Bagaimana wujud kebudayaan hindu tersebut

Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha. (Foto: https://pixabay.com/id/)

Kebudayaan Hindu-Buddha yang masuk ke Nusantara tidak diterima begitu saja, tetapi diolah serta disesuaikan dengan kehidupan masyarakat di Nusantara. Hal tersebut disebabkan masyarakat Nusantara yang sudah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi.

Masuknya kebudayaan asing dianggap menambah perbendaharaan kebudayaan Nusantara. Dikutip dari buku Pasti Bisa Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas X yang ditulis oleh Tim Ganesha Operation (2017: 49), masyarakat Nusantara memiliki “Local Genius”, yaitu kecakapan masyarakat/bangsa dalam menerima kebudayaan asing dan mengolahnya sesuai dengan kepribadian masyarakat/bangsa tersebut.

Nah, artikel kali ini akan membahas lebih lanjut mengenai proses akulturasi kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha.

Contoh Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha

Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha. (Foto: https://pixabay.com/id/)

Dikutip dari halaman Inti Materi IPS SMA/MA 10, 11, 12 yang ditulis oleh Tim Maestro Genta (2020: 23), proses akulturasi kebudayaan adalah proses percampuran antara unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan lainnya. Berikut adalah jenis dan contoh akulturasi kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha:

  • Seni rupa dan seni ukur: relief pada candi-candi.

  • Seni bangunan: bentuk candi berupa punden berundak-undak dengan hiasan patung dan stupa. Pada dasarnya, candi yang ditemukan di Indonesia merupakan perwujudan akulturasi budaya India dengan budaya Indonesia. Hal tersebut terlihat pada dasar-dasar bangunan candi, yaitu bangunan punden berundak-undak.

  • Seni aksara dan sastra: berbentuk puisi dan prosa, ada tiga kelompok sastra yaitu kitab hukum, tutur (pitutur kitab keagamaan), dan wiracarita (kepahlawanan), serta wayang kulit (cerita Ramayanan dan Mahabrata).

  • Seni pertunjukan: bermacam-macam gamelan (xylophones, chordophones, membranophones, aerophones, dan tidophones).

  • Sistem kepercayaan: fungsi candi selain tempat pemujaan juga sebagai makam raja.

  • Arsitektur: bentuk bangunan candi dan pertapaan wihara.

  • Sistem pemerintahan: pemimpin suku diubah menjadi raja dan wilayahnya sebagai kerajaan.

Jaringan budaya dan perdagangan antarbangsa dan penduduk di Kepulauan Indonesia berkembang pesat karena terhubung oleh Laut Jawa hingga Kepulauan Maluku. Adapun dua kekuatan peradaban besar pada masa Hindu-Buddha adalah Cina di utara dan India di Barat Daya. Itulah penjelasan mengenai proses dan contoh akulturasi kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha. Semoga informasi ini bermanfaat! (CHL)

Berikut ini akan dijelaskan tentang akulturasi budaya, pengertian akulturasi, pengertian akulturasi kebudayaan, pengertian akulturasi budaya, arti akulturasi, definisi akulturasi, akulturasi hindu budha, akulturasi kebudayaan nusantara dan hindu buddha, akulturasi kebudayaan, akulturasi kebudayaan hindu budha, akulturasi budaya hindu budha, akulturasi kebudayaan nusantara hindu budha, akulturasi kebudayaan nusantara dengan kebudayaan hindu budha, wujud akulturasi budaya hindu budha, kebudayaan hindu, contoh akulturasi kebudayaan, contoh akulturasi budaya.


Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya.

Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli.

Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli sebagai berikut.

Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu- Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli. 

Bangunan yang megah, patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa adalah unsur-unsur dari India. 

Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.

Bagaimana wujud kebudayaan hindu tersebut
Sketsa perpaduan aturan vastusastra dan kemahiran lokal
Bagaimana wujud kebudayaan hindu tersebut
Salah satu stupa di candi borobudur (kiri)
Salah satu bentuk batas kota (kanan)

Masuknya pengaruh India juga membawa perkembangan dalam bidang seni rupa, seni pahat, dan seni ukir. Hal ini dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding-dinding candi. 

Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. 

Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung merpati. Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah. 

Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di lukis.

Bagaimana wujud kebudayaan hindu tersebut
Relief binatang pada Candi Borobudur

Menurut J.L.A Brandes, gamelan merupakan satu diantara seni pertunjukan asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebelum masuknya unsur-unsur budaya India. 

Selama waktu berabad-abad gamelan juga mengalami perkembangan dengan masuknya unsur-unsur budaya baru baik dalam bentuk maupun kualitasnya. 

Gambaran mengenai bentuk gamelan Jawa kuno masa Majapahit dapat dilihat pada beberapa sumber, antara lain prasasti dan kitab kesusastraan. 

Macam-macam gamelan dapat dikelompokkan dalam chordaphones, aerophones, membranophones, tidophones, dan xylophones.

Bagaimana wujud kebudayaan hindu tersebut
Kiri: Alat musik Celempung dan semacam kecapi (Candi Jago Malang)
Kanan: Alat musik Reyong (Candi Penataran, Blitar)

Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi). 

Berdasarkan isinya, kesusastraan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum, dan wiracarita (kepahlawanan). 

Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. 

Misalnya, Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita-cerita Carangan. Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). 

Pertunjukan wayang kulit di Indonesia, khususnya di Jawa sudah begitu mendarah daging. Isi dan cerita pertunjukan wayang banyak mengandung nilai-nilai yang bersifat edukatif (pendidikan). 

Cerita dalam pertunjukan wayang berasal dari India, tetapi wayangnya asli dari Indonesia. Seni pahat dan ragam luas yang ada pada wayang disesuaikan dengan seni di Indonesia. 

