Bagaimana pemerintah menanggulangi dampak penurunan pajak tersebut

BADUNG, investor.id – Direktur Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Robert Pakpahan berharap, rencana penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan bisa dilakukan secara bertahap. Pihaknya hingga masih terus melakukan kajian dan diskusi secara intensif terkait dengan rencana itu, di antaranya masalah besaran penurunan tarifnya.

Kendati demikian, usulan ketentuan baru itu dipastikan bakal dirilis dalam waktu dekat. "Kalau diturunkan 'kan sudah pasti. Sedang dikomunikasikan. Tim antarpemerintahan juga sudah terbentuk. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak terlalu lama, sudah bisa. Tapi, yang pasti secara intensif terus dikerjakan," kata dia di Badung, Bali, baru-baru ini.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan, pembahasan usulan ketentuan penurunan tarif PPh badan sudah masuk tahap finalisasi. Koordinasi antarkementerian terus dilakukan dan tinggal menunggu pembahasan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

“Sudah siap semuanya, tinggal diputuskan persentasenya. Apakah ini akan langsung diturunkan ke 20% atau dilakukan secara bertahap, misalnya 22% terlebih dahulu, baru ke 20%,” papar Hestu.

Untuk memangkas tarif PPh badan, kata dia, diperlukan revisi produk Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) terlebih dahulu yang pembahasan revisinya juga tengah dilaksanakan di DPR, namun hingga saat ini masih tersendat.

Menurut Hestu, meskipun diajukan dalam waktu dekat,  kemungkinan pembahasan usulan itu baru bisa dilakukan setelah pelantikan anggota DPR periode 2019-2024 pada Oktober mendatang. “Peluang terbesar, jika nanti dimajukan sekarang, maka pembahasan setelah pelantikan (DPR),” tutur dia.

Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, wacana penurunan tarif pajak, khususnya PPh badan, sudah sering disuarakan. Pemerintah dalam konteks reformasi pajak pascapelaksanaan program pengampuan pajak (tax amnesty) juga pernah mewacanakan penurunan tarif PPh badan ini.

Menurut Yustinus, secara umum tarif PPh badan Indonesia sebenarnya bukan yang tertinggi di Asean. Tarif PPh badan Indonesia saat ini 25%, sedangkan tarif PPh orang pribadi tertinggi 30% (tarif progresif 5%-30%). Sementara tarif PPh badan Filipina sebesar 30%; Myanmar 25%; Laos 24%; Malaysia 24%; Thailand, Vietnam, dan Kamboja sebesar 20%; serta Singapura 17%.

"Untuk PPh orang pribadi, tarif tertinggi kita adalah 30%. Kita bandingkan dengan negara lain, India 30%; Vietnam, Thailand, Filipina, dan AS 37%; Korea Selatan 42%; Tiongkok, Afrika Selatan, dan Inggris 45%; Belanda 52%; Denmark 55,8%; Jepang 56%; dan Swedia 61,85%,” papar Yustinus.

Ia mengatakan, penurunan tarif PPh badan sangat dimungkinkan seiring dengan perluasan basis pajak pasca-tax amnesty, berlakunya pelaksanaan automatic exchange of information (AeoI), dan peningkatan pengawasan wajib pajak.

Hati-hati

Namun demikian, kata dia, penurunan tetap harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhitungkan dampak penurunan penerimaan dalam jangka pendek. Pasalnya, jika secara umum, tarif pajak yang kompetitif dapat menjadi perangsang bagi investor untuk menginvestasikan dananya di Indonesia, meski belum terdapat bukti empirik yang kuat bahwa penurunan tarif PPh berkorelasi positif dengan kenaikan tax ratio.

“Indonesia sendiri pernah menurunkan tarif pajak pada 2000 dan 2008, dan tidak diikuti peningkatan rasio pajak secara signifikan," ungkap dia.

Yustinus mengatakan penurunan tarif harus dilakukan dengan revisi UU Pajak Penghasilan yang akan dibahas pemerintah dan DPR. Ini yang perlu dipahami semua pihak.

Saat ini, pemerintah dan DPR sedang membahas RUU KUP sebagai hukum formal dan harus diselesaikan terlebih dahulu. Jika ingin cepat diubah, sebaiknya segera diselesaikan kajian perubahan UU PPh, dilakukan dengar pendapat untuk menyusun draf RUU PPh, dilakukan uji publik, dan diusulkan ke DPR.

