Bagaimana peran tasawuf sebagai solusi problematika KEHIDUPAN modern

D. Tasawuf sebagai Alternatif Solusi

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui, bahwa faktor utama yang menjadi penyebab timbulnya berbagai macam problematika masyarakat modern adalah berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang terlepas dari nilai-nilai agama dan spiritual. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan oleh agama Islam dalam menyelesaikan berbagai problematika yang dihadapi manusia di zaman modern adalah mendasari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan melalui metode ilmiah rasionalisme dan empirisme dengan nilai-nilai agama dan spiritual, bukan dengan menghalang-halangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat dibutuhkan oleh umat manusia dan sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa faktor utama yang menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat modern adalah diabaikannya nilai-nilai agama dan spiritual. Oleh karena itu, solusinya adalah mengajak umat manusia  yang hidup di zaman modern untuk memperhatikan nilai-nilai agama dan spiritual, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa kini dan mendatang dijiwai oleh ruh agama.  Hal ini sesuai dengan tuntutan masyarakat modern yang harus diperhatikan dan sejalan dengan ramalan almarhum Sudjatmoko yang mengatakan bahwa abad mendatang ini adalah abad spiritualitas melalui agama-agama.[1]

Sungguh pun demikian perlu diperhatikan, bahwa ajaran agama yang sangat diperlukan oleh masyarakat modern adalah ajaran yang mampu memberikan kepuasaan spiritual dan ketenangan batin, bukan ajaran agama yang hanya menekankan formalisme, apalagi yang hanya mementingkan organisasi. Hal ini tercermin dari semboyan sebagian masyarakat Barat seperti diungkapkan oleh dua orang futurolog, John Naisbitt dan Praticia Aburdence, berkenaan dengan masalah kehidupan agama. Mereka berkata, “Spirituality, Yes; Organized Religion, No.[2]  Kedua futurolog itu mengemukakan, bahwa berdasarkan hasil-hasil pengumpulan pendapat menunjukkan adanya indikasi menaiknya spiritualisme di kalangan masyarakat Amerika lebih tinggi daripada masa-masa sebelumnya. Sebagian besar mereka percaya, bahwa “Tuhan adalah kekuatan spiritual yang positif dan aktif”. Akan tetapi gejala itu disertai dengan menurunnya peran agama-agama formal. Kalangan muda yang terpelajar di sekolah-sekolah tinggi adalah yang pertama-tama bersikap sangat kritis terhadap agama-agama formal. Mereka menilai bahwa gereja dan sinagog “sibuk dengan masalah-masalah keorganisasian, dengan mengesampingkan isu-isu teologis dan spiritual”. Maka, kata Naisbitt-Aburdendene, mereka, kaum muda itu bukannya manusia “beragama” (religious), melainkan “berkeruhanian” (spiritual).[3]

Berdasarkan pengalaman yang terjadi pada masyarakat modern Barat di atas, maka satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan masyarakat modern dari berbagai permasalahan yang mereka hadapi adalah ajaran tasawuf atau mistisisme dalam Islam. Sebab jika ajaran agama yang ditawarkan kepada masyarakat modern lebih mengedepankan ajaran-ajaran yang bersifat formal sehingga tidak mampu memberikan kepuasaan spiritual dan ketenangan batin, maka mereka akan menolak dan akan mencari spiritualisme yang tidak berlandaskan ajaran agama, bahkan menyimpang dari agama. Di sinilah letak signifikansi ajaran tasawuf bagi masyarakat modern.

