Desa dalam bahasa Minangkabau disebut nagari yang memiliki arti

Nagari Pariangan di Kabupaten Tanah Datar

Balai nagari Lubuak Gadang (Kabupaten Solok Selatan) pada tahun 1877-1879

Balai nagari Silago (Kabupaten Dharmasraya) pada tahun 1877-1879

Nagari adalah pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di provinsi Sumatera Barat, Indonesia.

Istilah nagari menggantikan istilah desa, yang sebelumnya dipergunakan di seluruh provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang kepada mengatur dan mengurus kebutuhan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan kebudayaan yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Etimologi

Secara etimologi kata nagari bersumber dari Bahasa Sanskerta nagarom yang berarti tanah cairan, tanah asal, atau tanah kelahiran. Wujud lain dari kata ini selang lain nagara, negara, negeri, nagori, nogori, nogoro.

Struktur Pemerintahan

Nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, dan dalam menjalankan pemerintahannya, dahulunya wali nagari dibantu oleh beberapa orang wali jorong, namun sekarang dibantu oleh sekretaris nagari (setnag) dan beberapa pegawai negeri sipil (PNS) yang banyaknya bergantung dengan keperluan pemerintahan nagari tersebut. Wali nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratis dengan pemilihan langsung kepada masa posisi 6 tahun dan belakang bisa dipilih kembali kepada satu kali masa posisi berikutnya. Biasanya yang dipilih dibuat menjadi wali nagari adalah orang yang diasumsikan paling menguasai tentang semua aspek kehidupan dalam kebudayaan Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut mampu menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari.

Nagari secara administratif pemerintahan benar di bawah kecamatan yang merupakan segi dari perangkat daerah kabupaten. Sedangkan nagari bukan merupakan segi dari perangkat daerah bila benar dalam struktur pemerintahan kota. Berlainan dengan kelurahan, nagari memiliki hak mengatur wilayahnya yang lebih lapang. Nagari merupakan wujud dari republik mini.

Dalam sebuah nagari dibentuk Kerapatan Norma budaya Nagari (KAN), yakni lembaga yang mempunyai anggota tungku tigo sajarangan. Tungku tigo sajarangan merupakan perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik berbakat (kaum intelektual) dan niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari). Keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan selang wali nagari dan tungku tigo sajarangan di balai norma budaya atau balairung sari nagari. Kepada legislasi, dibentuklah Badan Musyawarah Nagari (BMN) nama lain dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Unsur dalam BMN memuat unsur pada KAN dan dilengkapi dengan unsur pemuda, wanita dan perwakilan tiap suku. BMN berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan nagari, yang dipastikan dengan cara musyawarah dan mufakat dengan masa posisi selama 6 tahun dan bisa diangkat/diusulkan kembali kepada satu kali masa posisi berikutnya. Banyak anggota BMN dipastikan dengan banyak ajaib, paling sedikit 5 orang dan paling banyak 11 orang, dengan memperhatikan lapang wilayah, banyak penduduk, dan kemampuan keuangan nagari, serta dipastikan dengan keputusan Bupati/Walikota.

Dengan dilakukannya kembali model pemerintahan nagari di provinsi Sumatera Barat, maka hal ini berdampak terhadap wewenang atas penguasaan kembali tanah ulayat nagari maupun juga terhadap tanah-tanah norma budaya berpihak kepada yang benar yang dipunyai secara individual maupun telah diduduki negara sebelumnya[1].

Sementara itu di sejumlah kabupaten, nagari memiliki wewenang yang cukup agung. Misalnya di Kabupaten Solok, nagari memiliki 111 kewenangan dari pemerintah kabupaten, termasuk di selangnya pengurusan izin membangun kontruksi (IMB) dan surat izin tempat usaha (SITU).

Sejarah

Sistem kanagarian telah benar sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan konfederasi nagari-nagari yang benar di Minangkabau. Probabilitas agung sistem nagari juga sudah benar sebelum Adityawarman membangun kerajaan tersebut.

Terdapat dua arus agung dalam sistem pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno [2]. Selain dipengaruhi oleh tradisi norma budaya, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu masa pernah muncul konflik dampak pertentangan kedua pengaruh ini, yang belakang bisa diselesaikan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam konsep Norma budaya basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah[3].

Nagari merupakan unit pemungkiman yang paling sempurna yang diakui oleh norma budaya, nagari memiliki teritorial beserta ketentuan yang tidak boleh dilampauinya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman kepada dibuat menjadi nagari diantaranya benarnya balai norma budaya, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan[4].

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang benar pada masyarakat norma budaya Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Berlaku dalam sistem administrasi pemerintahan di daerah Minang dimulai dari struktur terendah dinamakan dengan Taratak, belakang mengembang dibuat menjadi Dusun, belakang mengembang dibuat menjadi Koto dan belakang mengembang dibuat menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili daerah tersebut[5].

Dalam laporannya de Stuers[6] menyimpulkan bahwa pada daerah pedalaman Minangkabau tidak pernah benar suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Berdasarkan laporan tersebut, belakang Belanda menerapkan model sistem penguasa-penguasa di tingkat distrik, yang belakang dikenal dengan benarnya posisi kepala laras atau tuanku laras, dimana daerah kelarasan ini dirancang sepadan dengan pengelompokan nagari yang telah benar sebelumnya. Dan selanjutnya satuan pemerintahan lebih rendah tetap dipegang oleh penghulu-penghulu sebelumnya tanpa mengalami perubahan hingga pada tahun 1914.

Pada tahun 1914 dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dengan asumsi kepada mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan kepada memilih salah satu di selang mereka sebagai kepala nagari atau wali nagari, sehingga kedudukan penghulu suku kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, posisi kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing berkesudahan bisa diterima dan dibuat menjadi tradisi norma budaya, dimana posisi ini juga berkesudahan turut diwariskan kepada kemenakan dari pemegang posisi sebelumnya[7]. Namun sekarang posisi tuanku laras sudah dihapus sedangkan wali nagari tidak boleh diwariskan kepada kemenakan yang memegang posisi sebelumnya tetapi tetap harus dipilih secara demokratis.

Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah supaya lebih sesuai dengan keadaan waktu itu. Pada tahun 1946 diadakan pemilihan langsung di seluruh Sumatera Barat kepada memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Calon-calon yang dipilih tak terbatas pada penghulu saja. Partai politik pun boleh mengajukan calon. Pada kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari terpilih yang merupakan anggota partai. Masyumi dibuat menjadi partai yang mendominasi. Dalam masa perang kemerdekaan dibentuk juga organisasi pertahanan tingkat nagari, yaitu Badan Pengawal Negeri dan Kota (BNPK). Badan ini didirikan atas inisiatif Chatib Sulaiman.

Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom, maka sejak itu pemerintahan nagari hampir tidak berperan lagi. Dan belakang ditambah sewaktu Kabinet Mohammad Natsir tahun 1951 membekukan Dewan Perwakilan Rakyat di Provinsi Sumatera Tengah yang juga mencakup wilayah Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Maka dengan demikian dewan perwakilan tingkat nagari pun statusnya dibuat menjadi tidak jelas juga. Belakang pasca Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, hampir keseluruhan aparat nagari ditukar oleh pemerintah pusat yang sekaligus mengubah pemerintahan nagari[8].

Tahun 1974 Gubernur Harun Zain memutuskan kepada mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, sistem nagari dihilangkan dan jorong ditukarkan statusnya dibuat menjadi desa. Posisi wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa.

Walaupun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Peraturan daerah No. 13 tahun 1983 mengatur tentang pendirian Kerapatan Norma budaya Nagari (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama. Namun KAN sendiri tidak memiliki kekuasaan formal.

Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat Sumatera Barat kepada kembali menjalankan sistem pemerintahan nagari. Dengan berlanjutnya otonomi daerah pada tahun 2001, istilah pemerintahan nagari kembali dipergunakan kepada menganti istilah pemerintahan desa yang dipergunakan sebelumnya dalam sistem pemerintahan kabupaten, sedangkan nagari yang benar dalam sistem pemerintahan kota masih seperti sebelumnya yaitu bukan sebagai segi dari pemerintah daerah.

Dan pada tahun 2004, kepada meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan UU No 22 Tahun 1999 diasumsikan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, belakang Presiden Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama, disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kepada mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari undang-undang baru ini diharapkan munculnya pemerintahan daerah yang bisa mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Dan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut maka keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa, yang menekankan prinsip dasar sebagai landasan konsep pengaturan keanekaragaman daerah, yang memiliki arti bahwa istilah desa bisa disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial kebudayaan masyarakat setempat. Pemerintah tetap menghormati sistem nilai yang berlanjut pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Referensi

  1. ^ Yayasan Kemala, (2005), Tanah masih di langit: penyelesaian masalah penguasaan tanah dan kekayaan dunia di Indonesia yang tak kunjung tuntas di era reformasi, Bandung: Yayasan Kemala, ISBN 978-979-97910-5-4.
  2. ^ Bonner, Robert Johnson (1933). Aspects of Athenian democracy Vol 11. University of California Press. pp. 25–86. 
  3. ^ Haris, Syamsuddin, (2005), Pemilu langsung di tengah oligarki partai: ronde nominasi dan seleksi calon legislatif Pemilu 2004, Gramedia Pustaka Utama, ISBN 978-979-22-1695-0.
  4. ^ Kato, Tsuyoshi, (2005), Norma budaya Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah, PT Balai Pustaka, ISBN 978-979-690-360-3.
  5. ^ Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Norma budayanya, Jakarta: Balai Pustaka.
  6. ^ Laporan kepada Gubernur Jendral, 30 Agustus 1825, Exhibitum, 24 Agustus 1826, No. 41.
  7. ^ Verbaal, 22 Januari 1875, No. 39.
  8. ^ Asnan, Gusti, (2007), Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-640-6.

Pustaka

  • Kahin, Audrey (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-519-6. 

Lihat juga

  • Daftar nagari di Sumatera Barat
  • Suku Minangkabau

Pranala luar

  • www.setneg.go.id Sekretariat Negara RI
  • www.depdagri.go.id Situs web resmi Kementerian Dalam Negeri RI
  • www.depkumham.go.id Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Sumber :
id.wikipedia.org, diskusi.biz, kk.gilland-ganesha.com, wiki.edunitas.com, dan sebagainya.

Page 2

Nagari Pariangan di Kabupaten Tanah Datar

Balai nagari Lubuak Gadang (Kabupaten Solok Selatan) pada tahun 1877-1879

Balai nagari Silago (Kabupaten Dharmasraya) pada tahun 1877-1879

Nagari adalah pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di provinsi Sumatera Barat, Indonesia.

Istilah nagari menggantikan istilah desa, yang sebelumnya dipakai di seluruh provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus keperluan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan hukum budaya istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Etimologi

Secara etimologi kata nagari bersumber dari Bahasa Sanskerta nagarom yang berguna tanah cairan, tanah asal, atau tanah kelahiran. Wujud lain dari kata ini selang lain nagara, negara, negeri, nagori, nogori, nogoro.

Struktur Pemerintahan

Nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, dan dalam menjalankan pemerintahannya, dahulunya wali nagari dibantu oleh sebagian orang wali jorong, namun sekarang dibantu oleh sekretaris nagari (setnag) dan sebagian pegawai negeri sipil (PNS) yang jumlahnya bergantung dengan kebutuhan pemerintahan nagari tersebut. Wali nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratis dengan pemilihan langsung untuk saat kedudukan 6 tahun dan belakang dapat dipilih kembali untuk satu kali saat kedudukan berikutnya. Biasanya yang dipilih menjadi wali nagari adalah orang yang dianggap sangat menguasai mengenai semua aspek kehidupan dalam hukum budaya istiadat Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut dapat menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari.

Nagari secara administratif pemerintahan berada di bawah kecamatan yang merupakan anggota dari perangkat kawasan kabupaten. Sedangkan nagari bukan merupakan anggota dari perangkat kawasan jika berada dalam struktur pemerintahan kota. Berbeda dengan kelurahan, nagari mempunyai hak mengatur wilayahnya yang bertambah lebar. Nagari merupakan wujud dari republik mini.

Dalam sebuah nagari dibentuk wujud Kerapatan Hukum budaya Nagari (KAN), yakni lembaga yang mempunyai anggota tungku tigo sajarangan. Tungku tigo sajarangan merupakan perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik bijak (kaum intelektual) dan niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari). Keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan selang wali nagari dan tungku tigo sajarangan di balai hukum budaya atau balairung sari nagari. Untuk legislasi, dibentuklah Badan Musyawarah Nagari (BMN) nama lain dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Unsur dalam BMN berisi unsur pada KAN dan dilengkapi dengan unsur pemuda, wanita dan perwakilan tiap suku. BMN berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan nagari, yang dikuatkan dengan cara musyawarah dan mufakat dengan saat kedudukan selama 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk satu kali saat kedudukan berikutnya. Jumlah anggota BMN dikuatkan dengan jumlah aneh, sangat sedikit 5 orang dan banyak sekali 11 orang, dengan memperhatikan lebar wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan nagari, serta dikuatkan dengan keputusan Bupati/Walikota.

