Di bawah ini yang bukan prinsip utama mengenal nasabah adalah

(1)

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 40 Peraturan Menteri Keuangan ini dikenakan sanksi administratif.

23 Juli 2019, 14:43 WIB | Telah dibaca : 17377 kali

KYC sebagai Peran Perbankan dalam Pemberantasan TPPU

Sumber : //shuftipro.com/wp-content/uploads/2019/01/kyc-blog-image-final-01.jpg

Hikmahanto Juwana dalam “Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional”, menyampaikan bahwa industri perbankan memiliki sifat khusus yang dapat terlihat dari dua hal, yaitu perbankan merupakan salah satu subsistem industri jasa keuangan, dan perbankan juga sebagai suatu industri yang sangat bertumpu pada kepercayaan masyarakat. Salah satu cara perbankan dalam menjalankan bisnisnya adalah dengan menghimpun dana masyarakat sebagai nasabahnya. Sehingga bank merupakan lembaga yang bertumpu pada dana masyarakat, serta bank juga mempunyai beban mengenai kepercayaan masyarakat terhadap cara pengelolaan dana agar tidak menyebabkan kerugian pada masyarakat. Akibatnya, bank harus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan pengelolaan bisnisnya. Prinsip kehati-hatian ini bertujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat penyimpan dana dan terciptanya perbankan yang sehat.[1] Sebagai salah satu realisasi prinsip kehati-hatian, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan) mewajibkan bank untuk menerapkan prinsip mengenali nasabah atau prinsip Know Your Customer (KYC).

KYC merupakan suatu prinsip yang dianut di bidang perbankan untuk mengenal lebih dalam mengenai nasabah bank tersebut. KYC diatur secara khusus dalam Peraturan Bank Indoensia Nomor 3-10-PBI-2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles). Pada Pasal 1 angka 2 peraturan ini, KYC didefinisikan sebagai prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.

Salah satu penerapan KYC adalah dengan melakukan identifikasi terhadap nasabah. Proses identifikasi nasabah sebagai salah satu penerapan prinsip KYC dilakukan terhadap dua objek, yaitu kepada nasabah secara personlijk (perorangan nasabah) dan kepada dokumen-dokumen yang berhubungan dengan nasabah. Selain itu, bank juga wajib melakukan monitoring terhadap rekening nasabah yang meliputi monitoring outgoing maupun incoming pada setiap kegiatan transaksi yang dilakukan nasabah. [2]

Lebih dari itu, prinsip KYC juga perlu didayagunakan untuk menghindari pemanfaatan sistem keuangan, khususnya yang menyangkut perbankan, sebagai sarana TPPU. Pada dasarnya, prinsip KYC ini merupakan rekomendasi dari The Financial Action Task Force (FATF) on Money Laundering oleh Kelompok 7 Negara (G-7) yang dikemukakan pada saat G-7 Summit di Perancis tahun 1989. Rekomendasi ini dilakukan FATF karena memang salah satu peran FATF adalah untuk menetapkan kebijakan dan langkah-langkah yang diperlukan dalam kerangka rekomendasi tindakan untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. [3]

Lebih lanjut, hal ini diatur dalam UU TPPU, bahwa bank sebagai salah satu pihak pelapor khususnya sebagai penyedia jasa keuangan, dan nasabah disebut sebagai pengguna jasa. Sehingga prinsip mengenali nasabah (KYC) dalam UU TPPU ini digunakan terminologi Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ). Mengenai PMPJ, diatur secara khusus pada Bagian Kedua Bab IV tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa. Bahwa PMPJ seminimal mungkin dilakukan dengan mengidentifikasi pengguna jasa, memverifikasi pengguna jasa dan memantau transaksi yang dilakukan pengguna jasa. Serta, apabila bank menemukan adanya transaksi yang mencurigakan, bank dapat menunjuk petugas khusus untuk bertanggungjawab atas transaksi tersebut. Hal ini merupakan salah satu upaya manajemen resiko sebagai bentuk penerapan KYC dalam pencegahan TPPU.

