Berikan contoh kongkrit dalam prosedur metode PEMECAHAN MASALAH

Pembelajaran matematika telah mengalami perubahan mendasar dari pendekatan transfer pengetahuan (trasfer of knowledge) ke dalam memori peserta didik, menjadi pembelajaran dengan pendekatan yang mengarahkan peserta didik  memanfaatkan pengetahuan yang telah dimiliki (prior knowledge) atau pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif peserta didik, dalam melakukan asimilasi informasi baru, untuk membangun pemahaman sendiri. Pembelajaran akan lebih bermakana apabila didasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peserta didik bukan berdasarkan pengethauan yang dimiliki guru. Pembelajaran dipandang sebagai suatu proses aktif dan interaktif untuk menghasilkan pemaknaan dan pemahaman yang akan merubah knowledge, psikomotor, afektif, karakter, pandangan, peserta didik. Rangkaian proses ini harus direalisasikan di dalam kelas dengan menerapkan beberapa teknik, salah satu diantaranya adalah teknik pemecahan masalah (problem solving).

Banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah (problem solving) terkait dengan penerapan konsep-konsep materi ajar dalam kehidupan, sehingga proses pembelajaran yang berorientasi pada bagaimana memecahkan masalah juga mengalami kendala. Pembelajaran matematika yang berorientasi pada jawaban akhir sebagai tujuan problem solving menyebabkan kesulitan tersebut muncul. Oleh karena itu guru sebaiknya merubah paradigma tersebut dengan menekankan pada bagaimana proses problem solving dilakukan peserta didik dengan tidak menekankan pada tujuan akhir. Bagaimana proses problem solving sangat mendasar dan penting. Melalui proses tersebut peserta didik akan belajar dan terbiasa berpikir bagaimana meyelesaikan masalah yang ada.

Problem solving dalam pembelajaran matematika berbentuk masalah terkait penerapan konsep-konsep bahan ajar yang dialami siswa dalam kehidupan. Problem solving  diharapkan dapat meningkatkan knowledge, afektif dan psikomotor peserta didik dalam belajar matematika. Pengalaman belajar melalui problem solving dapat memberi gambaran tentang bagaimana minat menjadi pendorong untuk menguasai pengetahuan yang layak dan  menimbulkan keingintahuan, kepercayaan diri dan keterbukaan pikiran bagi peserta didik. Tugas guru adalah membantu mengembangkan kemampuan peserta didik agar knowledge, afektif dan psikomotor dapat berkembang dengan baik sehingga mereka mampu menerapkan konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari melalui problem solving.

  1. Pembahasan
    • Pemecahan Masalah (Problem Solving)

Problem solving adalah satu pengolahan kognitif penting yang terjadi selama proses pembelajaran, dan mengacu pada usaha orang untuk mencapai tujuan karena mereka tidak memiliki solusi otomatis dan banyak pakar toeri pembelajaran yang menganggap bahwa problem solving adalah proses kunci dalam pembelajaran, khususnya pada matematika dan sains (Schunk, 2012:416). problem solving mengacu pada pemrosesan kognitif yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan ketika peserta didik dihadapkan masalah yang pada awalnya belum diketahui metode solusi pemecahannya secara langsung.

Munculnya masalah adalah ketika peserta didik memiliki tujuan tetapi tidak tahu bagaimana mencapainya. Masalah dapat diklasifikasikan sebagai masalah rutin atau tidak rutin. Masalah dalam bentuk penerapan konsep dalam kehidupan termasuk dalam masalah tidak rutin. Problem solving adalah pendekatan yang dapat digunakan dalam menyelesaikan maslah tidak rutin. Sehungga masalah tidak rutin berguna untuk: (1) mendorong peserta didik berpikir logis, (2) memperkuat pemahaman tentang konsep, dan (3) mengembangkan strategi pemecahan masalah yang dapat diterapkan pada situasi lain.

