Hadits tentang Bersentuhan suami istri tidak MEMBATALKAN wudhu

Pertanyaan (Indra, bukan nama sebenarnya):

Saya ingin bertanya mengenai sunnah wudhu sebelum tidur. Bagaimana jika setelah wudhu kemudian berbaring di samping suami/istri dan bersentuhan (tanpa hubungan badan)? Apakah wudhunya harus diulang?

Jawaban (Ustadzah Nurun Sariyah, S.H.):

Mengulang wudhu atau tidak bergantung pada batalnya wudhu atau tidak. Mengenai sentuhan yang membatalkan wudhu, ada beberapa pendapat di kalangan ulama. 

Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur (QS. Al-Maidah [5]: 6).

Kalimat “لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ” (menyentuh perempuan) dalam ayat ini dimaknai beragam oleh para ulama. Ada ulama yang mengatakan bahwa menyentuh pada ayat ini adalah bersentuhan kulit, sedangkan sebagian ulama lain mengartikannya sebagai berhubungan suami istri. Oleh sebab itu, muncullah perbedaan pendapat terkait batal atau tidaknya wudhu seseorang jika terjadi persentuhan. 

Para ulama mazhab Hanafi memaknai kalimat “لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ” (menyentuh perempuan) sebagai jima’ (bersetubuh), sebagaimana keterangan dari Ibnu Abbas dan Ibnu As-Sakit. Logika berpikir yang digunakan di sini adalah apabila kata “menyentuh” disandingkan dengan kata “perempuan” maka maknanya bukan lagi menyentuh secara hakiki, tetapi berhubungan suami istri. 

Dalam kaidah bahasa Arab, rangkaian kalimat ini memiliki makna “menyetubuhi”, sebagaimana kalimat “لامست المرأة”  (aku telah menyentuh perempuan) berarti “جامعتها” (aku telah menyetubuhinya). 

Selain itu menurut mereka, walaupun terjadi sentuhan, wudhu bisa batal bukan sebab menyentuhnya, tetapi  sebab keluarnya sesuatu semisal madzi akibat dari sentuhan tersebut.

Diriwayatkan secara mursal, Rasulullah ﷺ dikatakan pernah mencium istrinya kemudian shalat tanpa berwudhu. Hal ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama tentang tidak batalnya wudhu seseorang jika bersentuhan dengan pasangannya. 

Sayyidah Aisyah ra. berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّي وَلاَ يَتَوَضَّأُ

Sungguh Rasulullah ﷺ  pernah mencium salah satu istrinya kemudian beliau shalat dan tak berwudhu (HR. Nasa’i no. 170). 

Ulama mazhab Maliki dan Hanbali cenderung mengkombinasikan kedua dalil di atas, sehingga melahirkan hukum bahwa sentuhan yang membatalkan wudhu adalah sentuhan yang disertai syahwat. 

Lebih detailnya, mazhab Maliki menjelaskan bahwa menyentuh dengan syahwat dapat membatalkan wudhu walaupun kepada anak kecil, suami/istri, mahram, bahkan kepada sesama jenis. Baik menyentuh secara langsung maupun dengan penghalang semisal pakaian, baik dengan kain yang tipis maupun yang tebal. Selama sentuhan tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan kenikmatan atau memang telah terasa nikmat, maka dapat membatalkan wudhu.

Sementara itu, mazhab Hanbali tidak menghukumi batal wudhu jika bersentuhan yang disertai syahwat dengan sesama jenis, dan kalangan ini hanya menghukumi sentuhan yang dilakukan secara langsung tanpa penghalang. Baik kepada mahram, mayit, lansia, maupun gadis kecil yang umumnya mengundang syahwat meski ia berusia 7 tahun atau lebih. 

Dan kedua mazhab ini berpendapat bahwa orang yang menyentuh maupun yang disentuh, keduanya batal wudhu. 

Ulama mazhab Syafii menghukumi bahwa sentuhan kulit secara langsung antara lelaki dan perempuan dapat membatalkan wudhu. Mereka mengambil makna zahir (literal) dari kalimat “لَامَسْتُمُ” yang berarti menyentuh, sebagaimana dalam salah satu qira’ah bertuliskan “لَمَسْتُمُ” yang secara jelas berarti menyentuh. 

