Ceritakan secara ringkas bagaimana teater masuk ke Indonesia dan sebutkan istilah lain dari teater

Penulis: Nur Annisa Kusumawardani

Gabung Telegram Kawan GNFI untuk dapat informasi seputar program dan tulisan terbaru Good News From Indonesia.

Sebagai salah satu seni pertunjukan tertua di dunia, teater telah ada di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan. Melalui adanya akulturasi dari berbagai budaya, agama, hingga negara, teater Indonesia terus berkembang hingga kini menjadi teater kontemporer yang sering Kawan jumpai.

Teater berasal dari kata “theatre” dalam bahasa Inggris yang area luar ruangan di mana drama dan pertunjukan dramatis lainnya diberikan, atau sebuah kegiatan dalam memproduksi, mengarahkan, atau menulis drama. Sedangkan dalam bahasa Yunani, kata ini diambil dari “theatron” yang memiliki makna sebagai tempat untuk menonton.

Di Indonesia, teater awalnya memiliki fungsi sebagai pertunjukan pemujaan sebelum kini menjadi salah satu seni yang banyak ditampilkan di tiap daerah seluruh negeri.

Eksistensi Grup Teater Masa Kolonial

Dari teater tradisional hingga teater modern

Ceritakan secara ringkas bagaimana teater masuk ke Indonesia dan sebutkan istilah lain dari teater

Ceritakan secara ringkas bagaimana teater masuk ke Indonesia dan sebutkan istilah lain dari teater

Teater Tradisonal | pojokseni.com

Dilansir dari Kumparan, awal mula sejarah teater di Indonesia dimulai pada Zaman Hindu. Hal ini ditandai oleh adanya unsur-unsur teater pada pelaksanaan upacara adat agama Hindu. Selanjutnya, masyarakat ikut mengembangkan teater pada masa itu menjadi pertunjukan spontanitas yang ditampilkan di luar upacara adat.

Dalam perjalanannya, teater Indonesia memiliki kisah masing-masing yang beragam. Ini karena bangsa ini terdiri atas berbagai suku dan budaya yang melahirkan ciri khas dan tata cara yang berbeda dalam berteater.

Beberapa teater tradisional Indonesia adalah drama gong, lenong, beragam jenis wayang, ludruk, ketoprak, ubrug, dan banyak lagi. Kini, seni pertunjukan tersebut kebanyakan hanya digelar pada acara-acara penting tertentu.

Selepas masa teater tradisional, dunia teater di Indonesia menginjak masa teater modern yang juga disebut sebagai teater transisi. Adanya pengaruh budaya dari negara lain memberikan sentuhan warna yang berbeda pada teater ini. Memiliki unsur teknik teater barat yang dibawa oleh orang Belanda pada tahun 1805, teater transisi membuka cakrawala baru bagi seni pertunjukan di Indonesia.

Longser Seni Teater Tradisional Penuh Banyolan dari Jawa Barat

Maraknya pertunjukan teater transisi pada masa kolonial Belanda menjadi salah satu alasan berdirinya gedung Schouwburg atau Gedung Kesenian Jakarta di tahun 1821. Hanya pada tahun 1891,teater ini mulai dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, bertepatan dengan berdirinya Komedie Stamboel di Surabaya.

Teater transisi terus mengalami perkembangan hingga berdirinya Sandiwara Dardanella (The Malay Opera Dardanella) yang didirikan oleh Willy Klimanoff di tahun 1926. Pada masa penjajahan Jepang, teater transisi juga terus berkembang memunculkan berbagai seni pertunjukan lain, seperti Sandiwara Orion dan Komidi Bangsawan.

Lima periode teater modern di Indonesia

Ceritakan secara ringkas bagaimana teater masuk ke Indonesia dan sebutkan istilah lain dari teater

Berawal dari seni pertunjukan adat dalam ritual keagamaan yang dianggap sebagai sesuatu yang khidmat dan serius, teater bertumbuh seiring berjalannya waktu dan bergeser menjadi seni hiburan.

Dalam buku karya Riantiarno, Jakob Sumardjo membagi teater modern Indonesia menjadi lima periode, yaitu masa perintisan, masa kebangkitan, masa perkembangan, masa mutakhir, dan masa kontemporer.

Berawal dari hadirnya teater pada kalangan bangsawan, saat itu masyarakat kalangan bawah ikut menggemari tontonan panggung tiruan opera dengan cerita berpusat pada kehidupan raja-raja dengan pakaian gemerlap dan dialog yang dinyanyikan seperti opera pada umumnya.

Selanjutnya, Teater Stamboel di Surabaya berdiri untuk membawakan cerita yang bertema timur tengah. Didirikan pada tahun 1891, teater ini dipimpin oleh seorang Indo bernama August Mahie.

Masa Kebangkitan (1924—1941)

Masa ini berawal dari hadirnya perkumpulan Dardanella yang didirikan oleh A. Pierdro yang menghadirkan pertunjukan berbahasa Melayu Rendah. Kemudian, grup teater Miss Riboet Orion ikut hadir dan sukses pada zaman kolonial di Indonesia. Pada tahun 1926 menjadi awal teater modern Indonesia, dengan ditulisnya naskah teater Bebasari berbahasa Indonesia oleh Rustam Effendi.

Berjaya di Festival Film Internasional, Film Anak Bangsa Raih Golden Leopard Award

Masa Perkembangan (1942—1970)

Pada masa ini, penjajah Jepang datang dan memberlakukan sensor terhadap karya-karya naskah lakon Indonesia. Saat inilah lahir berbagai seniman penulis naskah seperti Usmar Ismail, Abu Hanifah, dan lainnya. Teater ini kemudian berkembang di masa penjajahan Jepang sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintahan totaliter Jepang.

Masa singkat tersebut dilanjutkan dengan pasca kemerdekaan Indonesia dengan didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATMI) oleh Usmar Ismail, D. Djajakusuma, dan Asrul Sani. ATMI berperan dalam mendorong keaktifan grup-grup teater di Indonesia sekaligus mendidik calon-calon seniman teater bangsa.

Periode ini juga disemarakkan oleh beragam pengarang produktif nan berkualitas, seperti Achdiat Karta Miharja, Aoh K Hadimaja, dan Sitor Situmorang. Perkembangan teater di awal kemerdekaan ini umumnya terdiri atas kisah-kisah perenungan atas jasa, pengorbanan, dan keberanian para pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan. Beberapa karya teater Indonesia periode 1950-an adalah Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953), dan Hanya Satu Kali (1956).

Masa Teater Mutakhir (1970—1980)

Ceritakan secara ringkas bagaimana teater masuk ke Indonesia dan sebutkan istilah lain dari teater

D. Djajakusuma, Salah Satu Seniman Teater Indonesia | Indonesian Film Center

Pada masa ini, lahir teater-teater perintis ATNI, seperti Teater Populer yang dipimpin oleh Teguh Karya dan Teater Lembaga yang dipimpin oleh D. Djajakusuma.

Masa Kontemporer (1980—sekarang)

Pada periode ini, para pengarang dan seniman teater telah tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Bersama dengan itu, hadir pula dewan kesenian, lembaga kesenian, dan studi kebudayaan yang berperan dalam mendukung lahirnya tokoh-tokoh teater Indonesia.

Adanya Taman Ismail Marzuki juga ikut serta memberikan warna dan corak teater Indonesia. Selain itu, adanya sayembara-sayembara oleh Dewan Kesenian Jakarta juga mencetak generasi-generasi baru teater Indonesia yang tidak diragukan kualitasnya.

Perkembangan teater Indonesia melewati sejarah dan perkembangan yang cukup panjang. Aneka corak dan warna teater tiap daerah juga menjadikannya sebagai keragaman yang berharga bagi kekayaan kita sebagai suatu bangsa.*

Referensi: Kumparan | Tambah Pinter

Pertunjukan Padusi (Sumber: Pikiran Rakyat)

Dahulu, teater masih di anggap sebagai suatu yang khidmat dan serius, karena hanya dipertunjukan dalam kegiatan ritual keagamaan. Seiring berjalannya waktu fungsi teater mulai bergeser menjadi suatu hiburan. Achmad (1977: 949) berpendapat bahwa teater modern ialah teater yang dipelajari dari Barat, menurut segi susunan naskah, latihan, pementasan, pemikiran, dan cara menonton Untuk lebih memahami sejarah teater modern Indonesia, mari simak penjelasan berikut ini.

Jakob Sumardjo dalam buku karya Riantiarno (2011:27) membagi teater modern Indonesia menjadi lima periode, yaitu masa perintisan, masa kebangkitan, masa perkembangan, masa mutakhir, dan masa kontemporer.

Masa Perintisan, berlangsung pada tahun 1885-125 yang diawali dengan hadirnya teater bangsawan, masyarakat kelas bawah gemar menonton panggung tiruan Opera yang bercerita tentang kehidupan raja-raja dengan pakaian gemerlapa yang pengucapan dialognya dinyanyikan sebagaimana umumnya sebuah opera. Pada tahun 1891 berdiri Teater Stamboel di Surabaya yang dipimpin oleh August Mahie, teater tesebut membawakan cerita yang bertema timur tengah.

Masa Kebangkitan, berlangsung pada tahun 1925-1941 yang diawali dengan hadirnya perkumpulan Dardanella yang didirikan oleh A. Pierdro. Pertunjukan tersebut menggunakan bahasa Melayu Rendah. Selanjutnya, hadir Miss Riboet Orion, yakni grup teater yang sukses pada zaman kolonial di Indonesia. Pada tahun 1926 Rustam Effendi menulis naskah menggunakan bahasa Indonesia berjudul Bebasari. Hal tersebut, merupakan awal tetaer modern Indonesia.

Masa Perkembangan, berlangsung pada tahun 1942-1970. Pada tahun 1942, para pejajah Jepang memberlakukan sensor terhadap karya-karya naskah lakon Indonesia, pada masa tersebut lahir penulis naskah, seperti Usmar Ismail (Liburan Seniman), Abu Hanifah (Taufan di Atas Asia) dan lainnya. Kemudian, pasca kemerdekaan Indonesia Usmar Ismail, D. Djajakusuma dan Asrul Sani mendirikan ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) yang berfunsgsi sebagai pendorong keaktifan grup-grup teater di Indonesia dan pendidik calon-calon seniman teater Indonesia. Pada periode tersebut banyak jumlah pengarang yang produktif dan berkualitas menghasilkan karya, seperti Achdiat Karta Miharja (Bentrokan dalam Asmara, Pakaian dan Kepalsuan), Aoh K Hadimaja (Lakbok, kapten Syap), Sitor Situmorang (Jalan Mutiara) dan lainnya.

Masa Teater Mutakhir, berlangsung pada tahun 1970-1980). Pada tahun tersebut terlahir teater-teater yang merupakan perintis dari ATNI, seperti Teater Populer yang dipimpin oleh Teguh Karya pada tahun 1968 dan Teater Lembaga yang dipimpin oleh D. Djajakusuma sebagai dosen ATNI, Pramana Padmodarmaya, dan Wahyu Sihombing sebagai mahasiswa angkatan Pertama ATNI.

Masa Kontemporer, berlangsung pada tahun 1980 sampai sekarang. Pada periode pengarang-pengarang sudah yang tersebar di seluruh provinsi Indonesia. Hadir dewan kesenian, lembaga kesenian, dan studi kebudayaan yang turut serta mendukung lahirnya tokoh-tokoh teater Indonesia. Hal tersebut juga tidak lepas dari adanya Taman Ismail Marzuki yang ikut serta memberikan warna dan corak teater Indonesia dan sayembara- sayembara yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta yang telah terjamin kualitas pemenangnya.

Hasanuddin, 2015. Drama Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Percetakan Angkasa.

Riantiarno, 2011. Kitab Teater. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Achamad Syaeful Anwar, 2012. Perkembangan Teater Kontemporer Indonesia. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.