Bumi air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar

Bumi air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar

Rabu, 21 September 2011 - Dibaca 55254 kali

Oleh: Agus Salim, Biro Hukum dan Humas, Kementerian ESDM

Sebelumnya telah dikemukakan bahwa landasan konstitusional dalam kegiatan usaha migas adalah Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Prinsip "dikuasai negara" tersebut dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang SDA yang lahir pasca kemerdekaan maupun pasca reformasi, di antaranya Undang-Undang No. 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara untuk kegiatan usaha di bidang pertambangan umum dan Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi untuk kegiatan usaha di bidang migas.

Pada tataran praktis, pengertian "dikuasai negara" ternyata telah ditafsirkan berbeda-beda dari waktu ke waktu. Pertama, pada masa Demokrasi Terpimpin, pengertian "dikuasai negara" diartikan sebagai negara memiliki wewenang untuk menguasai dan mengusahakan langsung semua sumber daya alam melalui perusahaan-perusahaan milik negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, pemerintah menyeragamkan bentuk badan usaha milik negara menjadi perusahaan negara yang pada masa itu berjumlah sekitar 822 perusahaan negara.

Kedua, pada masa Orde Baru, pengertian "dikuasai negara" telah bergeser dari "pemilikan dan penguasaan secara langsung" menjadi "penguasaan secara tidak langsung" melalui kepemilikan seluruh saham di BUMN. Hal ini terjadi karena pemerintah menyadari sepenuhnya bahwa mengelola sumber daya alam secara langsung memerlukan sumber daya manusia yang terampil (skill), modal yang sangat besar (high capital), teknologi tinggi (high technology), dan berisiko tinggi (high risk). UU Migas 1960 dan UU Pertamina lahir pada masa ini.

Ketiga, pada masa Reformasi, pengertian "dikuasai negara" bergeser ke arah yang lebih praktis dan terbuka. Pemerintah memberikan peluang sebesar-besarnya kepada investor swasta atau asing untuk terlibat langsung dalam pengusahaan sumber daya alam melalui pemberian izin langsung (license) atau kontrak kerja sama operasi (KSO). Bahkan, sebagian saham milik milik negara di BUMN telah dijual kepada investor-investor swasta melaui penawaran umum di bursa-bursa efek, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti yang dilakukan PT Telkom, PT Indosat, dan PT Gas Negara. Ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk sangat pesat, ketidakmampuan BUMN dalam memobilisasi dana, dan terbatasnya APBN untuk memenuhi kebutuhan dan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat.

Kebijakan Pemerintah Orde Baru dan Pemerintah Reformasi dalam konteks pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 tampaknya sejalan dengan pemikiran Mohammad Hatta ("Bung Hatta"), Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia dan perumus Pasal 33 UUD 1945. Bung Hatta berpandapat bahwa kata dikuasai negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak harus diartikan negara sendiri sebagai pelaku usaha. Kekuasaan negara terletak pada kewenangan membuat peraturan untuk melancarkan jalan ekonomi dan melarang terjadinya penghisapan orang lemah oleh orang lain yang bermodal.

Makna "dikuasai negara" juga diperdebatkan banyak orang, baik yang dikemukakan dalam literatur maupun seminar atau diskusi. Perdebatan berkisar pada kata kunci "dikuasai negara" vis a vis ekonomi pasar bebas yang mendominasi perekonomian dunia. Tetapi, secara garis besar, kesimpulan akhirnya tidak bergeser dari pemikiran Bung Hatta. Putusan MK dalam perkara judicial review atas UU Migas 2001 terhadap UUD 1945 juga sejalan dengan pemikiran dan pendapat Bung Hatta.

Mengenai makna "dikuasai negara", MK berpendapat antara lain sebagai berikut (tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003. Dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2005)... pengertian "dikuasai oleh negara" haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya", termasuk pula di dalamnya pengertian publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat ... Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; atau (ii) penting bagi Negara, tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi Negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ...

Dengan kata lain, makna "dikuasai negara" tidak harus diartikan bahwa negara sendiri yang langsung mengusahakan sumber daya alam. Aksentuasi "dikuasai negara" atau kedaulatan negara atas SDA terletak pada tindakan negara dalam hal pembuatan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan terhadap kegiatan usaha di bidang sumber daya alam.

Bagikan Ini!