Problem solving tidak terjadi apabila peserta didik mempunyai kemampuan tinggi untuk menyelesaikan masalah yang memungkinkan mereka secara otomatis dapat melakukan aktivitas problem solving untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu tidak semua aktivitas pembelajaran termasuk problem solving. Problem solving dapat dilakukan melalui beberapa cara misalnya: trial-and-rror (ujia coba), pemahaman dan heuristika (Schunk, 2012:417).

Uji coba kadang-kadang tidak efektif, karean jika tidak berhasil maka hanya  membuang-buang waktu. Pemahaman sering menimbulkan kesadaran secara tiba-tiba dalam menemukan solusi. Hasil penelitian Wallas (1921) dalam (schunk, 418) menemukan bahwa orang yang mampu memecahkan masalah dengan hebat mempformulasikan model dengan empat tahap yaitu: (1) persiapan, (2) inkubasi, (3) ilumunasi, dan (verifikasi). Tahap persiapan adalah waktu untuk mempelajari masalah dan mengumpulkan informasi yang mungkin sesuai dengan solusi. Tahap inkubasi adalah masa memikirkan masalah, dapat  berbentuk pembatasan masalah untuk sementara. Tahap iluminasi adalah masa perenungan apabila ada solusi yang mungkin muncul secara tiba-tiba dalam kesadaran. Tahap verifikasi adalah masa untuk menguji solusi yang ada untuk memastikan kebenarannya.

Heuristika adalah cara pemecahan masalah dengan menggunakan prinsip-prinsip yang biasanya menghasilkan solusi. Prinsip mental Polya (1945/1957) termasuk di dalamnya (Shcunk, 2012:420) adalah: (1) memahami masalah, (2) merancang rencana, (3) menjalankan rencana, dan melihat kembali. Bertanya “apa yang tidak diketahui”? dan “apa yang ditanya”? membantu untuk mamahami masalah dan menampilkan informasi yang diberikan. Mencoba menemukan hubungan antara data yang diketahui dengan data yang diketahui adalah bagian dari merancang rencana. Menjalankan rencana dengan memecah masalah menjadi sub-sub tujuan sangat bermanfaat karena memikirkan yang sama dan bagaimana menyelesaikannya, memeriksa setiap kebenaran tahapan pelaksanaan. Memeriksa kembali untuk memastikan apakah sudah benar?.

Bentuk heuristika lain dikemukakan oleh Bransford dan Stein (1984) dalam Shcunk, 2012:421) dikemal dengan IDEAL, yaitu: (1) Identify (mengidentifikasi) maslah, (2) Define (mendefinisikan) dan menampilkan masalah, (3) Act (melaksanakan) strategi, dan (4) Look back (melihat kemnbali) dan mengevaluasi pengaruh aktivitas Anda. Heuristika umum akan bermanfaat jika dilakukan pada konten yang tidak dikenal dan akan menjadi tidak efektif pada konten yang sudah diketahui karena kemapuan yang spesifik berimbang, akibatnya peserta didik menggunakan pengetahuan prosedural yang ada. Fleksibilitas heuristika akan dapat dilihat dalam hal bagaimana langkah-langkah itu dijalankan.

Implikasi hubungan antara problem solving dan pembelajaran menunjukkan bahwa peserta didik dapat mempelajari heuristika dan strategi untuk menjadi pemecah masalah yang handal, Bruning, et al,. (2004) dalam (Schunk, 2012:437). Untuk melatih kemampuan pemecahan masalah peserta didik, Andre (1986) dalam (Schunk, 2012:438) memberikan sepuluh saran yang mewakili produksi dalam memori, diambil dari teori dan hasil penelitian yaitu: (1) memberikan reprensentasi metafora pada siswa, (2) Meminta siswa membuat pernyataan selama pemecahan masalah, (3) menggunakan pertanyaan, (4) Berikan contoh, (5) koordinasikan ide, (6) gunakan pembelajaran penemuan, (7) berikan deskripsi verbal, (8) ajarkan strategi belajar, (9) gunakan kelompok kecil, dan (10) mempertahankan iklim psikologi positif.

  • Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika

Pemecahan masalah (problem solving) dalam matematika adalah suatu proses kognitif yang kompleks untuk mengatasi suatu masalah dan memerlukan  sejumlah strategi dalam menyelesaikannya (Surya, 2011). Melalui Problem solving dalam matematika peserta didik akan memperoleh pengalaman dalam menyelesaikan masalah yang tidak rutin (tidak biasa) dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada dalam struktur kognitif mereka. Masalah matematika tidak rutin yang dimaksud adalah masalah matematika yang terkait dengan penerapan konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Penyelesaian masalah rutin memerlukan tingkat pemikiran matematika yang tinggi. Sementara penyelesaian masalah rutin (biasa) hanya mengikuti aturan (algoritma) dengan menghafal.

Pendekatan pembelajaran problem solving dalam matematika tidak hanya mengarahkan peserta didik untuk mampu menyelsaikan masalah matematika rutin dengan proses pembelajaran yang biasa, akan tetapi diharapkan agar mampu menyelesaikan masalah yang tidak rutin dengan proses pembelajaran yang mendukung. Pendekatan problem solving ini dapat menjadi tempat berlatih bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan menemukan pola, mengenerasikan, dan komunikasi matematis, berpikir rasional, cermat, kritis, jujur, efektif dan logis.

Kemampuan tersebut mendukung tercapainya tujuan kurikulum matematika sekolah yakni perserta didik mampu menghadapi perkembangan dunia yang semakin tidak terbendung.  Pembelajaran dengan pendekatan problem solving merupakan strategi dalam proses pembelajaran matematika yang sangat penting dan diperlukan oleh peserta didik dalam menyelesaikan masalah matematika terkait dengan penerapan konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Nampak bahwa fokus penting pembelajaran matamatika adalah pendekatan problem solving sebagaimana yang terantum pada kurikulum mata pelajaran matematika jenjang SD/MI. SMP/MTs SMA/MA dan SMK. Hal ini dapat dilihat dalam setiap Kompetensi Dasar (KD) terdapat topik bahasan yang mengarahkan siswa untuk mampu menerapkan konsep-konsep matematika dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan konsep-konsep matematika pada pemecahan masalah tentu memerlukan kemampuan berpikir matematis yang tinggi.

Problem solving dalam pembelajaran matematika difokuskan pada pembelajaran topik matematika melalui konteks problem solving dan lingkungan yang berorientasi pada kemampuan peserta didik dan membantu guru membangun pemahaman mendalam tentang gagasan dan proses matematika dengan melibatkan peserta didik dalam aktivitas matematika: menciptakan, menduga, mengeksplorasi, menguji, dan verifikasi (Lester et al., 1994) Beberapa pendapat tentang karakteristik spesifik dalam problem solving matematika antara lain:

  • Van Zoest et al., (1994), karekteristik problem solving adalah:
  • Interaksi antara siswa dengan siswa dan intersksi antara guru dan siswa.
  • Dialog matematika dan konsensus antara siswa.
  • Cobb et al., (1991), karekteristik problem solving adalah:
  • Guru memberikan informasi yang cukup untuk menetapkan latar belakang/tujuan dari masalah, dan siswa mengklarifikasi, menafsirkan, dan mencoba untuk membangun satu atau lebih proses solusi.
  • Guru menerima jawaban yang benar / salah dengan cara yang tidak evaluatif
  • Lester et al., (1994), karekteristik problem solving adalah:
  • Guru membimbing, melatih, mengajukan pertanyaan dan sharing yang mendalam dalam proses pemecahan masalah
  • Guru mengetahui kapan tepat untuk melakukan intervensi, dan kapan harus melangkah mundur dan membiarkan murid membuat jalan mereka sendiri.
  • Evan dan Lappin, (1994), karekteristik problem solving adalah:
  • Pendekatan pemecahan masalah dapat digunakan untuk mendorong siswa membuat generalisasi tentang peraturan dan konsep, sebuah proses yang penting bagi matematika.

