Wakaf disebut juga sebagai sedekah. Sabtu , 17 Oct 2020, 18:01 WIB dok. Republika Red: Ani Nursalikah REPUBLIKA.CO.ID, Baca Juga Assalamu ‘alaikum wr. wb. Saya sudah membaca terkait fatwa Tarjih tentang kebolehan menjual tanah wakaf untuk kebutuhan yang sangat penting, yaitu dalam SM No. 12 tahun ke-84/1999. Yang akan saya tanyakan, apakah boleh digunakan untuk pengembangan pondok pesantren. Misalnya menjual tanah wakaf yang kurang strategis untuk membangun pengembangan ekonomi pondok karena selama ini kami memiliki tanah wakaf tetapi kurang bermanfaat; 1) lokasi yang kurang strategis di tengah kampung; 2) dana kami sangat terbatas untuk membangun pengembangan di tanah wakaf tersebut. Diens Saprudin (Disidangkan pada Jum‘at, 5 Safar 1441 H / 4 Oktober 2019 M) Wa ‘alaikumussalam wr. wb. Terima kasih atas kepercayaan saudara kepada kami untuk menjawab pertanyaan yang telah saudara ajukan. Wakaf dari segi bahasa berasal dari kata وَقَفَ – يَقِفُ – وَقْفًا yang berarti menahan. Dalam Fatwa Tarjih pada rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 18 Tahun 2008 yang membahas tanah wakaf yang terlantar, disebutkan bahwa wakaf memiliki arti perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan menahan harta miliknya dari lalu lintas muamalat dan menyerahkan manfaatnya untuk kepentingan umat atau anggota masyarakat dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sejalan dengan pengertian tersebut, dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diterangkan bahwa Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Wakaf merupakan salah satu bentuk infak atau membelanjakan harta yang dituntunkan dalam ajaran agama Islam, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran surah Ali-Imran (03): 92, لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ. Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Wakaf disebut juga sebagai sedekah, sebagaimana terdapat di dalam hadis, عَنْ أبَى هُرَيْرَة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan) bahwasannya Rasulullah saw bersabda, jika manusia meninggal dunia, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, anak saleh yang mendoakan orang tuanya [H.R. Muslim No. 1631]. Dalam hadis lain dikisahkan tentang Ibnu Umar r.a. yang mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, sebagai berikut, عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ : أَنْ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ أَصَابَ أرْضًا بخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَهِ، إنِّي أصَبْتُ أرْضًا بخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُ بِهِ؟ قَالَ: إنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا، وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ، أَنَّهُ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوْهَبُ وَلَا يُوْرَثُ، وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ، وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ، وَفِي سَبِيلِ اللهِ، وَابْنِ السَّبِيْلِ، وَالضَّيْفِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالمَعْرُوفِ، وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ . Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan) bahwasannya Umar r.a. pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu beliau mendatangi Nabi saw dan meminta nasihat mengenai tanah itu, seraya berkata, ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu, maka apa yang akan engkau perintahkan kepadaku dengannya? Nabi saw pun bersabda, jika engkau berkenan, tahanlah pokoknya, dan bersedekahlah dengan hasilnya. Ibnu Umar berkata, maka bersedekahlah Umar dengan hasilnya, dan pokoknya itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat, para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, ibnu sabil, dan para tamu. Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya [HR. al-Bukhari No. 2737]. Hadis ini menerangkan bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan. Pada dasarnya benda wakaf harus diabadikan dan dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakif. Namun, apabila benda wakaf itu sudah rusak atau kurang bermanfaat bagi mauquf ‘alaih (orang yang menerima wakaf) maka bolehlah benda wakaf itu dipergunakan untuk yang lebih banyak manfaatnya sesuai dengan tujuan wakaf. Hal tersebut juga telah dijelaskan dalam Himpunan Putusan Tarjih Jilid 1 Cetakan ke-3 Kitab Wakaf halaman 272 bahwa “di mana perlu, kalau barang wakaf itu sudah lapuk atau rusak bolehlah engkau pergunakan untuk lainnya yang serupa atau engkau jual dan engkau belikan barang lain untuk meneruskan wakafnya”. Penjualan tanah wakaf tersebut masih dimungkinkan sepanjang masih dapat melestarikan keberadaan tanah wakaf, misalnya dengan menukar tanah lain yang lebih memiliki nilai ekonomis atau dengan kata lain dengan melakukan tukar guling tanah wakaf itu. Untuk teknis penggantian tujuan wakaf ini dapat dirujuk pada UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, nadir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf Indonesia. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf ternyata tidak dapat digunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar wakaf. Dalam Pasal 48 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, juga disebutkan bahwa pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf harus berpedoman pada peraturan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Hal ini dilakukan berdasarkan hadis Ibnu Umar r.a. yang telah disebutkan di atas, bahwa tanah wakaf tidak boleh dijual, dihadiahkan, dan diwariskan sehingga dengan adanya tukar guling ini tanah sebagai pokok wakaf tidak berubah dan nilai wakafnya tidak berkurang. Tukar guling tanah wakaf dilakukan untuk mencari kemaslahatan sekaligus mempertahankan keberkahan tanah wakaf karena dengan tukar guling tanah wakaf yang kurang bermanfaat lebih maslahat daripada tetap mempertahankannya. Penggunaan tanah wakaf baru, bisa disesuaikan dengan kebutuhan pondok pesantren seperti pembangunan koperasi atau selainnya sehingga tanah wakaf tersebut tetap dapat berfungsi sebagaimana mestinya serta dapat pula membantu perekonomian pondok pesantren. Namun, penggantian tujuan tanah wakaf ini hendaknya diberitahukan kepada pihak wakif jika masih hidup atau ahli warisnya jika wakif telah meninggal dunia. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati wakif serta menjaga agar tidak terjadi kesalahpahaman dari pihak wakif atau keluarganya. Wallahu a‘lam bish-shawwab ----- Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sumber: Majalah SM No 5 Tahun 2020 https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/10/16/menjual-tanah-wakaf/
sumber : Suara Muhammadiyah
Apakah kamu lagi mencari jawaban dari pertanyaan Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual dan dihibahkan, kecuali? Berikut pilihan jawabannya:
Kunci jawabannya adalah: C. Dimanfaatkan. Dilansir dari Ensiklopedia, Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual dan dihibahkan, kecualiharta yang diwakafkan tidak boleh dijual dan dihibahkan, kecuali Dimanfaatkan. Penjelasan Kenapa jawabanya bukan A. Digadaikan? Nah ini nih masalahnya, setelah saya tadi mencari informasi, ternyata jawaban ini lebih tepat untuk pertanyaan yang lain. Kenapa nggak B. Diberikan? Kalau kamu mau mendaptkan nilai nol bisa milih jawabannya ini, hehehe. Kenapa jawabanya C. Dimanfaatkan? Hal tersebut sudah tertulis secara jelas pada buku pelajaran, dan juga bisa kamu temukan di internet Terus jawaban yang D. Diwariskan kenapa salah? Karena menurut saya pribadi jawaban ini sudah keluar dari topik yang ditanyakan. Kesimpulan Jadi disini sudah bisa kamu simpulkan ya, jawaban yang benar adalah C. Dimanfaatkan. BOLEHKAH JUAL HARTA WAKAF ? Rabu, 31 Oktober 2018