Sejalan dengan hal tersebut, ulama mazhab Syafii menganggap bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra. tadi merupakan hadis yang dhaif (tertolak) lagi mursal (terputus sanadnya). Sementara masih banyak hadis dari Sayyidah Aisyah ra. lainnya yang masih membuka pintu takwil. Sehingga para ulama mazhab Syafii memutuskan bahwa hal yang masih bisa ditakwil tidak bisa diunggulkan daripada yang zahir.

Oleh karena itu, menurut ulama mazhab Syafii, sebab batalnya wudhu dengan sentuhan dapat memiliki potensi kenikmatan yang dihasilkan oleh syahwat. Dan hal tersebut tidaklah pantas berada dalam diri orang yang sedang dalam keadaan suci (berwudhu). 

Dengan demikian, bersentuhan kulit tanpa penghalang dapat membatalkan wudhu baik bagi orang yang menyentuh maupun yang disentuh.

Kesimpulan

Sahabat KESAN yang budiman, berdasarkan penjelasan di atas, menurut pendapat ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, seorang suami atau istri yang memiliki wudhu sebelum tidur, lalu mereka bersentuhan ketika tidur, maka sentuhan tersebut tidak dianggap membatalkan wudhu mereka, dengan syarat bahwa sentuhan tersebut bukanlah sentuhan yang didasari dengan syahwat. 

Sementara itu, menurut mazhab Syafii, sentuhan  tersebut dapat membatalkan wudhu. 

Demikian keterangan dari keempat mazhab, sebagai pertimbangan untuk memilih pendapat yang lebih mashlahat bagi Sahabat KESAN.

Wallahu a’lam bi ash-shawabi.

Referensi: Al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuhu: 1/427-431; as-Sunan al-Kubro li an-Nasa’i: 1/135; al-Mabsuth li as-Sarkhosiy: 1/67; Hasyiyah al-‘Adawiy: 1/138; al-Umm: 1/29-30; al-Mughni li Ibni Qudamah: 1/143; al-Mizan al-Kubro: 1/143.

###

*Jika artikel di aplikasi KESAN dirasa bermanfaat, jangan lupa share ya. Semoga dapat menjadi amal jariyah bagi kita semua. Aamiin. Download atau update aplikasi KESAN di Android dan di iOS. Gratis, lengkap, dan bebas iklan. 

**Punya pertanyaan terkait Islam? Silakan kirim pertanyaanmu ke [email protected] 

Apakah suami istri tidak boleh bersentuhan setelah wudhu?

Sebagaimana diketahui, setelah berwudhu, umat muslim dilarang bersentuhan dengan lawan jenis, terutama yang bukan mahramnya. Sebab hal itu dapat membatalkan wudhu.

Suami menyentuh istri Batalkah wudhu nya menurut 4 imam mazhab?

Imam Syarkasyi dari kalangan mazhab Hanafiyah mengatakan, “Bagi yang mencium istrinya atau menyentuh kulitnya, baik dengan syahwat atau tidak, ia tidak diwajibkan berwudhu. (Kitab al-Mabsuuth jilid 1 hal 121).

Apakah suami istri itu muhrim?

Karena memang istri atau suami kita adalah bukan mahram. Hal ini berbeda dengan jika kita bersentuhan dengan ibu, anak, keponakan, bibi, hal itu jelas tidak membatalkan wudhu, karena mereka adalah mahram yang jelas tidak bisa dinikah.

Bersentuhan kulit laki

Persentuhan Kulit Laki-laki dan Perempuan tidak Membatalkan Wudhu. Di kalangan para ulama terdapat perbedaan pemahaman dalam menafsirkan QS. Al Maidah ayat 6. Menurut Ali dan Ibnu Abbas, makna aw lamastumu al nisa adalah bersetubuh. Sedangkan menurut Umar bin Khattab dan Ibnu Masud memaknainya sebagai persentuhan kulit ...