Bagaimana mengatasi tantangan pengembangan Energi baru dan terbarukan yang sudah dilakukan

Bagaimana mengatasi tantangan pengembangan Energi baru dan terbarukan yang sudah dilakukan

Bagaimana mengatasi tantangan pengembangan Energi baru dan terbarukan yang sudah dilakukan
Lihat Foto

ANTARA FOTO/IDHAD ZAKARIA

Sejumlah petugas Pertamina melakukan pemeriksaan pengerjaan proyek Pambangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), di Rumah Sakit Pertamina Cilacap, Jawa Tengah, Senin (17/7/2017). Pembangkit ini masuk kategori Energi baru Terbarukan.

SUDAH siapkahIndonesia menjadikan energi terbarukan sebagai salah satu sumber energi utamanya? Target bauran energi terbarukan 23 persen di tahun 2025 mungkin menjadi suatu tantangan besar bagi Indonesia.

Bukan hanya itu, target ini justru akan terus meningkat sampai 31 persen pada 2025. Namun, sampai tahun 2016, Indonesia baru bisa mencapai 6,51 persen produksi energi terbarukan.     

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan, hingga 2017, ada 70 proyek pembangkit listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang telah menjalin kesepakatan kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA).

Belum pernah terjadi hal seperti ini pada tahun sebelumnya. Namun, apakah upaya ini cukup untuk mencapai target porsi EBT paling sedikit 23 persen sampai tahun 2025?

Proyek-proyek yang sudah ada tentu saja masih jauh dari target yang diharapkan. Apalagi kalau melihat kondisi petumbuhan gross domestic product (GDP) rata-rata Indonesia yang diprediksikan 5,6 persen dari 2015-2050 dan pertumbuhan penduduk 0,8 persen setiap tahun.

Kebutuhan energi tentu saja akan meningkat dan diprediksikan permintaan energi final nasional akan mencapai 238,8 juta MTOE sampai tahun 2025 atau 1,8 kali lipat dari konsumsi energi final tahun 2015.

Walaupun kondisi geografis Indonesia memiliki potensi pengembangan energi terbarukan, transisi ke energi tersebut masih merupakan suatu tantangan besar.

Masih banyak pihak yang masih pesimistis dan belum paham betul akan teknologi energi terbarukan ini.

Padahal, menurut data dari Badan Energi Terbarukan Internasional, Indonesia berpotensi untuk menghasilkan 716 GW energi dari solar photovoltaic (solar PV), hydropower, bioenergi, geoteermal, tenaga gelombang laut, dan angin.

Namun, Indonesia masih harus menghadapi tantangan untuk pengembangan energi terbarukan ini, mulai dari keterbatasan lahan terbuka untuk pemanfaatan energi dari solar PV ataupun biaya investasi yang tinggi untuk pemanfaatan teknologi baru dan terbarukan.

Jakarta, Ruangenergi.com – Pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih sering menjumpai berbagai tantangan baik dari sisi teknis, maupun dari segi regulasi, ekonomi, sosial dan lingkungan.

Padahal, listrik diproyeksikan menjadi sumber energi dominan pada sistem energi masa depan karena adanya kendaraan listrik dan elektrifikasi sektor industri. Untuk itu, diperlukan adanya kepastian agar sumber energi dalam elektrifikasi sektor tersebut berasal dari energi yang ramah lingkungan.

Peneliti Senior Institute for Essential Services Reform (IESR), Handriyanti Diah Puspitarini dalam Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021 hari ketiga, mengatakan dari sisi regulasi, Indonesia belum memiliki peraturan komprehensif yang mendukung pembangunan energi terbarukan secara penuh.

“Peraturan belum secara komprehensif mengatur tarif, insentif, subsidi, dan pengurangan risiko yang berhubungan dengan segala aktivitas pengembangan energi baru terbarukan. Beberapa peraturan terkait, seperti tarif, sedang disiapkan tapi belum diluncurkan,” jelasnya.

Selain itu, dari sisi investasi, ia menambahkan tantangan lainnya, yaitu kurangnya ketersediaan pendanaan dari institusi keuangan lokal dan terbatasnya proyek energi terbarukan yang bankable atau memenuhi persyaratan bank untuk mendapatkan kredit usaha.