Penulis : Isnawati, Lc. MA C. Tukar Guling Harta Wakaf Dalam Fiqih 1. Madzhab Hanafi Al-Kasâni menyebutkan di dalam madzhab Hanafi menukar harta wakaf dibolehkan apabila wakif mensyaratkan di dalam ikrar wakaf, dan ini merupakan pendapat dari Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Dari Abû Yûsuf, apabila seorang wakif mensyaratkan bagi dirinya untuk menjual harta wakaf dan menggantinya dari hasil tersebut harta wakaf yang lebih baik maka hukumnya boleh. Sesungguhnya menetapkan syarat dalam wakaf, tidak membatalkan wakaf. Karena menjual pintu masjid ketika dia rusak, atau menjual pohon wakaf yang telah kering, kemudian menggantinya dengan yang lain sesungguhnya itu tidak memutus wakaf. Namun apabila di dalam ikrar wakaf tidak mensyaratkan, maka menurut Abû Hanîfah dan Muhammad tidak boleh, sedangkan menurut AbûYusuf tetap boleh. 2. Madzhab Maliki “Menurut ulama kami, tidka diperbolehkan menjual harta wakaf, kecuali berupa rumah yang berada disamping masjid, kemudian diperlukan untuk perluasan masjid. Maka mereka membolehkan melakukan penukaran dengan syarat hasil dari penjualan rumah tersebut dipergunakan untuk membeli harta wakaf pengganti.” (al-Ghârnâthî, Al-at-Tâj wal Iklîl li Mukhtashar Khalîl, (tt.p:, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1416 H/1994 H), Cet. ke-1, jilid. 7, h. 663 3. Madzhab Asy-Syafi’i “sehingga tidak bisa dipakai untuk shalat, maka hal tersebut tidak dapat mengembalikan kepemilikan kepadanya, dan tidak boleh menjual atau menukarnya, karena kepemilikan atas masjid tersebut telah dan selamanya milik Allah. Tidak akan kembali meski telah terjadi sirna. Sama seperti seorang budak yang telah dimerdekakan, maka akan selamanya dia merdeka setelah itu. Adapun jika seseorang mewakafkan kebun kurma, kemudian kurma tersebut kering, atau mewakafkan hewan ternaknya, kemudian hewan tersebut sakit- sakitan, atau mewakafkan batang kurma kemudian batang tersebut lapuk, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan haram melakukan penukaran, seperti halnya wakaf masjid. Pendapat kedua mengatakan boleh, karena harta wakaf tersebut sudah tidak dapat diharapkan memberi manfaat, maka menjualnya itu lebih baik daripada membiarkannya rusak tanpa ada gunanya, hal itu berbeda dengan masjid yang masih dapat digunakan melakukan shalat disitu meskipun dalam keadaan rusak. Apabila barang- barang wakaf tersebut ditukar, nilai barang penukar harus senilai barang wakaf…” (Asy-Syairâzi, al-Muhadzdzab, (tt. p, Darel kutub al-‘Ilmiyah, tt), Vol. 2, h. 331.) “Pendapat yang paling kuat adalah boleh menjual menjual harta benda wakaf berupa puing-puing masjid jika telah rusak, atau ada ganti yang lebih dari baik dari yang ada tersebut, supaya harta wakaf tersebut tidak hilang dan sirna begitu saja tanpa memberi manfaat. Hasil penjualannya dibelikan kembali gantinya, maka disini tidak masuk dalam kaidah menjual, karena harta wakaf tersebut tergantikan, yang baru menggantikan yang telah tiada. (Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, (tt. p, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415H/1994M), Cet. ke-1, Vol. 3, h. 550) 4. Madzhab Hambali “Sesungguhnya Imam Ahmad bin Hambal membolehkan mengganti masjid dengan masjid yang lain karena untuk kemashlahatan, begitu juga mengubahnya. Pendapat ini berdasarkan hadis Umar, bahwasanya Umar RA menukar masjid kufah yang lama dengan masjid yang lain. Sehingga bekas masjid yang lama kemudian menjadi pasar kurma. Dan Imam Ahmad juga membolehkan seandainya ditimpa musibah seperti tsunami, maka boleh memindahkan masjid yang ada disana ke tempat yang lain. Bahkan boleh menukar masjid, misalkan warganya disana sudah tidak butuh lagi terhadap masjid tersebut, kemudian masjid itu dijual dan hasilnya dibangunkan kembali masjid di tempat yang lain. (Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatâwa, (Suadi Arabia: Majma’ Malik Fahd, 1416 H/1995M), Vol. ke-31, h. 266) 5. Madzhab Azh-zhahiri Apabila seseorang mewakafkan hartanya, kemudian mengatakan akan menjualnya jika dia membutuhkan, dari segi hukum wakafnya sah, tapi syarat dalam ikrar wakaf merujuk kembali harta wakaf adalah syarat yang bâthil. (Ibnu Hazm, al-Muhalla, jilid 8, h. 161) Di antara empat madzhab tersebut, disamping ada perbedaan-perbedaannya, juga ada persamaan- persamaannya, antara lain :
D. Tukar Guling Wakaf dalam Hukum Positif
Sumber : www.rumahfiqih.com |