Problem solving adalah komponen penting dalam pendidikan matematika karena berperan sebagai  media (kendaraan) untuk mencapai nilai matematika pada aspek: fungsional, logis dan estetis yang dapat dicapai di tingkat sekolah. Matematika adalah disiplin ilmu yang esensial karena mempunyai peran praktis bagi individu dan masyarakat. Aspek matematika tersebut dapat dikembangkan melalui pendekatan Problem solving. Mengembangkan keterampilan yang diperlukan peserta didik untuk memecahkanmasalah dapat dilakukan dengan memberikan sebuah masalah yang dapat memberi motivasi dibandingkan dengan mengajarkan keterampilan tanpa konteks. Motivasi tersebut memberikan nilai khusus problem solving sebagai wadah untuk mempelajari konsep dan keterampilan baru atau penguatan keterampilan yang telah diperoleh (Stanic dan Kilpatrick, 1989, NCTM, 1989). Selanjutnya NCTM, (1980) merekomendasikan bahwa problem solving menjadi fokus pembelajaran matematika karena, mencakup bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Problem solving harus mencakup semua aspek pembelajaran matematika untuk memberi pengalaman tentang kekuatan matematika kepada peserta didik dalam upaya membangun, mengevaluasi dan memperbaiki teori mereka sendiri tentang matematika dan teori orang lain.

Nampaknya pemdekatan problem solving berkontribusi pada penggunaan praktis matematika antara lain; (1) membantu mengembangkan fasilitas agar mudah beradaptas, (2)  membantu untuk pindah ke lingkungan kerja baru, dan (3) mempersiapkan peserta didik menjadi  pelajar adaptif yang baik, untuk bekerja dengan efektif ketika tuntutan tugas berubah. Dengan demikian, maka tidaklah berlebihan apabila ada ungkapan bahwa kemampuan keterampilan problem solving adalah jantungnya matematika karena dapat digunakan pada berbagai situasi yang tidak biasa.

Melalui pendekatan problem solving ini pula peserta didik dapat memilih proses deduksi logis algoritma jika situasi memerlukan, dan kadang-kadang perlu mengembangkan aturan mereka sendiri apabila situasi algoritma tidak dapat langsung diterapkan, sehingga problem solving dapat dikembangkan sebagai keterampilan berharga dalam diri peserta didik, bukan hanya sebagai alat untuk  menemukan jawaban yang benar. Penekanan pendekatan problem sovling penting sebagai alat untuk mengembangkan aspek pemikiran logis matematika, dan mendorong individu untuk mendapatkan pengetahuan baru, karena matematika standar, dengan penekanan pada perolehan pengetahuan, tidak selalu memenuhi kebutuhan. Selain itu  teknik problem sovling dianggap sangat penting sebagai bentuk estetika karena memungkinkan peserta didik untuk mengalami berbagai emosi dalam tahap-tahap proses menemukan solusi masalah.

NTCM (1980 dan 1989) merekomendasikan agar kurikulum matematika disusun berorientasi pada pemecahan masalah, dengan fokus sebagai berikut:

  • Mengembangkan keterampilan dan kemampuan untuk menerapkan keterampilan ini ke situasi yang tidak biasa.
  • Mengumpulkan, mengorganisir, menafsirkan dan mengkomunikasikan informasi.
  • Merumuskan pertanyaan kunci, menganalisis dan mengkonseptualisasikan masalah, menentukan masalah dan sasaran, menemukan pola dan persamaan, mencari data yang sesuai, bereksperimen, mentransfer keterampilan dan strategi ke situasi baru.
  • Mengembangkan rasa ingin tahu, kepercayaan diri dan keterbukaan pikiran.

Problem solving dalam pembelajaran bertujuan untuk : (1) mendorong peserta didik untuk memperbaiki dan membangun proses kognitif mereka sendiri, dan (2) mengembangkan pengetahuan peserta didik, dan (3) mengembangkan pemahaman kapan waktu yang tepat untuk menggunakan strategi tertentu, dan (4) membuat peserta didik lebih bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri daripada membiarkan mereka merasa bahwa algoritma yang mereka gunakan adalah penemuan beberapa ahli dan tidak dipahami. Terkait dengan tujuan tersebut peserta didik terlibat secara aktif dalam problem solving dengan merumuskan dan memecahkan masalah mereka sendiri, dan juga menulis ulang masalah dengan kata-kata mereka sendiri dalam rangka untuk memudahkan pemahaman. Penting untuk dicatat bahwa melalui teknik problem solving peserta didik mendapat dorongan terkait dengan proses yang sedang mereka lakukan sebagau upaya untuk memperbaiki pemahaman, menemukan wawasan baru tentang masalah dan mengkomunikasikan gagasan mereka.