Di samping bentuk dan ragam hias wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, dan Petruk. 

Tokoh-tokoh ini tidak ditemukan di India. Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh penggunaan huruf pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. 

Pada prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali Kuno (Indonesia).

Bagaimana wujud kebudayaan hindu tersebut
Gambar salah satu tokoh wayang

Sejak masa praaksara, orang-orang di Kepulauan Indonesia sudah mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis. Sebagai contoh, kalau ada orang meninggal, di dalam kuburnya disertakan benda-benda. 

Di antara benda-benda itu ada lukisan orang naik perahu, ini memberikan makna bahwa orang yang sudah meninggal tersebut rohnya akan melanjutkan perjalanan ke tempat tujuan yang membahagiakan yaitu alam baka. 

Masyarakat waktu itu sudah percaya adanya kehidupan sesudah mati, yakni sebagai roh halus. Oleh karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup (animisme). 

Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap roh halus tidak punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi. Fungsi candi atau kuil di India adalah sebagai tempat pemujaan. 

Di Indonesia, di samping sebagai tempat pemujaan, candi juga sebagai makam raja atau untuk menyimpan abu jenazah raja yang telah meninggal. 

Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan abu jenazah raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya. 

Ini jelas merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia. 

Bentuk bangunan lingga dan yoni juga merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme. Lingga adalah lambang Dewa Syiwa. 

Secara filosofis lingga dan yoni adalah lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang laki-laki dan yoni lambang perempuan.

Setelah datangnya pengaruh India di Kepulauan Indonesia, dikenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. 

Pemerintahan yang dimaksud adalah semacam pemerintah di suatu desa atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala suku. 

Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua (senior), arif, dapat membimbing, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam bidang ekonomi, berwibawa, serta memiliki semacam kekuatan gaib (kesaktian). 

Setelah pengaruh India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja dan wilayahnya disebut kerajaan. Hal ini secara jelas terjadi di Kutai. 

Salah satu bukti akulturasi dalam bidang pemerintahan, misalnya seorang raja harus berwibawa dan dipandang memiliki kekuatan gaib seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu- Buddha. 

Karena raja memiliki kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat dengan dewa. Raja kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.

Bentuk alkulturasi budaya lain yang dapat dilihat hingga saat ini adalah arsitektur pada bangunan-bangunan keagamanan. 

Bangunan keagamaan berupa candi atau arca sangat dikenal pada masa Hindu-Buddha. Hal ini terlihat pada sosok bangunan sakral peninggalan Hindu seperti Candi Sewu, Candi Gedungsongo, dan masih banyak lagi. 

Juga bangunan pertapaan – wihara merupakan bangunan berundak. Bangunan ini dapat dilihat pada beberapa Candi Plaosan, Candi Jalatunda, Candi Tikus, dan masih banyak lagi. 

Bentuk lain berupa stupa berundak yang dapat dilihat pada bangunan Borobudur. Di samping itu juga terdapat bangunan Gua, seperti Gua Selomangkleng Kediri, dan Gua Gajah. 

Bangunan lainnya dapat berupa gapura paduraksa seperti Candi Bajangratu, Candi Jedong, dan Candi Plumbangan. Untuk memahami lebih lanjut baca buku Agus A. Munandar, Sejarah Kebudayaan Indonesia. 

Bangunan suci berundak itu sebenarnya sudah berkembang subur dalam zaman praaksara, sebagai penggambaran dari alam semesta yang bertingkat-tingkat. 

Tingkat paling atas adalah tempat persemayaman roh nenek moyang. Punden berundak itu menjadi sarana khusus untuk persembahyangan dalam rangka pemujaan terhadap roh nenek moyang. 

Pemikiran dasar dan filsafat yang melandasi kepercayaan ini terus hidup di dalam alam kehidupan, meskipun tidak begitu tampil di permukaan. 

Sebagai lokal genius yang menentukan arah perkembangan kebudayaan Indonesia dalam mengolah pengaruh Hindu-Buddha maka unsur-unsur praaksara itu makin nampak pengaruhnya. 

Ungkapan-ungkapan seperti candi, misalnya dipahami maknanya hanya sebagai pemujaan roh nenek moyang. Alas atau kaki candi berbentuk persegi/bujursangkar, berketinggian menyerupai batur dan dicapai melalui tangga yang langsung dapat menuju bilik candi. 

Di tengah kaki candi terdapat perigi tempat menanam peripih. Bagian kaki candi disimbolkan sebagai Bhurloka dalam ajaran Hindu atau Kamaloka dalam ajaran Buddha. 

Denah bagian tubuh candi pada umumnya berdimensi lebih kecil dari alasnya, sehingga membentuk serambi. Bagian tubuh ini dapat berbentuk kubus atau silinder yang berisi satu atau empat bilik. 

Pada candi Hindu lubang perigi yang ditutup yoni terdapat di tengah bilik utama, dinding luar terdapat relung-relung yang isi arca. 

Pada bagian atas setiap pintu masuk candi dihiasi kepala kala yang dikenal sebagai banaspati, yaitu lambang penjaga. 

Bagian atap candi selalu terdiri dari susunan tingkatan yang mengkecil ke atas, dan diakhiri dengan mahkota. Mahkota ini dapat berupa stupa, lingga, ratna, atau berbentuk kubus. 

Bagian atap candi disimbolkan sebagai tempat persemayaman dewa. Khusus untuk candi-candi Buddha menggunakan stupa sebagai elemennya. 

Secara keseluruhan candi menggambarkan hubungan makrokosmos atau alam semesta yang dibagi menjadi tiga, 

yaitu alam bawah tempat manusia yang masih mempunyai nafsu, alam antara tempat manusia telah meninggalkan keduniawian dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya, dan alam atas tempat dewa- dewa.