Jelaskan apa yang dimaksud dengan konflik konstruktif?

ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.14 Juli 2018

Menghormati Perbedaan Melalui Konflik Konstruktif

Oleh:

Naila Diyaul Aulia dan Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Mahasiswa dan Dosen Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya

Maraknya konflik SARA

Isu bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) marak terjadi saat pelaksanaan pilgub DKI Jakarta 2017. Selain aksi demo besar-besaran, massa menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dipenjara. Selain itu, berbagai poster dan spanduk berisi kampanye hitam bernuansa SARA terhadap pasangan calon bermunculan (Mardira, 2018).

Pilkada serentak 2018 memungkinkan adanya gema dari pilkada DKI Jakarta pada tahun sebelumnya, yakni konflik bernuansa SARA.Potensi ini perlu dikembangkan dan diarahkan untuk mencapai luaran konflik yang lebih konstruktif. Dengan mengarahkan luaran konflik dan proses terjadinya konflik, maka kerusuhan, kekerasan dan tindakan represif pada pesta demokrasi dapat lebih ditekan.

Tidak mudah untuk membangun konflik konstruktif, apalagi jika perbedaan terus digemakan sebagai bahan perpecahan. Namun demikian, penyadaran publik tentang kebhinekaan harus terus digemakan sebagai dasar dari upaya membangun kebersamaan. Perbedaan akan bisa diterima dengan terbuka manakala antar elemen dalam perbedaan itu memiliki relasi saling menguntungkan (Zahrotin, 2018).

Pembentukan Satgas Anti-SARA

Dengan latar belakang inilah, Polri membentuk Satgas Anti-SARA untuk mengantisipasi kejahatan berkonten SARA dalam gelaran pesta demokrasi. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Polri, Brigjen Muhammad Iqbal mengatakan, pembentukan Satgas Anti-SARA untuk mewujudkan pilkada yang santun dan beretika, tanpa kampanye menyinggung SARA. Selain itu, tiap kontestan juga harus berkomitmen menjaga mutu demokrasi dengan tidak menggunakan isu SARA dalam kampanye (Mardira, 2018).

Sejarah membuktikan, perbedaan suku, agama, ras dan cara pandang telah akrab bagi masyarakat nusantara. Perbedaan ajaran pada zaman Mataram Kuno, hingga pada era setelahnya muncul saloka  Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Perbedaan tidak menjadi konflik dan perpecahan bangsa, dalam perjalanan Majapahit misalnya, yang memecah bangsa justru ambisi-ambisi politik dan ambisi kuasa segelintir orang. Pemberontakan yang timbul dimulai dari keinginan untuk berkuasa bukan dari perbedaan SARA (Zahrotin, 2018).

Konflik konstruktif dalam Menghasilkan Konsensus

Konflik konstruktif terjadi ketika orang memfokuskan diskusi mereka mengenai masalah sambil menunjukkan rasa hormat pada orang-orang dengan sudut pandang lain. Konflik ini disebut "konstruktif" karena posisi yang berbeda didorong sedemikian rupa sehingga gagasan dan rekomendasi dapat diklarifikasi, dirancang ulang, dan diuji secara logis. Mempertahankan perdebatan yang terkait dengan isu membantu peserta menguji kembali asumsi dan kepercayaan mereka tanpa memicu dorongan untuk membela dan emosi negatif dan mekanisme pertahanan diri yang terkait (McShane &Von Glinow, 2010).

Konflik konstruktif merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi (Tidajoh,Areros, dan Tarore,2017).

Pada dasarnya proses konflik berawal disaat satu pihak tidak dapat menerima terhadap segala keputusan pihak lain terutama dalam melakukan tugas pekerjaan, sehingga konflik ini dapat menimbulkan ketidaksesuaian antara dua atau lebih anggota-anggota atau kelompok (dalam suatu organisasi/perusahaan) yang membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan atau kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai maupun persepsi.

Konflik yang terjadi biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena faktor komunikasi (communication factors), faktor ini dapat menyebabkan terjadinya konflik ketika para anggota dalam sebuah organisasi maupun antar organisasi tidak dapat atau tidak mau untuk saling mengerti dan saling memahami dalam berbagai hal dalam organisasi, terjadinya salah pengertian ketika berkomunikasi juga dapat menyebabkan konflik.Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa konflik konstruktif adalah konflik yang prosesnya mengarah kepada mencari solusi mengenai substansi konflik, dimana konflik ini membangun situasi yang baru dari pihak yang terlibat konflik (Muchsin & Hambali, 2017).

Referensi

Mardira, S. (2018). Melawan isu SARA di pilkada serentak 2018. Okezone News. Diunduh dari https://news.okezone.com/read/2018/01/23/337/1848818/melawan-isu-sara-di-pilkada-serentak-2018.

Muchsin & Hambali. (2017). Model pengembangan manajemen konflik berbasis sekolah. Seminar Nasional II USM 2017. Diunduh dari file:///C:/Users/user/Downloads/375-695-1-SM.pdf.

Tidajoh, M. G., Areros, W. A., &Tarore, H. S. (2017). Pengaruh konflik terhadap kinerja karyawan pada PT. Pegadaian (Persero) Manado. Jurnal administrasi bisnis, 5(5),1-8. Diunduh dari https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jab/article/viewFile/17506/17038.

Zahrotin, A. (2018). SARA dan peluang konflik konstruktif pilkada. Oase. Diunduh dari https://www.medcom.id/oase/kolom/yKXVYjab-sara-dan-peluang-konflik-konstruktif-pilkadaK.


Page 2

ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.14 Juli 2018

Trend “Pelakor: : Sebuah Konsekuensi Gaya Hidup Hedonis

Oleh

Frida Medina Hayuputri

Fakultas Psikologi – Universitas Persada Indonesia YAI

Salah satu bentuk gaya hidup yang saat ini banyak dijumpai di sekeliling kita adalah gaya hidup hedonis. Hedonisme berasal dari bahasa Yunani yaitu hedone yang berarti kenikmatan. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kenikmatan sebanyak mungkin dan menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Orang yang menganut gaya hidup hedonis akan menjadikan kenikmatan sebagai tujuan utama, bagaimanapun caranya dan apapun akibatnya. Orientasi hidupnya selalu diarahkan pada kenikmatan dan sebisa mungkin menghindari perasaan menderita (yang tidak mengenakkan).

Trend "Pelakor" : Sebuah Konsekuensi Gaya Hidup Hedonis

Istilah "pelakor" sedang menjadi trend belakangan ini. Istilah ini merupakan singkatan dari "perebut laki orang". "Pelakor" adalah julukan yang ditujukan kepada perempuan yang menjalin hubungan spesial dengan laki-laki yang sudah beristri. "Pelakor" ini biasanya menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah mapan secara finansial.

Alasan para "pelakor" menganggap bahwa suami orang lebih menarik daripada laki-laki single (bujangan) adalah bahwa karena dinilai sudah mapan secara finansial, sedangkan bujangan masih harus berjuang, kurang mapan, dan kurang menarik. Sehingga jika menjalin hubungan spesial dengan suami orang yang notabene sudah mapan, dirinya bisa hidup enak tanpa harus  bersusah payah bekerja. "Pelakor" ini menjadikan kenikmatan duniawi sebagai tujuan utamanya, tanpa memikirkan akibatnya yaitu menyakiti istri dan anak-anak dari laki-laki yang ia dekati, serta sebisa mungkin menghindari perasaan yang tidak mengenakkan, yaitu menghindari lelahnya bekerja keras untuk memenuhi gaya hidupnya.

Jika ditinjau dari teori menurut Engel, Blackwell, dan Miniard (2006) yang mengatakan bahwa gaya hidup hedonis sangat erat kaitannya dengan pola hidup konsumtif, serta teori Cicerno (dalam Russel, 2007) tentang karakteristik gaya hidup hedonis, maka dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai munculnya trend “pelakor” sebagai sebuah konsekuensi gaya hidup hedonis, antara lain :

  1. Pandangan hidup serba instant yaitu melihat materi dan kenikmatan duniawi bukan dari prosesnya (ingin jalan pintas)
  2. Menjadi pengejar identitas fisik.  Memiliki pandangan bahwa memiliki barang-barang berteknologi mutakhir dan serba mewah (contohnya ponsel dan mobil tipe keluaran terbaru) adalah suatu kebanggaan
  3. Memiliki cita rasa yang tinggi. Memiliki rasa tidak puas dengan barang-barang yang sudah dimiliki oleh kebanyakan orang (contohnya tidak mau memakai mobil dengan julukan “mobil sejuta umat”)
  4. Tidak tahan hidup menderita
  5. Tidak bisa mengatur keuangan (boros).

Orang yang memiliki kecenderungan seperti itu, membutuhkan materi (uang) yang tidak sedikit, sehingga biasanya akan melakukan pembenaran (rasionalisasi) untuk memenuhi semua kesenangannya, termasuk menjadi “pelakor” karena tidak mau bersusah payah bekerja. Pelakor juga tidak akan mempedulikan bahwa perbuatannya akan berdampak negatif bagi dirinya sendiri, dan juga menyakiti orang lain.     

Sebenarnya tidak akan ada “pelakor” (“perebut laki orang”), jika sang “laki orang” tersebut tidak mau direbut, dan tetap mempertahankan rumah tangga dengan istri dan anak-anaknya. Namun, pada kenyataannya tetap saja banyak laki-laki yang terpikat pesona “pelakor”.

Lalu bagaimana caranya agar bisa menghindari godaan pelakor? Hal–hal berikut ini bisa dilakukan sebagai teknik preventif, yaitu :

  1. Para suami sebaiknya membekali diri dengan iman dan kasih sayang yang tulus kepada keluarga, serta selalu mengingat bahwa istri dan anak lah yang mendampingi suami dari nol (dari sebelum mapan, hingga mapan seperti sekarang ini).
  2. Para suami  sebaiknya berpikir lebih panjang, dan menyadari bahwa “pelakor” hanya berorientasi pada materi dan kenikmatan duniawi, sehingga jika suami mendadak mengalami musibah, misalkan sakit parah atau jatuh miskin, “pelakor” akan meninggalkan mereka, dan mencari laki-laki mapan yang lain. Hal ini sesuai dengan karakteristiknya yang tidak tahan hidup menderita dan memiliki pandangan hidup serba instant. Sedangkan dalam keadaan musibah seperti ini, istri dan anak-anak akan tetap setia mendampingi suami.
  3. Para istri sebaiknya tetap pandai merawat diri, agar tetap menarik di mata suami. Tetapi tidak harus selalu dengan perawatan yang serba mahal, misalkan dengan berolahraga di rumah, luluran di rumah, dan sebagainya.
  4. Suami dan istri sebaiknya saling menghormati, menghargai, dan mempercayai di dalam rumah tangga, jangan ada pihak yang merasa dominan dan menindas pasangannya.

Oleh karena itu, kita semua diharapkan lebih bijaksana dalam mengikuti suatu gaya hidup, agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang berdampak negatif bagi diri sendiri, maupun orang lain.

Referensi

Engel, J. F. , Blackwell, R. D. , & Miniard, P. W (2006). Consumer behavior (10th edition). USA : The Dryden Press.

Russel, B. (2007). Sejarah filsafat barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Page 3

ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.14 Juli 2018

Persilakan Generasi Phi Mengkonstruk Karakter

Oleh

Eko A. Meinarno

PIC Modul dan Buku K-PIN

Pernahkah kita sebagai pengajar atau pelatih memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk membangun sendiri pemahamannya tentang karakter? Tulisan ini untuk merespon kajian Markam (2018) tentang karakter dan melanjutkan ide intervensi sosial untuk perguruan tinggi (lihat Meinarno 2017). Tentu pengajaran karakter bukan hal mudah, tapi bukan berarti kita lepas tangan. Maka dari itu tulisan sederhana ini hendak menjawab celah-celah kemungkinan membangun karakter pada mahasiswa. 

Untuk menjalankan pengajaran ini tidak butuh kuliah khusus. Cukup disisipkan pada kuliah bukan sebagai materi, tapi sebagai upaya mengisi bagian dari “afeksi” mahasiswa terhadap mata kuliah yang mereka jalani. Dalam bahasa lainnya seperti agenda tersembunyi dari kurikulum. Mengapa tersembunyi? Karena membangun karakter, bukanlah pengajaran materi. Karakter perlu tumbuh dari dalam diri yang merasa butuh untuk bertumbuh dan berkembang untuk diri dan lingkungannya. Dengan demikian pembentukan dan pengembangan karakter terintegrasi dalam perkuliahan.

Pelaksanaan agenda tersembunyi ini dapat dilakukan di bagian manapun dari perkuliahan. Dapat di awal semester, tengah atau bahkan di akhir (walau membicarakan karakter umumnya di awal). Tawaran metodenya cukup sederhana. Para mahasiswa di awal pertemuan dapat diajak untuk melihat karakter tokoh yang mengajukan teori yang digunakan dalam kuliah. Tentu hal ini tidak sulit karena tokoh-tokoh ini umumnya mempunyai karakter yang baik (pengajar telah membaca terlebih dahulu tokoh yang memang mempunyai karakter khusus yang dianggap kuat). 

Mahasiswa diminta membuat kelompok kecil. Mereka membahas tentang tokoh tadi, justru bukan dari sisi teori atau konsep yang ia ajukan, tapi dari perjalan hidupnya. Hal ini tidak sulit karena mahasiswa dapat menemukannya di situs internet. Diskusi dalam kelompok meminta mahasiswa menentukan karakter apa yang muncul dari tokoh, karakter yang kuat dari tokoh. Untuk memudahkan kategorinya dapat merujuk Seligman dan Peterson (2004 dalam Markam 2018). Kelompok mendiskusikan karakter terkuat dari tokoh merujuk kategori karakter Seligman dan Peterson (atau teori lain).

Hasil uraian dari tiap kelompok dibuat catatannya. Catatan ini yang kemudian akan menjadi bahan untuk diskusi pleno. Paparan dalam pleno harus dalam konteks ilmiah, oleh karena itu presentan memaparkan kajiannya dengan berbahasa Indonesia yang benar dan perilaku selayaknya mahasiswa. Dalam pemaparan ini, semua kelompok mendengar aktif, mereka juga dapat meminta penjelasan bahkan termasuk menyampaikan posisi yang berlawanan.

Kegiatan pleno yang tetap dijaga oleh dosen, hal ini adalah bagian dari kegiatan umpan balik (Rooijakkers, 1988).  Kegiatan ini untuk memantapkan apa yang telah diterima dan didikusikan serta mengetahui bagian mana yang belum tepat. Pemberian umpan balik juga harus menjaga tata krama yang berlaku di kelas, misalnya dengan tetap menyebut nama diri tiap kali bertanya pada kelompok yang sedang memaparkan.

Hasil paparan dan umpan balik (dari kelompok lain dan dosen), tiap individu dari kelompok dapat membuat refleksi diri. Refleksi diri tentang karakter kuat versi kelompok sendiri dan berdasar masukan (jika ia anggap bermanfaat). Hal-hal bermanfaat ini kemudian dapat ia integrasikan dengan sebuah simpulan sejauhmana dirinya ada dalam karakter yang “ideal” tadi. Misalnya tokoh ini kuat dalam keteguhan hati karena ia tekun bekerja pada risetnya sehingga lahirlah karya dan teorinya. Oleh karena itu mahasiswa tahu bahwa untuk meraih keberhasilan harus teguh hati pada tujuan (lihat Meinarno, 2018). 

Aktivitas kelas ini, selain belajar memahami karakter juga menggugah individu bahwa buah pikiran kelompok tentang karakter tokoh masih dapat “digugat” atau dalam bahasa kerennya adalah berpikir kritis. Untuk menghadapi keadaan itu maka ia dan kelompok harus mempunyai alasan menerima atau menolak berdasar kriteria. Kemampuan memaparkan ide, mempertanyakan, menerima, menolak dan bahkan menjadikan bahan refleksi inilah yang merupakan bagian dari pembangunan karakter yang kuat, bukan kisah tokoh tadi. Tokoh hanya menjadi pemicu yang berguna bagi rujukan diri mahasiswa tentang karakter yang kuat. Mahasiswa secara aktif memikirkan pengembangan karakter kuat bagi dirinya. 

Sebuah langkah untuk generasi phi telah dimulai. Sebuah sesi telah dijalankan untuk mengarahkan generasi phi Indonesia siap menjalani Revolusi Industri 4.0.

Referensi

 

Markam. SS. (2018). Karakter: Sebuah pengantar. Buletin K-PIN. Vol.4. No.10, Mei 2018.

Meinarno, EA. (2017). Perubahan cara belajar: Intervensi sosial untuk perguruan tinggi. Buletin K-PIN. Vol.3. No.5, Mei 2017.

Meinarno, EA. (2018). Mempersiapkan mahasiswa generasi phi (p). Dalam proses penerbitan.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan konflik konstruktif?

Rooijakkers, A. (1988). Mengajar dengan sukses: Petunjuk untuk merencanakan dan menyampaikan pengajaran. Gramedia, diterbitkan dengan kerjasama YKPTK. Jakarta.


Page 4

ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.13, Juli 2018

Optimalisasi Peran Guru Bimbingan Konseling SMK

Oleh

Sari Zakiah Akmal, Rina Rahmatika, Ahmad Sabiq dan Sri Puji Utami

Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknologi Inforamsi

Universitas YARSI

Perkembangan teknologi dan informasi serta terbukanya kesempatan yang luas untuk melanjutkan pendidikan, mendorong siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk meningkatkan kapasitas kemampuannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Bimbingan Konseling SMKN 31 Jakarta, diketahui bahwa saat ini tidak sedikit siswa SMK yang pada akhirnya melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana (S1). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi pergeseran nilai pada siswa SMK dimana para siswa tidak hanya terpaku untuk menyelesaikan pendidikan dan mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja, namun siswa SMK juga berpeluang untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Kondisi tersebut tentunya memiliki kelebihan/hal positif dan kekurangan/hal negatif tersendiri bagi siswa SMK.

Siswa SMK perlu meningkatkan kemampuannya dan perlu melakukan upaya lebih untuk mengejar ketertinggalannya dibandingkan dengan siswa SMA, terutama dalam penguasaan materi pelajaran. Siswa SMK diajarkan materi yang lebih spesifik pada bidang yang ditekuninya dan kurang mendapatkan pelajaran dasar yang diperlukan untuk dapat lolos pada ujian saringan masuk perguruan tinggi (seperti: Matematika Dasar, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia). Oleh karena itu, siswa SMK yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 perlu pelajaran tambahan (atau bimbingan belajar) untuk meningkatkan kemampuannya. Mereka juga perlu secara mandiri mencari informasi terkait jurusan yang ingin ditekuni.

Tidak hanya siswa, guru Bimbingan Konseling SMK juga perlu meningkatkan wawasan dan keterampilan mereka untuk membantu siswa dalam menyelesaikan persoalan terkait perencanaan masa depan. Berdasarkan pemaparan ketua Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MGBK) SMK Jakarta Pusat, guru BK SMK membutuhkan aktivitas (pelatihan/seminar) yang dapat membantu mereka dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan terkait proses perencanaan karier siswa.

Berdasarkan kebutuhan tersebut, Fakultas Psikologi dan Fakultas Teknologi Informasi mengundang 20 orang guru SMK yang berada di bawah koordinasi MGBK Jakarta Pusat untuk mengikuti kegiatan pelatihan perencanaan karier siswa untuk guru BK. Kegiatan pelatihan dilakukan selama dua hari (8 dan 9 Mei 2018). Pelatihan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru BK dalam membantu siswa merencanakan kariernya. Pelatihan tersebut terdiri dari tiga sesi utama yaitu: bagaimana menjadi konselor dan trainer yang baik, langkah-langkah dalam perencanaan karier dan sosialisasi website sistem perencanaan karier.

Modul mengenai langkah-langkah perencanaan karier sebelumnya sudah pernah diujicobakan pada siswa MA. Hasil uji coba menunjukkan bahwa modul perencanaan karier tersebut efektif dalam meningkatkan pengetahuan siswa terkait perencanaan karier dan keyakinan siswa dalam mengambil keputusan karier (Akmal, Arlinkasari & Brebahama, 2016). Selain itu, guru BK juga akan dibekali dengan beberapa alat ukur/ assessment tools psikologis seperti alat ukur minat, orientasi karier, dan beberapa aspek kepribadian lainnya. Alat ukur tersebut dikemas dalam website Sistem Perencanaan Karier (SICAKAR/ sicakar.web.id) yang merupakan luaran dari penelitian hibah Penelitian Kerjasama Perguruan Tinggi (PEKERTI) yang dilakukan oleh Arlinkasari, Akmal, Hayurani & Suhartanto (2014), Arlinkasari, Utami, Rahmatika & Suhartanto (2015) dan Akmal, Arlinkasari, Anggia & Suhartanto (2016).

Efektivitas pelatihan diukur dengan membandingkan pengetahuan peserta saat sebelum dan sesudah kegiatan, serta evaluasi kegiatan secara umum. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pelatihan yang dilakukan efektif dalam meningkatkan pengetahuan peserta mengenai keterampilan yang diperlukan oleh seorang konselor dan proses pengambilan keputusan karier. Kegiatan yang dilakukan mendapatkan penilaian yang positif dari para peserta (rata-rata 3.85 dari skala 4). Mereka merasa bahwa kegiatan yang dilakukan sangat bermanfaat dan dapat diterapkan melalui materi ajar di sekolah.

*Artikel ini adalah salah satu luaran dari kegiatan Program Kemitraan Masyarakat RISTEKDIKTI pendanaan tahun 2018.

Referensi

Akmal, Sari Z., Arlinkasari, Fitri., Anggia, Pinkie., & Suhartanto, Heru., (2016). Pengembangan Model Pengambilan Keputusan Karier Berbasis Sistem Informasi (Identifikasi Nilai, Aspirasi dan Kompetensi pada Kelompok Bidang Pekerjaan Profesional dan Pelayanan). Laporan Akhir Hibah PEKERTI Tahun ke-1.

Akmal, Sari Z., Arlinkasari, Fitri.,Brebahama, Alabanyo. (2016). Intervensi Untuk Meningkatkan Kematangan Karier Pada Siswa MA. Prosiding SNaPP: Kesehatan Vol.2 No.1

Arlinkasari, Fitri., Akmal, Sari Z., Hayurani, Herika., & Suhartanto, Heru., (2014). Pengambilan Keputusan Karier pada Usia Muda di Indonesia Bebasis Sistem Informasi. Laporan Akhir Hibah PEKERTI Tahun ke-1.

Arlinkasari, Fitri., Utami, Sri P., Rahmatika, Rina., & Suhartanto, Heru., (2015). Pengambilan Keputusan Karier pada Usia Muda di Indonesia Bebasis Sistem Informasi. Laporan Akhir Hibah PEKERTI Tahun ke-2.

 

Jelaskan apa yang dimaksud dengan konflik konstruktif?


Page 5

ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.13, Juli 2018

Mengatasi Kesepian Pada Masa Usia Lanjut

Oleh:

Selviana

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI

Gambaran Masa Usia Lanjut

Menjadi tua adalah suatu kepastian bagi setiap orang. Searah dengan pertambahan usia, lanjut usia (lansia) akan mengalami penurunan baik dari secara fisik maupun mental. Menurunnya kesehatan dan kemampuan fisik akan mengakibatkan lansia secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar, yang dapat menyebabkan menurunnya interaksi sosial. Kondisi lansia yang mengalami berbagai penurunan atau kemunduran baik fungsi biologis maupun psikis dapat mempengaruhi mobilitas dan juga kontak sosial, salah satunya adalah rasa kesepian (loneliness). Lansia yang mengalami kesepian seringkali merasa jenuh dan bosan dengan hidupnya, sehingga dirinya berharap agar kematian segera datang menjemputnya. Hal itu karena dirinya tidak ingin menyusahkan keluarga dan orang-orang disekitarnya. Tugas-tugas perkembangan pada masa lansia mengalami perubahan seiring dengan adanya penyesuaian dengan peran baru baik secara pribadi maupun dalam masyarakat. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan lansia umumnya berpotensi pada munculnya tekanan hidup karena stigma menjadi tua dianggap sebagai usia yang dikaitkan dengan kelemahan, ketidakberdayaan, dan rentan terhadap penyakit. Selain itu perubahan pada lansia seringkali mengantarkan pada perasaan ketidakberdayaan, sehingga cenderung lebih emosional, sensitif atau mudah marah. Menurut Hurlock (2004) lansia seringkali mengalami permasalahan emosional dan mental yang cukup berat. Oleh karena itu, bahaya psikologis pada lansia dianggap memiliki dampak yang paling besar dibandingkan tahap perkembangan sebelumnya. Akibatnya lansia seringkali mengalami masalah dalam menyesuaikan diri dan seringkali mengalami kesepian.

Fenomena Kesepian Pada Masa Usia Lanjut

Na’Imah dan Septiningsih (2016) menyebutkan fenomena kesepian pada lansia yang merupakan masalah psikologis dapat dilihat dari: a) sudah berkurangnya kegiatan dalam mengasuh anak-anak, b) berkurangnya teman atau relasi akibat kurangnya aktifitas di luar rumah, c) kurangnya aktifitas sehingga waktu luang bertambah banyak, d) meninggalnya pasangan hidup, e) ditinggalkan anak-anak karena menempuh pendidikan yang lebih tinggi, atau meninggalkan rumah untuk be-kerja, e) anak-anak telah dewasa dan membentuk keluarga sendiri. Lansia yang mengalami kesepian, biasanya melakukan kegiatan-kegiatan baik yang melibatkan fisik, psikis maupun hubungan sosial yang bertujuan untuk menghilangkan kesepiannya, atau paling tidak dapat mengurangi rasa kesepiannya.

Pengertian Kesepian

Kesepian adalah perasaan tersisihkan dari orang lain karena merasa berbeda dengan orang lain, tersisih dari kelompoknya, merasa tidak diperhatikan oleh orang-orang disekitarnya, terisolasi dari lingkungan, serta tidak ada seseorang tempat berbagi rasa dan pengalaman (Sampao, 2005). Kondisi ini menimbulkan perasaan tidak berdaya, kurang percaya diri dan kurang diperhatikan. Seseorang yang menyatakan dirinya kesepian cenderung menilai dirinya sebagai individu yang kurang berharga, kurang diperhatikan dan kurang kasih sayang. Rasa kesepian akan semakin dirasakan oleh lanjut usia yang sebelumnya adalah seseorang yang aktif dalam berbagai kegiatan yang menghadirkan atau berhubungan dengan orang banyak.

Saran-saran yang dapat membantu Usia Lanjut mengatasi Kesepian

Beberapa saran untuk mengatasi kesepian pada masa usia lanjut, antara lain: 

  1. Dukungan keluarga (anak, cucu, dan anggota keluarga lain). Dengan keberadaan keluarga, lansia merasa mendapatkan dukungan untuk diperhatikan, sehingga dapat melanjutkan proses hidupnya. Selain itu, keberadaan anak dapat menjadi salah satu perwujudan atas rasa bakti anak kepada orang tuanya, sehingga dapat menjadi kebanggaan lansia pada anak-anaknya. Namun, ketika anak dan keluarganya menjadi beban bagi lansia, maka akan memberikan kesan tersendiri bagi lansia. Papalia, D.E, Olds, S.W.,& Feldman, R. D (2008) mengungkapkan bahwa lansia cenderung menjadi tertekan apabila anaknya memiliki masalah yang serius, salah satunya dengan ketergantungan keuangan, yang dianggap sebagai sinyal kegagalan dalam mendidik anak untuk hidup lebih mandiri. Menurut Suardiman (2011) kepuasan hidup menunjuk kepada kesejahteraan psikologis pada umumnya dikarenakan kepuasan hidup secara luas digunakan sebagai indeks kesejahteraan bagi usila.
  2. Menjalin kontak sosial dengan teman, tetangga. Misalnya aktif dalam berbagai kegiatan sosial, senam, paduan suara, menyalurkan hobi, atau kegiatan keagamaan. Kegiatan dalam kelompok akan menghadirkan nuansa kegembiraan yang setidaknya memiliki agenda kapan bisa bertemu dengan teman-teman untuk saling bertukar informasi dan bersendau gurau (Na’Imah & Septiningsih, 2016)
  3. Melakukan suatu aktivitas seperti: membaca, mendengarkan musik, menonton TV, berjalan-jalan, berbelanja, menyiram tanaman, memberi makan binatang peliharan, menyapu, menyanyi, membersihkan kamar, dan kegiatan lain. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat menimbulkan rasa senang dan sibuk, sehingga dapat menghalau kesepian (Na’Imah & Septiningsih, 2016).

Referensi:

Hurlock, E. (2004). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga Press.

Papalia, D.E, Olds, S.W.,& Feldman, R.D. (2008). Human development. Jakarta: Kencana

Sampao, P. (2005). Relationship of health status, family relations and loneliness to depression in older adult (Tesis tidak dipublikasikan). Mahidol University, Thailand. 

Septiningsih, D ., & Na’Imah, T. (2016). Kesepian pada usia lanjut: Studi tentang bentuk, faktor pencetus dan strategi coping. Psycho Idea, 1, 1-9. 

Suardiman, S. P. (2011). Psikologi usia lanjut. Yogyakarta: UGM Press.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan konflik konstruktif?


Page 6

ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.13, Juli 2018

Mempersiapkan Mahasiswa Generasi Phi (p)

Oleh

Eko A Meinarno

PIC Modul dan Buku KPIN

Tantangan Indonesia sangatlah bertubi-tubi. Tahun 2015 era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimulai dan kemudian kondisi era industri 4.0 tak terelakkan. Dalam konteks pendidikan khususnya perguruan tinggi, juga menghadapi perkembangan peserta didik yang masuk kategori mahasiswa milenial atau yang disebut Faisal (2017) sebagai Generasi Phi (p). Semua front harus dihadapi serentak. Hal ini tentu dapat menjadi guncangan tersendiri sebagaimana yang terjadi di Jepang saat memasuki era restorasi Meiji (Rustam, 2003). 

Sebagaimana artikel yang disampaikan Meinarno (2018) bahwa dari lima elemen pendidikan tinggi di era revolusi industri 4.0 psikologi dapat berkontribusi utama pada elemen pertama dan kedua, untuk yang ketiga membutuhkan kerja sama lintas ilmu dan pengambil kebijakan bahkan pemangku kepentingan (stake holder). Apa yang kira-kira dapat disumbangkan oleh psikologi?

Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan mulai membangun kemampuan mahasiswa untuk menyadari dan menjalankan dirinya sebagai individu pembelajar sepanjang hayat dan berkontribusi positif terhadap lingkungannya. Dengan demikian ia mampu beradaptasi terhadap masalah, mampu menerapkan apa yang dipelajari untuk memecahkan masalah dan melakukan inovasi (Pan, 2004). Hal ini dapat diwujudkan jika ada ciri-ciri umum yang terbangun sejak awal masuk perguruan tinggi. 

Ciri Mahasiswa Generasi Phi

Untuk mencapai hal itu maka perlu ada perubahan dari diri mahasiswa, karena adanya tuntutan dari universitasnya. Beberapa ciri umum yang diminta oleh perguruan tinggi terhadap mahasiswa adalah mandiri, memotivasi diri dan mampu bekerja sendiri (Takwin, Meinarno, Salim, Kurniawati, Diponegoro, Prasetyawati, 2011), terbuka untuk kerja sama, menentukan tujuan, dan mengetahui lingkungan baru mereka (Pan, 2004).

Mandiri. Dalam periode kuliah, semua berpusat pada diri. Ingin sukses atau tidak, diri sendiri yang harus memfasilitasinya. Keberadaan orang lain bersifat membantu. Hal ini karena yang paham bagaimana keinginan dan kebutuhan hanya dirinya sendiri.

Memotivasi diri dan mampu bekerja sendiri. Perlu ada dorongan yang muncul dari diri sendiri. Hal ini karena kematangan kognitif mahasiswa yang secara alami telah mampu membangun dorongan yang khas bagi dirinya. Dengan mampu memotivasi diri sendiri hal logis lainnya yang terbangun adalah mampu menunjukkan hasil kerja yang minim bantuan orang lain. Atau ketika bekerja dalam kelompok mampu menjalankan tugas yang diberikan tanpa membebani pihak lain.

Terbuka untuk kerja sama. Dalam aktivitas perguruan tinggi banyak kegiatan yang menuntut kerja sama dalam kelompok. selain tuntutan, kerja sama juga berarti kontribusi dan hubungan sosial. Mahasiswa mau untuk melihat kepentingan dan kebutuhan pihak lain, bukan dirinya saja. Patut diingat banyak kegiatan perkuliahan dan kemahasiswaan yang membutuhkan kerja sama.

Menentukan tujuan. Sejak awal mahasiswa tahu untuk apa mereka masuk perguruan tinggi. Hal ini yang kemudian membantu mahasiswa berpikir untuk meraihnya. Dalam hal ini menerapkan SMART (Moran, 1997 dalam Singgih & Sukadji, 2006). Spesific: tujuan jelas (IP tinggi). Measurable: sasaran terukur (semua nilai kuliah A). Attainable: sesuai dengan kemampuan (bisa kuliah tepat waktu selama 4 tahun). Relevant: alasan kuat untuk mencapainya (ingin berbakti pada orangtua). Time bound: batas waktu untuk mencapai tujuan (terbatas oleh waktu).

Mengetahui lingkungan baru. Mahasiswa selama awal kuliah perlu tahu lingkungan misalnya letak perpustakaan, kantin, tempat kegiatan mahasiswa, dekanat atau pusat administrasi. Riset yang dilakukan pada 310 mahasiswa perantau di Jakarta menunjukkan kelekatan dengan institusi berperan berkorelasi dengan komitmen yang tinggi untuk mencapai tujuan akademisnya (Saniskoro, Akmal, 2017).  Mungkin terkesan tidak berarti, tapi akan ada saatnya dibutuhkan selama perkuliahan. 

Penutup

Ciri-ciri mahasiswa era generasi Phi ini tampaknya perlu diwujudkan. Perubahan harus dilakukan sejak awal agar sarjana siap menjalani era revolusi industri 4.0, agar mereka menjalankan dirinya sebagai individu pembelajar sepanjang hayat dan berkontribusi positif terhadap lingkungannya. 

Referensi:

Faisal, M. (2017). Generasi Phi p: Memahami milenial pengubah Indonesia. Republika Penerbit. Jakarta. 

Meinarno, EA. (2018). Kesiapan dan kontribusi psikologi untuk revolusi industri 4.0. Buletin K-PIN

Pan. (2004). The effective student. 11th ed. Centre for Development of Teaching and Learning (CDTL) National Universitity of Singapore. Singapore.

Rustam, F. Reformasi pendidikan pada masa Jepang Meiji: Studi tentang peran politik kekuasaan dalam penerapan pendidikan. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, Vol. 7, No. 2, Desember 2003. 45-48. 

Saniskoro, BSR., Akmal, SZ. (2017). Peranan penyesuaian diri di perguruan tinggi terhadap stres akademik pada mahasiswa perantau di Jakarta. Jurnal Psikologi Ulayat: Indonesian Journal of Indigenous Psychology, 4(1), 96-106.

Singgih, E., & Sukadji, S. (2006). Sukses belajar di perguruan tinggi. Yogyakarta: Jalasutra.

Takwin, B., Meinarno., EA., Salim, ES., Kurniawati, F., Diponegoro, M., Prasetyawati, W. (2011). Buku orientasi belajar mahasiswa: Belajar di perguruan tinggi. Depok. Direktorat Pendidikan Universitas Indonesia. Depok.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan konflik konstruktif?


Page 7

ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.13, Juli 2018

Cuti Sebulan untuk Ayah Baru

Oleh:

Eriska Yunisha dan Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Program Studi Psikologi Fakultas Humaniora dan Bisnis

Universitas Pembangunan Jaya

Fenomena Post Partum Syndrome

Waldan (2014) menyebutkan bahwa 50% hingga 75% ibu yang baru saja melahirkan rentan mengalami post partum syndrome. Post partum syndrome adalah suatu sindroma spesifik yang biasanya terjadi pada Ibu yang baru saja melahirkan (Lanczikdkk, 1992).Biasanya post partum syndrome diidentifikasi sebagai meningkatnya kecerobohan, kemalasan, keegoisan, dan rasa tidak bersyukur pada ibu yang baru saja melahirkan (Dalton dalam Williamson, 1993).

Anthony dalam Williamson (1993) menyebutkan bahwa tiga bulan pertama sejak Ibu melahirkan adalah periode yang sangat rentan bagi ibu untuk mengalami post partum syndrome Selama periode ini, tentunya sang Ibu membutuhkan dukungan yang sangat besar dari ayah dalam menghadapi kehadiran sang buah hati. Hal ini karena ayah memiliki peran penting dalam memberikan dukungan emosional untuk Ibu pada saat Ibu melewati proses persalinan (Evereny, Hakimi&Padmawati, 2010).

Namun, bagaimana jika ayah terlalu sIbuk bekerja sehingga tidak dapat memberi dukungan yang optimal bagi Ibu yang baru melahirkan? Menurut McShane danVon Glinow (2010), salah satu hal yang dapat dilakukan oleh ayah agar bisa optimal dalam member dukungan pada Ibu yang baru melahirkan adalah dengan mengambilcuti pribadi bagi ayah baruatau dapat juga disebut sebagai paternity personal leave.

Kebijakan Cuti Bagi Ayah Baru

Di Indonesia, belum semua organisasi memberikan cuti dengan jumlah hari yang cukup untuk ayah baru. Hal berbeda kini datang dari organisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Ariyanti, 2018). Biro Kepegawaian Negara (BKN) memberikan pernyataan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) laki-laki dapat mengajukan Cuti Alasan Penting (CAP) selama paling lama satu bulan (Ariyanti, 2018). PNS yang mengajukan CAP dengan keperluan mendampingi istri melahirkan akan tetap menerima gaji secara utuh (Ariyanti, 2018). BKN mengatakan bahwa alasan utama dari pemberian cuti bagi pria yang menemani istri melahirkan dilandasi oleh rasa kemanusiaan (Ariyanti, 2018). Dengan ini, setidaknya resiko Ibu mengalami postpartum syndrome bisa menurun karena hadirnya dukungan dari ayah selama satu bulan pertama setelah melahirkan. Selain dukungan emosional saat melewati proses persalinan, dukungan ayah juga sangat dIbutuhkan oleh ibu baru yang harus menyusui (Evereny, Hakimi, dan Padmawati, 2010). World Health Organization (WHO) (dalam Evereny, Hakimi, dan Padmawati, 2010) merekomendasikan ibu untuk memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif hingga bayi berusia 4-6 bulan. Melalui rekomendasi dari WHO, Menteri Kesehatan menetapkan pemberian ASI eksklusif dari yang semula 4 bulan menjadi 6 bulan (Evereny, Hakimi, &Padmawati, 2010). Lagi-lagi, salah satu faktor yang mempengaruhi efektifnya praktik memberi ASI eksklusif pada bayi adalah faktor dukungan sosial dari ayah dan keluarga (Evereny, Hakimi & Padmawati, 2010).  Selain memberikan dukungan sosial bagi ibu baru yang harus memberikan ASI eksklusif selama enam bulan, ayah juga mempunyai peran dalam proses pengambilan keputusan tentang pemberian makan bayi, perawatan anak, pekerjaan rumah tangga, ekonomi keluarga, serta berperan dalam menjaga keharmonisan hubungan rumah tangga (Evereny,Hakimi & Padmawati, 2010). Dukungan-dukungan seperti ini baru dapat diberikanoleh ayah secara optimal apabila ayah bisa mengambil waktu cuti yang cukup lama.

Manfaat Pemberian Cuti Bagi Ayah Baru

Pemberian cuti bagi PNS yang merupakan ayah baru ini termasuk kedalam hal yang juga dapat menurunkan stres kerja ayah. Terdapat kemungkinan ayah tidak dapat bekerja dengan tenang karena memikirkan istri yang sedang sendirian mengurus anak di rumah (McShane& Von Glinow, 2010).McShane & Von Glinow (2010) mengatakan bahwa  pegawai yang memiliki stres kerja rendah tandanya mempunyai kepuasan kerja yang tinggi.

Penelitian Saputra dan Raharjo (2017) memotret bahwa kepuasan kerja mempunyai pengaruh terhadap komitmen organisasi, salah satunya komitmen kelangsungan atau continuance commitment. Continuance commitment adalah komitmen seorang anggota terhadap organisasinya yang dipengaruhi oleh keuntungan-keuntungan tertentu yang diberikan oleh organisasi (McShane& Von Glinow, 2010). Cuti maksimal satu bulan bagi ayah baru adalah contoh dari keuntungan yang diberikan oleh BUMN kepada pegawainya.

Continuance commitment berdasarkan kasus pada artikel ini didasari oleh persepsi PNS akan harga yang harus dibayar dan keuntungan yang akan hilang apabila mereka tidak lagi bekerja sebagai PNS (McShane& Von Glinow, 2010). Hal ini karena keuntungan cuti bagi ayah baru selama maksimal satu bulan belum tentu diberikan oleh organisasi lain selain BUMN. Karena diberikannya keuntungan tersebut, PNS kemungkinan lebih memilih untuk berkomitmen dan tetap bekerja untuk organisasi BUMN. Selain mempengaruhi komitmen organisasi, kepuasan kerja juga berhubungan dengan kesejahteraan psikologis karyawan (Tanujaya, 2014).

Melalui pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa BUMN telah memberi kontrIbusi bagi kesejahteraan keluarga pegawainya.Hal ini meliputi Ibu baru melahirkan yang terhindar dari post partum syndrome. Ayah pun dapat menurunkan stress kerja, meningkatkan kepuasan kerja, serta meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. Melalui artikel ini, penulis berharap agar organisasi-organisasi lainnya bias mencontoh kebijakan yang diberikan oleh BUMN untuk memberikan cuti bagi PNS laki-laki yang istrinya baru melahirkan.