“Tentu tetap mempertimbangkan pentingnya UU Perpajakan lain untuk diselesaikan. Secara politik, Presiden Jokowi memiliki kemewahan untuk melakukan signaling, melalui penyampaian kisi-kisi dan poin perubahan kepada publik,” tutur dia.

Editor : Nasori ()

Dalam skenario pemerintah, sesuai pemberitaan Bisnis Indonesia dan Kontan, penurunan secara bertahap membuat pertumbuhan ekonomi turun 0,09% pada 2021, tapi berangsur naik pada 2022 hingga 2025 yaitu 0,02%, 0,30%, 0,49%, 0,63%. Pada 2030, ada dampak peningkatan ekonomi 1,02%.

Adapun potensi penerimaan dari pos tersebut turun sekitar Rp52,83 triliun pada 2021 dan Rp50,13 triliun pada 2022. Selanjutnya, pada 2023-2025, potensi penerimaan pajak turun Rp90,46 triliun, Rp99,11 triliun, dan Rp108,15 triliun. Pada 2030, potensi penerimaan turun hingga Rp150,20 triliun.

Sementara itu, jika penurunan tarif dilakukan secara langsung, pertumbuhan dampak ke pertumbuhan ekonomi akan negatif 0,15% pada 2021 dan 0,00% pada 2022. Kemudian, dampak baru positif pada 2023, 2024, 2025, dan 2030, yaitu sebesar 0,41%, 0,60%, 0,76%, dan 1,20%.

Dengan skenario penurunan tarif secara langsung dari 25% menjadi 20%, potensi penerimaan yang hilang pada 2021 dan 2022 diestimasi senilai Rp87,45 triliun dan Rp87,21 triliun. Angkanya penurunan terus membesar pada 2023-2025, yaitu Rp80,45 triliun, Rp98,50 triliun, Rp98,62 triliun. Pada 2030, potensi hilangnya penerimaan senilai Rp141,45 triliun.

Selain itu, sejumlah media nasional juga menyoroti pengenaan pajak terhadap transaksi ekonomi digital. Dalam draf rancangan omnibus law yang beredar dinyatakan pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau PPMSE luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) dan dikenakan PPh.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

  • Risiko Tergerusnya Penerimaan

Dirjen Pajak Suryo Utomo meminta pebisnis untuk memanfaatkan insentif PPh yang rencananya masuk dalam omnibus law perpajakan. Salah satu insentif itu adalah penurunan tarif PPh badan. Meskipun demikian, dia mengaku memang ada risiko potential loss penerimaan pajak sesuai skenario.

“Harapan kami, potential loss ini bisa memberikan kontribusi lagi ke ekonomi,” katanya.

Selain penurunan tarif PPh badan, omnibus law perpajakan juga mengakomodasi penurunan tarif badan untuk perusahaan go public sebesar 3% lebih rendah dari tarif normal. Ada pula penghapusan PPh atas dividen baik dari wajib pajak badan dalam negeri maupun luar negeri yang diinvestasikan ke Indonesia. (Kontan)

Managing Partner DDTC Darussalam meminta pemerintah juga ikut memperhatikan aspek lain di luar insentif pajak untuk menarik investasi. Dengan demikian, insentif pajak yang diberikan harus tetap didukung dari sisi infrastruktur, ketenagakerjaan, dan birokrasi.

“Tanggung jawab pembenahan ekonomin jangan semata-mata dibebankan di pajak,” katanya. (Kontan)

  • Ketentuan Kehadiran Ekonomi Signifikan

Merujuk pada rancangan omnibus law perpajakan, ketentuan kehadiran ekonomi signifikan berdasarkan omzet konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu, penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu, dan/atau jumlah pengguna aktif media digital

Apabila PPh tersebut akibat adanya perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) maka subjek pajak luar negeri (SPLN) yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan tersebut bakal dikenai pajak transaksi elektronik.