Dengan diterapkannya kembali model pemerintahan nagari di provinsi Sumatera Barat, maka hal ini berakibat terhadap wewenang atas penguasaan kembali tanah ulayat nagari maupun juga terhadap tanah-tanah hukum budaya adun yang dimiliki secara individual maupun telah dikuasai negara sebelumnya[1].

Sementara itu di sejumlah kabupaten, nagari mempunyai wewenang yang cukup luhur. Misalnya di Kabupaten Solok, nagari mempunyai 111 kewenangan dari pemerintah kabupaten, termasuk di selangnya pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin tempat usaha (SITU).

Sejarah

Sistem kanagarian telah berada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau. Probabilitas luhur sistem nagari juga sudah berada sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.

Terdapat dua arus luhur dalam sistem pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada saat Yunani kuno [2]. Selain dipengaruhi oleh tradisi hukum budaya, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu saat pernah muncul konflik dampak pertentangan kedua pengaruh ini, yang belakang dapat diselesaikan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam konsep Hukum budaya basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah[3].

Nagari merupakan unit pemungkiman yang sangat sempurna yang diakui oleh hukum budaya, nagari mempunyai teritorial beserta batasannya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu sebagian kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari selang lain beradanya balai hukum budaya, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan[4].

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang berada pada masyarakat hukum budaya Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Aci dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Dusun, belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Koto dan belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk wujud itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut[5].

Dalam laporannya de Stuers[6] menyimpulkan bahwa pada kawasan pedalaman Minangkabau tidak pernah berada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Berdasarkan laporan tersebut, belakang Belanda menerapkan model sistem penguasa-penguasa di tingkat distrik, yang belakang dikenal dengan beradanya kedudukan kepala laras atau tuanku laras, dimana kawasan kelarasan ini dirancang sepadan dengan pengelompokan nagari yang telah berada sebelumnya. Dan belakang satuan pemerintahan bertambah rendah tetap dipegang oleh penghulu-penghulu sebelumnya tanpa mengalami perubahan hingga pada tahun 1914.

Pada tahun 1914 dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dengan asumsi untuk mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di selang mereka sebagai kepala nagari atau wali nagari, sehingga kedudukan penghulu suku kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, kedudukan kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing kesudahannya dapat diterima dan menjadi tradisi hukum budaya, dimana kedudukan ini juga kesudahannya ikut diwariskan untuk kemenakan dari pemegang kedudukan sebelumnya[7]. Namun sekarang kedudukan tuanku laras sudah dihapus sedangkan wali nagari tidak boleh diwariskan untuk kemenakan yang memegang kedudukan sebelumnya tetapi tetap wajib dipilih secara demokratis.

Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah supaya bertambah berdasarkan dengan kondisi waktu itu. Pada tahun 1946 diselenggarakan pemilihan langsung di seluruh Sumatera Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Calon-calon yang dipilih tak terbatas pada penghulu saja. Partai politik pun boleh mengajukan calon. Pada kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari terpilih yang merupakan anggota partai. Masyumi menjadi partai yang mendominasi. Dalam saat perang kemerdekaan dibentuk wujud juga organisasi pertahanan tingkat nagari, yaitu Badan Pengawal Negeri dan Kota (BNPK). Badan ini didirikan atas inisiatif Chatib Sulaiman.

Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 mengenai pembentukan wilayah otonom, maka sejak itu pemerintahan nagari hampir tidak memerankan lagi. Dan belakang ditambah sewaktu Kabinet Mohammad Natsir tahun 1951 membekukan Dewan Perwakilan Rakyat di Provinsi Sumatera Tengah yang juga mencakup wilayah Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Maka dengan demikian dewan perwakilan tingkat nagari pun statusnya menjadi tidak jelas juga. Belakang pasca Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, hampir semuanya aparat nagari diwakili oleh pemerintah pusat yang sekaligus mengubah pemerintahan nagari[8].

Tahun 1974 Gubernur Harun Zain memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 mengenai pemerintahan desa, sistem nagari ditiadakan dan jorong digantikan statusnya menjadi desa. Kedudukan wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa.

Meskipun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Peraturan kawasan No. 13 tahun 1983 mengatur mengenai pendirian Kerapatan Hukum budaya Nagari (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama. Namun KAN sendiri tidak mempunyai kekuasaan formal.

Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat Sumatera Barat untuk kembali menjalankan sistem pemerintahan nagari. Dengan berlanjutnya otonomi kawasan pada tahun 2001, istilah pemerintahan nagari kembali dipakai untuk menganti istilah pemerintahan desa yang dipakai sebelumnya dalam sistem pemerintahan kabupaten, sedangkan nagari yang berada dalam sistem pemerintahan kota masih seperti sebelumnya yaitu bukan sebagai anggota dari pemerintah kawasan.

Dan pada tahun 2004, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan kawasan, dan UU No 22 Tahun 1999 dianggap sudah tidak berdasarkan lagi dengan perkembangan kondisi, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi kawasan, belakang Presiden Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama, disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Kawasan untuk mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari undang-undang baru ini diharapkan munculnya pemerintahan kawasan yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Dan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut maka keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 mengenai desa, yang menekankan prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan keanekaragaman kawasan, yang mempunyai makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial hukum budaya istiadat masyarakat setempat. Pemerintah tetap menghormati sistem nilai yang berlanjut pada masyarakat setempat namun wajib tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Referensi

  1. ^ Yayasan Kemala, (2005), Tanah masih di langit: penyelesaian masalah penguasaan tanah dan kekayaan dunia di Indonesia yang tak kunjung tuntas di era reformasi, Bandung: Yayasan Kemala, ISBN 978-979-97910-5-4.
  2. ^ Bonner, Robert Johnson (1933). Aspects of Athenian democracy Vol 11. University of California Press. pp. 25–86. 
  3. ^ Haris, Syamsuddin, (2005), Pemilu langsung di tengah oligarki partai: ronde nominasi dan seleksi calon legislatif Pemilu 2004, Gramedia Pustaka Utama, ISBN 978-979-22-1695-0.
  4. ^ Kato, Tsuyoshi, (2005), Hukum budaya Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah, PT Balai Pustaka, ISBN 978-979-690-360-3.
  5. ^ Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Hukum budayanya, Jakarta: Balai Pustaka.
  6. ^ Laporan untuk Gubernur Jendral, 30 Agustus 1825, Exhibitum, 24 Agustus 1826, No. 41.
  7. ^ Verbaal, 22 Januari 1875, No. 39.
  8. ^ Asnan, Gusti, (2007), Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-640-6.

Pustaka

  • Kahin, Audrey (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-519-6. 

Lihat pula

  • Daftar nagari di Sumatera Barat
  • Suku Minangkabau

Pranala luar

  • www.setneg.go.id Sekretariat Negara RI
  • www.depdagri.go.id Situs web resmi Kementerian Dalam Negeri RI
  • www.depkumham.go.id Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Sumber :
kk.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), dan sebagainya.

Page 3

Nagari Pariangan di Kabupaten Tanah Datar

Balai nagari Lubuak Gadang (Kabupaten Solok Selatan) pada tahun 1877-1879

Balai nagari Silago (Kabupaten Dharmasraya) pada tahun 1877-1879

Nagari adalah pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di provinsi Sumatera Barat, Indonesia.

Istilah nagari menggantikan istilah desa, yang sebelumnya dipakai di seluruh provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus keperluan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan kebudayaan yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Etimologi

Secara etimologi kata nagari bersumber dari Bahasa Sanskerta nagarom yang berguna tanah cairan, tanah asal, atau tanah kelahiran. Wujud lain dari kata ini selang lain nagara, negara, negeri, nagori, nogori, nogoro.

Struktur Pemerintahan

Nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, dan dalam menjalankan pemerintahannya, dahulunya wali nagari dibantu oleh sebagian orang wali jorong, namun sekarang dibantu oleh sekretaris nagari (setnag) dan sebagian pegawai negeri sipil (PNS) yang banyaknya bergantung dengan kebutuhan pemerintahan nagari tersebut. Wali nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratis dengan pemilihan langsung untuk saat posisi 6 tahun dan belakang dapat dipilih kembali untuk satu kali saat posisi berikutnya. Biasanya yang dipilih menjadi wali nagari adalah orang yang dianggap sangat menguasai mengenai semua aspek kehidupan dalam kebudayaan Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut dapat menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari.

Nagari secara administratif pemerintahan berada di bawah kecamatan yang merupakan anggota dari perangkat kawasan kabupaten. Sedangkan nagari bukan merupakan anggota dari perangkat kawasan jika berada dalam struktur pemerintahan kota. Berbeda dengan kelurahan, nagari mempunyai hak mengatur wilayahnya yang bertambah lebar. Nagari merupakan wujud dari republik mini.

Dalam sebuah nagari dibentuk wujud Kerapatan Hukum budaya Nagari (KAN), yakni lembaga yang mempunyai anggota tungku tigo sajarangan. Tungku tigo sajarangan merupakan perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik bijak (kaum intelektual) dan niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari). Keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan selang wali nagari dan tungku tigo sajarangan di balai hukum budaya atau balairung sari nagari. Untuk legislasi, dibentuklah Badan Musyawarah Nagari (BMN) nama lain dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Unsur dalam BMN mengandung unsur pada KAN dan dilengkapi dengan unsur pemuda, wanita dan perwakilan tiap suku. BMN berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan nagari, yang dikuatkan dengan cara musyawarah dan mufakat dengan saat posisi selama 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk satu kali saat posisi berikutnya. Banyak anggota BMN dikuatkan dengan banyak aneh, sangat sedikit 5 orang dan banyak sekali 11 orang, dengan memperhatikan lebar wilayah, banyak penduduk, dan kemampuan keuangan nagari, serta dikuatkan dengan keputusan Bupati/Walikota.

Dengan diterapkannya kembali model pemerintahan nagari di provinsi Sumatera Barat, maka hal ini berakibat terhadap wewenang atas penguasaan kembali tanah ulayat nagari maupun juga terhadap tanah-tanah hukum budaya adun yang dimiliki secara individual maupun telah dikuasai negara sebelumnya[1].

Sementara itu di sejumlah kabupaten, nagari mempunyai wewenang yang cukup luhur. Misalnya di Kabupaten Solok, nagari mempunyai 111 kewenangan dari pemerintah kabupaten, termasuk di selangnya pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin tempat usaha (SITU).

Sejarah

Sistem kanagarian telah aci sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau. Probabilitas luhur sistem nagari juga sudah aci sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.

Terdapat dua arus luhur dalam sistem pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada saat Yunani kuno [2]. Selain dipengaruhi oleh tradisi hukum budaya, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu saat pernah muncul konflik dampak pertentangan kedua pengaruh ini, yang belakang dapat didudukkan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam pemikiran Hukum budaya basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah[3].

Nagari merupakan unit pemungkiman yang sangat sempurna yang diakui oleh hukum budaya, nagari mempunyai teritorial beserta batasannya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu sebagian kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari selang lain acinya balai hukum budaya, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan[4].

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang aci pada masyarakat hukum budaya Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Aci dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Dusun, belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Koto dan belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk wujud itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut[5].

Dalam laporannya de Stuers[6] menyimpulkan bahwa pada kawasan pedalaman Minangkabau tidak pernah aci suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Berdasarkan laporan tersebut, belakang Belanda menerapkan model sistem penguasa-penguasa di tingkat distrik, yang belakang dikenal dengan acinya posisi kepala laras atau tuanku laras, dimana kawasan kelarasan ini dirancang sepadan dengan pengelompokan nagari yang telah aci sebelumnya. Dan belakang satuan pemerintahan bertambah rendah tetap dipegang oleh penghulu-penghulu sebelumnya tanpa mengalami perubahan hingga pada tahun 1914.

Pada tahun 1914 dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dimainkan dengan asumsi untuk mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di selang mereka sebagai kepala nagari atau wali nagari, sehingga posisi penghulu suku kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, posisi kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing kesudahannya dapat diterima dan menjadi tradisi hukum budaya, dimana posisi ini juga kesudahannya ikut diwariskan untuk kemenakan dari pemegang posisi sebelumnya[7]. Namun sekarang posisi tuanku laras sudah dihapus sedangkan wali nagari tidak boleh diwariskan untuk kemenakan yang memegang posisi sebelumnya tetapi tetap wajib dipilih secara demokratis.

Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah supaya bertambah berdasarkan dengan kondisi waktu itu. Pada tahun 1946 diselenggarakan pemilihan langsung di seluruh Sumatera Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Calon-calon yang dipilih tak terbatas pada penghulu saja. Partai politik pun boleh mengajukan calon. Pada kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari terpilih yang merupakan anggota partai. Masyumi menjadi partai yang mendominasi. Dalam saat perang kemerdekaan dibentuk wujud juga organisasi pertahanan tingkat nagari, yaitu Badan Pengawal Negeri dan Kota (BNPK). Badan ini didirikan atas inisiatif Chatib Sulaiman.

Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 mengenai pembentukan wilayah otonom, maka sejak itu pemerintahan nagari nyaris tidak berperan lagi. Dan belakang ditambah sewaktu Kabinet Mohammad Natsir tahun 1951 membekukan Dewan Perwakilan Rakyat di Provinsi Sumatera Tengah yang juga mencakup wilayah Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Maka dengan demikian dewan perwakilan tingkat nagari pun statusnya menjadi tidak jelas juga. Belakang pasca Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, nyaris semuanya aparat nagari diwakili oleh pemerintah pusat yang sekaligus mengubah pemerintahan nagari[8].

Tahun 1974 Gubernur Harun Zain memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 mengenai pemerintahan desa, sistem nagari ditiadakan dan jorong ditukarkan statusnya menjadi desa. Posisi wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa.

Meskipun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Peraturan kawasan No. 13 tahun 1983 mengatur mengenai pendirian Kerapatan Hukum budaya Nagari (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama. Namun KAN sendiri tidak mempunyai kekuasaan formal.

Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat Sumatera Barat untuk kembali menjalankan sistem pemerintahan nagari. Dengan berlanjutnya otonomi kawasan pada tahun 2001, istilah pemerintahan nagari kembali dipakai untuk menganti istilah pemerintahan desa yang dipakai sebelumnya dalam sistem pemerintahan kabupaten, sedangkan nagari yang berada dalam sistem pemerintahan kota masih seperti sebelumnya yaitu bukan sebagai anggota dari pemerintah kawasan.

Dan pada tahun 2004, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan kawasan, dan UU No 22 Tahun 1999 dianggap sudah tidak berdasarkan lagi dengan perkembangan kondisi, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi kawasan, belakang Presiden Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama, disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Kawasan untuk mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari undang-undang baru ini diharapkan munculnya pemerintahan kawasan yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Dan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut maka keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 mengenai desa, yang menekankan prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan keanekaragaman kawasan, yang mempunyai makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial kebudayaan masyarakat setempat. Pemerintah tetap menghormati sistem nilai yang berlanjut pada masyarakat setempat namun wajib tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Referensi

  1. ^ Yayasan Kemala, (2005), Tanah masih di langit: penyelesaian masalah penguasaan tanah dan kekayaan dunia di Indonesia yang tak kunjung tuntas di era reformasi, Bandung: Yayasan Kemala, ISBN 978-979-97910-5-4.
  2. ^ Bonner, Robert Johnson (1933). Aspects of Athenian democracy Vol 11. University of California Press. pp. 25–86. 
  3. ^ Haris, Syamsuddin, (2005), Pemilu langsung di tengah oligarki partai: ronde nominasi dan seleksi calon legislatif Pemilu 2004, Gramedia Pustaka Utama, ISBN 978-979-22-1695-0.
  4. ^ Kato, Tsuyoshi, (2005), Hukum budaya Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah, PT Balai Pustaka, ISBN 978-979-690-360-3.
  5. ^ Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Hukum budayanya, Jakarta: Balai Pustaka.
  6. ^ Laporan untuk Gubernur Jendral, 30 Agustus 1825, Exhibitum, 24 Agustus 1826, No. 41.
  7. ^ Verbaal, 22 Januari 1875, No. 39.
  8. ^ Asnan, Gusti, (2007), Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-640-6.

Pustaka

  • Kahin, Audrey (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-519-6. 

Lihat pula

  • Daftar nagari di Sumatera Barat
  • Suku Minangkabau

Pranala luar

  • www.setneg.go.id Sekretariat Negara RI
  • www.depdagri.go.id Situs web resmi Kementerian Dalam Negeri RI
  • www.depkumham.go.id Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Sumber :
kk.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), dan sebagainya.

Page 4

Nagari Pariangan di Kabupaten Tanah Datar

Balai nagari Lubuak Gadang (Kabupaten Solok Selatan) pada tahun 1877-1879

Balai nagari Silago (Kabupaten Dharmasraya) pada tahun 1877-1879

Nagari yaitu pembagian wilayah administratif sesudah disktrik di provinsi Sumatera Barat, Indonesia.

Istilah nagari menggantikan istilah desa, yang sebelumnya dipakai di seluruh provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Nagari yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus keperluan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan kebudayaan yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Etimologi

Secara etimologi kata nagari bermula dari Bahasa Sanskerta nagarom yang berguna tanah cairan, tanah asal, atau tanah kelahiran. Wujud lain dari kata ini selang lain nagara, negara, negeri, nagori, nogori, nogoro.

Struktur Pemerintahan

Nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, dan dalam menjalankan pemerintahannya, dahulunya wali nagari dibantu oleh sebagian orang wali jorong, namun sekarang dibantu oleh sekretaris nagari (setnag) dan sebagian pegawai negeri sipil (PNS) yang banyaknya bergantung dengan keperluan pemerintahan nagari tersebut. Wali nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratis dengan pemilihan langsung untuk saat posisi 6 tahun dan belakang dapat dipilih kembali untuk satu kali saat posisi berikutnya. Biasanya yang dipilih menjadi wali nagari yaitu orang yang dianggap sangat menguasai mengenai semua aspek kehidupan dalam kebudayaan Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut dapat menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari.

Nagari secara administratif pemerintahan berada di bawah disktrik yang yaitu anggota dari perangkat kawasan kabupaten. Sedangkan nagari bukan yaitu anggota dari perangkat kawasan jika berada dalam struktur pemerintahan kota. Tidak sama dengan kelurahan, nagari mempunyai hak mengatur wilayahnya yang bertambah lebar. Nagari yaitu wujud dari republik mini.

Dalam sebuah nagari dibentuk wujud Kerapatan Hukum budaya Nagari (KAN), yakni lembaga yang mempunyai anggota tungku tigo sajarangan. Tungku tigo sajarangan yaitu perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik bijak (kaum intelektual) dan niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari). Keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan selang wali nagari dan tungku tigo sajarangan di balai hukum budaya atau balairung sari nagari. Untuk legislasi, dibentuklah Badan Musyawarah Nagari (BMN) nama lain dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Unsur dalam BMN mengandung unsur pada KAN dan dilengkapi dengan unsur pemuda, wanita dan perwakilan tiap suku. BMN berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan nagari, yang dikuatkan dengan cara musyawarah dan mufakat dengan saat posisi selama 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk satu kali saat posisi berikutnya. Banyak anggota BMN dikuatkan dengan banyak aneh, sangat sedikit 5 orang dan banyak sekali 11 orang, dengan memperhatikan lebar wilayah, banyak penduduk, dan kemampuan keuangan nagari, serta dikuatkan dengan keputusan Bupati/Walikota.