Referensi

Ariyanti, F. (2018). Kini PNS pria bisa ajukan cuti saat istri melahirkan. Artikel. Diunduh dari http://bisnis.liputan6.com/read/3227693/kini-pns-pria-bisa-ajukan-cuti-saat-istri-melahirkan.

Evareny, L., Hakimi, M., dan Padmawati, R. S. (2010).Peran ayah dalam praktik menyusui. Berita kedokteran masyarakat.26(4). 187-195.. Diunduh dari: https://media.neliti.com/media/publications/163710-ID-peran-ayah-dalam-praktik-menyusui.pdf

Lanczik, M., Spingler, H., Heidrich, ., Becker, T., Kretzer, B. Albert, P., danFritze, J. (1992). Post partum blues: depressive disease or pseudoneurasthenic syndrome. Journal of affective disorders. 25.47-52. DOI: 10.1016%2F0165-0327%2892%29900092-k.

McShane, S.L. & Glinow, M. A. F. (2010).Organizational behavior. (5thed.). New York: McGraw Hill.

Saputra, M. & Rahardjo, W. (2017).Pengaruh iklim organisasi, kepuasan kerja, keterlibatan kerja terhadap komitmen organisasi pada karyawan PT X. Jurnal psikologi.10(1).Diunduh dari: https://media.neliti.com/media/publications/178566-ID-pengaruh-iklim-organisasi-kepuasan-kerja.pdf

Tanujaya, W. (2014).Hubungan kepuasan kerja dengan kesejahteraan psikologis (psychological well being) pada karyawan cleaner (studi pada karyawan cleaner yang menerima gaji tidak sesuai standar UMP di PT Sinergi Integra Service Jakarta). Jurnal psikologi.12 (2).. Diunduh dari: https://media.neliti.com/media/publications/126322-ID-hubungan-kepuasan-kerja-dengan-kesejahte.pdf

Waldan, N. K. (2014). Sekitar 75 persen wanita mengalami baby blues syndrome. Diunduh dari: http://nova.grid.id/Kesehatan/Wanita/Sekitar-75-Persen-Wanita-Mengalami-Baby-Blues-Syndrome

Williamson, G. L. (1993). Postpartum depression syndrome as a defense to criminal behavior. Journal of family violence.8(2). DOI: 10.1007%2Fbf00981765.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan konflik konstruktif?


Page 8

ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.13, Juli 2018

Pentingnya Kode Etik Profesi:

Kasus Etika Jurnalistik dalam ‘Green Zone’

Oleh:

Thomas Panji Wicaksono dan Clara Moningka

Program Studi Psikologi Fakultas Humaniora dan Bisnis

Universitas Pembangunan Jaya

Kode etik disusun untuk memberikan batasan pada para profesional tentang tingkah laku yang etis. Diharapkan individu dengan profesi tertentu dapat berperilaku pantas. Pada dasarnya tulisan ini mengingatkan kita kembali akan pentingnya kode etik suatu profesi. Pada tulisan ini penulis menelaah kode etik dari sudut profesi sebagai jurnalis. Saat ini kita kerap membaca berita hoax atau berita yang terkesan melebih-lebihkan atau menimbulkan kontroversi, padahal keakuratan dari berita yang ditulis oleh sebuah jurnalis adalah sebuah hal yang sangat penting. Misalnya, kode etik Society of Professional Journalists (2014) menyatakan bahwa “jurnalis harus bertanggung jawab atas keakuratan dari hasil kerja mereka, memverifikasi informasi sebelum merilisnya, dan sebisa mungkin menggunakan sumber asli.” Contoh fiktif dalam film yang secara spesifik melanggar rekomendasi ini ada dalam film Green Zone, sebuah film thriller perang yang dirils tahun 2010. Film ini dibuat berdasarkan buku non-fiksi mengenai keadaan di Green Zone (wilayah yang dikuasai oleh pasukan Amerika) di Baghdad saat invasi Irak tahun 2003 oleh Amerika Serikat.

Film ini menceritakan bagaimana pasukan Amerika berkali-kali gagal menemukan senjata pemusnah masal yang menurut informasi mereka tersembunyi di Irak. Tokoh utama di film ini (‘Miller’) adalah seorang tentara Amerika yang mulai curiga dengan ketidakakuratan informasi yang mereka peroleh. Adegan lain menunjukkan seorang jurnalis dari koran ternama Amerika di Green Zone (‘Dayne’) yang sedang mencari informasi mengenai seorang informan yang diberi nama kode ‘Magellan’. Dayne kebetulan bertemu dengan Miller, dan memintanya untuk mengkontaknya apabila ia memiliki informasi. Miller menelusuri latar belakang Dayne, dan menemukan bahwa Dayne adalah seorang jurnalis yang menulis sebuah artikel yang menyatakan bahwa Magellan membocorkan informasi mengenai adanya senjata pemusnah masal di Irak. Berita ini menjadi salah satu hal yang mendukung keputusan Amerika untuk menginvasi Irak saat itu.

Miller mengkonfrontasi Dayne mengenai keakuratan berita yang ia tulis, namun Dayne menyatakan bahwa ia memperoleh informasi mengenai Magellan dari sumber yang ‘terpercaya’, dan tidak melakukan konfirmasi mengenai kebenarannya. Miller meneruskan investigasinya, dan menemukan bahwa informasi yang disampaikan oleh ‘Magellan’ pada kenyataannya adalah sebaliknya, yaitu bahwa tidak terdapat senjata pemusnah masal di Irak. Informasi ini diputarbalikkan oleh pihak Amerika agar Amerika memiliki alasan untuk menginvasi Irak. Di akhir film, Dayne menemukan sebuah e-mail dari Miller yang menunjukkan bahwa Miller telah mengirim sebuah e-mail yang ditujukan kepada banyak jurnalis dari koran ternama lainnya yang berisi sebuah laporan terkait kebenaran di balik sosok Magellan.

Dayne tampak sebagai sosok jurnalis yang sangat ambisius dalam menemukan bahan berita yang akan mengangkat namanya. Karena ambisinya itu, ia menjadi kurang berhati-hati dalam pertimbangan etisnya. Dayne menunjukkan bahwa ia sadar bahwa informasi yang tidak ia peroleh secara langsung mengenai Magellan memang tidak didukung oleh bukti, namun ia tetap merilis berita tersebut. Ia pun terus mengejar berita mengenai Magellan hingga ke Baghdad berdasarkan informasi palsu tersebut, yang menunjukkan ambisinya untuk terus mengejar berita populer tersebut.

Tindakan Dayne juga melanggar prinsip etika dasar untuk tidak melakukan hal yang merugikan orang lain. Di satu sisi, bisa diargumentasikan bahwa berita mengenai senjata pemusnah masal berkaitan dengan bahaya yang sangat besar terhadap banyak manusia, sehingga Dayne melaporkannya tanpa bukti yang kuat mungkin dapat dibenarkan mengingat besarnya risiko yang ditanggung apabila berita itu benar. Di sisi lain, pada akhirnya berita tersebut terbukti salah, dan artikel yang Dayne tulis turut berperan dalam mendorong perang Irak yang berkaitan dengan penderitaan orang banyak. Dayne seharusnya lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk melaporkannya, dan mempertimbangkan risiko yang ada baik apabila ia melaporkan maupun apabila ia tidak melaporkannya.

Selain menggambarkan pelanggaran yang Dayne lakukan, akhir dari film ini juga menunjukkan konsekuensi yang ditanggung oleh pelanggar. Miller memutuskan untuk mengirim laporan yang ia tulis kepada banyak jurnalis lain selain Dayne karena Miller telah kehilangan kepercayaan terhadap Dayne. Tindakan Miller untuk mengirimnya tidak hanya ke satu jurnalis melainkan ke berbagai jurnalis dari berbagai outlet berita juga menunjukkan ketidakpercayaannya terhadap jurnalisme secara umum. Dengan mengirimkannya secara masal, informasi tersebut menjadi milik publik dan semakin kecil kemungkinannya bahwa informasi tersebut akan disalahgunakan. Bagaimana Miller kehilangan kerpercayaan terhadap jurnalisme menggambarkan salah satu fungsi penting dari kode etik profesi, yaitu menjaga kepercayaan masyarakat terhadap profesi tersebut.

Kode etik profesi disusun dengan maksud yang luhur, baik terhadap profesi itu sendiri maupun terhadap orang-orang yang terlibat dengannya. Kasus etika jurnalisme dalam Green Zone mengingatkan kita tentang bagaimana perilaku yang tidak sesuai sesuai kode etik dapat merugikan kedua belah pihak. Walaupun kode etik profesi bukan merupakan peraturan yang mengikat perilaku anggotanya, kode etik tetap memberikan panduan yang berguna untuk menentukan tindakan yang benar dalam suatu situasi.

Referensi

Society of Professional Journalists, 2014. SPJ Code of Ethics. Diambil April 17, 2018 dari https://www.spj.org/ethicscode.asp

Jelaskan apa yang dimaksud dengan konflik konstruktif?


Page 9

Kuesioner Penelitian 

Spirituality at Work

Kepada rekan-rekan yang kami hormati

Pada kesempatan ini, kami bermaksud melakukan penelitian mengenai spiritualitas di tempat kerja. Terkait hal tersebut, kami memohon bantuan kepada rekan-rekan yang sudah bekerja untuk mengisi dan pelengkapi kuesioner darin ini.

Adapun syarat partisipan penelitian ini adalah:

1.    Karyawan (PNS maupun Swasta)

2.    Warga Negara Indonesia

Pengisian kuesioner daring ini membutuhkan waktu 5-10 menit hingga selesai. Tidak ada jawaban yang salah. Jawaban terbaik adalah jawaban yang paling sesuai dengan keadaan diri anda. Sesuai dengan kode etik penelitian, semua jawaban yang Anda berikan akan sangat terjaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk keperluan penelitian saja.

Atas kesediaannya membantu pelaksanaan penelitian ini, kami menghaturkan rasa terimakasih sedalam-dalamnya.

Atas nama tim peneliti: Clara Moningka

Intaglia Harsanti, Nilam Widyarini, Praesti Sedjo

Jelaskan apa yang dimaksud dengan konflik konstruktif?


Page 10

ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.12, Juni 2018

Serat Wedhatama Sebagai Salah Satu Warisan Budaya Jawa

Oleh:

Pradipta Christy Pratiwi1

Universitas Pelita Harapan (UPH)

Yohanes Suwanto2

Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS)

Setiap kita terlahir dalam suatu lingkup latar belakang yang tidak dapat terelakkan, hal itu dinamakan budaya. Melalui usaha memahami latar belakang budaya kita, terdapat peluang untuk dapat lebih memahami diri kita sendiri dengan lebih komprehensif. Bolehlah kita menggunakan istilah yang disampaikan Myers (2013), bahwa budaya merupakan segala bentuk perilaku, ide-ide, sikap-sikap dan tradisi-tradisi yang menguat dan dimiliki oleh suatu kelompok individu dan diturunkan pada generasi-generasi berikutnya. Dari penjelasan tersebut, kita memahami adanya aspek produk dan aspek waktu yang menyertainya. Sebuah budaya menghasilkan suatu produk yang khas dan dipertahankan pada jangka waktu yang lama. Dalam proses tersebut, terdapat suatu penerimaan, upaya dan penghayatan dari individu sebagai pihak yang merasa menjadi bagian dari budaya itu.

Mubarok (dalam Urbayatun & Diponegoro, 2015) memberikan kritik psikologi modern yang berasal dari aliran Barat. Ia menilai bahwa masyarakat Barat cenderung bersifat sekuler, oleh karena itu tidak cocok apabila kita menggunakan konsep dan nilai budaya Barat. Perlu disadari bahwa teori-teori psikologi tidak bersifat universal dan mungkin saja dapat mengeliminasi kualitas-kualitas khas yang dimiliki oleh budaya kita sendiri. Dengan demikian, tampaklah kebutuhan bagi kita untuk dapat memahami, menganalisa dan menyelesaikan suatu gejala dengan sudut pandang budaya yang khas sesuai latar belakang individu. Kemudian muncullah upaya-upaya indigenous psychology, yang bertujuan memahami manusia sesuai dengan konteks budayanya. Salah satunya, perkawinan antara psikologi dan budaya jawa. Orang-orang Jawa banyak menghasilkan produk budaya, seperti: batik, wayang, bahasa, literasi dan banyak hal lainnya. Karya-karya ini tentunya bukanlah suatu karya yang baru, bahkan justru sudah ada dari berabad-abad yang lalu. Hasil budaya Jawa yang dinilai cukup berpengaruh salah satunya adalah karya sastra bernama Serat Wedhatama. Pada tulisan ini, diharapkan para pembaca memperoleh kesempatan untuk mengenal salah satu warisan budaya asli Indonesia tersebut.

Apa itu Serat Wedhatama?

Penjelasan Serat Wedhatama dari sudut pandang semantik yang dibagi kedalam tiga buah suku kata yaitu serat (tulisan), wedha (pengetahuan) dan tama (baik, tinggi dan luhur). Serat Wedhatama adalah sebuah karya sastra yang memuat pengetahuan dalam mencapai keluhuran hidup umat manusia (Wibawa, 2013). Serat Wedhatama berisikan ajaran yang ditulis oleh Mangkunegara IV sebagai seorang raja yang pandai menulis sastra Jawa, serat ini bersumber dari budaya Jawa itu sendiri (Sumarno, 2012). Serat Wedhatama ini juga sebuah ajaran yang mengajarkan cara manusia berelasi dengan sesama manusia, manusia berelasi dengan Tuhan serta cara manusia berelasi dengan dirinya sendiri (Asdi, dalam Urbayatun & Diponegoro, 2015).

Terdapat lima pupuh dalam Serat Wedhatama, yaitu Pangkur, Sinom, Pucung, Gambuh dan Kinanthi. Pangkur rmenjelaskan cara untuk memiliki identitas atau menjadi pribadi dengan figur yang baik. Sinom berisi tentang kewajiban, hak dan dasar-dasar spiritual dalam menjalani kehidupan. Pocung memuat makna pentingnya perjuangan manusia dalam mendapatkan kekuasaan, kekayaan dan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan. Gambuh membantu dalam memahami agama meliputi sembah catur (raga, cipta, jiwa, rasa). Kinanthi mengajarkan konsep menjalankan hidup dengan baik (Pujiartati, dalam Pujiartati & Sariyatun, 2017).

Nilai Luhur yang Terkandung dalam Serat Wedhatama 

Pada literasi yang disebut Serat Wedhatama ini, memuat nilai-nilai ajaran luhur yang memberikan gambaran cara menjalani hidup dengan baik. Contoh satu dari 100 bait Serat Wedhatama dalam pupuh/tembang Pangkur (Wibawa, 2013; Sumarno, 2012):

Mingkar mingkuring angkara

Akarama karenan Mardi siwi

Sinawung resmining kidung

Sinuba sinukarta

Mrih ketarta pakartining ngelmu luhung

Kang tumrap ing tanah Jawa

Agama ageming aji

(Terjemahan: Menghindar dari kejahatan, karena senang mendidik anak, dibuat dalam bentuk nyanyian yang indah, dibuat baik dan indah, agar sejahtera pada perilaku ilmu luhur, yang diterapkan di tanah Jawa, Agama sebagai pegangannya)

Berdasarkan kutipan bait Pangkur di atas, menggambarkan keterkaitan antara ajaran yang ingin disampaikan dengan ilmu psikologi. Apabila ahli Barat mengenalinya sebagai psikologi transpersonal, maka kita dapat membahasakannya sebagai psikologi spiritual (Urbayatun & Diponegoro, 2015). Pupuh tersebut mengingatkan masyarakat Jawa agar selalu ingat dan berpegang pada agama, yang apabila lebih ditafsirkan secara lebih spesifik adalah Tuhan. Dengan memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan, manusia menghindarkan diri dari segala bentuk kejahatan dan berperilaku sesuai nilai-nilai luhur. Hal ini terkait dengan religiusitas dalam konsep psikologi positif, bahwa individu cenderung mencari relasi dengan ‘spiritual being’ yang memiliki derajat lebih tinggi daripada dirinya. Compton & Hoffman (2013) mencatat berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa religiusitas memiliki korelasi dengan kesejahteraan psikologis dan kesehatan mental yang lebih baik.

Relevansi dan Kontribusi untuk Generasi Saat ini

Zaman modern saat ini, teknologi dan sains telah sangat berkontribusi untuk mendatangkan kemudahan bagi manusia. Bukan berarti kemudian dari segala kemudahan yang ada lantas tidak ada kesulitan. Arif (2016) menyampaikan bahwa manusia modern ini sulit mencapai makna dalam hidupnya, salah satunya karena usaha-usaha manusia untuk mencapai self-sufficiency tanpa melibatkan figur Tuhan yang berkuasa atas manusia. Dengan implementasi Serat Wedhatama, kita memiliki peluang untuk membantu membentuk pola pikir dan perilaku para generasi berikutnya untuk terus menyadari kodrat manusia sebagai ciptaan-Nya.

Penjelasan lain, Serat Wedhatama mengandung tuntunan perilaku yang dapat menjadi landasan strategi pengembangan pendidikan karakter yang berbasis budaya lokal, yaitu budaya Jawa (Sumarno, 2012). Pada penelitian Pujiartati & Sariyatun (2017) menyimpulkan bahwa implementasi nilai-nilai Serat Wedhatama dalam pembelajaran sejarah dapat menjadi satu proses pengembangan karakter pada generasi muda untuk menghadapi globalisasi. Ajaran Serat Wedhatama sebagai hasil perenungan Mangkunegara IV yang berisikan petunjuk perilaku bagi masyarakat Jawa ini masih relevan untuk dijadikan bahan kajian penelitian lebih lanjut pada generasi masa kini (Urbayatun & Diponegoro, 2015), misalnya terkait dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

Referensi:

Arif, I. S. (2016). Psikologi positif: Pendekatan statistik menuju kebahagiaan. Jakarta: PT Gramedia.

Compton, W. C. & Hoffman, E. (2013). Positive psychology: The science of happiness and flourishing (2th Ed.). Wadsworth: Cengage Learning.

Myers, D. G. (2013). Social Psychology (11th Ed.). New York: McGraw-Hill, Inc.

Pujiartati, R. & Sariyatun. (2017, Maret).  Dekonstruksi nilai-nilai etika dan moral dalam serat wedhatama sebagai media pembelajaran sejarah. Paper dipresentasikan dalam Seminar Pendidikan Nasional: Pemanfaatan Smartphone untuk Literasi Produktif Menjadi Guru Hebat dengan Smartphone, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Sumarno. (2012). Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Serat Wedhatama. Jurnal Partrawidya, 15(2), hal. 271-298.

Urbayatun, S. & Diponegoro, A. M. (2015). Terapan ajaran dalam serat wedhatama untuk mengatasi problem psikologis pada ibu-ibu wilayah cangkringan, sleman, pasca erupsi merapi. Paper dipresentasikan dalam Seminar Nasional: Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Wibawa, S. (2013). Filsafat Jawa dalam Serat Wedhatama. Jurnal Ikadbudi, Vol. 2, Desember 2013.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan konflik konstruktif?


Page 11

ISSN 2477-1686

 Vol.4. No.12, Juni 2018

Animo Netizen terhadap “Lambe Turah” Ditinjau dari Teori Kebutuhan Psikogenesis

Oleh:

Frida Medina Hayuputri

Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI

Kebutuhan dasar manusia dan Pemenuhannya

Individu menggunakan suatu produk atau jasa dengan maksud untuk memenuhi kebutuhannya, baik primer, sekunder, maupun tersier. Dahulu prioritas utama yang harus dipenuhi hanyalah kebutuhan primer, yaitu sandang, pangan, dan papan. Sedangkan pemenuhan kebutuhan sekunder (contohnya pendidikan dan hiburan), serta tersier (contohnya mobil mewah) tidak terlalu dipentingkan. Namun seiring dengan perkembangan zaman, kini pemenuhan kebutuhan sekunder sudah menjadi prioritas utama. Kondisi ini dapat dilihat dari marak bermunculannya asuransi pendidikan, maupun berbagai fenomena di dunia hiburan (entertainment), seperti infotainment, game online, akun-akun gosip di media sosial, dan sebagainya.

Setiap individu memiliki berbagai kebutuhan, sebagian adalah kebutuhan sejak lahir, sedangkan sebagian kebutuhan lain diperoleh di kemudian hari (Schiffman & Kanuk, 2010). Murray (dalam Hall & Lindzey, 2010) mempersiapkan daftar yang terinci mengenai kebutuhan-kebutuhan psikogenis. Murray percaya bahwa setiap individu mempunyai serangkaian kebutuhan dasar yang sama, tetapi mempunyai tingkat prioritas yang berbeda. Untuk memenuhi kebutuhan individu akan hiburan, saat ini jagat media sosial terutama Instagram, banyak diramaikan oleh munculnya akun-akun gosip (semacam infotainment), yang menyajikan berita-berita terbaru dari dunia selebriti. Salah satu contoh akun gosip yang paling terkenal dan memiliki followers terbanyak (5 juta followers) adalah Lambe Turah. Lambe Turah mengandalkan sistem sejenis citizen journalism, di mana masyarakat yang tidak sengaja melihat atau bertemu selebriti, bisa memberikan informasi berbentuk foto atau video tersebut kepada Lambe Turah untuk kemudian diunggah dalam Instagram mereka (Nuri, 2017). Hal seperti itu membuat informasi menjadi sangat eksklusif, dan sulit untuk disaingi oleh media informasi yang lain. Lambe Turah dianggap mampu menyajikan fakta tersembunyi tentang kehidupan pribadi selebriti, sehingga pada setiap unggahannya berakibat pada munculnya ratusan bahkan ribuan komentar dari netizen, baik komentar yang positif maupun negatif, bahkan sampai sarkasme (Putri, 2018).

Pada setiap unggahan Lambe Turah, muncul beragam respon melalui komentar-komentar dari netizen. Jika ditinjau dari Teori Kebutuhan Psikogenis Murray, fenomena tersebut merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan psikogenis dari individu yang berupa:

1. Aggression

Kebutuhan untuk mengatasi lawan dengan penuh kekuatan, berkelahi, mencela, mengumpat, memfitnah, meremehkan, dan mengejek. Aggression biasanya muncul pada komentar-komentar yang menghujat (mencela) selebriti yang beritanya diunggah oleh Lambe Turah, atau bisa juga komentar mencela antar netizen yang berbeda pendapat.

2. Defendance

Kebutuhan untuk mempertahankan diri terhadap serangan, kritik, dan celaan. Defendance biasanya muncul pada komentar-komentar membela diri, jika diserang atau dicela oleh netizen lain yang berbeda pendapat. 

3. Deference

Kebutuhan untuk mengagumi atau mendukung keunggulan orang lain, memuji, menghormati, atau memuliakan seorang tokoh. Deference biasanya muncul pada komentar-komentar penggemar (fans) selebriti, komentar tersebut berisi pujian terhadap berita tentang idolanya yang diunggah oleh Lambe Turah.

4. Dominance

Kebutuhan untuk mengontrol orang lain, mempengaruhi atau mengarahkan tingkah laku orang lain dengan sugesti, bujukan, persuasi, atau perintah. Dominance biasanya muncul pada komentar-komentar yang mengarahkan atau mengatur selebriti, misalkan mengatur cara berpakaian selebriti agar lebih sopan dan tertutup.

5. Exhibition

Kebutuhan untuk membuat suatu kesan, untuk dilihat dan didengar, dipandang takjub, dan dikagumi. Exhibition biasanya muncul pada komentar-komentar memamerkan diri, misalkan Lambe Turah mengunggah berita tentang selebriti yang baru membeli tas mewah, ada netizen tidak mau kalah dan memamerkan bahwa dirinya memiliki tas yang lebih mahal.

6. Nurturance

Kebutuhan untuk memberikan rasa simpati pada orang lain yang tidak berdaya, lemah, cacat, dan sakit. Nurturance biasanya muncul pada unggahan Lambe Turah tentang selebriti yang mengalami musibah (misalkan menderita sakit parah), sehingga netizen memberikan komentar-komentar bersimpati padanya.

7. Play

Kebutuhan untuk melakukan tindakan bersenang-senang tanpa tujuan lebih lanjut, untuk tertawa dan membuat lelucon terhadap apapun. Play biasanya muncul pada komentar-komentar lucu yang sama sekali tidak sesuai dengan konten unggahan Lambe Turah, yang dimaksudkan hanya untuk memperoleh respon tertawa dari netizen lain.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Lambe Turah mampu untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan psikogenis individu, sehingga lebih diminati jika dibandingkan dengan media informasi konvensional, seperti tabloid gosip atau program infotainment di televisi.

Referensi

Hall, C. S. & Lindzey, G (2010). Teori-teori holistik (organistik-fenomenologis. Yogyakarta : Kanisius.

Nuri, Syifa. (2017, 3 Mei). Lambe turah dan kaitannya dengan katarsis. Kumparan. Dibuka dari http://kumparan.com, 3 Mei 2017.

Putri, Gabriela. (2018, 17 Februari). Akun gosip: fenomena baru di media sosial. Home Articles Binus University Malang. Dibuka dari http://binus.ac.id, 17 Februari 2018.

Schiffman, L. G. & Kanuk, L.L (2010). Perilaku konsumen. Jakarta: Indeks.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan konflik konstruktif?