Ilustrasi kepemimpinan raja Balaputradewa, sumber foto: https://www.pexels.com/ Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerjaan di Indonesia dan pernah menjadi kerajaan maritim yang besar dan berjaya, karena letaknya yang strategis di jalur perdagangan internasional. Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan yang bercorak Buddha. Salah satu raja yang membawa Sriwijaya ke masa kejayaannya adalah Raja Balaputradewa. Pada masa kejayaannya wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya meliputi hampir seluruh Sumatra, Jawa Barat, Kalimantan Barat, Semenanjung Malaya, Selat Malaka, Selat Karimata, dan Selat Sunda. Dalam prasasti Nalanda, disebutkan bahwa Balaputradewa adalah salah satu raja besar di Sriwijaya yang merupakan cucu dari raja Jawa Bernama Dharanindra. Ayah Balaputradewa Bernama Samaragrawira yang merupakan keturunan Wangsa Syailendra dan ibunya bernama Dewi Tara putri dari Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Dikutip dari buku Sejarah untuk SMA/MA Kelas XI IPA, A. Ferry T Indratno (2007: 17) kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada abad ke-8, terutama saat dipimpin oleh Raja Balaputradewa pada tahun 850 M. Dengan penuh semangat Balaputradewa membangun Sriwijaya menjadi kerajaan besar di nusantara. Bahkan untuk membuktikan diri sebagai kerajaan terbaik di Nusantara, Balaputradewa memperluas wilayah kekuasaannya sampai di Jawa Tengah Selatan, tanah yang membawa kenangan pahit baginya (dalam prasasti kota kapur dijelaskan bahwa Sriwijaya bermaksud menaklukkan Bhumi Jawa). sumber foto: https://indonesia.go.id/Dalam sejarah kepemimpinan Balaputradewa Sriwijaya mengembangkan pelabuhannya menjadi pusat perdagangan internasional. Barang dagangan Sriwijaya meliiputi emas, perak, gading gajah, penyu, kemenyan, kapulaga, kapur barus, pinang, kayu gaharu, cendana, minyak kayu putih, lada dan damar. Kerajaan Sriwijaya juga mengembangkan sistem hukum yang bersifat nasional. Sejumlah prasasti mencatat ukum kerajaan lengkap dengan perincian sanksi bagi mereka yang melanggar dan hadiah bagi yang mentaatinya. Di bidang sosial, kerajaan Sriwijaya di bawah kepemimpinan Raja Balaputradewa dikenal sebagai pusat pendidikan yang berskala internasional. I-Tsing, seorang musafir Cina pernah datang dan tinggal di Sriwijaya selama enam bulan untuk menuntut ilmu. Dalam catatan perjalanannya, dia menerangkan banyak orang Cina datang ke Sriwijaya untuk belajar. Mereka mempelajari Bahasa Sansekerta dan berlatuh untuk menyalin kitab-kitab agama Budhha.(WWN)
TRIBUNNEWS.COM - Balaputradewa adalah seorang raja di Kerajaan Sriwijaya sekitar tahun 850 M. Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaanya dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa. Balaputradewa berjuang membangun armada laut yang kuat. Tindakannya bertujuan agar jalur pelayaran di wilayah Sriwijaya menjadi aman. Banyak pedagang merasa aman ketika singgah. Peningkatan ekonomi diperoleh dari pembayaran upeti, pajak, maupun keuntungan dari hasil perdagangan. Dengan demikian, Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan yang besar dan makmur. Baca juga: Mengenal Sri Maharaja Purnawarman, Raja di Kerajaan Tarumanegara beserta Prasasti Peninggalannya Pada masa pemerintahannya, Sriwijaya berkembang pesat dan mencapai zaman keemasan. Balaputradewa adalah keturunan dari Dinasti Syailendra, yakni putra dari Raja Samaratungga dengan Dewi Tara dari Sriwijaya. Sri Maharaja Balaputradewa adalah anggota Wangsa Sailendra yang menjadi raja Kerajaan Sriwijaya.
Menurut prasasti Nalanda, Balaputradewa adalah cucu seorang raja Jawa yang dijuluki Wirawairimathana (penumpas musuh perwira). Julukan kakeknya ini mirip dengan Wairiwarawimardana alias Dharanindra dalam prasasti Kelurak. Dengan kata lain, Balaputradewa merupakan cucu Dharanindra.
Ayah Balaputradewa bernama Samaragrawira, sedangkan ibunya bernama Dewi Tara putri Sri Dharmasetu dari Wangsa Soma. Prasasti Nalanda sendiri menunjukkan adanya persahabatan antara Balaputradewa dengan Dewapaladewa raja dari India, yaitu dengan ditandai pembangunan wihara yang diprakarsai oleh Balaputradewa di wilayah Benggala.
Teori yang sangat populer, yang dikembangkan oleh De Casparis, menyebutkan bahwa Samaragrawira identik dengan Samaratungga raja Jawa. Sepeninggal Samaratungga terjadi perebutan takhta di antara kedua anaknya, yaitu Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Pada tahun 856 Balaputradewa dikalahkan oleh Rakai Pikatan suami Pramodawardhani sehingga menyingkir ke pulau Sumatra.
Teori ini dibantah oleh Slamet Muljana karena menurut prasasti malang, Samaratungga hanya memiliki seorang anak perempuan bernama Pramodawardhani. Menurutnya, Balaputradewa lebih tepat disebut sebagai adik Samaratungga. Dengan kata lain, Samaratungga adalah putra sulung Samaragrawira, sedangkan Balaputradewa adalah putra bungsunya.
Pengusiran Balaputradewa umumnya didasarkan pada prasasti Wantil bahwa telah terjadi perang antara Rakai Mamrati Sang Jatiningrat (alias Rakai Pikatan) melawan seorang musuh yang membangun benteng pertahanan berupa timbunan batu. Dalam prasasti itu ditemukan istilah Walaputra yang dianggap identik dengan Balaputradewa.
Teori populer ini dibantah oleh Pusponegoro dan Notosutanto bahwa, istilah Walaputra bukan identik dengan Balaputradewa. Justru istilah Walaputra bermakna “putra bungsu”, yaitu Rakai Kayuwangi yang dipuji berhasil mengalahkan musuh kerajaan. Adapun Rakai Kayuwangi adalah putra bungsu Rakai Pikatan yang berhasil mengalahkan musuh ayahnya. Benteng timbunan batu yang diduga sebagai markas pemberontakan Balaputradewa identik dengan bukit Ratu Baka. Namun prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah itu ternyata tidak ada yang menyebut nama Balaputradewa, melainkan menyebut Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Jadi, musuh Rakai Pikatan yang berhasil dikalahkan oleh Rakai Kayuwangi sang Walaputra ternyata bernama Mpu Kumbhayoni, bukan Balaputradewa. Menurut prasasti-prasasti itu, tokoh Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni mengaku sebagai keturunan pendiri Kerajaan Medang (yaitu Sanjaya). Jadi sangat mungkin apabila ia memberontak terhadap Rakai Pikatan sebagai sesama keturunan Sanjaya. Kiranya teori populer bahwa Balaputradewa menyingkir ke pulau Sumatra karena didesak oleh Rakai Pikatan adalah keliru. Mungkin ia meninggalkan pulau Jawa bukan karena kalah perang, melainkan karena sejak awal ia memang tidak memiliki hak atas takhta Jawa, mengingat ia hanyalah adik Maharaja Samaratungga, bukan putranya. Prasasti Nalanda menyebut Balaputradewa sebagai raja Suwarnadwipa, yaitu nama kuno untuk pulau Sumatra. Karena pada zaman itu pulau Sumatra identik dengan Kerajaan Sriwijaya, maka para sejarawan sepakat bahwa Balaputradewa adalah raja Sriwijaya. Pendapat yang paling populer menyebutkan Balaputradewa mewarisi takhta Kerajaan Sriwijaya dari kakeknya (pihak ibu), yaitu Sri Dharmasetu. Namun, ternyata nama Sri Dharmasetu terdapat dalam prasasti Kelurak sebagai bawahan Dharanindra yang ditugasi menjaga bangunan Candi Kelurak. Jadi, Dharanindra berbesan dengan pegawai bawahannya, bernama Sri Dharmasetu melalui perkawinan antara Samaragrawira dengan Dewi Tara. Dharmasetu menurut prasasti Kelurak adalah orang Jawa. Jadi, teori populer bahwa ia merupakan raja Kerajaan Sriwijaya adalah keliru. Balaputradewa berhasil menjadi raja Kerajaan Sriwijaya bukan karena mewarisi takhta Sri Dharmasetu, tetapi karena pada saat itu pulau Sumatra telah menjadi daerah kekuasaan Wangsa Sailendra, sama halnya dengan pulau Jawa. Berdasarkan analisis prasasti Ligor, Kerajaan Sriwijaya dikuasai Wangsa Sailendra sejak zaman Maharaja Wisnu. Sebagai anggota Wangsa Sailendra, Balaputradewa berhasil menjadi raja di Sumatra, sedangkan kakaknya, yaitu Samaratungga menjadi raja di Jawa.
|