Dengan dimainkannya kembali model pemerintahan nagari di provinsi Sumatera Barat, maka hal ini berakibat terhadap wewenang atas penguasaan kembali tanah ulayat nagari maupun juga terhadap tanah-tanah hukum budaya adun yang dimiliki secara individual maupun telah dikuasai negara sebelumnya[1].

Sementara itu di sejumlah kabupaten, nagari mempunyai wewenang yang cukup luhur. Misalnya di Kabupaten Solok, nagari mempunyai 111 kewenangan dari pemerintah kabupaten, termasuk di selangnya pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin tempat usaha (SITU).

Sejarah

Sistem kanagarian telah berada sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada landasannya yaitu konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau. Probabilitas luhur sistem nagari juga sudah berada sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.

Terdapat dua arus luhur dalam sistem pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada saat Yunani kuno [2]. Selain dipengaruhi oleh tradisi hukum budaya, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu saat pernah muncul konflik dampak pertentangan kedua pengaruh ini, yang belakang dapat didudukkan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam pemikiran Hukum budaya basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah[3].

Nagari yaitu unit pemungkiman yang sangat sempurna yang diakui oleh hukum budaya, nagari mempunyai teritorial beserta batasannya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu sebagian kelengkapan yang harus dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari selang lain beradanya balai hukum budaya, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan[4].

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang berada pada masyarakat hukum budaya Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Aci dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah dinamakan dengan Taratak, belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Dusun, belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Koto dan belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk wujud itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut[5].

Dalam laporannya de Stuers[6] menyimpulkan bahwa pada kawasan pedalaman Minangkabau tidak pernah berada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Berdasarkan laporan tersebut, belakang Belanda melaksanakan model sistem penguasa-penguasa di tingkat distrik, yang belakang dikenal dengan beradanya posisi kepala laras atau tuanku laras, dimana kawasan kelarasan ini dirancang sepadan dengan pengelompokan nagari yang telah berada sebelumnya. Dan belakang satuan pemerintahan bertambah rendah tetap dipegang oleh penghulu-penghulu sebelumnya tanpa merasakan perubahan hingga pada tahun 1914.

Pada tahun 1914 dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dimainkan dengan asumsi untuk memperoleh sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dahulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di selang mereka sebagai kepala nagari atau wali nagari, sehingga posisi penghulu suku kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, posisi kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing kesudahannya dapat diterima dan menjadi tradisi hukum budaya, dimana posisi ini juga kesudahannya ikut diwariskan untuk kemenakan dari pemegang posisi sebelumnya[7]. Namun sekarang posisi tuanku laras sudah dihapus sedangkan wali nagari tidak boleh diwariskan untuk kemenakan yang memegang posisi sebelumnya tetapi tetap wajib dipilih secara demokratis.

Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah supaya bertambah berdasarkan dengan keadaan waktu itu. Pada tahun 1946 diselenggarakan pemilihan langsung di seluruh Sumatera Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Calon-calon yang dipilih tak terbatas pada penghulu saja. Partai politik pun boleh mengajukan calon. Pada kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari terpilih yang yaitu anggota partai. Masyumi menjadi partai yang mendominasi. Dalam saat perang kemerdekaan dibentuk wujud juga organisasi pertahanan tingkat nagari, yaitu Badan Pengawal Negeri dan Kota (BNPK). Badan ini dibangun atas inisiatif Chatib Sulaiman.

Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 mengenai pembentukan wilayah otonom, maka sejak itu pemerintahan nagari nyaris tidak berperan lagi. Dan belakang ditambah sewaktu Kabinet Mohammad Natsir tahun 1951 membekukan Dewan Perwakilan Rakyat di Provinsi Sumatera Tengah yang juga mencakup wilayah Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Maka dengan demikian dewan perwakilan tingkat nagari pun statusnya menjadi tidak jelas juga. Belakang pasca Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, nyaris semuanya aparat nagari diwakili oleh pemerintah pusat yang sekaligus mengubah pemerintahan nagari[8].

Tahun 1974 Gubernur Harun Zain memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 mengenai pemerintahan desa, sistem nagari ditiadakan dan jorong ditukarkan statusnya menjadi desa. Posisi wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa.

Meskipun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Peraturan kawasan No. 13 tahun 1983 mengatur mengenai pendirian Kerapatan Hukum budaya Nagari (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama. Namun KAN sendiri tidak mempunyai kekuasaan formal.

Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat Sumatera Barat untuk kembali menjalankan sistem pemerintahan nagari. Dengan berlanjutnya otonomi kawasan pada tahun 2001, istilah pemerintahan nagari kembali dipakai untuk menganti istilah pemerintahan desa yang dipakai sebelumnya dalam sistem pemerintahan kabupaten, sedangkan nagari yang berada dalam sistem pemerintahan kota masih seperti sebelumnya yaitu bukan sebagai anggota dari pemerintah kawasan.

Dan pada tahun 2004, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan kawasan, dan UU No 22 Tahun 1999 dianggap sudah tidak berdasarkan lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi kawasan, belakang Presiden Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama, disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Kawasan untuk mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari undang-undang baru ini diharapkan munculnya pemerintahan kawasan yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Dan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut maka keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 mengenai desa, yang menekankan prinsip landasan sebagai landasan pemikiran pengaturan keanekaragaman kawasan, yang mempunyai makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan keadaan sosial kebudayaan masyarakat setempat. Pemerintah tetap menghormati sistem nilai yang berlanjut pada masyarakat setempat namun wajib tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Referensi

  1. ^ Yayasan Kemala, (2005), Tanah masih di langit: penyelesaian masalah penguasaan tanah dan kekayaan dunia di Indonesia yang tak kunjung tuntas di era reformasi, Bandung: Yayasan Kemala, ISBN 978-979-97910-5-4.
  2. ^ Bonner, Robert Johnson (1933). Aspects of Athenian democracy Vol 11. University of California Press. pp. 25–86. 
  3. ^ Haris, Syamsuddin, (2005), Pemilu langsung di tengah oligarki partai: ronde nominasi dan seleksi calon legislatif Pemilu 2004, Gramedia Pustaka Utama, ISBN 978-979-22-1695-0.
  4. ^ Kato, Tsuyoshi, (2005), Hukum budaya Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah, PT Balai Pustaka, ISBN 978-979-690-360-3.
  5. ^ Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Hukum budayanya, Jakarta: Balai Pustaka.
  6. ^ Laporan untuk Gubernur Jendral, 30 Agustus 1825, Exhibitum, 24 Agustus 1826, No. 41.
  7. ^ Verbaal, 22 Januari 1875, No. 39.
  8. ^ Asnan, Gusti, (2007), Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-640-6.