E. Pengertian Tasawuf

Ditinjau dari segi etimologis, satu sumber menyatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shafa (صفا) yang berarti bersih dan suci, karena seorang sufi adalah seseorang yang hatinya tulus dan bersih di hadapan Allah SWT.[4] Teori lain menyatakan bahwa kata tersebut berasal dari Shaff (صف) yang berarti barisan, karena para sufi senantiasa memilih barisan terdepan untuk mengejar keutamaan dalam shalat berjamaah. Ada pula yang menyatakan bahwa kata tersebut berakar pada kata Shuffah (صفة) yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati para sahabat Nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Mereka disebut ahl al-shuffah, karena mereka berhati mulia, meskipun miskin. Ini merupakan salah satu sifat sufi yang tidak mementingkan dunia, tetapi lebih mementingkan hati yang mulia.[5] Teori lain menegaskan, bahwa tasawuf  diambil dari kata tashawwafa (تصوف) yang berarti memakai kain shuf  (wool kasar). Orang yang memakai kain shuf disebut shufi (jamaknya shufiah).[6]

Menurut Dr. Mir Valiuddin, teori-teori di atas sebagian mengandung kelemahan. Sebab, jika istilah Sufi berasal dari kata Shafa, maka bentuk kata yang benar adalah shafawi, bukan sufi. Jika berakar pada kata shaff, maka bentuk kata yang benar adalah shaffi bukan sufi. Begitu pula jika mengacu pada kata shuffah, maka bentuk kata yang benar adalah shuffi, bukan sufi. Oleh karena itu, ditinjau dari segi etimologis, kata sufi yang paling tepat berasal dari kata shuf, berarti wool kasar.[7] Dengan demikian, kata tasawuf dan sufi dihubungkan dengan kebiasaan mereka mengenakan pakaian wool kasar atau pakaian yang umum bagi fakir miskin di Timur Tengah pada masa itu. Mereka mengenakan wool kasar sebagai simbol atau tanda bahwa mereka adalah golongan yang lebih mengutamakan hidup sederhana dan lebih mementingkan kesucian rohani; berbeda dengan kebanyakan umat Islam waktu itu yang berlomba-lomba mengejar kesenangan hidup duniawi, berlomba dalam memakai pakaian yang indah-indah (sutera) dan mahal. Dengan demikian, pemakaian wool kasar merupakan reaksi terhadap kecenderungan masyarakat yang mengejar kekayaan dan perhiasan duniawi sehingga tidak memperhatikan halal dan haram. Hal ini sejalan dengan penjelasan H.A.R. Gibb sebagai berikut :

There is room here only for a brief summary of the beginings of the mystical movement in Islam which goes by the name of Sufism. The origin of the term Sufi is complex, but in general connected with the wearing of undyed garments of wool (suf). At first it was not a uniform but a mark of personal panitence, and some early ascetics condemned the use of it. Ibn Sirin (d. 729) criticized some ascetics for wearing suf  in imitation of Jesus (as he said): “I prefer to follow the example of the prophet who dressed in cotton”. It Apears that a particular group of ascetics of Kufa in the second century were called generally al-Sufiye. But by the fourth century the wearing of woolen garments had become the regular badge of the Sufis of Iraq and the name was commonly applied to all mystics.[8] 

Berdasarkan tinjauan etimologis yang memberikan gambaran tentang asal usul kata tasawuf di atas, maka pengertian tasawuf setelah menjadi suatu cabang ilmu agama, diformulasikan sebagai “falsalaf hidup dan cara-cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya untuk merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang realitas dan kebahagiaan rohaniah”[9] Sementara itu al-Junaid –sebagaimana dikutip oleh Prof. DR. HAMKA—memberikan definisi, bahwa tasawuf adalah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.[10] Definisi ini sejalan dengan definisi tasawuf yang sangat populer, yaitu :

التصوف هو التخلي عن الصفات الرذيلة والتحلي بالصفات المحمودة والتجلي إلى رب البرية

“Inti ajaran tasawuf adalah; mengosongkan diri dari sifat-sifat yang hina (tercela), berhias diri dengan sifat-sifat yang terpuji, dan bertajalli pada Tuhannya umat manusia”.

