Jelaskan pendapat saudara i tentang kedudukan Konstitusi Madinah dan materi muatannya

Jakarta -

Kurang lebih 1400 tahun yang lalu di Madinah, -kota sehat menurut WHO-, disepakati Piagam Madinah. Ini adalah sebuah dokumen perjanjian tertulis yang diprakarsai Nabi Muhammad SAW dan para sahabat untuk mempersatukan beberapa golongan yang ada di Madinah saat itu.


Isi Piagam Madinah, antara lain menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat; tentang keselamatan harta-benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Isi Piagam Madinah hingga kini masih sering dikutip, baik dalam membuat sebuah naskah peraturan atau pun saat seorang tokoh berpidato.

Pada 27 sampai 28 Januari 2020 lalu misalnya, Konferensi Internasional Al-Azhar mengutip Piagam Madinah dalam salah satu rumusannya. "Negara menurut pandangan Islam adalah negara bangsa modern yang demokratis konstitusional. Al-Azhar-diwakili oleh para ulama kaum Muslim hari ini-menetapkan bahwa Islam tidak mengenal apa yang disebut dengan negara agama (teokratis) karena tidak memiliki dalil dari khazanah pemikiran kita. Ini dipahami secara tegas dari Piagam Madinah dan praktek pemerintahan Rasul serta para khalifah rasyidin setelah beliau yang riwayatnya sampai kepada kita. Para ulama Islam, di samping menolak konsep negara agama, mereka juga menolak negara yang mengingkari agama dan menghalangi fungsinya dalam mengarahkan manusia." Demikian isi rumusan nomor 12 dari Konferensi Internasional Al-Azhar yang dikutip Tim Hikmah dari laman Kementerian Agama, Rabu 27 Januari 2021.

Sejarah dan Tujuan Piagam Madinah

Ketika Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah, di wilayah itu sudah tinggal beberapa golongan. Mereka antara lain: Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj, orang-orang Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza di Fadak, Banu'n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di Utara.

Untuk kaum Muhajirin dan Anshar sudah ada solidaritas sebagai sesama muslim. Namun untuk golongan Aus dan Khazraj ini sangat rentan sekali terjadi konflik. Maka untuk menghentikan potensi konflik antar Bani Aus dan Bani Khazraj, juga dengan golongan lain, Nabi Muhammad SAW setelah berdiskusi dengan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab dan sejumlah sahabat membuat sebuah dokumen perjanjian tertulis. Dalam dokumen yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah itu ditetapkan sejumlah hak dan kewajiban kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas komunitas lain di Madinah.

Apa Isi Piagam Madinah?

Sejumlah referensi menyebutkan Piagam Madinah dibuat sekitar tahun 622 Masehi di awal-awal Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah, yang sebelumnya dikenal sebagai Yatsrib. Berikut ini isi Piagam Madinah yang redaksinya dikutip dari Buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haekal.


Piagam Madinah

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad-Nabi, antara orang=orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib (Madinah) serta mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka bahwa: mereka adalah satu umat, di luar golongan orang lain

Kaum muhajirin dari kalangan Quraisy adalah tetap menurut adat kebiasaan baik yang berlaku di kalangan mereka, bersama-sama menerima atau membayar tebusan darah antara sesama mereka dan mereka menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang beriman.

Isi Piagam Madinah berikutnya, KLIK HALAMAN SELANJUTNYA UNTUK MEMBACA

(erd/erd)

Perkembangan konstitusi dan konstitusionalisme juga dapat dilacak pada peradaban negara-negara Islam. Ketika bangsa Eropa berada dalam keadaan kegelapan pada abad pertengahan (the dark age), di Timur Tengah tumbuh dan berkembang pesat peradaban baru di lingkungan penganut ajaran Islam. Atas pengaruh Nabi Muhammad SAW. Banyak sekali inovasi baru dalam kehidupan umat manusia yang dikembangkan menjadi pendorong kemajuan peradaban. Salah satunya adalah penyusunan dan penandatanganan persetujuan atau perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk Kota Madinah untuk bersama-sama membangun struktur kehidupan bersama yang pada kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian modern sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter). "Piagam Madinah" dikenal dengan istilah konstitusi tertulis pertama di dunia dan sangat luar biasa. Para ahli menyebutkan Piagam Madinah ini dengan istilah yang bermacam-macam. Montgomery Watt menyebutnya dengan "the constitution of Medina': Nicholson menyebutnya "charter". Majid Khadduri menggunakan perkataan "treaty': Zainal Abidin Ahmad memakai perkataan Piagam, sebagai terjemahan kata "ash-shahifah“ yang merupakan nama yang disebut dalam piagam itu sendiri.

Konstitusi Madinah merupakan terjemahan dari kata shahifah al- madinah, yaitu pasal-pasal tertulis yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk mengikat dan mengatur masyarakat Madinah secara keseluruhan tanpa membedakan agama, suku, ataupun ras.

Piagam Madinah adalah konstitusi negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik Islam, tepatnya sekitar tahun 622 M. Piagam ini adalah piagam tertulis pertama. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dan wakil-wakil penduduk Kota Madinah tidak lama setelah beliau hijrah dari Mekah ke Yatsrib. Yatsrib adalah nama Kota Madinah sebelumnya pada tahun 622 M. Nabi Muhammad SAW telah mencontohkan prinsip konstitusionalisme dalam perjanjiannya dengan segenap warga Yatsrib (Madinah). Piagam Madinah yang dibuat Rasulullah SAW mengikat seluruh penduduk yang terdiri atas berbagai kabilah (kaum) yang menjadi penduduk Madinah.

Penilaian Piagam Madinah sebagai konstitusi pernah dikemukakan oleh Hamilton Alexander Rosskeem Gibb, mantan guru besar bahasa Arab di Oxford University, bahwa Piagam Madinah adalah hasil pemikiran yang cerdas dan inisiatif dari Nabi Muhammad SAW dan bukanlah wahyu. Oleh karena itu, sifat konstitusinya dapat diubah dan diamandemen. Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW adalah seorang pemimpin yang mempunyai perhatian yang sangat besar untuk menstabilkan masyarakat Madinah yang multietnis dengan mencetuskan konstitusi, konstitusi yang dimaksud adalah Piagam Madinah.

Kesatuan umat yang dicetuskan Nabi Muhammad SAW melalui Piagam Madinah, substansinya jelas menunjukkan bahwa konstitusi kesukuan runtuh dengan sendirinya. Dalam perspektif ini, tegaknya suatu konstitusi mulai terwujud bagi masyarakat baru Madinah, yang sekaligus juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW mulai diakui sebagai pemimpin yang memiliki kekuasaan politik.

Banyak di antara penulis Muslim beranggapan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi negara Islam pertama. Satu hal yang perlu dicatat bahwa dalam Piagam Madinah tidak pernah disebut-sebut agama negara. Persoalan penting yang memerlukan pemecahan yang mendesak adalah terbinanya kesatuan dan persatuan di kalangan warga Madinah yang heterogen itu. Semua warga Madinah saat itu meskipun mereka berasal dari berbagai suku merupakan satu Komunitas (ummah). Hubungan antara sesama warga yang Muslim dan yang non-Muslim didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi agresi dari luar dan menghormati kebebasan beragama. Persyaratan sebuah negara, walaupun masih sederhana, telah terpenuhi, yaitu ada wilayah, pemerintahan, negara, rakyat, kedaulatan dan ada konstitusi lnilah yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW dan yang pertama kali mencetuskan ide konstitusi.

Jika dilihat dalam teks konstitusi Madinah, isinya mengatur sistem ketatanegaraan dari negara Madinah. Aturan tersebut mengikat dan terdapat sanksi bagi pihak yang melanggarnya tersebut. Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 Mini ada tiga belas kelompok komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (1) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (2) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (3) Kaum Yahudi dari Banu 'Awf, (4) Kaum Yahudi dari Banu Sa'idah, (5) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (6) Banu Jusyam, (7) Kaum Yahudi dari Banu AI-Najjar, (8) Kaum Yahudi dari Banu 'Amr ibn 'Awf, (9) Banu al-Nabit, (10) Banu al-'Aws, (11) Kaum Yahudi dari Banu Sa'labah, (12) Suku Jafnah dari Banu Sa'labah, dan (13) Banu Syuthaybah. Mereka setia dan patuh untuk menggunakan landasan dan hukum dari konstitusi Madinah tersebut.

 Referensi: Kadir Herman (2019) Dosen mata kuliah PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM. FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ESA UNGGUL

Dalam satu wilayah yang dihuni banyak orang, kemajemukan atau plural-itas merupakan sebuah realitas. Demikian halnya wilayah Madinah, ketika Muhammad SAW sebagai nabi sekaligus menjadi kepala negaranya, selama kurang lebih 13 tahun. Beliau menghadapi warga Madinah yang majemuk atau pluralik, termasuk dalam keyakinan keagamaan. Ada yang muslim, yang musyrik dan Yahudi. Dalam kondisi kemajemukan atau pluralitas ini, Nabi Muhammad SAW memprakarsai sebuah piagam perjanjian yang kemudian terkenal dengan Piagam Madinah antara kaum muslim, kaum musyrik dan kaum Yahudi, guna membina persatuan, kesatuan, kerukunan, dan keamanan seluruh warga Madinah. Sejalan dengan prakarsa nabi Muhammad SAW tersebut, pemerintah Republik Indonesia sejak awal kemer­dekaan tahun 1945 yang melihat warganya relatif lebih majemuk atau pluralik ada yang muslim, yang Katholik, yang protestan, yang hindu, yang budha dan yang aliran kepercayaan. Dirumuskanlah UUD 1945 sedemikian rupa y an g dapat mengakomodasi semua penganut keyakin­an agama tersebut, terciptanya persatuan, kesatuan, kerukunan dan keamanan seluruh warga negara Republik Indonesia. Antara Piagam Madinah dan UUD 1945 terlihat adanya kesamaan yang me­nonjol, baik ide maupun rumusannya. Baik Piagam Madinah maupun UUD 1945, ma­sing-masing menghendaki terbangunnya negara kesatuan yang kokoh dan dengan warga negara yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, yang anatara lain diwujudkan dalam bentuk prilaku yang berkemanusiaan. Tulisan ini akan menelusuri titik singgung antara Piagam Madinah dan UUD 1945 sebagai sebuah konstitusi Negara.