Bagaimanakah pengembangan ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam berdasarkan perintah alquran

Oleh: M. Vicky – FST- Teknik Informatika (Pemateri) Saepul Rohman – FITK – Pendidikan Biologi (Moderator)

I’im Umamil Khairi – FST – Teknik Informatika (Notulen)

Islam adalah salah satu agama di dunia yang sangat menghargai ilmu. Imu yang bersumber dari wahyu atau al-Qur’an dan al-Sunnah yang dicapai melalui riset bayani atau ijtihad, yakni ilmu agam, ilmu yang bersumber dari alam jagat yang dicapai melalui riset ijbari (esperimen dan penalaran logis), ilmu yang bersumber dari fenomena sosial yang dicapai melalui riset burhani (observasi, wawancara dan angket), ilmu yang bersumber dari akal pikiran yang dicapai melalui riset jadali (logika), dan ilmu yang dicapai dari Allah SWT melalui riset irfani (mujahadah dan muraqabah) sangat dihargai oleh Islam. Dalam pandangan Islam semua ilmu ini hakikat-Nya milik Allah SWT, karena wahyu, alam jagat raya, fenomena sosial, akal dan intuisi yang menjadi sumber ilmu tersebut adalah merupakan anugerah Allah SWT yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk dipelajari, dikaji, digali hikmahnya dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan hidup manusia. Orang yang memiliki ilmu-ilmu tersebut dalam pandangan Islam disebut ulama. Pandangan Islam yang tinggi tehadap ilmu tersebut dapat dilihat berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut.

Pertama, bahwa ayat yang pertama kali diturunkan, yakni surat al-‘Alaq (96) ayat 1-5 antara lain berisi perintah membaca dan menulis dalam arti seluas-luasnya. Membaca secara harfiah berarti mengumpulkan informasi yang dapat dilakukan dengan cara membaca tulisan, melalukan observasi, bertanya, melakukan, menalisa, menyimpulkan dan menguji coba. Kegiatan ini dalam Kurikulum Tahun 2013 dikenal dengan istilah scientific approches (pendekatan-pendekatan ilmiah). Sedangkan menulis dalam arti menyimpan, merekem, memasukan dalam file, mendokumentasikan dan mengabadikan. Dengan tulisan ini, maka segala sesuatu yang telah dihasilkan melalui kegiatan membaca dapat diabadikan dan diteruskan kepada generasi berikutnya dalam bentuk ilmu pengetahuan. Dan ilmu—ilmu tersebut kemudian diaplikasikan dalam bentuk disain, modul dan manual, yang selanjutnya menghasilkan teknologi, kebudayaan dan peradaban. Tanpa ilmu, kebudayaan dan peradaban yang dibutuhkan untuk memajukan kehidupan manusia tidak akan terwujud.

Kedua, bahwa di antara tugas utama Allah SWT dan Rasul-Nya adalah memberikan ilmu pengetahuan kepada manusia, sebagaimana tercermin dalam wahyu Allah di dalam al-Qur’an, dan sabda Rasulullah SAW dalam hadisnya. Allah SWT memperkenalkan dirinya sebab al-rabb atau al-Murabi yakni sebagai pendidik, dan al-‘Alim (Maha Guru) yang memberikan pendidikan dan pengajaran kepada manusia sebagaimana hal ini dilakukannya terhadap Nabi Adam AS, dalam firman-Nya:

Artinya: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (banda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat. (Q.S. al-Baqarah, 2:31).

Demikian pula Nabi Muhammad SAW mengenalkan dirinya sebagai al-Mu’alim (guru) dan al-Muaddib (pendidik). Peran nabi Muhammad yang demikian itu dinyatakan dalam firman Allah SWT.

Artinya: Yaa Tuhan kami, utuslah untuk  mereka seorang Rasul dari  kalangan mereka yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.  (Q.S. al-Baqarah, 2:129).