Ditinjau dari aspek sejarah, istilah tasawuf atau sufi baru muncul di dunia Islam pada akhir abad kedua Hijriyah, ketika umat Islam dilanda oleh banjir kekayaan duniawi akibat menang perang (pembukaan daerah-daerah baru di luar Jazirah Arabia). Kekayaan yang melimpah ruah ini menimbulkan wabah penyakit Byzantiniah (mementingkan kemewahan dunia), dan menghambarkan pengamalan agama mereka. Sebagai reaksi terhadap kehidupan yang lebih mementingkan kemewahan dunia tersebut, maka timbullah suatu gerakan yang lebih mengutamakan kehidupan rohani dan memalingkan diri dari kesenangan dunia. Sungguh pun demikian, sebagai fenomena keberagamaan yang memiliki perhatian penuh terhadap esoterisme, sebenarnya prilaku tasawuf dalam arti praktis telah mulai nampak sejak zaman Rasulullah SAW menyebarkan agama Islam. Sebagai respon terhadap dakwah yang beliau sampaikan, sebagian besar umat Islam pada masa itu menampakkan kesadaran yang tinggi untuk berprilaku asketis atau zuhud. Kehadiran mereka memenuhi panggilan Allah SWT, dilakukan semata-mata melaksanakan perintah-Nya sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW,  tanpa motivasi yang bermacam-macam. Dengan demikian, mereka sangat mementingkan kebersihan qalbu dan kebeningan jiwa sehingga jauh dari berbagai motivasi yang tidak benar dalam beribadah.

F. Hubungan Tasawuf dengan Fiqh (Hakikat dengan Syari’at)

Tasawuf adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dari totalitas ajaran Islam yang meliputi Iman, Islam dan Ihsan. Ia merupakan ruh bagi agama Islam karena ia mengajarkan kepada manusia agar berusaha memperoleh pengalaman-pengalaman batin, rasa agama dan jiwa agama dengan membersihkan hati dari sifat-sifat yang tercela dan dengan mujahadah, bersungguh-sungguh dalam beribadah, bukan hanya berusaha memenuhi segi-segi formalitas dalam syari’at. Sebagaimana dikatakan oleh Syeh Zarruq yang dikutip oleh Drs. Sahilun A. Nasir sebagai berikut :

نسبة التصوف من الدين نسبة الروح من الجسد لأنه مقام الإحسان الذي فسره صلى الله عليه وسلم لجبريل : أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك.

“Hubungan tasawuf dengan ilmu-ilmu agama lainnya, adalah laksana hubungan ruh dengan jasad. Karena tasawuf merupakan tempat keutamaan (ihsan), yang oleh Nabi Muhammad SAW dijelaskan kepada malaikat Jibril ‘Hendaknya kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Bila tidak demikian, maka ketauhilah bahwa Allah itu melihat kamu”.[11]

Dengan demikian, maka setiap orang Islam yang melaksanakan ibadah kepada Allah SWT harus memperhatikan ajaran tasawuf (haqiqat), di samping ajaran fiqh (syari’at). Jika dalam beribadah umat Islam hanya berusaha memenuhi segi-segi formalitas dalam ajaran fiqh (syari’at) tanpa memperhatikan tasawuf, maka ia tidak akan diterima oleh Allah SWT. Sebaliknya jika hanya berpegang pada tasawuftanpa syari’at, maka ia tidak akan berhasil meraih tujuan ibadah. Sebagaimana dikatakan oleh Syeh Abu Qasim Abdul karim al-Qusyairi :       

كل شريعة غير مؤيدة بالحقيقة فغير مقبولة. وكل حقيقة غير مقيدة بالشريعة فغير محصولة

“Setiap syari’at yang tidak diperkuat dengan hakekat tidak akan diterima. Sebaliknya, setiap hakekat yang tidak terikat pada syari’at tidak akan ada hasilnya”.[12]

G. Tasawuf Akhlaqi dan Tasawuf Falsafi

Pada abad pertama dan kedua Hijriyah, istilah tasawuf dan pemakaiannya belum dikenal. Sungguh pun demikian, pada masa itu telah muncul gejala kehidupan asketis, dimana setiap individu memusatkan dirinya pada kegiatan ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupannya dengan meninggalkan sifat ketamakan, keserakahan terhadap dunia dan mengalihkan perhatiannya dengan serius pada kehidupan yang berdimensi aschatologis.