Ketentuan lebih lanjut mengenai kehadiran ekonomi signifikan, tata cara pembayaran dan pelaporan PPh dan pajak transaksi elektronik, serta tata cara penunjukan perwakilan yang berkedudukan di Indonesia diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri. (Bisnis Indonesia)

  • Ekstensifikasi Dilebur ke Waskon

Pendekatan kewilayahan yang akan dilakukan DJP akan dibarengi dengan perubahan payung hukum organisasi. Otoritas tengah menyusun perangkat hukum agar pendekatan kewilayahan dapat diimplementasikan tahun ini. Perubahan tersebut akan dilakukan secara komprehensif.

“Infrastrukturnya sedang dikerjakan, termasuk peraturan, aplikasi, dan proses bisnisnya,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama.

Khusus untuk level KPP Pratama, perubahan yang paling terasa adalah peleburan Seksi Ekstensifikasi dan Penyuluhan ke Seksi Pengawasan dan Konsultasi (Waskon). Sebelumnya, dalam PMK No.210/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Ditjen Pajak, fungsi ekstensifikasi terpisah dari Waskon. (DDTCNews)

Setelah Single Login diluncurkan, sejumlah wajib pajak mengaku kesulitan saat hendak mengakses sistem DJP Online. DJP memastikan pada pekan ini sistem sudah berjalan normal. Wajib pajak, disebutnya, sudah dapat login tanpa kendala dalam sistem DJP Online.

“Kalau sekarang sudah lancar. Insyaallah sudah oke,” tegas Direktur Teknologi Informasi dan Komunikasi DJP Iwan Djuniardi. (DDTCNews) (kaw)



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun depan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan akan turun menjadi 20%, dari yang berlaku di tahun ini sebesar 22%. Penurunan tarif pajak korporasi ini menjadi salah satu pertimbangan pemerintah dalam menetapkan target penerimaan pajak tahun depan. Adapun penurunan tarif PPh Badan tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang Postur Anggaran. Pemerintah juga mengatur klausul penurunan PPh Badan pada UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja. Bahkan untuk Wajib Pajak (WP) Badan yang memperdagangkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) mendapatkan ekstra potongan tarif PPh Badan 3%, sehingga menjadi 17% berdasarkan ketentuan yang berlaku. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan penurunan tarif PPh Badan menjadi salah satu penyebab, penerimaan pajak di tahun 2022 belum bisa naik signifikan, atau lebih tinggi dibandingkan periode sebelum pandemi virus corona. Baca Juga: Apakah Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2021 Menandakan Resesi Sudah Berakhir? Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mematok, penerimaan pajak tahun 2022 sebesar Rp 1.262,9 triliun. Angka tersebut tumbuh 10,5% dibandingkan outlook penerimaan pajak di tahun ini sebesar Rp 1.142,5 triliun. Sementara itu, pada 2019 lalu saat virus corona belum berdampak pada perekonomian Indonesia, penerimaan pajak mencapai Rp 1.332,7 triliun. “Jadi meskipun pemulihannya cukup kuat kita diharapkan, namun pada rate PPh Badan yang akan turun 20% di tahun depan, ini yang menyebabkan penerimaan pajak tidak melonjak secara drastis,” kata Menkeu Sri Mulyani saat Konferensi Pers Nota Keuangan dan RAPBN 2022, Senin (16/8). Kendati terkendala oleh penurunan tarif PPh Badan, tahun depan pemerintah tetap akan menjalankan upaya ekstensifikasi dan intensifikasi agar mencapai target yang telah ditetapkan. Menkeu Sri Mulyani menyampaikan ada enam kebijakan pajak di tahun depan. Pertama perluasan basis pemajakan dengan peningkatan kepatuhan melalui kegiatan edukasi dan peningkatan pelayanan perpajakan. Kedua, inovasi penggalian potensi dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha. Ketiga, peluasan kanal pembayaran pajak. Keempat, penegakan hukum berkeadilan dan mendorong kepatuhan WP. Kelima, melanjutkan reformasi perpajakan antara lain dalam aspek Sumber Daya Manusia (SDM), proses bisnis, teknologi informasi, dan regulasi. Keenam, pemberian insentif fiskal secara menyeluruh terukur untuk kegiatan ekonomi strategi yang mempunyai multiplier yang kuat.

Selanjutnya: Tiga ekonom ini sepakat pertumbuhan ekonomi tahun depan bisa tembus di atas 5%

  Editor: Handoyo .

  • Pph Badan
  • Sri Mulyani
  • Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati

Bagaimana pemerintah menanggulangi dampak penurunan pajak tersebut