  • Penerapan Problem Solving dalam pembelajaran Matematika

Pembelajaran  melalui problem solving tentu  dimulai dengan sebuah masalah. Peserta didik belajar dan memahami aspek penting dari konsep atau ide dengan mengeksplorasi situasi masalah. Masalah yang digunakan cenderung lebih terbuka dan memungkinkan beberapa jawaban yang benar dan beberapa pendekatan solusi. Dalam mengajar melalui pemecahan masalah, masalah tidak hanya berokus pada rangsangan untuk belajar siswa, tapi juga berfungsi untuk eksplorasi matematika. Siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran dengan mengeksplorasi  dan menemukan strategi solusi mereka sendiri, karena eksplorasi masalah merupakan komponen penting dalam pengajaran melalui pemecahan masalah.

Dibawah ini beberapa contoh penerapan problem solving dalam pembelajaran matematika;

Masalah 1

  • Rata-rata nilai tes sepuluh orang peserta didik adalah 78. Skor paling atas dan bawah yaitu 65 dan 95 dibuang oleh guru. Berapakah rata-rata sisa nilai yang tersisa?

Solusi peserta didik:

10 – 2 = 8

(95 + 65) = 160

160 : 10 = 16

78 – 16 = 62

62 x 10 = 620

620 : 8 = 77,5

            Jadi rata-rata sisa nilai setelah nilai atas dan bawah dibuang adalah, 77,5.

Deskripsi dari Solusi:

  • Peserta didik pertama kali menggunakan salah satu sifat rata-rata dan menentukan bahwa sisa peserta didik adalah 8 (diperoleh dari 10-2). Sehingga ada 8 nilai harus ada diantara 65 dan 95. Kemudian peserta didik membuat deretan sepuluh lingkaran, dengan meletakkan angka 95 di nomor pertama dan 65 di terakhir, 8 lingkaran lainnya dibiarkan kosong. Dengan menggunakan pendekatan modifikasi pembagian, peserta didik menyadari bahwa 65 dan 95 memberikan kontribusi 16 terhadap rata-rata   yaitu [(95 + 65) : 10] = 16. Selanjutnya peserta didik mengatakan bahwa masing-masing dari 8 lingkaran  kosong harus didapat 16. Tetapi karena 16 adalah 62 kurangnya dari 78 (16 adalah rata-rata untuk sepuluh nilai), peserta didik tersebut kemudian melakukan operasi perkalian 10 dengan 62 dan mendapat hasil 620. Selanjutnya 620 kemudian dibagi oleh 8 dan  mendapatkan 77,5. Jadi rata-rata  nilai yang tersisa setelah nilai atas dan bawah dibuang adalah 77,5.
  • Dalam solusi ini, peserta didik memiliki kata kunci yaitu membuang bagian atas dan bawah saat mengambil 16 dari masing-masing nilai lainnya. Dengan menemukan pendekatan ini, peserta didik tersbut telah menunjukkan pemahaman yang luar biasa tentang rata-rata. Peserta didik telah mampu menghubungkan pengetahuan awal yang telah ada dalam struktur kognitf mereka, namun demikian peserta didik masih harus diarahkan untuk mengembangkan strategi yang lebih efisien.

Nampak jelas bahwa peserta didik mampu menciptakan strategi mereka sendiri menyelesaikan masalah. Dalam pembelajara ini peserta didik diberi kesempatan untuk mendiskusikan strategi alternatif untuk menyelesaikan masalah sebelum proses penyelesaian masalah berlangsung.  Pertanyaannya adalah:

  • Bagaimana perserta didik belajar menggunakan strategi yang ada sebelum ada instruksi yang terjadi?
  • Bagaimana pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peserta didik untuk menciptakan strategi yang masuk akal?