Menurut Yanti sapaan akrabnya, untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan dukungan regulasi yang jelas terlebih dahulu. Selain itu, masyarakat juga perlu ditingkatkan kesadarannya untuk mendukung potensi energi terbarukan.

Sementara, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengungkapkan bahwa dalam kajian yang dilakukan Kementerian ESDM, solusi terkait teknis bisa ditemukan selama teknologi energi baru Indonesia ekonomis.

“Karena kita punya teknologi dan sumber daya untuk menyerap emisi, kita dapat memaksimalkan apa yang kita miliki untuk menekan emisi,” kata Dadan.

Selanjutnya, berkaitan dengan pendanaan proyek, lanjut Dadan, saat ini justru banyak investor sudah mengantri untuk berinvestasi di energi terbarukan. Agar pembiayaan berjalan efektif, menurut Dadan saat ini pemerintah masih perlu membuat prioritas tentang jenis energi terbarukan yang akan dikembangkan.

“Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) (hijau-red) yang sudah ditandatangani tersebut, kita akan memberikan fokus lebih luas terhadap PLTS. Sementara untuk proyek yang sudah ada seperti proyek panas bumi akan terus diekspansi, demikian juga untuk PLTA,” paparnya.

Senada dengan hal tersebut, CEO PT Pertamina Power Indonesia (PPI), Dannif Danusaputro, menambahkan bahwa saat ini banyak pihak yang ingin berinvestasi dalam proyek EBT di Indonesia.

Sebab, katanya, dukungan pendanaan dari investor makin terbatas untuk berinvestasi di proyek energi fosil dengan semakin menguatkan komitmen iklim banyak negara di dunia.

“Masalahnya mereka mencari proyek yang sizenya cukup besar, dan kita belum terlalu banyak proyek dengan ukuran besar, katakanlah di atas 50 MW. Proyek yang di atas itu yang perlu dikembangkan agar bankable,” ujar Dannif.

Sementara, Kepala Sosial Ekonomi dan Kebijakan, IRENA, Ulrike Lehr, menyoroti rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan lebih tinggi di tahun 2050 jika mendorong pertumbuhan ekonomi yang rendah karbon.

Permasalahan sosial yang mungkin muncul terkait hilangnya pekerjaan di industri tambang fosil dan bahan bakar fosil dapat dikompensasi dengan mudah dengan terbukanya lapangan pekerjaan di industri lainnya yang akan tumbuh lebih cepat.

“Tentu membutuhkan seperangkat kebijakan untuk mendukung pengembangan energi terbarukan, mengintegrasikan regulasi dalam sistem jaringan, perubahan yang struktural, dan kebijakan transisi energi yang berkeadilan, serta menjaring dukungan dan penerimaan penuh dari masyarakat luas terhadap energi terbarukan,” terang Ulrike.


JAKARTA, INDONESIA, 14 SEPTEMBER 2017 – Pada konferensi Indonesia EBTKE ConEx 2017 yang keenam, yaitu konferensi energi bersih dan terbarukan terbesar di Indonesia

Global Green Growth Institute (GGGI) mendukung Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE) dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) dalam mengeksplorasi potensi untuk meningkatkan investasi bagi Energi Baru Terbarukan (EBT).

Dalam acara tersebut, sesi khusus yang mengusung tema “Mendorong Pengembangan Energi Terbarukan yang Cepat dan Terjangkau” telah diselenggarakan hari ini, 14 September 2017 di Balai Kartini, Jakarta. Sesi ini bertujuan untuk berbagi pengalaman berbagai negara dalam mendorong pengembangan EBT, yang menampilkan seorang ahli dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) serta lembaga ahli dan wakil pemerintah dari Thailand, Tiongkok, dan India. Dalam sesi ini, para ahli membahas metodologi praktis untuk mendorong pengembangan EBT yang cepat di Indonesia, khususnya Solar PV.

