Bagaimana pendapat masyarakat tentang naiknya harga poko

x

Menjelang Ramadhan, Indonesia juga akan menghadapi kenaikan harga musiman mulai dari sembako, makanan olahan, hingga tarif angkutan.

Seolah belum usai, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 % pada April diperkirakan juga akan meningkatkan harga sejumlah barang.

Pemerintah memang memastikan bahan pangan dasar yang dijual di pasar tidak akan dikenakan PPN seperti beras, jagung, garam konsumsi, telur, hingga susu. Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya juga diberikan fasilitas pembebasan PPN.

Sementara itu, barang yang dekat dengan masyarakat dan dipastikan naik dan dikenakan PPN 11% di antaranya adalah baju atau pakaian, sabun, tas, sepatu, pulsa, rumah, motor dan barang lainnya yang dikenakan PPN.

Bumi Pertiwi diguncang pandemi Covid-19 pada 2020 silam. Tak hanya kesehatan, seluruh kehidupan masayarakat indonesia berubah.

Dalam upaya menghentikan penyebaran virus corona, ekonomi menjadi ‘tumbal’. Indonesia untuk kali pertama mengalami resesi sejak 1998 akibat aktivitas dan mobilitas masyarakat yang ‘dikunci’.

Saat ini keadaan sudah jauh lebih baik. Indonesia kian jauh dari ‘hantu’ resesi. Ekonomi Nusantara perlahan bangkit. Dana Moneter Dunia (IMF) ‘menerawang’ ekonomi Indonesia akan tumbuh 6% pada 2023, yang jika terwujud merupakan rekor tertinggi sejak 2012.

Akan tetapi, Covid-19 masih meninggalkan ‘bangkai’ meskipun sudah lebih terkendali. Gara-gara pandemi, harga komoditas dunia beterbangan. Kok bisa?

Saat pandemi melanda Indonesia dan seluruh dunia, aktivitas bisnis baik manufaktur dan bisnis terhenti sebagai upaya menekan laju penyebaran. Ini membuat kapasitas produksi turun sehingga pasokan barang di pasar jadi berkurang. Di sisi permintaan, daya beli juga turun karena masyarakat menerima dampak pengurangan upah hingga pemecatan.

Vaksin kemudian jadi game changer. Vaksin diyakini jadi penangkal Covid-19. Dunia yang tadinya ‘digembok’ perlahan dibuka. Mobilitas meningkat, ekonomi bertumbuh, dan masyarakat pun kembali mendapatkan kekuatan untuk konsumsi dengan cepat.

Selain itu, kemungkinan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) juga bisa memicu kenaikan inflasi yang tinggi. Pada 2013, misalnya, kombinasi kenaikan harga BBM plus faktor musiman bulan Ramadan membuat inflasi di bulan meroket lebih dari 3% (mtm) pada Juli dan nyaris 8% jika dibandingkan Juli 2012 (year-on-year/yoy).

Pada saat itu, pemerintah menaikkan harga BBM Premium RON 88 menjadi Rp 6.500/liter pada 22 Juni 2013, dari sebelumnya Rp 4.500/liter. Harga BBM diesel alias Solar juga naik Rp 1.000 menjadi Rp 5.500/liter.

Tahun ini, pemerintah sudah dua kali menaikkan harga BBM non-subsidi. PT Pertamina (Persero) pada 3 Maret 2022 menaikkan harga untuk tiga jenis produk BBM non subsidi, yakni Pertamax Turbo (RON 98), Dexlite (Cetane Number/CN 51), dan Pertamina DEX (CN 53). Hal yang sama dilakukan pada 12 Februari lalu.

Adapun kenaikan harga jual ketiga jenis BBM Pertamina per 3 Maret 2022 ini di kisaran Rp 500 - Rp 1.000 per liter

Untuk Pertamax (RON 92) masih belum mengalami kenaikan, tetapi tidak menutup kemungkinan akan terkerek juga. Sebab, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa batas atas BBM umum dalam hal ini RON 92 atau Pertamax mencapai Rp 14.526 per liter. Sementara saat ini harga Pertamax masih Rp 9.000/liter.

Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting mengakui bahwa harga keekonomian bensin Pertamax memang ada gap yang cukup besar.

"Memang ada gap besar. Kami masih me-review dan juga berkoordinasi dengan stakeholder," terang Irto kepada CNBC Indonesia, Senin (21/3/2022).