Berdasarkan ayat tersebut terdapat tiga fungsi utama yang harus dilakukan Rasulullah SAW. Pertama, membacakan ayat-ayat Allah baik yang ada di dalam al-Qur’an (ayat qauliyah), yang ada di alam jagat raya (ayat kauniyah), yang ada di masyarakat (ayat insaniyah-kaumiyah), yang ada dalam akal pikiran manusia, dan yang ada dalam hati nurani manusia. Membacakan sama artinya dengan mentransferkan ilmu pengetahuan. Kedua, mengajarkan kandungan al-Qur’an, yakni memberikan wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang al-Qur’an yang menghasilkan ilmu agama. Ketiga, mensucikan diri manusia, yakni hati nurani dari akhlak yang buruk, seperti iri, dengki, buruk sangka, fitnah dan sebagainya, kemudian mengisinya dengan akhlak mulia. Mensucikan diri inilah yang selanjutnya menjadi inti dari pendidikan Islam.  Karena demikian pentingnya tugas pendidikan dan pengembangan ilmu yang harus dilakukan Nabi Muhammad SAW ini, maka tidaklah mengherankan jika Nabi Muhammad SAW sangat menganjurkan pada setiap orang untuk belajar mulai dari buaian hingga ke liang lahat atau yang selanjutnya dikenal dengan pendidikan seumur hidup (long life education), belajar hingga ke tempat yang jauh (rihlah ilmiah), dan belajar itu merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam, dan orang yang mencari ilmu akan diampuni dosanya oleh segala sesuatu, hingga hewan di laut. (Lihat Hadis Ibn ‘Abd al-Barr dari Anas). 

Ketiga, Islam memandang, bahwa ilmu yang disertai iman merupakan sarana utama atau merupakan strategi utama untuk meningkatkan derajat ummat manusia. Allah SWT.

Artinya: Niscaya Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.dan  (Q.S. al-Mujadalah,  58:11).

Ketinggian orang beriman dan berilmu pengetahuan itu terjadi, karena iman yang ada dalam dirinya akan mengarahkan penggunaan ilmu pengetahuan yang dimilikinya untuk tujuan-tujuan yang mulia. Sedangkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya menyebabkan ia akan mampu membuat karya-karya inovatif dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan ummat manusia.

Keempat, perhatian besar Islam tehadap ilmu pengetahuan dapat pula dilihat dalam sejarah peradaban Islam abad klasik (abad ke 7 sd 13 M.). Di zaman ini, ummat Islam bukan saja telah melahirkan berbagai pakar dalam ilmu agama (Tafsir, Hadis, Fikih, Kalam, Tasawuf, dan Sejarah Islam), melainkan juga ilmu umum (matematika, kimia, fisika, dengan terapannya seperti kedokteran, farmasi, astronomi dan lainnya) juga telah melahirkan tradisi ilmiah yang tinggi, seperti menulis, membaca, menulis buku, rihlah ilmiah, membangun perpustakaan, pusat penelitian, lembaga pendidikan dan lain sebagainya. Kemajuan ummat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan bukan saja telah memindahkan pusat peradaban dunia dari Yunani, Mesopotamia, Arkadia, China dan India ke Timur Tengah, seperti Makkah, Madinah, Bashrah, Kuffah, Damaskus, Badhdad dan Mesir, melainkan juga telah mendahului kemajuan yang dicapai dunia Barat dan Eropa saat ini, bahwa Barat dan Eropa itu berhutang budi pekerti pada Islam. 

Kelima, perhatian besar Islam terhadap ilmu pengetahuam terlihat pula ketika Islam menetapkan agar segala apa yang dikerjakan berbasis riset. Yakni didasarkan pada ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah SWT. Dengan kata lain Islam selain menolak mitos, khurafat, bid’ah, dan takhayul juga tidak bersifat positivisme, antropocentred, dan rasionalisme semata-mata, dan juga taklid buta. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT.

Artinya: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Q.S. al-Isra’, 17:36).

Selanjutnya Islam tidak hanya menjelaskan tentang pentingnya mengembangkan ilmu pengetahua, melainkan memberikan pula petunjuk tentang berbagai hal yang terkait dengan pengembangan ilmu, sebagai berikut.