Sesuai Perjanjian Paris, Indonesia telah menetapkan target penurunan emisi yang ambisius hingga 29% pada 2030 secara mandiri, dan hingga 41% dengan dukungan internasional, sebagaimana dijelaskan dalam dokumen Kontribusi Indonesia yang Ditentukan Secara Nasional atau Indonesia’s Nationally Determined Contributions (INDC). Proporsi target pengurangan emisi dari sektor energi adalah 11%, yakni proporsi tertinggi kedua setelah target dari sektor kehutanan sebesar 17,2%. Di sektor energi, Indonesia telah menetapkan target produksi energi sebesar 23% yang berasal dari EBT pada tahun 2025.

“Untuk mencapai target 23% produksi energi dari EBT—atau sekitar 45 GW—Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Saat ini, listrik yang dihasilkan dari EBT adalah 8 GW. Dan kita hanya punya delapan tahun lagi untuk mengejar sisanya. Tapi kita optimis bahwa semua pemangku kepentingan dapat bersinergi dan berkontribusi terhadap program nasional ini, agar pembangunan EBT dapat dipercepat dan diperbesar skalanya,” kata Ir. Maritje Hutapea, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM dalam sambutannya.

Menariknya, biaya EBT menurun secara signifikan di seluruh dunia, terutama pada sektor Solar PV yang mencapai titik terendah sepanjang sejarah, tanpa terlihat kemungkinan peningkatan biaya dalam waktu dekat. Menurunnya biaya teknologi, peningkatan keahlian, dan metodologi pengadaan yang lebih baik menjadi kunci utama dalam menurunkan biaya proyek dan membuat EBT lebih terjangkau.

Beda negara, berbeda pula metodologi pengadaan yang diterapkan untuk pengembangan EBT. Seperti feed-in tariffs yang menarik di Tiongkok dan Thailand, penawaran lelang terbalik (reverse auction bidding) di India, seta subsidi lahan dan insentif fiskal di UAE, yang semuanya memberikan daya tarik yang besar bagi investor untuk memasuki pasar nasional.

“Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mengurangi biaya dan menarik investor untuk energi terbarukan. Oleh karena itu, GGGI mendukung Kementerian ESDM melalui pertukaran keahlian dan pengalaman internasional yang dapat diterapkan dalam konteks Indonesia,” kata Country Representative GGGI Indonesia, Marcel Silvius.

Acara ini menyoroti beragam tantangan dan peluang, serta membuka wawasan melalui presentasi dan diskusi para ahli. Nur Syamsu, Manajer Senior Pengadaan dan Pengendalian dari Divisi Energi Terbarukan PLN turut mengutarakan potensi-potensi EBT di Indonesia. Menurut Bapak Nur Syamsu, PLN berfokus pada tenaga air dan panas bumi dalam rencana pengembangan EBT. “Menyadari potensi kapasitas EBT yang tinggi, PLN berencana untuk menghasilkan 21,5 GW listrik dari sumber-sumber terbarukan pada 2026,” ujarnya.

Wang Jixue, ahli asal Tiongkok berbagi kebijakan dan pendekatan negaranya dalam sektor energi terbarukan. Beliau adalah Direktur China Renewable Energy Engineering Institute (CREEI), sebuah institusi yang berdedikasi untuk pengelolaan teknologi tenaga air, tenaga angin, dan tenaga surya di Tiongkok. Dr. Ashvini Kumar selaku Managing Director Solar Energy Corporation of India (SECI) dan pakar energi surya yang memiliki pengalaman lebih dari tiga dekade, turut berbagi pengalaman mengenai target dan pola pengadaan energi terbarukan di India. Sesi ini juga menampilkan Tanongsak Wongla, Direktur Kelompok Pengembangan Strategi Energi dari Kantor Kebijakan dan Perencanaan Energi (EPPO), Kementerian Energi Thailand, yang membagi keahliannya dari sudut pandang pembuatan kebijakan di Thailand.

EBTKE ConEx 2017 Indonesia yang keenam didukung oleh Ditjen EBTKE dan METI, dan berlangsung di Balai Kartini pada 13-15 September 2017. Acara ini menampilkan berbagai topik, isu, produk dan peluang bisnis dalam konservasi energi dan energi terbarukan di Indonesia. Tahun ini EBTKE ConEx memfokuskan pada pembahasan Energi Terbarukan sebagai solusi untuk ketahanan energi dan respon atas Perjanjian Paris.