Jawaban yang mungkin dari pertanyaan ini adalah:

Prosedur yang diciptakan peserta didik bersumber dari kedalaman intuisi dan cara berpikir alami mereka. Selanjutnya perlu mengkaji lebih jauh tentang bagaimana cara berpikir alami peserta didik dalam problem solving matematika.

Masalah 2

  • Satu karung beras mempunyai berat 240 kg. Untuk menyamakan berat satu karung beras dengan beberapa orang, berapa orangkah yang diperlukan?.

Beberapa Solusi peserta didik:

Kerena 6 x 40 = 240

Jadi ada 6 orang dengan berat badan masing-masing 40 kg

Karena 8 x 30 = 240

Jadi, ada 8 orang dengan berat masing-masing 30 kg

  1. 3 orang beratnya 20 kg dan 6 orang beratnya 30 kg.

(3 x 20) + (6 x 30)

 = 60 + 180

 = 240.

  1. (2 x 5) + (10 x 23) = 10 + 230 = 240

Jadi, ada 2 orang beratnya 5 kg dan 10 orang beratnya 23 kg.

Misalkan:

x = berat badan orang I

 y = berat badan orang II

 x = 5 dan y = 10

berapa kali 5 ditambah dengan berapa kali 10 menghasilkan 240.

Jadi, dapat ditulis: 2x  + 10y  = 240

Deskripsi solusi peserta didik:

  • Masalah ini adalah mempunyai banyak solusi (open ended). Sehingga solusi no. 1 dan no.2 di atas adalah benar, apabila memisalkan semua orang yang dimaksud mempunyai berat yang sama. Sehingga penyelesaiannya langsung menggunakan konsep pembagian biasa (algoritma pembagian). Peserta didik memanfaatkan pengetahuan yang telah tersimpan dalam struktur kognitif mereka terkait dengan operasi bilangan positif dan menggunakannya dalam penyelesaian masalah. Masih ada realitas lain yang dapat menjadi pemecahan. Bagaimana kalau berat yang dimaksud ada yang sama dan digabung dengan berat yang tidak sama?. Solusi no.3 dan no 4 adalah contohnya penyelesaian yang memenuhi. Penyelesaiannya memerlukan langkah-langkah, dan akan diperoleh banyak solusi. Kemampuan peserta didik dalam mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki menunjukkan kemampuan mereka dalam problem solving.
  • Dalam hal ini peserta didik dengan solusi no.3 dan no.4 telah menggunakannya. Peserta didik telah melakukan pemrosesan informasi dalam menyelsaikan masalah dengan menggunakan pengetahuan yang tersimpan dalam struktur kognitif mareka. Sehingga mereka mampu melakukan investigasi, membuat model matematika, lalu mendapatkan keputusan.

Pemecahan masalah 2 di atas menggunakan konsep-konsep pada bilangan dengan opeasi penjumlahan,  pembagian, perkalian, dan aljabar dalam bentuk model matematika dengan persamaan matematika terbuka. Karena masalah 2 di atas adalah masalah dengan solusi banyak (open ended) maka  penyelesaian yang mungkin tergantung pada kemampuan intelektual dan pengalaman peserta didik. Kemapuan komunikasi matematis dan kreatif yang  produktif dalam mengambil keputusan tentu sangat diperlukan dalam problem solving. Problem solving melalui pendekatan open ended  sangat diperlukan  sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan intelektual peserta didik dalam pembelajaran matematika.  Pendekatan open ended akan merangsang peserta didik untuk berlatih secara individu dalam rangka mengembangkan kompetensi tanpa ikut-ikutan dengan jawaban temannya.

