanya penyimpangan dalam pelaksanaannya, cultuurstelsel atau sistem tanam paksa ini menimbulkan berbagai dampak kerugian bagi masyarakat Hindia Belanda yang kini dikenal dengan nama Indonesia.

Mereka harus menanggung kebutuhan hidup pemerintah Belanda. Masyarakat tidak hanya mengorbankan harta tapi juga tenaga. Masa itu dinilai sebagai salah satu periode terkelam di sejarah Indonesia, itu dia penjelasan mengenai cultuurstelsel.

Simak Video "Jalan-jalan Keliling di Kota Lama Semarang Saat Malam Gelap"



(pal/pal)