Bumi air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar

Rabu, 6 Mei 2015 Badan Litbang ESDM kembali mengadakan Forum Knowledge Sharing(FKS). Forum ini membahas tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas dengan Nara Sumber Dr. Umar Said, jabatan terakhir Pak Umar -begitu beliau dikenalnya- adalah Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi periode 1993-1997. Sebelum memulai pembahasan tentang RUU Migas tersebut, Pak Umar menyampaikan ‘kisah’ dibalik perubahan UU No. 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) yang merupakan salah satu sektor yang masih sangat tertutup dan monopolis (komoditas migas). Presiden Soeharto meminta agar migas dipelajari dan dicarikan jalan agar tetap dikelola sesuai amanat UUD 1945 tetapi tidak tabrakan dengan kesepakatan APEC.

Menteri Pertambangan dan Energi menugaskan Umar Said selaku Sekjen Deptamben dan Direktur Utama Pertamina, sementara Mensesneg dan Menteri Keuangan menugaskan Eselon I-nya untuk bersama melaksanakan permintaan Presiden. Semua tidak diizinkan gembar-gembor. Kami mulai membaca dan mencermati UUD’45. “Barangkali kami, khususnya saya belum pernah membaca UUD berkali-kali seperti saat melaksanakan penugasan ini. Ada beberapa pesan politik yang sulit kami pahami dan kelihatannya akan sulit pula untuk disandingkan dengan kesepakatan APEC yaitu (1) dikuasai negara; (2) untuk sebesar besar kemakmuran rakyat; (3) penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak,” ungkap Pak Umar.

‘DIKUASAI NEGARA”

Tentang pengertian “dikuasai negara”, begitu Pak Umar memulai ‘kisah’nya, ada beberapa acuan yaitu: Pertama, apa yang disampaikan Bung Hatta dekade 1930-an, yang tertuang dalam tulisan berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya. Negara harus mengusahakan sendiri cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pemikiran tahun 1934 ini masih sering diacu orang sebagai pemikiran tunggal Bung Hatta. Berbagai pihak, sampai saat ini, juga masih sering menyuarakan keinginannya agar negara yang menjadi pengusaha migas.

Kedua, pidato Bung Hatta pada peringatan Hari Koperasi, 12 Juli 1977. Pada kesempatan itu Bung Hatta menyampaikan makna “dikuasai oleh negara”. Menurut beliau, “dikuasai” oleh negara dalam pasal 33 UUD 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan, atau ondernemer. Menurut Bung Hatta, kekuasaan negara terdapat pada pembuatan peraturan guna melancarkan jalan ekonomi. Yang penting negara mempunyai kewenangan untuk mengatur. Peraturan harus juga melarang “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal.

Kelihatan sekali bahwa antara tahun 1934 dan 1977, pemikiran Bung Hatta sudah berubah. Beliau menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Seperti diketahui, tahun 1930-an lahir aliran Keynes yang menyarankan peran negara dalam ekonomi karena kegagalan peran swasta. Sedangkan pada tahun 1977, mulai kelihatan kegagalan sistem semua oleh negara yang berlaku di blok Timur dan keunggulan sistem ekonomi barat. Barangkali Bung Hatta, sebagai cendekiawan, mencermati perubahan keadaan itu.

“UNTUK SEBESAR-BESARNYA KEMAKMURAN RAKYAT”

“Tentang amanat “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, ada yang menarik terkait amanat tersebut, yaitu diletakkan di ayat (3) Pasal 33 tentang bumi dan air dan kekayaan alam. Bukan di ayat (1) tentang ekonomi. Pasti ada maksudnya,” lanjut Pak Umar. Praktek yang terjadi di banyak negara adalah semua kegiatan usaha yang tidak mengenai kekayaan alam cukup membayar pajak penghasilan. Namun kegiatan yang menggali kekayaan alam, harus membayar pajak penghasilan dan pungutan lain yang di banyak negara disebut royalti. Di Indonesia, royalti ini disebut iuran atau sekarang disebut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Barangkali dalam kaitan membayar lebih dari sekedar pajak penghasilan (PPh) itulah maksud pesan politik “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” dan diletakkannya di ayat (3). Jadi kelihatannya, jika di atas PPh ada PNBP, maka pengelolaan bumi dan air dan kekayaan alam sudah memenuhi amanat Pasal 33 ayat (3).

Hari ini, beberapa orang, bahkan ada juga tokoh terpelajar, yang  masih berpendapat bahwa “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” di sektor migas harus diterjemahkan sebagai subsidi BBM. Padahal pesan konstitusi sangat jelas, yaitu “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dan bukan “untuk sebesar-besarnya kemakmuran RAKYAT PEMAKAI BBM.”