Pustaka

  • Kahin, Audrey (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-519-6. 

Lihat juga

  • Daftar nagari di Sumatera Barat
  • Suku Minangkabau

Pranala luar

  • www.setneg.go.id Sekretariat Negara RI
  • www.depdagri.go.id Situs web resmi Kementerian Dalam Negeri RI
  • www.depkumham.go.id Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Sumber :
kk.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), dan sebagainya.

Page 5

Nagari Pariangan di Kabupaten Tanah Datar

Balai nagari Lubuak Gadang (Kabupaten Solok Selatan) pada tahun 1877-1879

Balai nagari Silago (Kabupaten Dharmasraya) pada tahun 1877-1879

Nagari adalah pembagian wilayah administratif sesudah kecamatan di provinsi Sumatera Barat, Indonesia.

Istilah nagari menggantikan istilah desa, yang sebelumnya dipakai di seluruh provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus keperluan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan hukum budaya istiadat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Etimologi

Secara etimologi kata nagari berasal dari Bahasa Sanskerta nagarom yang berguna tanah cairan, tanah asal, atau tanah kelahiran. Wujud lain dari kata ini selang lain nagara, negara, negeri, nagori, nogori, nogoro.

Struktur Pemerintahan

Nagari dipimpin oleh seorang wali nagari, dan dalam menjalankan pemerintahannya, dahulunya wali nagari dibantu oleh beberapa orang wali jorong, namun sekarang dibantu oleh sekretaris nagari (setnag) dan beberapa pegawai negeri sipil (PNS) yang jumlahnya bergantung dengan kebutuhan pemerintahan nagari tersebut. Wali nagari dipilih oleh anak nagari (penduduk nagari) secara demokratis dengan pemilihan langsung untuk saat jabatan 6 tahun dan belakang dapat dipilih kembali untuk satu kali saat jabatan berikutnya. Biasanya yang dipilih menjadi wali nagari adalah orang yang dianggap sangat menguasai mengenai semua aspek kehidupan dalam hukum budaya istiadat Minangkabau, sehingga wali nagari tersebut dapat menjawab semua persoalan yang dihadapi anak nagari.

Nagari secara administratif pemerintahan berada di bawah kecamatan yang merupakan anggota dari perangkat daerah kabupaten. Sedangkan nagari bukan merupakan anggota dari perangkat daerah jika berada dalam struktur pemerintahan kota. Berbeda dengan kelurahan, nagari mempunyai hak mengatur wilayahnya yang bertambah lebar. Nagari merupakan wujud dari republik mini.

Dalam sebuah nagari dibentuk wujud Kerapatan Hukum budaya Nagari (KAN), yakni lembaga yang mempunyai anggota tungku tigo sajarangan. Tungku tigo sajarangan merupakan perwakilan anak nagari yang terdiri dari alim ulama, cerdik bijak (kaum intelektual) dan niniak mamak (pemimpin suku-suku dalam nagari). Keputusan penting yang akan diambil selalu dimusyawarahkan selang wali nagari dan tungku tigo sajarangan di balai hukum budaya atau balairung sari nagari. Untuk legislasi, dibentuklah Badan Musyawarah Nagari (BMN) nama lain dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Unsur dalam BMN berisi unsur pada KAN dan dilengkapi dengan unsur pemuda, wanita dan perwakilan tiap suku. BMN berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan nagari, yang dikuatkan dengan cara musyawarah dan mufakat dengan saat jabatan selama 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk satu kali saat jabatan berikutnya. Jumlah anggota BMN dikuatkan dengan jumlah aneh, sangat sedikit 5 orang dan banyak sekali 11 orang, dengan memperhatikan lebar wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan nagari, serta dikuatkan dengan keputusan Bupati/Walikota.

Dengan diterapkannya kembali model pemerintahan nagari di provinsi Sumatera Barat, maka hal ini berakibat terhadap wewenang atas penguasaan kembali tanah ulayat nagari maupun juga terhadap tanah-tanah hukum budaya adun yang dimiliki secara individual maupun telah dikuasai negara sebelumnya[1].

Sementara itu di sejumlah kabupaten, nagari mempunyai wewenang yang cukup luhur. Misalnya di Kabupaten Solok, nagari mempunyai 111 kewenangan dari pemerintah kabupaten, termasuk di selangnya pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB) dan surat izin tempat usaha (SITU).

Sejarah

Sistem kanagarian telah aci sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Pagaruyung pada dasarnya merupakan konfederasi nagari-nagari yang berada di Minangkabau. Probabilitas luhur sistem nagari juga sudah aci sebelum Adityawarman mendirikan kerajaan tersebut.

Terdapat dua arus luhur dalam sistem pemerintahan nagari di Minangkabau yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago yang keduanya mempunyai kemiripan dengan pemerintahan polis-polis pada saat Yunani kuno [2]. Selain dipengaruhi oleh tradisi hukum budaya, struktur masyarakat Minangkabau juga diwarnai oleh pengaruh agama Islam, dan pada suatu saat pernah muncul konflik dampak pertentangan kedua pengaruh ini, yang belakang dapat diselesaikan dengan menyerasikan kedua pengaruh tersebut dalam konsep Hukum budaya basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah[3].

Nagari merupakan unit pemungkiman yang sangat sempurna yang diakui oleh hukum budaya, nagari mempunyai teritorial beserta batasannya dan mempunyai struktur politik dan aparat hukum tersendiri, selain itu beberapa kelengkapan yang mesti dipenuhi oleh suatu pemungkiman untuk menjadi nagari selang lain acinya balai hukum budaya, masjid serta ditunjang oleh areal persawahan[4].

Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang aci pada masyarakat hukum budaya Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Aci dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Dusun, belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Koto dan belakang menjadi bertambah sempurna menjadi Nagari, yang dipimpin secara bersama oleh para penghulu atau datuk setempat. Dan biasanya disetiap nagari yang dibentuk wujud itu minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut[5].