Metode pembelajaran, dengan menghafal dan membaca fakta, peraturan, dan prosedur, dengan penekanan pada penerapan prosedur yang dilatih untuk menyelesaikan masalah rutin (biasa) adalah kurang memadai. Pembelajaran dengan pendekatan problem solving terjadi ketika proses kegiatan pemecahan masalah dilakukan peserta didik berlangsung. Artinya proses pembelajaran berlangsung selama proses pemecahan masalah berjalan, dimana peserta didik bebas menggunakan pendekatan sesuai dengan pikirkan masing-masing, dengan memanfaatkan pengetahuan yang telah mereka pelajari, dan membenarkan gagasan mereka sesuai apa yang diyakini. Lingkungan pembelajaran melalui pendekatan problem solving memberikan kesempatan bagi peserta didik menyajikan berbagai solusi, berbagi kepada kelompok atau kelas dan belajar matematika melalui interaksi sosial, bernegosiasi, untuk mencapai pemahaman bersama. Kegiatan seperti itu membantu peserta didik melakukan klarifikasi gagasan dan mendapatkan perspektif konsep belajar yang berbeda.

Pendekatan pemecahan masalah (problem solving) dapat berkontribusi secara signifikan terhadap pendidikan matematika tidak hanya sebagai sebuah metode atau jalan

untuk mengembangkan pemikiran logis, akan tetapi problem solving juga dapat : (1) memberi konteks pengetahuan matematika bagi peserta didik, (2) meningkatkan proses transfer keterampilan pada situasi yang tidak rutin, (3) merupakam bentuk estetika dalam diri peserta didik. dan (4) memberi tempat (ruang) kepada peserta didik untuk membuat gagasan sendiri tentang matematika dan untuk bertanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri.

Pendekatan problem solving merupkan tantangan bagi para guru, pada semua jenjang sebagai upaya untuk mengembangkan proses pemikiran matematis dan pengetahuan matematika peserta didik. Guru dituntut untuk menggunakan problem solving dengan  menyajikan masalah matematika tidak rutin dalam konteks pemecahan masalah. Diharapkan penyajian masalah mengacu pada bentuk open ended. Berikut ini adalah jenis-jenis masalah yang dihadapi peserta didik dan memerlukan problem solving dalam menyeleseaikannya.

  • Masalah kata, dimana konsepnya tertanam dalam situasi dunia nyata dan siswa diharuskan untuk mengenali dan menerapkan algoritma / aturan yang sesuai. (mempersiapkan peserta didik menghadapi tantangan hidup)
  • Masalah non rutin yang memerlukan tingkat interpretasi dan pengorganisasian informasi yang lebih tinggi dalam masalah, bukan hanya pengenalan dan penerapan algoritma (mendorong pengembangan pengetahuan umum dan akal sehat)
  • Masalah “nyata”, berkaitan dengan menyelidiki masalah yang nyata bagi siswa, tidak harus memiliki solusi tetap, dan menggunakan matematika sebagai alat untuk menemukan solusi (melibatkan murid dalam pelayanan kepada masyarakat).

REFERENSI

Edy Surya, (2011). Visual Thinking and Mathematical Problem Solving of the Nation Character Development, Department of Mathematics Education, Yogyakarta State University Yogyakarta, July 21‐23,2011.

National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) (1980). An Agenda for Action: Recommendations for School Mathematics of the 1980s, Reston, Virginia: NCTM.

Polya, G. (1980). ‘On solving mathematical problems in high school’. In S. Krulik (Ed). Problem Solving in School Mathematics, (pp.1-2). Reston, Virginia: NCTM.

Schoenfeld, A. (1994). Reflections on doing and teaching mathematics. In A. Schoenfeld (Ed.). Mathematical Thinking and Problem Solving. (pp. 53-69). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Schunk, D. H. 2012. Learning Theories an Educational Perspective sixth edition. Diterjemahkan oleh : Eva Hamdiah dan Rahmat Fajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Stanic, G. and Kilpatrick, J. (1989). ‘Historical perspectives on problem solving in the mathematics curriculum’. In R.I. Charles and E.A. Silver (Eds), The Teaching and Assessing of Mathematical Problem Solving, (pp.1-22). USA: National Council of Teachers of Mathematics.