Sementara iu Pertalite (RON 90), dipastikan tidak mengalami kenaikan.

"Pemerintah tetap menjaga harga BBM Pertalite sebesar Rp 7.650 per liter, karena paling banyak dikonsumsi masyarakat," terang Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM, Agung Pribadi, Senin (21/3/2022).

Inflasi tertinggi terjadi selama bulan puasa 2013, di mana tingkat kenaikannya mencapai lebih dari 3% dibanding bulan sebelumnya. Sementara pada tahun-tahun lainnya, inflasi berada di kisaran lebih kecil dari 1%, dengan pengecualian pada 2020 di mana laju inflasi mengalami perlambatan akibat pandemi.

Kenaikan harga sembako salah satu yang berkontribusi besar terhadap inflasi di Indonesia, termasuk yang terjadi selama bulan puasa.  Sepanjang tahun lalu, inflasi di Indonesia tumbuh 1,87%, dengan makanan, minuman serta tembakau memiliki andil sebesar 0,79%, terbesar dibandingkan kelompok pengeluaran lainnya. Sementara pada 2020, sumbangsih kelompok tersebut bahkan lebih besar lagi, yakni 0,91%, saat inflasi hanya tumbuh 1,68%.

Selama hiruk pikuk bulan puasa, pemerintah tentu menerapkan berbagai cara demi mengendalikan harga kebutuhan pokok tidak mengalami kenaikan signifikan yang pada akhirnya menekan kelompok ekonomi lemah. Akan tetapi, tidak semuanya sesuai harapan karena beberapa kebutuhan pokok nyaris selalu meningkat tajam selama bulan puasa.

Mengutip data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang tersedia mulai 2018, setidaknya pemerintah mampu mengendalikan enam dari sepuluh komoditas yang disurvei.

Dalam empat tahun terakhir, secara nasional, rata-rata harga beras, bawang merah, bawah putih, cabai merah, cabai rawit, dan gula selama bulan puasa cenderung stabil atau turun dari harga rata-rata di bulan sebelumnya.

Penurunan tajam – kecuali bawang merah yang meningkat 18,9% – terjadi sepanjang 2020.

Memasuki 2022, optimisme terhadap prospek ekonomi yang cerah membahana. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) semakin terkendali sehingga harapan menuju endemi terbayang nyata. Hidup bakal normal lagi setelah dua tahun ‘dikunci’.

Namun ternyata pandemi masih mengancam. Kemunculan varian Omicron membuat kasus positif corona kembali meninggi. Bahkan menyentuh rekor tertinggi, termasuk di Indonesia.

Plus, sekarang bukan cuma virus corona yang menebar ancaman. Setelah menggertak beberapa saat, Rusia benar-benar melancarkan serangan ke Ukraina. Pengerahan pasukan Rusia ke Ukraina menjadi yang terbesar sejak Perang Dunia II.

Namanya perang, pasti ada korban. Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (OHCHR) mencatat, korban jiwa dalam konflik ini mencapai 925 orang per 20 Maret 2022. Dari jumlah tersebut, 75 di antaranya adalah anak-anak.

Dampak perang Rusia-Ukraina menyebar ke mana-mana. Ekonomi juga kena getahnya.

Amerika Serikat (AS) telah memberlakukan sanksi larangan membeli minyak dari Negeri Beruang Merah. Padahal Rusia adalah salah satu pemain utama industri minyak dunia.

International Energy Agency mencatat, Rusia adalah eksportir minyak mentah kedua terbesar di dunia, hanya kalah dari Arab Saudi. Namun untuk minyak secara keseluruhan (dengan produk-produk turunannya), ekspor Rusia adalah nomor satu dunia.

Itu dari sisi bank sentral. Buat pemerintah, apa pekerjaan rumah yang bisa dilakukan untuk meredam kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok?

Kalau kebijakan moneter adalah untuk membendung laju inflasi dari sisi permintaan (demand-pull), maka kebijakan fiskal bisa ‘bermain’ di sisi penawaran (cost-push). Caranya adalah memberikan insentif agar harga jual ke konsumen bisa lebih terjangkau. 

Ini bisa dilakukan dengan operasi pasar untuk barang-barang tertentu seperti minyak goreng, beras, gula, dan sebagainya. Atau pemerintah memberikan insentif untuk menjaga harga jual ke konsumen bisa tetap murah.

Contoh di Korea Selatan. Pemerintah Negeri Ginseng memutuskan untuk memperpanjang potongan pajak BBM hingga 20% sampai Juli tahun ini.

Kebijakan tersebut diberlakukan selama enam bulan November 2021-April 2022 tetapi kemudian diperpanjang tiga bulan ke depan pada periode Mei-Juli 2022. Dikutip dari The Korea Herald, potongan pajak hingga 20% akan membuat harga bensin lebih murah KRW 164 per liter atau sekitar Rp 1.936 per liter (asumsi KRW 1 sama dengan Rp 11,18 rupiah). 

Kemudian di Malaysia, pemerintah Negeri Harimau Malaya menyiapkan subsidi sebesar MYR 600 juta atau sekitar Rp 2,05 triliun tahun ini untuk program COSS (Program Skim Rasionalisasi Minyak Masak) yang digunakan untuk menyediakan minyak goreng bersubsidi sebanyak 60.000 ton sebulan.

Dengan subsidi tersebut, Malaysia membanderol minyak goreng subsidi dengan harga MYR 2,5 atau sekitar Rp 8.850 per liter (MYR 1 setara dengan Rp 3,420) meskipun harga minyak sawit mentah (CPO) sudah melambung.

Dari sisi investasi, Indonesia juga tak terlalu tergantung. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan nilai investasi langsung (foreign direct investment/FDI) Rusia di Indonesia adalah US$ 23,21 juta, sementara investasi dari Ukraina hanya US$ 1,6 juta.

Namun Indonesia tetap terkena pukulan yang timbul akibat perang tersebut, berupa kenaikan harga komoditas, baik energi, logam, maupun pertanian. Kenaikan harga komoditas logam masih terbilang positif karena mendongkrak penerimaan negara dari eksportir nikel, timah dkk.

Pukulan lumayan berimbang dirasakan dari kenaikan harga komoditas energi, mengingat Indonesia juga penghasil minyak, gas, dan batu bara sehingga kenaikan harga juga mendongkrak penerimaan negara meski secara bersamaan memperberat alokasi kompensasi BBM (dan kemungkinan tarif listrik).

Pukulan paling buruk terjadi dalam kasus komoditas pertanian. Kita semua sempat melihat ironi bagaimana Indonesia yang dikenal sebagai produsen utama sawit dunia menghadapi kelangkaan minyak goreng sawit. Setelah harga dilepas mengikuti mekanisme pasar, alias naik, komoditas pangan lain juga harganya merangkak naik seperti tempe (kedelai), minyak kelapa, gula, dll.

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dalam risetnya berjudul “Rantai Pasok Beras di Indonesia: Kasus Provinsi Jabar, Kalbar, dan Kalsel” menilai aksesibilitas merupakan syarat utama bagi terciptanya ketahanan pangan yang kokoh. Di sini, rantai pasokan menjadi kunci.

Sayangnya, indikator lemahnya sistem supply chain pangan di Indonesia masih bisa ditemui dari kelangkaan komoditas jenis pangan tertentu dan disparitas harga beberapa jenis komoditas antardaerah.

Terbaru, kita bisa melihatnya dalam kasus kelangkaan dan disparitas harga minyak goreng. Sekalipun kini tak lagi langka, tapi persoalan harga (keterjangkauan) ini menjadi problem terutama tatkala ekonomi masih tertatih sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik.

Hal ini menunjukkan bahwa problem pangan Indonesia, sekalipun untuk produk swasembada yang dihasilkan dari dalam negeri masih berkutat pada rantai pasokan. Ada misteri yang tak terpecahkan bahkan oleh Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi hingga berujung pada lontaran ‘mafia.’ 

Mantan Kepala BKPM ini mengaku bingung kenapa minyak goreng seketika membanjir ketika harganya “dinaikkan” alias diserahkan mengikuti mekanisme pasar.

Jika Menteri Perdagangan saja bingung, ke mana lagi kita berharap persoalan rantai pasokan untuk menjaga ketahanan pangan ini bakal teratasi? Namun kali ini pemerintah tentunya tak perlu memanggil pawang.

Di balik gegap-gempita persoalan minyak goreng, ada lembaga yang tak banyak disebut saat ini, yakni Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebagai lembaga pemerintah yang diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional.

Pembentukan lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada presiden ini merupakan tindak lanjut dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tugas dan fungsi utamanya adalah mengoordinasikan perumusan dan pelaksanaan kebijakan ketersediaan pangan, stabilisasi pasokan, serta harga bahan pangan.