Dalam laporannya de Stuers[6] menyimpulkan bahwa pada daerah pedalaman Minangkabau tidak pernah aci suatu kekuasaan pemerintahan terpusat dibawah seorang raja. Berdasarkan laporan tersebut, belakang Belanda menerapkan model sistem penguasa-penguasa di tingkat distrik, yang belakang dikenal dengan acinya jabatan kepala laras atau tuanku laras, dimana daerah kelarasan ini dirancang sepadan dengan pengelompokan nagari yang telah aci sebelumnya. Dan belakang satuan pemerintahan bertambah rendah tetap dipegang oleh penghulu-penghulu sebelumnya tanpa mengalami perubahan hingga pada tahun 1914.

Pada tahun 1914 dikeluarkan ordonansi nagari yang membatasi anggota kerapatan nagari hanya pada penghulu yang diakui pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dengan asumsi untuk mendapatkan sistem pemerintahan yang tertib dan teratur. Penghulu-penghulu yang dulunya memimpin nagari secara bersama-sama sekarang diharuskan untuk memilih salah satu di selang mereka sebagai kepala nagari atau wali nagari, sehingga jabatan penghulu suku kehilangan fungsi tradisionalnya. Namun sejalan dengan waktu, jabatan kepala laras dan kepala nagari ini, yang sebelumnya asing kesudahannya dapat diterima dan menjadi tradisi hukum budaya, dimana jabatan ini juga kesudahannya ikut diwariskan untuk kemenakan dari pemegang jabatan sebelumnya[7]. Namun sekarang jabatan tuanku laras sudah dihapus sedangkan wali nagari tidak boleh diwariskan untuk kemenakan yang memegang jabatan sebelumnya tetapi tetap wajib dipilih secara demokratis.

Setelah proklamasi kemerdekaan, sistem pemerintahan nagari ini diubah supaya bertambah berdasarkan dengan kondisi waktu itu. Pada tahun 1946 diselenggarakan pemilihan langsung di seluruh Sumatera Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari. Calon-calon yang dipilih tak terbatas pada penghulu saja. Partai politik pun boleh mengajukan calon. Pada kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan wali nagari terpilih yang merupakan anggota partai. Masyumi menjadi partai yang mendominasi. Dalam saat perang kemerdekaan dibentuk wujud juga organisasi pertahanan tingkat nagari, yaitu Badan Pengawal Negeri dan Kota (BNPK). Badan ini didirikan atas inisiatif Chatib Sulaiman.

Namun setelah keluarnya Perda No. 50 tahun 1950 mengenai pembentukan wilayah otonom, maka sejak itu pemerintahan nagari hampir tidak berperan lagi. Dan belakang ditambah sewaktu Kabinet Mohammad Natsir tahun 1951 membekukan Dewan Perwakilan Rakyat di Provinsi Sumatera Tengah yang juga mencakup wilayah Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Maka dengan demikian dewan perwakilan tingkat nagari pun statusnya menjadi tidak jelas juga. Belakang pasca Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia, hampir semuanya aparat nagari diwakili oleh pemerintah pusat yang sekaligus mengubah pemerintahan nagari[8].

Tahun 1974 Gubernur Harun Zain memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 mengenai pemerintahan desa, sistem nagari ditiadakan dan jorong digantikan statusnya menjadi desa. Kedudukan wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa.

Meskipun demikian nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Peraturan daerah No. 13 tahun 1983 mengatur mengenai pendirian Kerapatan Hukum budaya Nagari (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama. Namun KAN sendiri tidak mempunyai kekuasaan formal.

Perubahan peta politik nasional yang terjadi, membangkitkan kembali semangat masyarakat Sumatera Barat untuk kembali menjalankan sistem pemerintahan nagari. Dengan berlanjutnya otonomi daerah pada tahun 2001, istilah pemerintahan nagari kembali dipakai untuk menganti istilah pemerintahan desa yang dipakai sebelumnya dalam sistem pemerintahan kabupaten, sedangkan nagari yang berada dalam sistem pemerintahan kota masih seperti sebelumnya yaitu bukan sebagai anggota dari pemerintah daerah.

Dan pada tahun 2004, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan UU No 22 Tahun 1999 dianggap sudah tidak berdasarkan lagi dengan perkembangan kondisi, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, belakang Presiden Indonesia dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat secara bersama, disahkanlah Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah untuk mengantikan undang undang UU No 22 Tahun 1999. Dan dari undang-undang baru ini diharapkan munculnya pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Dan sebagai tindak lanjut dari undang-undang tersebut maka keluarlah Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 mengenai desa, yang menekankan prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan keanekaragaman daerah, yang mempunyai makna bahwa istilah desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial hukum budaya istiadat masyarakat setempat. Pemerintah tetap menghormati sistem nilai yang berlanjut pada masyarakat setempat namun wajib tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Referensi

  1. ^ Yayasan Kemala, (2005), Tanah masih di langit: penyelesaian masalah penguasaan tanah dan kekayaan dunia di Indonesia yang tak kunjung tuntas di era reformasi, Bandung: Yayasan Kemala, ISBN 978-979-97910-5-4.
  2. ^ Bonner, Robert Johnson (1933). Aspects of Athenian democracy Vol 11. University of California Press. pp. 25–86. 
  3. ^ Haris, Syamsuddin, (2005), Pemilu langsung di tengah oligarki partai: ronde nominasi dan seleksi calon legislatif Pemilu 2004, Gramedia Pustaka Utama, ISBN 978-979-22-1695-0.
  4. ^ Kato, Tsuyoshi, (2005), Hukum budaya Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah, PT Balai Pustaka, ISBN 978-979-690-360-3.
  5. ^ Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Hukum budayanya, Jakarta: Balai Pustaka.
  6. ^ Laporan untuk Gubernur Jendral, 30 Agustus 1825, Exhibitum, 24 Agustus 1826, No. 41.
  7. ^ Verbaal, 22 Januari 1875, No. 39.
  8. ^ Asnan, Gusti, (2007), Memikir ulang regionalisme: Sumatera Barat tahun 1950-an, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 978-979-461-640-6.

Pustaka

  • Kahin, Audrey (2005). Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-519-6. 

Lihat pula

  • Daftar nagari di Sumatera Barat
  • Suku Minangkabau

Pranala luar

  • www.setneg.go.id Sekretariat Negara RI
  • www.depdagri.go.id Situs web resmi Kementerian Dalam Negeri RI
  • www.depkumham.go.id Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI

Sumber :
kk.kurikulum.org, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, civitasbook.com (Ensiklopedia), dan sebagainya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA