Jelaskan apa saja bentuk PERJUANGAN KH. R. Asnawi yang menunjukkan cinta tanah air

Mendirikan Madrasah dan Masjid Menara Kudus

elmihrab.com – Meskipun lama menimba ilmu di tanah Suci dan mengajar di sana, K.H. R. Asnawi tidak melupakan tanah airnya. Pada tahun 1916 beliau meninjau tanah airnya yang ada di Kudus, serta mengadakan hubungan dengan kawan-kawannya antara lain Bapak Sema’un,  H. Agus Salim, Hos Cokroaminoto dan lain-lain dari tokoh SI. Berangkatlah beliau sendiri, sedang anak istri ditinggal di Mekah. Sesampainya di Kudus beliau bersama dengan kawan-kawannya mendirikan sebuah Madrasah yang di beri nama Madrasah Qudsiyyah pada tahun 1916 M. Dan tidak lama kemudian diadakan pembangunan Masjid Menara Kudus yang dilakukan secara gotong royong.

Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itu, terjadi suatu peristiwa huru-hara Kudus pada tahun 1918, di mana beliau dengan kawan-kawannya yang lain terpaksa harus menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah yang menghina Islam. Itulah sebabnya niat kembali ke tanah suci menjadi gagal, sedang istri dan anak masih di Mekah.

Pada saat umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid Menara yang dikerjakan siang dan malam, orang-orang Cina mengadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara. Oleh Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam telah mengirim surat kepada pemimpin Cina agar tidak menjalankan pawainya di muka Masjid Menara. Mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir dari Kaligelis pada malam hari.

Permintaan itu ternyata tidak digubris, bahkan dalam rentetan pawai itu terdapat adegan dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menamakan Cengge.

Pawai Cina yang datang dari muka Masjid Menara menuju ke selatan kemudian berpapasan dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu dengan kendaraan grobak dorong (songkro). Kedua-duanya tidak ada yang mau mundur. Akhirnya seorang santri yang menarik songkro itu dipukul oleh orang Cina. Dengan adanya pemukulan terhadap orang Islam yang dilakukan oleh orang Cina, ditambah adanya Cengge yang menusuk perasaan umat Islam, maka terjadilah pertikaian antara para peserta pawai orang Cina dengan orang Islam yang sedang bekerja bakti mengambil pasir dan batu.

Sekalipun pertikaian ini dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, namun orang-orang Cina belum mau menunjukkan sikap damai. Mereka bahkan masih sering melontarkan ejekan terhadap orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kaligelis sampai menuju ke Masjid Manara Kudus. Karena itulah orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan terhadap penghinaan orang-orang Cina.

Para ulama memandang beralasan untuk menyetujui adanya penyerangan pembelaan, tetapi tidak diadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina, pembakaran rumah maupun perampasan barang-barang milik orang Cina. Akan tetapi, ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina dan tersentuhnya lampu gas pom sehingga menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa.

Dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah, maka para ulama ditangkap dan dimasukkan dalam penjara. Akhirnya KH.R.Asnawi yang dituduh sebagai salah satu penggerak, dijatuhi hukuman selama 3 tahun. Semula di penjara Kudus, kemudian pindah ke penjara Semarang bersama-sama dengan K.H. Ahmad Kamal Damaran, K.H. Nurhadi, K.H. Mufid Sunggingan, dan lain-lain.

Selama Dalam Penjara

Pada saat di penjara, istrinya (Nyai Hj. Hamdanah) beserta 3 orang putra-putrinya datang ke Kudus dari Mekah. Menurut cerita beliau, selama berada di penjara Kudus pada setiap malam Jumat K.H. R. Asnawi mengadakan berjanjenan (membawa kitab Al-Barjanji) bersama dengan penghuni penjara dan selalu mengadakan shalat jamaah lima waktu. Di samping itu, beliau sempat menterjemahkan kitab Ajrumiyah (ilmu Nahwu) ke  dalam bahasa Jawa, namun sayang karangan ini tidak dicetak dan disiarkan.

Sesudah Keluar Dari Penjara

Sebagai seorang yang memiliki jiwa pejuang, setelah keluar dari penjara beliau langsung terjun di tengah masyarakat untuk menunaikan kewajiban sebagai seorang pemimpin masyarakat, di antaranya dengan berdakwah mengajar agama dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Di antara ilmu yang diutamakan oleh beliau adalah tauhid dan fiqih.

Pada tahun 1927 berdiri pondok pesantren yang diasuh oleh beliau di atas tanah wakaf dari KH. Abdullah Faqih dan mendapat dukungan dari para dermawan dan umat Islam di Kudus. Kegiatan beliau dalam melakukan tabligh tidak terbatas daerah Kabupaten Kudus saja, akan tetapi meluas ke daerah lain untuk menyebarkan aqidah Ahlusunnah Wal Jamaah antara lain sampai ke Tegal, Pekalongan, Semarang, Gresik, Cepu, dan Blora. Demikian halnya dalam mengadakan pengajian meliputi daerah Demak, Jepara, dan Kudus.

Di pondok pesantrennya sendiri setiap tanggal 14 bulan hijriyah diadakan majelis ta’lim yang disebut Patbelasan. Ribuan Muslimin dan Muslimat mendatangi majelis ini. Sayang majelis ini terhenti karena dihapus oleh pemerintah Jepang. Setiap tanggal 29 Rabiul Awal juga beliau menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad Saw.

Bersamaan mengadakan majelis khataman Al-Quran baik binnadzar maupun bil-ghaib yang diasuh oleh putranya (HM. Zuhri). Di samping melayani kebutuhan para santri yang ada di pondok pesantren tentang pengajian kitab, secara khusus beliau juga mengadakan wiridan, antara lain: khataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus, khataman kitab Bidayatul Hidayah dan Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus, serta membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jama’ah shubuh selama bulan Ramadlan bertempat di Masjid Al-Aqsha Kauman Menara Kudus. Namun sampai beliau wafat, kitab ini belum khatam, kemudian diteruskan oleh Al-Hafidh KH. M. Arwani Amin sampai khatam.

Sesudah selesai mendirikan pondok pesantren pada tahun 1927 M, pernah datang ke rumah beliau seorang tokoh Belanda yang faham tentang agama Islam bernama Van Der Plas. Kedatangannya di rumah untuk minta agar dilayani dengan bahasa Arab, demikian ujar petugas Kabupaten yang memberitahukan akan datangnya Van Der Plas dan menyampaikan kehendaknya. Adapun maksud Van Der Plas menemui beliau adalah bermaksud minta kesediaan beliau untuk memangku jabatan penghulu di Kudus. Secara tegas penawaran itu ditolaknya. Sebab jika diangkat sebagai penghulu tidak bebas lagi dalam melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap para pejabat. Lain jika menjadi orang partikelir, dapat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar terhadap siapapun tanpa ada rasa segan (ewuh pekewuh).

Kegemarannya

Pada masa hidupnya beliau sangat gemar melakukan:

Silaturrahim, baik di tempat yang dekat maupun yang jauh, baik terhadap orang tua maupun terhadap yang lebih muda.

Amar ma’ruf nahi mungkar, terhadap siapapun terutama terhadap keluarganya asal terdapat hal-hal yang kurang baik apalagi terhadap hal yang nyata-nyata melanggar syara’. Beliau tidak segan-segan memberikan peringatan atau teguran.

Ringan tangan bila diundang, asal undangan yang tidak melanggar syara’. Setiap tahunnya asal undangan tiada udzur, beliau pasti hadir dalam upacara Maulud Nabi yang diselengarakan oleh Sayid Ali Al-Habsyi Kwitang Jakarta. Pernah beliau berpesan: “Apabila ada orang yang minta pertolongan dan ada kemampuan untuk memenuhi, laksanakanlah permintaan itu, sebab Allah akan menolongmu”.

Selalu memberi nasehat, baik kepada siapa saja terutama kepada anak dan cucunya. Kalau nasehat (pidato) suaranya lantang, sekalipun pahit, keras dan tegas sesuai dengan ajaran syariat di telinga tetapi manis dirasa.

Mendirikan Nahdlatul Ulama

Pada tahun 1924 M beliau ditemui oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah Jombang untuk bermusyawarah untuk membuat benteng pertahanan Aqidah Ahlussunah Wal Jamaah. Akhirnya beliau menyetujui gagasan KH.A. Wahab Hasbullah dan selanjutnya bersama-sama dengan para ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 M mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama.

Pada zaman penjajahan Belanda beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya yang mempertahankan kesucian Islam serta menanamkan nasionalisme terhadap umat Islam, baik di Kudus maupun di Jepara. Pada zaman penjajahan Jepang pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon, akhirnya beliau dibawa ke markas, Kempetai di Pati.

Pada zaman awal revolusi kemerdekaan terutama pada masa menjelang agresi ke-1, beliau mengadakan gerakan ruhani dengan membaca sholawat Nariyah dan doa surat Al-Fil. Tidak sedikit para pemuda-pemuda kita yang tergabung dalam laskar-laskar bersenjata berdatangan untuk minta bekal ruhaniyah kepada beliau sebelum berangkat ke medan pertahanan di Genuk, Alastuo dan lain-lain.

Oleh Bupati Kudus, Raden Surbakah pernah K.H. R. Asnawi dimintai untuk menempati pendopo Kabupaten sebagai tempat pengajian. Permintaan itu dipenuhi hingga Bapak Bupati pindah. Majelis pengajian umum yang masih berjalan sampai sekarang ini ialah Sanganan di Masjid Agung Kauman Wetan Kudus dan majelis Pitulasan di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Pondok Pesantrennya masih berjalan untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan beliau.

KH. R. Asnawi Pulang Ke Rahmatullah

Hari Sabtu Kliwon tanggal 25 Jumadil Akhir 1378 H, bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M, tepatnya jam 03.00 fajar beliau telah dipanggil pulang ke rahmatullah. K.H.R.Asnawi, seorang ulama besar dan salah seorang pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama wafat dalam usia 98 tahun. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.

Redaksi