Pertama, Islam melalui ajaran dasarnya al-Qur’an telah memberikan bahan-bahan untuk dijadikan sumber ontologi pengembangan ilmu, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah yang menghasilkan ilmu agama (Tafsir, Hadis, Fikih, Kalam, dan sebagainya), alam jagat raya yang menghasilkan ilmu-ilmu alam (biologi, fisika, kimia dan sebagainya), fenomena sosial yang menghasilkan ilmu-ilmu sosial (sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya).

Kedua, Islam melalui ajaran dasarnya al-Qur’an telah memberikan alat untuk mengembangkan ilmu kepada manusia, yaitu berupa fisik, pancaindera, akal dan hati nurani. Hal ini dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Nahl, (16) ayat 78 yang artinya: “Dialah yang mengeluarkan kamu sekalian dari perut ibumu dalam keadaan tidak megetahui apa-apa, kemudian ia jadikan pendengaran, penglihatan dan hati nurani agar kamu bersyukur.  Dengan merujuk ayat tersebut Abdurrahman bin Zaid al-Zunaidi menjelaskan tentang alat untuk mengembangkan ilmu yaitu al-wahyu, ilham dan hadas, akal, dan al-Tajribah hissiyah (pancaindera). 

Ketiga, Islam memiliki pandangan integralistik antara berbagai macam ilmu pengetahuan yang didasarkan pada pandangan tauhid. Yaitu sebuah pandangan, bahwa wahyu, alam jagat raya, fenomena sosial, akal dan hati nurani adalah sebagai ayat-ayat Allah yang antara satu dan lainnya saling berhubungan. Dengan demikian Islam tidak mengenal pemisahan antara berbagai ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan seperti Ibn Sina misalnya, selain menguasai ilmu agama, juga menguasai ilmu alam, filsafat, ilmu jiwa, ilmu alam, dan juga tasawuf.

Keempat, Islam memandang, bahwa ilmu sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini terjadi, karena setiap seseorang menemuka teori ilmu pengetahuan, maka sesungguhnya ia menemukan ayat-ayat Allah. Dengan demikian, semakin tinggi sebuah ilmu yang dimiliki seseorang, maka akan semakin dekat dan  takwa kepada Allah SWT.

 D.Penutup

Marilah kita gunakan momentum Ramadhan sebagai kesempatan untuk menambahkan ilmu dan menguatkan iman dalam rangka meningkatkan mutu pengabdian kita kepada Allah SWT melalui upaya membangun kebudayaan dan peradaban bagi kesejahteraan hidup manusia.

Daftar Pustaka

Al-Baqy, Muhammad Abd al-Fu’ad, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H./1987 M.), cet. I.

Bek,   Ahmad al-Hasyimy, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyyah wa al-Hukm al-Muhammadiyah, (Mesir: Mathba’ah Hijazy,  1367 H./1948 M.), cet. VI.

Al-Kurdy, Rajih Abd al-Hamid, Nadzariyat al-Ma’rifah bain al-Qur’an wa al-Falsafah, (Riyadh:Maktabah al-Muayyadah, 1413 H./1994 M.), cet. I.

Mahzar, Armahedi, Integralisme sebuah Rekonstruksi Filsafat Islam, (Bandung:Pustaka, 1403 

Muthahhari, Ayatullah Murthadaa, Pengantar Epistimologi Islam, (Jakarta:Shadra Press, 2010), cet. I.

-----------, Dasar-dasar Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta:Shadra Press, 2010), cet. I.

Nata, Abuddin, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2003), cet. I.

----------, Metodologi Studi Islam, (Jakarta:RajaGrafindo Persada,  2013), cet. XX.

----------, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 20012), cet. I.

----------, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta:Prena Media Group,  2011), cet. I.

----------, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:Prenada Media Group, 2011), cet. I.

Tafsir, Ahmad, (ed.),  Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung:Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati, 1995), cet. I.

Al-Zunaidy, Abd al-Rahman bin Zaid, Mashadir al-Ma’rifah fi al-Fikr al-Diniy wa al-Falsafy, (Riyadl: Maktabah al-Muayyadah, 1413 H./1994 M), cet. I.