Adapun kewajiban bagi bank dan kewajiban bagi nasabah atau calon nasabah, sebagai berikut:

  1. Kewajiban bagi bank meliputi:
  1. Menerapkan prinsip KYC, dengan meminta data nasabah secara lengkap, termasuk sumber dan tujuan penggunaan dana, memonitor rekening dan transaksi nasabah, mengidentifikasi terjadinya transaksi keuangan mencurigakan;
  2. Melaporkan kepada PPATK semua transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan tunai dengan jumlah Rp500.000.000 (lima ratus juta) atau lebih.
  1. Kewajiban bagi nasabah atau calon nasabah, yaitu memberikan data secara lengkap dan akurat, termasuk sumber dan tujuan penggunaan dana, dengan mengisi formulir yang disediakan oleh bank serta melampirkan dokumen pendukung yang diperlukan.

Mengenai keterkaitannya dengan TPPU, yaitu terlebih pada transaksi-transaksi yang dilakukan nasabah atau calon nasabah. Bahwa TPPU menekankan pada adanya tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, karena pada faktanya uang atau harta kekayaan tersebut diperoleh dari tindak pidana. Sehingga motif-motif yang digunakan dapat saja dengan memanfaatkan jasa perbankan. Maka, prinsip KYC perlu diterapkan untuk mengulik informasi mengenai nasabah atau calon nasabah tersebut, terlebih mengenai asal dan tujuan penggunaan dana. Serta, untuk menelusuri perputaran uang yang akan dicuci si pelaku (yang juga merupakan nasabah dari suatu bank) dengan memanfaatkan bank tersebut. Selain itu, jika pada suatu saat ditemukan bahwa nasabah dari suatu bank terlibat dalam tindak pidana pencucian uang, maka dengan data yang pernah bank dapatkan pada saat menerapkan prinsip KYC itu dapat digunakan untuk proses penegakan hukum TPPU.

[1] Abdul Rasyid, “Prinsip Mengenal Nasabah dalam Perbankan”, Binus.ac.id, Desember 2016, diakses 23 Juli 2019 //business-law.binus.ac.id/2016/12/29/prinsip-mengenal-nasabah-dalam-perbankan/

[2] Asep Rozali, “Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) dalam Praktik Perbankan”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 24, Ejournal.sthb.ac.id, 01 Februari 2011.

[3] Dewi Anggraeni Pujianti, “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) dalam Mencegah Tindak Pidana Pencucian Uang”, Ui.ac.id, 2011, //lib.ui.ac.id/file?file=digital/20252936-T29238-Penerapan%20prinsip.pdf

Penulis : Devy Kusuma Wati

Tags : kyc, perbankan, pencucian uang perbankan Tweet 

Prinsip Know Your Customer

Prinsip mengenal nasabah pada mulanya berasal dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang berbunyi:

Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.

Sedangkan prinsip mengenal nasabah yang dikenal juga dengan istilah Know Your Customer Principle merupakan bentuk pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud di atas.

Secara khusus, Know Your Customer Principle diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) (“PBI 3/2001”) dan perubahannya.

Perlu Anda ketahui, terdapat istilah identitas nasabah yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 Tahun 2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) (“PBI 5/2003”) yang selengkapnya berbunyi:

Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan Bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.

Sebelum melakukan hubungan usaha dengan nasabah, Bank wajib meminta informasi mengenai:[1]

  1. identitas calon nasabah;
  2. maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon nasabah dengan bank;
  3. informasi lain yang memungkinkan bank untuk dapat mengetahui profil calon nasabah; dan
  4. identitas pihak lain, dalam hal calon nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain.

Identitas calon nasabah harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung.[2] Kemudian bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon nasabah.[3]

Jika bank telah memakai media elektronik dalam pelayanan jasa perbankan, bank wajib meakukan pertemuan dengan calon nasabah sekurang-kurangnya pada saat pembukaan rekening.[4] Apabila diperlukan, bank dapat melakukan wawancara dengan calon nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen.[5]

Dokumen-dokumen Nasabah

Mengenai dokumen pendukung nasabah, masing-masing nasabah membutuhkan sekurang-kurangnya:[6]

