Dalam tulisan ini penulis mencoba menuangkan kembali tatacara penghitungan PPh Pasal 21 yang tentu saja sedkit besarnya mengalami beberapa perubahan. Perubahan tersebut diatur dalam ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi. Penghitungan PPh Pasal 21 menurut ketentuan tersebut, dibedakan menjadi 5 macam cara penghitungan, yaitu : Show PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala; 1. PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala Untuk penyederhanaan dalam penghitungan PPh Pasal 21 untuk Pegawai tetap dan penerima pensiun berkala, penulis membagi dalam beberapa tahapan salah satunya adalah memahami unsur penambah dan pengurang penghasilan bruto karyawan sebagai pegawai tetap, adapun tahapan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan pegawai tetap, terlebih dahulu dihitung seluruh penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya. Contoh : Gaji Bulanan Pegawai Tetap Remapra pegawai pada perusahaan PT Nusa Hati, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp
3.000.000,00. PT Nusa Hati mengikuti program Jamsostek, premi Jaminan Kecelakaan Kerja dan premi Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Nusa Hati menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji sedangkan Remapra membayar iuran Jaminan Hari Tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Nusa Hati juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Nusa Hati membayar iuran pensiun untuk Remapra ke
dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp100.000,00, sedangkan Remapra membayar iuran pensiun sebesar Rp50.000,00. Pada bulan Juli 2013 Remapra hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli 2013 adalah sebagai berikut: Penghasilan neto sebulan Rp 2.762.800,00 Dari contoh tersebut di atas disebutkan PT Nusa Hati menanggung iuran Jaminan Hari Tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, PT Nusa Hati membayar Iuran JHT namun tidak sebagai penambah penghasilan bagi Remapra, hal ini sesuai dengan Pasal 8 ayat (1)c dikatakan bahwa yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja; sehingga karena Iuran THT dan atau JHT yang ditanggung atau dibayarkan oleh perusahaan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan sehingga tidak dikenakan PPh Pasal 21. Terdapat 2 (dua) jenis yang ditanggung perusahaan yang memiliki implikasi berbeda terhadap penghasilan bruto karyawan, yaitu : Bagi Perusahaan yang ikut program Jamsostek (sejenisnya) dan menanggung premi (JKK, JK, JPK), maka hal ini akan menambah penghasilan bruto karyawan. Jumlah persentase tertentu yang ditanggung perusahaan tersebut dapat dibiayakan hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf d dijelaskan demikian Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan
sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Hal ini menjelaskan bahwa penghasilan yang diterima karyawan dan disisihkan ke perusahaan asuransi sudah dikenakan pajak sebelum diberikan ke perusahaan asuransi sehingga saat kembali dari perusahaan asuransi (diterima manfaat asuransi) maka tidak boleh dikenakan pajak lagi. 2. PPh pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung Pajak Penghasilan (PPh) atas Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon Pegawai yang Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah Satuan, Upah Borongan, Uang Saku Harian atau Mingguan, adalah : Menentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari: a). upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam seminggu; b). upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang
dihasilkan dalam sehari; c). upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan. Contoh Upah Tenaga Harian Dibayar Bulanan Pramudya bekerja pada perusahaan jasa dengan dasar upah harian yang dibayarkan bulanan. Dalam bulan Januari 2013 Pramudya hanya bekerja 20 hari kerja dan upah sehari adalah Rp150.000,00. Pramudya menikah tetapi belum memiliki anak. Penghitungan PPh Pasal 21 PPh Pasal 21 sebulan adalah sebesar: 3. PPh Pasal 21 Bagi Anggota Dewan pengawas Atau Dewan Komisaris Yang Tidak Merangkap Sebagai Pegawai Tetap, Mantan Pegawai Yang Menerima Jasa Produksi, Tantiem, Gratifikasi, Bonus Atau Imbalan Lain Yang Bersifat Tidak teratur, Dan Peserta Program Pensiun Yang Masih Berstatus Sebagi Pegawai Yang Menarik Dana Pensiun Untuk memudahkan dalam pemahaman terkait penghitungan PPh Pasal 21 atas poin 3 ini maka penerima penghasilan dibedakan menjadi : Dewan Pengawas/Komisaris Non Pegawai tetap, yang menerima honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur maka PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas kumulatif jumlah
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh selama 1 (satu) tahun kalender. Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas honorarium komisaris yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap. Reyhan AP adalah seorang komisaris di PT Nusa Hati, yang bukan sebagai pegawai tetap. Dalam tahun 2013, yaitu bulan Desember 2013 menerima honorarium sebesar Rp 60.000.000,00 Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada yang bersangkutan lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya. Contoh penghitungan PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan kepada mantan pegawai. Yulia bekerja pada PT Nusa Games. Pada tanggal 1 Januari 2013 telah berhenti bekerja pada PT Nusa Games karena pensiun. Pada bulan Maret 2013, Yulia menerima jasa produksi tahun 2012 dari PT Nusa Games sebesar Rp55.000.000,00. Apabila dalam tahun kalender yang bersangkutan, dibayarkan penghasilan kepada mantan pegawai lebih dari 1 (satu) kali, maka PPh Pasal 21 atas pembayaran penghasilan yang berikutnya dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh atas jumlah penghasilan bruto kumulatif yang diterima dengan memperhitungkan penghasilan yang telah diterima sebelumnya. 4. PPh pasal 21 bagi Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Bukan Pegawai Definisi penerima penghasilan bukan pegawai sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka (12) Per-31/PJ/2012 adalah orang pribadi selain Pegawai Tetap dan Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 sebagai imbalan jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan. Dalam Pasal 3 huruf c ketentuan tersebut dijelaskan bahwa Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 adalah orang pribadi yang merupakan Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa. Pemberian jasa tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu tenaga ahli dan bukan tenaga ahli dengan syarat mereka bukan termasuk di dalam struktur kepegawaian, dengan ulasan sebagai berikut : Tenaga ahli yang terdiri dari : pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; Contoh : – See more at: http://www.nusahati.co/2013/09/sekilas-tentang-cara-penghitungan-pph-pasal-21/ Bagaimana pajak penghasilan atas premi asuransi?Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
Apakah premi asuransi dipotong PPh 21?Ketentuan Pajak Atas Premi Asuransi di Indonesia
Pengenaan pajak atas premi asuransi di Indonesia sampai saat ini masih masuk ke kategori Jasa Bukan Jasa Kena Pajak atau Non JKP. Perhitungan premi asuransi ini sendiri masuk ke dalam penghitungan PPh 21, dengan tarif 5% sampai dengan 30%.
Bagaimana cara menghitung PPh 21 dan berikan contohnya?Besarnya PPh 21 yang terutang adalah: 5% x 50% x Rp 8.000.000,00 = Rp 200.000. Bila Arzi tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang terutang adalah: 120% x 5% x 50% x Rp 8.000.000,00 = Rp 240.000.
Apakah premi asuransi termasuk objek pajak?Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
|