Munculnya kehidupan asketis pada masa itu, semata-mata didasarkan pada anjuran Allah SWT dan Rasulullah SAW. Di antaranya firman Allah dalam surat al-An’an ayat 104 :

قل متاع الدنيا قليل والآخرة خير لمن اتقى

“Katakankah (Muhammad), bahwa kesenangan dunia itu hanya sementara dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa”.

Demikian juga firman-Nya dalam surat al-Hasyr ayat  9 :

ويؤثرون على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة

“Dan mereka itu lebih mengutamakan (orang-orang muhajirin) daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan”.

Demikian juga sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan al-Baihaqi dari sahabat Sahal ibn Sa’ad :

إزهد في الدنيا يحبك الله وازهد فيما عند الناس يحبك الناس

“Bersikap zuhud lah terhadap dunia niscaya Allah akan mencintaimu. Dan bersikap zuhud lah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya mereka akan mencintaimu”.

Dalam perkembangannya, pada abad ketiga dan keempat Hijriyah gejala kehidupan asketis di atas berkembang menjadi ilmu tentang moral (tasawuf) secara definitif. Para tokoh sufi pada periode ini mulai memperbincangkan pengetahuan intuitif berikut hal-hal yang menyangkut sarana dan metodenya. Oleh karena itu, mulai periode ini tasawuf mempunyai batasan-batasan terminologis yang khas.

Sejalan dengan berkembangnya tasawuf sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri, maka pada abad kelima dan keenam Hijriyah muncul aliran-aliran dalam tasawuf sebagai berikut :

  1. Tasawuf Akhlaki, yang juga disebut tasawuf sunni, aliran transendentalisme, atau mysticism of personality. Yaitu suatu aliran yang masih (tetap) mempertahankan sendi-sendi dasar ajaran tauhid yang membedakan adanya dua pola wujud, yakni wajib al-wujud (Tuhan) dan mumkin al-wujud (makhluk). Dua wujud yang secara fundamental berbeda. Aliran ini mempertahankan prinsip ketidakserupaan hamba dengan Tuhan. Hubungan antara manusia dan Tuhan difahami sebagai hubungan antara makhluk dengan Khalik (pencipta), antara budak di hadapan Tuannya, atau antara si mabuk cinta yang mendambakan kekasihnya. [13]

    Bagi aliran ini, tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh hamba adalah ma’rifat pada Allah, penghayatan terhadap alam gaib (kasyaf) dan mendapat ilmu laduni (langsung dari sisi Allah tanpa belajar, tetapi dengan kasyaf). Tokoh aliran ini adalah al-Sarraj, al-Qusyairi, al-Kalabadzi, al-Qusyairi, al-Ghazali dll. Berhubung aliran ini didasari faham teologi al-Asy’ari yang sesuai dengan semangat al-Qur’an dan al-Sunnah, maka aliran ini disebut tasawuf sunni. 

  2. Tasawuf Falsafi, yang juga dikenal aliran teosofi, tasawuf non sunni, aliran union mystical, atau mysticism of infinity (mistik ketakterhinggaan). Aliran ini menganut faham, bahwa manusia adalah pancaran dari Tuhan dan memiliki sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai para sufi dalam pendekatannya kepada Allah SWT melalui ajaran tasawuf adalah mencapai penyatuan dengan Allah baik dalam bentuk ittihad, hulul, maupun wahdatu al-wujud. Sebagaimana dikatakan oleh Prof. Dr. Harun Nasution dalam bukunya “Filsafat dan Misticisme dalam Islam” :

“Tasawuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan misticisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari dari misticisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad (bersatu dengan Tuhan)”.[14]      

Munculnya aliran tasawuf falsafi, dimulai dengan berkembangnya faham Pantheisme dan Kesatuan Wujud (Wahdatu al-Wujud) secara mutlak. Syuhrawardi al-Maqtul (lahir 505 H) karena sangat faham tentang filsafat Platonisme, Neo Platonisme dan Hikmah Persi cenderung untuk memadukan tasawuf dengan berbagai faham filsafat yang ia kuasai. Dari sinilah kemudian berkembang tasawuf yang filosofis sebagai hasil perpaduan antara asketisisme Islam dengan filsafat.

Syuhrawardi cenderung untuk mengembangkan tasawuf falsafi, karena ia telah mengenal dan dipengaruhi faham fana’[15], ittihad[16] dan hulul[17] yang dikembangkan oleh Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj pada abad ketiga dan keempat Hijriyah, di samping mengambil teori emanasi dalam mengembangkan fahamnya tentang wujud Tuhan.

Perkembangan aliran tasawuf falsafi semakin pesat dengan munculnya Muhyiddin Ibnu ‘Arabi dari Andalusia (wafat 628). Tokoh yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu ‘Arabi ini mengembangkan faham Pantheisme dan Kesatuan Wujud (Wahdatu al-wujud), yang pada intinya mencerminkan pengingkaran terhadap keyakinan tentang penciptaan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) yang banyak dipercayai para mutakallimin pada waktu itu.

Menurut faham ini, hakekat manusia adalah berasal dari limpahan cahaya Tuhan (emanasi) dan sehakekat dengan Dzat Tuhan. Dengan demikian faham ini menolak kepribadian manusia dan menghasilkan pantheisme atau monisme. Tokoh aliran ini adalah al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, Muhyiddin ibnu ‘Arabi, Abdul Karim al-Jili, al-Burhanpuri, Ranggawarsito dan lain-lain. Berhubung aliran ini banyak mentransfer ajaran filsafat Gnonisme, Platonisme dan bahkan dari ajaran Masehi, maka disebut aliran filosofis. Di samping itu, meskipun faham ini didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi karena menggunakan takwil yang sangat jauh dan tidak berlandaskan teologi al-Asy’ari, maka aliran ini disebut tasawuf non sunni.

H. Aliran Tasawuf Yang Sesuai dengan Kebutuhan Masyarakat Modern

Di antara kedua aliran tasawuf di atas, yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern adalah aliran yang pertama, yakni tasawuf akhlaqi atau tasawuf sunni, karena aliran ini mempunyai spesifikasi sebagai berikut :

  1. Didasarkan pada nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah dan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW serta para sahabatnya, tanpa menggunakan ta’wil yang rumit seperti yang ada pada aliran non sunni.
  2. Lebih menekankan pada pembinaan akhlak, mudah difahami dan diamalkan karena tidak terlalu filosofis yang sulit difahami oleh orang awam.
  3. Lebih menekankan pada prilaku zuhud sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW serta menghindari sistem kependetaan yang memutuskan hubungan dengan hal-hal yang bersifat duniawi.
  4. Tidak mensyaratkan kemelaratan atau kemiskinan materi. Sebagai contoh, sahabat Utsman ibn Affan dan Abdurrahman ibn Auf dikenal sebagai sahabat yang sangat kaya. Sungguh pun demikian, kekayaan tidak menghalangi mereka untuk bersikap zuhud. Sebaliknya kehidupan asketisnya juga sama sekali tidak menghalangi mereka untuk melakukan kegiatan duniawi. Dengan kehidupan asketis yang mereka tempuh, mereka sangat menyadari akan fungsi sosial kemasyarakatannya sebagai orang yang kaya sehingga mereka rela mengorbankan sebagian besar hartanya untuk kepentingan dakwah Islamiyah.
  5. Tetap berpegang teguh pada syari’at dengan melaksanakan berbagai macam ritual atau upacara-upacara keagamaan yang diwajibkan dengan penuh keyakinan yang disertai dengan pemahaman dan penghayatan terhadap makna dan rahasia-rahasia setiap ibadah (asrar al-ibadah). Dengan demikian, tasawuf sunni berusaha menggabungkan antara tasawuf dengan fiqh (hakikat dengan syari’at) karena agama memerlukan keduanya. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik :

من تفقه ولم يتصوف تفسق ومن تصوف ولم يتفقه تزندق ومن جمع بينهما فقد تحققق

“Barsangsiapa mengamalkan fiqh dengan mengabaikan tasawuf, maka akan menjadi fasiq. Sebaliknya barangsiapa mengamalkan tasawuf dengan mengabaikan fiqh, maka akan menjadi zindiq. Dan barangsiapa yang memadukan keduanya, maka akan mencapai hakekat”.[18] 

I. Tasawuf dan Tarekat

Untuk mencapai tujuan tasawuf di atas, yakni ma’rifatullah seseorang harus membersihkan qalbu-nya. Karena menurut al-Ghazali, qalbu merupakan unsur rohani manusia yang dapat mengenal Allah (ma’rifatullah). Sebagaimana beliau katakan dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din :

وهو الذي إذا عرفه الإنسان فقد عرف نفسه وإذا عرف نفسه فقد عرف ربه

“Dia itulah qalbu, yang apabila manusia mengenalnya pasti akan mengenal dirinya. Dan jika ia mampu mengenal dirinya, pasti ia akan mengenal Tuhan-nya”. [19]

Agar manusia dapat membersihkan qalbu-nya sebagai syarat mutlak  untuk mencapai ma’rifatullah, maka para ulama sufi telah berusaha merumuskan cara-cara tertentu yang dikenal dengan istilah tarekat (thariqah). Secara etimologis, tarekat berarti jalan. Sedangkan secara terminologis, tarekat berarti jalan untuk mengenal atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Maksudnya, jalan menuju kepada Allah SWT untuk mendapatkan ridla-Nya dengan menaati perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Secara lebih khusus, tarekat merupakan metode psikologis-moral untuk membimbing seseorang mengerti dan mengenal Allah SWT. (ma’rifatullah). Melalui metode itu, seseorang yang menempuh berbagai tingkatan psikologis dalam keimanan dan pengamalan ajaran Islam dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi, sehingga mencapai realitas tertinggi (ultimate reality).

Sementara itu Syeh Najmuddin al-Kubra dalam kitabnya Jami’ al-Aulia menjelaskan, bahwa tarekat adalah cara pelaksanaan dari suatu aturan syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Sedangkan keadaan yang dihasilkan seseorang yang bertarekat dinamakan hakekat.[20]   

Dengan demikian, dalam pengertiannya yang paling luas sebenarnya setiap orang yang mengerjakan ibadah tertentu dan dengan cara tertentu ia telah terlibat dalam aktivitas tarekat. Akan tetapi, dalam terminologi tasawuf, tarekat mempunyai pengertian tertentu, yaitu “suatu sistem untuk melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan Nabi dan dikerjakan para sahabat dan tabi’in secara turun temurun dan sambung menyambung hingga pada guru-guru mursyid. Guru-guru tersebut baru dapat membimbing murid-muridnya setelah memperoleh ijazah dari gurunya sesuai dengan silsilah”.[21]

Sebenarnya, gejala lahirnya tarekat-tarekat sudah ada sejak abad III H. Akan tetapi secara resmi dan representatif sebagai aliran tarekat  –misalnya adanya sistem syeh atau guru, adanya ketentuan untuk mematuhi tata tertib yang telah ditetapkan dan sebagainya–  baru terlibat pada abad VI dan VII H.

Di antara tokoh sufi yang namanya termasyhur dan dinisbatkan menjadi nama aliran tarekat adalah; Syeh Abdul Qadir al-Jailani dengan tarekat Qadiriyah, Syeh Syadzili dengan tarekat Syadziliyah, Syeh Sanusi dengan tarekat Sanusiyah dan lain-lain. Pada masa kini, jumlah tarekat yang dianggap mu’tabarah mencapai 41 aliran. Di Indonesia, beberapa aliran tarekat begitu populer dan telah mentradisi di kalangan masyarakat. Di antaranya adalah tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Tijaniyah dan Syadziliyah.[22]   

[1] Dr. Nurcolish Madjid, Op.Cit. h. 127.

[2] John Naisbitt dan Praticia Aburdene, “Megatrends 2000, Ten New Directions For the 1990’s”, Avon Books, New York, 1991, h. 295. 

[3] Ibid.

[4] al-Kalabadzi, “al-Ta’arruf li Madzhab ahl al-Tashawwuf”, al-Maktabah al-kulliyat al-Azhariyyah, Kairo, 1969, h. 28; H.A.R. Gibb & Kreamer, “Shorter Encyclopedia of Islam”, Kuzac & Co. London, 1961, h. 579.

[5] Ali Sami’ al-Nasyr, “Nasy’at al-Fikri al-Falsafi fi al-Islam”, Daar al-Ma’arif, Mesir, 1979, h. 37. 

[6] Ibid.

[7] Mir Valiuddin, “The Qur’anic Sufism:, Matilal Banarsidass, Delhi, 1981, h. 1-2.

[8] H.A.R. Gibb, “Mohammedanism”, Oxford, 1911, h. 89.

[9] Abul wafa al-Ghanimi al-Taftazani, “Sufi Dari Zaman Ke Zaman” (terjemahan A. Rafi’ Utsman), Pustaka, Bandung, tt. h. 53.

[10] Hamka, “Tasawuf Modern”, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1970, h. 18.

[11] Drs. Sahilun A. Nasir, “Prinsip-Prinsip Tasawuf Islam”, Nur Cahaya, Yogyakarta, 1980, h. 38.

[12] Abu Qasim Abdul karim al-Qusyairi, “al-Risalah al-Qusayairiyah”, h. 46

[13] Annemarie Schimmel, “Dimensi Mistik dalam Islam”, (terjemahan Sapardi Djoko Darmono dkk), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1986, h. 3.

[14]Prof. Dr. Harun Nasution, “Filsafat dan Misticisme dalam Islam”, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, h. 56  

[15] Fana’ sebagaimana dikatakan oleh para sufi, mempunyai banyak pengertian. Menurut sebagian ulama sufi, fana’ adalah keadaan moral yang luhur yang dicapai berkat terbebasnya  jiwa dari hal-hal yang bersifat duniawi atau sesuatu yang tercela. Dengan demikian, fana’ berarti kosongnya jiwa seseorang kecuali dari pancaran nur (cahaya) Ilahi. (al-Kalabadzi, Op.Cit. h. 60).

[16]Ittihad adalah suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “Hai aku”. (Prof. Dr. Harusn Nasution Ibid. h. 82)  

[17] Hulul adalah faham tasawuf yang dikembangkan oleh al-Hallaj, bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.  (Op.Cit. h. 88)

[18] Syeh ‘Ujaibah, Iqadlu al-Himam ‘ala Syarh al-Hikam, Daar al-Fikr, Beirut.

[19] Imam al-Ghazali, “Ihya’ Ulum al-Din”, Daar al-Fikr, Beirut, 1980, Juz III, h. 2.

[20] Prof. Dr. H. Aboe Bakar Atjeh, “Pengantar Ilmu Tarekat”, Ramadlani, Solo, 1985, h. 46

[21] Ibid. h. 67

[22] Ibib. H. 303.

Tasawuf: Solusi Terhadap Problematika Masyarakat Modern

Tulisan Bagian Pertama