Rakyat di daerah terpencil, jauh dari pusat kekuasaan di Pulau Jawa, masih banyak yang tidak menggunakan BBM atau menggunakan dalam jumlah yang sedikit sekali. Mereka juga berhak mendapat kemakmuran yang dihasilkan oleh migas. Mungkin dalam bentuk sekolah yang baik, puskesmas atau rumah sakit yang baik, jembatan atau sarana publik lainnya. Jadi, lebih penting menyalurkan kemakmuran yang berasal dari kekayaan alam itu ke semua orang dibanding kepada sekelompok orang saja.

“PENTING BAGI NEGARA DAN MENGUSAI HAJAT HIDUP ORANG BANYAK”

Tentang pengertian “penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak”, kita terbiasa dengan praktek bahwa minyak menguasai hidup orang banyak. Kelihatannya itu memang tidak terbantahkan. Setiap hari kita bersentuhan dengan minyak. Jadi minyak harus dikuasai negara, yang menurut para penganut paham nasionalisme “sempit” harus diusahakan sendiri oleh negara. Bahkan banyak yang mengira, bahwa praktek seperti itu sudah merupakan hukum alam. Memang agak sulit menjabarkan makna “menguasai hajat hidup orang banyak”. Rujukan yang ada tidak memberikan definisi yang jelas dan operasional. Tidak heran karena pesan itu memang suatu politik ekonomi konstitusi. Kita yang harus mencari jabaran operasionalnya.

Bumi air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar

Peserta FKS RUU Migas 2015 Badan Litbang ESDM

Untuk mengerti kadar “menguasai hajat hidup orang banyak” yang dikandung oleh minyak, terpaksa dilakukan perbandingan empiris. Dibuat perbandingan minyak dan air. Ternyata banyak orang memilih tidak mempunyai minyak daripada tidak mempunyai air. Jadi, kadar “menguasai hidup orang” yang dibawa oleh minyak tidak setinggi yang dibawa oleh air. Sebagian besar air bahkan lepas dari bisnis PDAM, artinya lepas dari bisnis yang diusahakan sendiri oleh negara. Itu mungkin karena air jumlahnya banyak sedang minyak terbatas. Kemudian minyak dibandingkan dengan beras yang kelangkaan atau kelimpahannya kira-kira setara dengan minyak. Kebanyakan orang memilih tidak mempunyai minyak dibanding tidak mempunyai beras. Kesimpulannya tidak berubah. Minyak dibawah beras. Ternyata kadar menguasai hajat orang banyak yang dibawa oleh minyak tidak tinggi-tinggi amat, kalah dibanding banyak komoditi lain.

Kesimpulannya adalah bahwa selama ini kita mungkin terbiasa dengan rumusan bahwa minyak adalah komoditi vital sehingga pertimbangan politiknya sangat tinggi. Bahkan cenderung hanya pertimbangan itu saja yang dipakai untuk mengatur usaha migas. Masih ada pesan politik lain yang tidak terlalu cermat dibaca oleh kebanyakan dari kita. Pasal 33 Ayat (3) UUD berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar­besarnya kemakmuran rakyat”. Kita tidak cermat membaca anak kalimat “yang terkandung di dalamnya”.

Kita berpendapat setiap tetes minyak harus dikuasai negara. Minyak Arab yang kita impor, tidak pernah terkandung di dalam bumi dan air Indonesia, jadi mestinya tidak terkena amanat itu. Para perumus konstitusi sudah sangat bijak dengan tidak ingin menguasai minyak impor ini. Tetapi perdagangan BBM-nya harus diatur oleh pemerintah.

Di dalam kalimat “yang terkandung di dalamnya” inilah ditemukan peluang mengatur sektor migas (dan sumber daya alam lainnya) agar tetap menjunjung tinggi pesan konstitusi tetapi tidak tabrakan dengan kesepakatan ekonomi global. Itu baru ditemukan tahun 1997, artinya setelah sekitar tiga tahun “tim” sangat kecil ini bekerja, membaca berbagai rujukan dan berulang kali membaca UUD.

Dalam hal BBM, kita masih terjebak dengan interpretasi sempit “untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.” Sepertinya, kekayaan migas bisa sampai ke rakyat hanya melalui subsidi. Tiba-tiba sistem pasar BBM menjadi haram. Padahal UUD tidak sekali pun mengharamkan sistem pasar. Padahal sebelum penjajah datang, penduduk nusantara telah mengenal sistem pasar termasuk harga pasar. Padahal, akan lebih mulia bangsa ini jika kesejahteraannya meningkat sehingga tidak perlu disubsidi, karena pendidikan kaum mudanya unggul, karena kesehatannya prima, karena semua mendapat pekerjaan yang layak. (hs)