  1. Nasabah perorangan minimal terdiri dari:
  1. identitas nasabah yang memuat:
  1. nama;
  2. alamat tinggal tetap;
  3. tempat dan tanggal lahir;
  4. kewarganegaraan.
  1. keterangan mengenai pekerjaan;
  2. spesimen tanda tangan; dan
  3. mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana.
  1. perusahaan yang tergolong usaha kecil, minimal terdiri dari:
  1. akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. izin usaha atau izin lainnya dari instansi berwenang;
  3. nama, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan bank;
  4. keterangan sumber dana dan tujuan penggunaan dana.
  1. perusahaan yang tidak tergolong usaha kecil, minimal terdiri dari:
  1. akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang;
  3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi nasabah yang diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  4. laporan keuangan dari perusahaan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan;
  5. struktur manajemen perusahaan;
  6. dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan;
  7. nama, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan bank;
  8. keterangan sumber dana dan tujuan penggunaan dana.
  1. Nasabah berupa lembaga pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara asing sekurang-kurangnya berupa nama, spesimen tanda tangan dan surat penunjukan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili lembaga dalam melakukan hubungan usaha dengan bank.
  2. Nasabah berupa bank, terdiri dari dokumen-dokumen yang lazim dalam melakukan hubungan transaksi antar bank, antara lain:
  1. akte pendirian/anggaran dasar bank;
  2. izin usaha dari instansi yang berwenang;
  3. nama, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama bank dalam melakukan hubungan usaha dengan bank.

Di sisi lain, identitas calon nasabah maupun data pendukung yang dapat diterima, jika kita merujuk Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, disebutkan:

Dokumen Kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Sehingga, salah satunya dokumen kependudukan yang dapat diminta bank adalah Kartu Tanda Penduduk Eletkronik (KTP-el). Selain itu, bank juga bisa meminta kartu keluarga, akta kelahiran atau dokumen kependudukan lainnya dalam rangka pelaksanaan Prinsip Know Your Customer.

Selanjutnya, guna menelusuri kelayakan transaksi yang dilakukan nasabah untuk menghindari potensi tindak pidana yang melibatkan bank (seperti pencucian uang), Penjelasan Pasal 2 ayat (2) huruf a dan b PBI 3/2001 mengatur:

Dalam menetapkan kebijakan untuk penerimaan Nasabah, Bank perlu menetapkan pula kebijakan untuk menolak Nasabah yang dianggap tidak layak melakukan hubungan usaha dengan Bank dan kriteria Nasabah biasa atau Nasabah yang berisiko tinggi.

Dalam menetapkan kebijakan ini faktor-faktor seperti latar belakang Nasabah, kewarganegaraan, kegiatan usaha, jabatan, atau indikator faktor risiko lain harus menjadi pertimbangan.

Bahkan secara khusus Penjelasan Pasal 9 ayat (1) PBI 5/2003 menegaskan kembali tentang identitas dalam pelaksanaan prinsip mengenal nasabah sebagai berikut :

Sistem informasi yang dimiliki harus dapat memungkinkan Bank untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction) apabila diperlukan, baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia, maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan. Hal-hal yang termasuk dalam penelusuran transaksi antara lain adalah penelusuran atas identitas Nasabah, instrumen transaksi, tanggal transaksi, serta jumlah dan denominasi transaksi. Termasuk dalam karakteristik Nasabah antara lain adalah karakteristik transaksi dan sifat transaksi Nasabah yang bersangkutan serta sifat hubungan Nasabah dengan Bank secara menyeluruh.

Jadi, dokumen resmi yang diterbitkan intansi yang berwenang merupakan syarat mutlak yang dipersyaratkan bank kepada nasabahnya, sebagai bagian dari prinsip mengenal nasabah atau Know Your Customer Principle. Dalam praktik, terminologi Know Your Customer diperluas dengan terminologi Customer Due Diligence (“CDD”), yaitu kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil dan identitas calon nasabah.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

[1] Pasal 4 ayat (1) PBI 3/2001

[2] Pasal 4 ayat (2) PBI 3/2001

[3] Pasal 4 ayat (3) PBI 3/2001

[4] Pasal 4 ayat (4) PBI 3/2001

[5] Pasal 4 ayat (5) PBI 3/2001

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA