Kelemahan dalam penelitian sejarah yang terkadang masih bersifat subjektif terdapat dalam tahap

MEMAHAMI MAKNA OBJEKTIVITAS DAN SUBJEKTIVITAS DALAM PENULISAN SEJARAH

Oleh

Lalu Murdi

(Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Makassar)

Abstrak

Manusia tidak bisa lepas dari waktu dan tempat dimana mereka berada, karena itu nilai yang mereka yakini dalam struktur ideasional, estetis, dan etis akan menjadi salah satu faktor penting dalam hidup mereka baik dalam bertindak, bergaul, bahkan mengekspresikan apa yang mereka rasakan. Hal serupa tidak lepas dari seorang penulis, terutama sekali dalam hal ini adalah sejarawan yang harus menulis masa lalu dari manusia itu sendiri. Jadi yang terpenting bagi seorang sejarawan adalah tidak terjadinya historian’s fallacies atau pun juga antikuarian dalam penulisan sejarah. Karena itu adanya subjektivitas dalam penulisan sejarah tidak dapat menjustifikasi kelemahan sejarah untuk dapat di katakan tidak ilmiah. Karena sejarah harus di tulis sebagaimana dikatakan James Hervey Robinson (“history in the brodes sense of the world, is all that we know everything than man ever done, or thought or felt”).Seorang sejarawan tidak harus melebih-lebihkan atau mengurangi fakta sejarah, meraka tidak perlu juga terjebak dalam kesimpulan yang provokatif, termasuk suka atau tidak suka dalam meniai peristiwa sejarah tersebut. Karena itu subjektivitas (yang tidak terjebak pada prasangka/ penghakiman masa lampau) di benarkan dalam penulisan sejarah, bahkan hal tersebut tidak akan bisa lepas dari seorang sejarawan. Begitu juga sebaliknya, sejarawan tidak akan bisa menemukan objektivitas sama halnya seperti objektivitas dalam ilmu alam ataupun sebagian ilmu sosial yang secara langsung dapat melihat, merasakan, mendengar dan lain sebagainya apa yang menjadi perhatian mereka, karena sejarah yang objektif tenggelam pada peristiwa aslinya yang sudah terjadi dan tidak pernah berulang kembali sebagaimana aslinya. Namun demikian seorang sejarawan tetap akan memulai tulisan mereka berdasarkan peristiwa yang objektif, ditulis oleh subjek (manusia) dan pada akhirnya akan menghasilkan gambaran dari peristiwa yang menjadi objek perhatiannya meskipun tidak akan selengkap peristiwa aslinya.   Kata kunci: Objektivitas, subjektivitas, penulisan sejarah

A.       Pendahuluan

Subjektifnya sumber data sebenarnya tidak perlu menjadi persoalan yang terlalu di besar-besarkan untuk mengatakan bahwa ilmu sejarah ialah ilmu yang sangat subjektif, walaupun pada sebagian besar tulisan sejarah menunjukkan hal tersebut seperti penggambaran sejarah politik selama ini, sebab itu dikatakan bahwa ilmu sejarah paling besar muatan politiknya. Karena itu ilmu sejarah di katakan sebagai ilmu yang sangat subjektif pula. Namun jika kita mengkajinya secara akademis, tentu terdapat jalan keluar dari apa yang dikatakan sebagai subjektivitas dalam ilmu sejarah tersebut. Seperti yang akan kita diskusikan pada tulisan ini, ternyata subjektivitas dalam sejarah merupakan sesuatu yang tidak dapat di pisahkan juga, karena penulis sejarah tidak mungkin bisa lepas dari nilai yang  di yakini oleh seorang penuis sejarah tersebut, mereka tidak bisa lepas dari nilai politis dan etis dimana penulis sejarah tersebut berada. Intinya, dalam penulisan sejarah yang tidak diperbolehkan terjadi adalah apa yang disebut sebagai historian’s fallascies atau antikuarian. Satu hal yang penting disini adalah rethinking tentang makna dari objektivitas dan subjektivitas dalam ilmu sejarah tersebut. Karena dengan memahami makna dari objektivitas dan subjektivitas tersebut akan membuka wawasan kita bahwa ilmu sejarah dan termasuk juga ilmu sosial lain seperi ilmu Antropologi, ilm Politik, ilmu Sosiologi dan lain sebagainya terikat oleh objektivitas dan subjektivitas ini. Namun jelasnnya, sebagaimana akan kita diskusikan pada tulisan ini bahwa adanya subjektivitas dalam penulisan sejarah bukan merupakan suatu halangan untuk menunjukkan keilmiahan sejarah, sebab manusia tidak akan pernah lepas dari nilai pada ruang dan waktu dimana mereka berada. Karena itu memahami terlebih dahulu makna dan fungsi dari kedua istilah ini adalah sebuah keharusan untuk tidak mendapatkan kekeliruan dalam memahaminya.

B.        Makna Objektivitas dan Subjektivitas dalam Penulisan Sejarah

1.  Makna Objektifitas dalam Penulisan Sejarah

Pada umumnya sesuatu di katakana objektif jika benda atau peristiwa yang menjadi kajian tersebut dapat dilihat, dirasakan, dikecap dan lain sebagainya secara langsung oleh pancaindra kita. Ibarat sebuah botol, kita dapat merasakan langsung bentuk, warna, bau, atau mungkin rasanya jika kita mengecapnya. Karena itu dari sisi manapun kita melihatnya akan tergambar bentuk semula dari hasil rekonstruksi melalui ide dan pengalaman empiris pada beberapa aspek dari botol yang kita lihat. Karananya kalau kita mengikuti logika ilmu alam maka unsur yang harus ada dalam kata objektif adalah:

  1. Kebenaran mutlak
  2. Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga yang tersembunyi.
  3. Netralitas mutlak, tidak memihak dan tidak terikat
  4. Kondisi – kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa

Senada dengan itu, ada penelitian yang menyimpulkan, bahwa berpikir (dalam menjabarkan gejala alam yang objektif) bukan mengharuskan pemikir (peneliti) memiliki inisiatif, tetapi adalah membiarkan sesuatu menjadi tanpak sebagaimana adanya, tanpa memasukkan katagori-katagori kita sendiri pada sesuatu tersebut. Kenyataanlah yang menjadi pemegang inisiatif. Bukan kita yang menunjuk kanyataan, tetapi kenyataan-kenyataan itu sendiri yang menunjukkan dirinya pada kita (Poespoprodjo, 1999:7). Bertolak dari arti objektif dari penjelasan di atas, umumnya pada ilmu pengetahuan sosial, terlebih-lebih ilmu sejarah, kalu kita mengambil keobjektivan sama seperti ilmu alam tentu sulit akan bisa dikatakan akan dapat menghasilkan keilmuan yang ilmiah tersebut. Karana pada dasarnya mereka tidak lepas dari penafsiran atau pemaknaan dari data tentang phenomena, gejala dan peristiwa yang mereka dapatkan dari sebuah penelitian. Namun sebenarnya kita tidak perlu terlalu memusingkan antara keduanya, karena walaupun ilmu sosial tidak seobjektif ilmu alam, itu dikarenakan perbedaan objek yang di kaji. Jika ilmu alam mengkaji peristiwa alam yang menuntut untuk memiliki kriteria keobjektivan seperi di sebutkan di atas. Sebaliknya ilmu sosial akan mengkaji manusia yang di dalamnya terdapat nilai-nilai, budaya dan lain sebagainya yang mengitari kehidupan manusia itu sendiri, karena itu tentu penjelasan tingkat keobjektivan dari alam yang merupakan benda mati dengan manusia yang di dalam hidupnya terkandung sejuta makna akan berbeda, walaupun memiliki tujuan yang sama yaitu di satu pihak menemukan kaidah alam, dan yang kedua menemukan kaidah kemanusiaan. Terkait dengan itu, jika berbicara masalah objektivitas dalam ilmu sosial. Pada dasarnya sifat objektif hanya mengharuskan si peneliti tetap tidak terikat secara emosional dengan objek, mendekati objek tetapi pada jarak-jarak yang tertentu, lalu menilai berdasarkan pada alat ukur yang disediakan oleh istitusi hingga lahirlah kesimpulan tanpa benar-benar memahami objek secara individual, maka peneitian ilmiah selalu bersifat kesimpulan umum. Lalu bagaimana seorang peneliti atau penulis menjaga netralitas dan kecendrungan pribadi yang di latar belakangi oleh nilai politis dan etis yang dimiliki penulis? Untuk menjaga nilai objektif dari data yang dikumpulkan maka dalam setiap kegiatan penelitian harus berpedoman pada metode ilmiah yang ketentuan-ketentuannya mencakup hal-hal sebagai berikut:

  1. Prosedur pengkajian/penelitian harus terbuka untuk umum dan dapat diperiksa oleh peneliti lainnya;
  2. Definisi-definisi yang dibuat dan digunakan adalah tepat dan berdasarkan atas konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada;
  3. Pengumpulan data dilakukan secara objektif;
  4. Penemuan-penemuannya akan ditemukan ulang oleh peneliti lain; yaitu untuk sasaran atau masalah penelitian yang sama dan dengan menggunakan pendekatan dan prosedur penelitian yang sama;
  5. Di luar bidang sains, tujuan kegiatan pengkajian/penelitian adalah untuk pembuatan teori-teori penjelasan, interpretasi, mengenai gejala- gejala yang dikaji.

Beberapa hal untuk mendapatkan objektivitas dalam arti ilmu sosial di atas terus diusahakan untuk mendapatkan kriteria tersebut. Namun perlu juga diperhatikan bahwa walaupun Ilmu Sejarah di masukkan juga pada rumpun Ilmu Sosial, terdapat perbedaan di dalamnya. Dalam hal yang sama memang ilmu soial menjadikan manusia sebagai objek kajiannya, akan tetapi yang membedakannya adalah ruang lingkup dari aspek hidup manusia. Adapun ilmu sejarah selalu terikat oleh ruang dan waktu manusia masa lampaunya. Kuntowijoyo (2008) mengibaratkan ilmu sosial sebagai sebuah pohon. Jika ilmu sosial  lain mengkaji peristiwa seperti penampang lintangnya, maka sejarah menjalaskan peristiwa manusia dalam penampang bujurnya. Ilmu sosial pada umumnya jika harus menjalaskan ranting, maka akan terpokus pada rantingnya. Hal ini berbeda dengan sejarah yang harus mengurai peristiwa dari bawah ke atas secara kronologis. Dengan kata lain ilmu sosial lain pada umumnya secara langsung dapat merasakan dengan pancaindranya pristiwa yang dikaji, sedangkan sejarah terpisah jarak kelampauan yang memanjang dan membujur dalam waktu. Objek dalam ilmu sejarah tidak mungkin hadir seperi peristiwa yang sebenarnya, peristiwa sejarah objektif hanya sekali terjadi dan tidak mungkin terulang lagi, dan yang tersisa adalah bagian dari peristiwa tersebut. Peninggalan sejarah yang objektif inilah yang tersebar melalui subjek (manusia) yang menyebabkan pula peristiwa tersebut menjadi subjektif (tidak selengkap peristiwa yang sebenarnya). Sebagai pelengkap pembahasan ini perlu kita renungkan bahwa bukan karena adanya subjektivitas sejarah sehingga tidak bisa di katakan memiliki kebenaran, justru karena adanya subjektifitas tersebut yang akan menghadirkan objektivitas. Dalam hal ini apa yang di katakana Garraghan sangat perlu untuk kita pahami. Garraghan (Zaki, 2007) mengatakan bahwa  yang dimaksud dengan objektivitas sejarah adalah:

  1. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas sepenuhnya dari kecurigaan-kecurigaan awal yang bersifat sosial, politis, agama, atau lainnya.
  2. Objektivitas tidak berarti menuntut agar sejarawan mendekati tugasnya terlepas dari semua perinsip, teori dan falsafah hidupnya.
  3. Obyektifitas tidak berarti menuntut agar sejarawan bebas dari simpati terhadap obyeknya.
  4. Objektivitas tidak berarti menuntut agar pembaca mengekang diri dari penilaian atau penarikan konklusi.
  5. Objektivitas sejarawan tidak berarti bahwa semua situasi yang menimbulkan peristiwa historis dicatat sesuai dengan kejadiannya.

2.   Makna Subjektivitas dalam Ilmu Sejarah

Pada umumnya dalam metodologi sejarah, terdapat 4 faktor utama yang dapat menjadikan suatu penulisan sejarah bersifat subjektif, yaitu :

  1. Pemihakan pribadi (personal bias)

Persoalan suka atau tidak suka pribadi terhadap individu-individu atau golongan dari seseorang dapat mempengaruhi subjektivitas dari penulisan sejarah.

  1. Prasangka kelompok (group prejudice)

Keanggotaan sejarawan dalam suatu kelompok (ras, golongan, bangsa, agama) dapat membuat mereka memiliki pandangan yang bersifat subjektif dalam mengamati suatu peristiwa sejarah.

  1. Teori-teori bertentangan tentang penafsiran sejarah (conflicting theories of historical interpretation) Pandangan/ideologi yang dianut sejarawan memegang peranan penting dalam menentukan subjektivitas penulisan sejarah.
  2. Konflik-konflik filsafat yang mendasar (underlying pgilosophical conflicts) Secara teoritis seseorang yang menganut filsafat hidup tertentu akan menulis sejarah berdasarkan pandangannya tersebut.

Sejalan dengan itu, subjektivitas dalam penulisan sejarah selalu hadir, karena penulis sejarah (sejarawan) tidak akan mampu mengungkapkan peristiwa sejarah yang begitu komleks yang pernah terjadi pada masa lampau, hanyalah bagian kecil dari peristiwa yang dilakukan oleh manusia tersebut dapat teridentifikasi oleh penulisan sejarah. Karena merupakan hasil rekonstruksi dan bukan aslinya maka sejarah dikatakan subjektif. Adapun sejarah yang objektif seperti kesepakatan dari sejarawan adalah apa yang sebenrnya terjadi atau peristiwanya itu sendiri dan tidak bisa terulang lagi, dengan demikian untuk mendapatkannya sejarawan memerlukan dokumen, wawancara (sejarah lisan) dan pengungkapan kembali tradisi lisan untuk masa prasejarah. Setiap pengungkapan atau atau penganggapan telah melewati proses “pengolahan” dalam pikiran dan angan-angan seorang subjek. Kejadian sebagai sejarah dalam arti objektif atau aktualitas di amati, dialami, atau dimasukkan ke pikiran subjek sebagai persepsi, sudah barang tentu sebagai ‘masukan” tidak akan pernah tetap murni  atau jernih sebagai Ding an sich (benda tersendiri) tetapi telah diberi “warna” atau “rasa”  sesuai dengan “kacamata” atau “ selera” subjek (Srtono Kartodirdjo, 1992: 62). Walaupun pada dasarnya perasangka dalam arti subjektif individu tidak pernah lepas namun yang tidak diinginkan adalah adalanya perasangka yang ekstrim, dalam artian perasaan suka-tidak suka, senang-tidak senang harus di hindari, kesimpulan atau penjelasan ilmiah harus mengacu hanya pada fakta yang ada, sehingga setiap orang dapat melihatnya secara sama pula tanpa melibatkan perasaan peribadi yang ada pada saat itu (Uhar Suharsaputra, 2004: 49). Artinya bahwa dalam penulisan ilmiah, dalam hal ini ilmu sejarah, prasangka memang ada namun kecendrungan untuk suka-tidak suka yang ditunjukkan untuk menggambarkan sesuatu misalnya adalah suatu kesalahan. Adanya subjektivitas sejarawan bisa di katakana sudah bermula ketika seorang sejarawan dihadapkan dalam pemilihan topik penulisan sejarah, mereka harus mengadakan seleksi. Seleksi-seleksi tersebut tidak didasarkan atas prasangka atau pemihakan mengenai informasi isi sumber, seleksi ini memiliki 2 pengertian :

  1. Meskipun perhatian sejarawan sangat luas, namun mereka harus menseleksi topik tertentu daru masa lalu yang menarik perhatiannya untuk diteliti.
  2. Tidak seorangpun sejarawan dapat menceritakan kejadian dari masa lalu dengan lengkap dalam ruang lingkup yang dipilihnya. Ia harus menseleksi fakta-fakta karena tekanan penting dan relevansinya dengan pokok atau masalah kajiannya dan oleh karena itu ia terpaksa mengabaikan fakta-fakta lain yang dianggap tidak penting. Bagaimanapun juga para sejarawan yang baik sepakat untuk menulis karya-karya sejarah dengan tidak memihak dan tidak bersifat pribadi.

Sejalan dengan itu, jika berbicara tentang sikap atau pendangan suatu bangsa sudah barang tentu hal itu dihubungkan dengan konteks kebudayaan masyarakatnya, yaitu ikatan kulturalnya. Umum mengetahui bahwa individu dijadikan anggota masyarakat lewat proses sosialisasi atau enkulturasi, suatu proses yang membudidayakan pada diri individu serta membentuk seluruh pikiran. Perasaan, dan kemauannya dengan menolaknya menurut struktur ideasional, estetis, dan etis yang berlaku dalam masyarakat. Kesemuanya perlu melembaga dalam diri individu, sehingga tidak berlebihan apabila dia ada dalam keterikatan pada kebudayaannya. akibatnya ialah bahwa ada padanya subjektivitas kultural yang sangat mempengaruhi pandangannya terhadap sejarah (Kartodirdjo, 1992: 63-64). Subjektivitas kultural telah mencakup subjektivitas waktu atau zaman oleh karena kebudayaan bereksistensi dalam waktu tertentu. Dalam banyak karya sejarah subjektivitas zaman disebut tersendiri, bahkan sering dipakai pula istilah jiwa zaman atau Zeitgeist. Pengertian yang sangat abstrak ini menunjuk pada suasana atau iklim mentral yang dominan pada suatu waktu dan berpengaruh pada segala macam manifestasi gaya hidup masyarakat, antara lain materialistis atau idealistis, tredisionalistis atau moderinistis, religious atau sekuler, dan lain sebagainya (Sartono Kartodirdjo, 1992: 64). Subjektivitas waktu akan terasa amat sulit untuk diatasi, terutama dalam usaha menggarap sejarah kontemporer (masa kini). Jarak waktu yang amat dekat membuat perspektif sejarah kurang jelas dan kabur, terutama karena orang belum dapat membuat distansi dengan peristiwa yang hendak ditulis. Keterlibatan penulis sendiri secara langsung  masih besar. Masih banyak pelaku yang masih hidup atau sanak saudaranya, dan lain sebagainya. Lagi pula, banyhak dokumen belum terbuka untuk di teliti. Penafsiran mudah tercampur dengan pandangan partisan yang mengakibatkan kesepihakan. Sering pula pandangan serta interpretasi bertentangan dengan versi pihak yang sedang berkuasa (establishment). Secara mudah subjektivitas memasuki penulisan sejarah (Kartodirdjo, 1992: 64-65). Bukan hanya itu, ada juga kesalahan sejarawan yang menganggap pendapat pribadi sebagai fakta. Sejarawan yang melihat pendapat dan kesenangan pribadi berlaku umum dan sebagai fakta sejarah. Misalnya pada tahun 1910-an di Surakarta ada wanita yang pandai memainkan musik barat, prestasi pribadi semacam itu tidaklah dapat dianggap sebagai bukti bahwa pada zaman itu sudah pandai memainkan musik. Inilah contoh Subjektivitas pembenaran oleh pandangan pribadi (Kuntowijoyo, 2005: 172-173). Adanya etnosentrisme misalnya sebagai bentuk subjektifitas yang sangat tinggi (memihak) dalam penulisan sejarah dapat dilihat juga pada salah satu perkembangan penting dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi yang modern adalah penulisan sejarah yang ditulis oleh orang Belanda. Dimana sebuah tim yang terdiri dari para sarjana ahli sejarah yang di ketuai Dr, FW. Stapel, dengan buku yang berjudul Geschidenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda) (Agus Mulyana & Darmiasti, 2009: 3). Buku yang ditulis oleh Stapel tersebut lebih banyak menceritakan peran penjajah Belanda di Indonesia. penjajah belanda merupakan subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Sedangkan bangsa Indonesia hanyalah merupakan pelengkap dari cerita sejarah. Bangsa Belanda merupakan pemilik daerah jajahan, orang yang harus di petuan, sedangkan bangsa Indonesia hanya merupakan “abdi” bangsa belanda. Tindakan-tindakan bangsa Indonesia yang bertentangan dengan penjajah Belanda dianggap sebgai pemberontak (Agus Mulyana, 2009: 3). Keberadaan sejarah yang sangat subjektif di atas, memang tidak lepas dari unsur komunikasi antara fakta dan manusia sebagai subjek yang terus semakin berkembang. Karenanya dapatlah dikatakan bahwa sejarah atau fakta yang dikomunikasikan akan menjadi intersubjektif. Komunikasi secara lebih luas membuat fakta semakin intersubjektif, artinya semakin dimiliki oleh banyak subjek. Akhirnya pada suatu waktu fakta menjadi intersubjektivitas di kalangan yang sangat luas, menjadi umum sekali atau dengan istilah tepat menjadi fakta keras (Sartono Kartodirdjo, 1992: 65). Karena inilah yang membuat sejarah kadang-kadang dimasukkan juga ke dalam ilmu-ilmu sosial dan merupakan kontroversi yang berkepanjangan apakah sejarah itu ilmu ataukan humaniora. Keberatan beberapa kalangan mengenai dimasukkannya sejarah ke dalam kelompok ilmu-ilmu sosial terletak pada penggunaan data-data sejarah yang sering kali merupakan penuturan orang, yang siapa tahu, bisa saja orang itu adalah “pembohong” (Jujun S. Suriasumantri,2003: 27). Namun kalau kita lihat bagaimana cara seorang sejarawan mendapatkan data mungkin penafsiran orang akan berubah karena dalam sejarah terdapat kritik terhada data (hal ini akan dibicarakan dalam pembahasan yang berbeda). Salah satu cara untuk menghindari subjektivitas ekstrim dan untuk menghindari kesepihakan atau pendangan deterministis perlu dipergunakan pendekatan multidimensional, yaitu melihat berbagai segi, atau aspeknya. Dengan demikian, dapat diungkapkan pelbagai dimensi suatu peristiwa, ialah segi ekonomis, sosial, politik, dan kultural. Multidimensional itu inheren pada gejala sejarah yang kompleks. Pendekatan ini juga selaras dengan konsep sistem. Kait-mengkaitnya aspek-aspek itu baru dapat di ungkapkan apabila konsep sistem dipergunakan dalam pengkajiannya (Kartodirdjo, 1992: 66). Namun bagaimana pun perlu di pertegas bahwa subjektivitas dalam historiografi sesungguhnya justru merupakan dasar bagi obyektivitas sejarah. Meskipun demikian ilmu sejarah, harus tetap mengikuti prosedur-prosedur ilmuah yang dapat membedakannya dari hikayat maupun dongeng. Hal ini di lakukan agar sejarawan tidak jatuh ke dalam apa yang disebut historian’s fallacies, atau Thoma S. Khun menyebutnya sebagai “ kekeliruan atau Tahayyul” (Zaki, 2007:7-8). Oleh karena itu karena dalam sejarah menggunakan metode ilmiah dalam penulisannya maka yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita menggunakan metode tersebut dalam menulis sejarah. Kapabilitas dan kredibilitas dari seorang sejarawan sangat di butuhkan supaya tidak terjadi apa yang di sebut anakronisme ataupun historians fallacies seperti yang di sebut di atas.

3.   Subyektifitas Masa kini

Sartono Kartodirdjo (1992) mengatakan bahwa present-mindedness acapkali menjadi panduan untuk menyeleksi permasalahan di masa lampau, namun kita harus berhati-hati, jangan sampai terlalu menguasai pendangan kita terhadap masa lampau dan melaksanakan pandangan masa kini sebagai alat pengukur tentang masa lampau. Misalnya Negara Majapahit dipandang sebagai Negara nasional. Walaupaun Croce, mengatakan bahwa “ setiap sejarah yang benar adalah sejarah masa kini”, namun bukan seperti itulah yang di maksud. Dengan demikian ada dua hal yang perlu di perhatikan oleh seorang sejarawan untuk menghindari anakronisme sejarah maupun penulisan sejarah yang parsial yaitu: pertama, Memahami jiwa zaman dengan pemahaman yang komprehensif sehingga tidak menilai sebuah peristiwa hanya sebagai jelek atau buruk, memandangnya sebagai pahlawan atau penjajah, namun kondisi sosial yang kompleks sangat menentukan kejernihan sejarahnya. Kedua, Memahami masa lampau dengan tidak memasukkan nilai masa kini, misalnya perlawanan Arung Palaka terhadap kerajaan Bone yang di pimpin Sultan Hasanuddin sebagai pemberontak, padahal saat itu Indonesia belum ada. Atau seperti dikatakan Bambang Purwanto (2005) banyak juga bandit yang dianggap sebagai pahlawan karena kebetulan melawan Belanda, padahal tujuannya hanya untuk kepentingan pribadi untuk mendapatkan harta, dan bukan itu saja sesama orang pribumi juga mereka melakukan pembanditan, inilah yang dikatakan sebagai kesalahan anakronisme. Dari paparan di atas maka dapat di katakana bahwa dalam sejarah sampai kapan pun hasil rekonstruksinya akan tetap subjektif, dalam artian terlepas dari peristiwa aktualnya, namun fakta yang di tunjukkan akan berupa cermin dari masa lampau tersebut, yang sudah barang tentu dengan menggunakan pendekatan dan pemahaman kesejarahan yang baik. Untuk itu Bamabang Purwanto (2006) menawarkan adanya dekonstruksi dalam penulisan sejarah atau sejarah yang memandang manusia dalam sejarah adalah manusia yang sama seperti kita saat ini. Bukan karena pahlawan lalu tidak pernah berbuat salah, atau pemberontakan perorangan pada jaman kerajaan semasa Belanda dikatakan Perlawanan nasional dan lain sebagainya. Selain itu untuk menjadikan sejarah sebagai sebuah ilmu yang subjektivitas masa lampaunya hanya terbatas pada penamaan karena merekonstruksi masa lampaunya, yang bukan subjektivitas berdasarkan ketidak akuratan datanya maka dalam hal ini dalam ilmu sejarah di kenal adanya rapprochement dalam penulisan sejarah dengan ilmu sosial lain sehingga sejarah akan memiliki konsep, generalisasi, maupun teori seperti halnya ilmu sosial yang lain.

4.   Subjektifitas dalam Penulisan Sejarah dan Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif atau yang lazim disebut metode pospositivisme ini sering juga dianggap sebagai bentuk penelitian pada ilmu antropologi, meskipun saat ini kebanyakan ilmu sosial menggunakan metode kualitatif dengan variasi yang berbeda-beda tergantung dari keilmuan masing-masing. Padahal Dalam ilmu antropologi juga menggunakan pendekatan kuantitatif (positivistik) sekaligus juga kualitatif (naturalistik). Artinya, dalam penelitian antropologi dapat dilakukan melalui pengkajian secara statistik-matematis, baik dilakukan untuk mengukur pengaruh maupun korelasi antarvariabel penelitian, maupun dilakukan secara kualitatif-naturalistik (Dadang Supardan, 2011: 178). Namun satu hal yang penting untuk di perdalam pada bagian ini adalah metode naturalistik yang digunakan dalam ilmu antropologi tersebut. Sebagaimana dikatakan Dadang Supardan (2011), dalam penelitian antropologi dikenal dua pendekatan untuk memahami gejala yang diamati yaitu melalui pendekatan emik dan pendekatan etik. Pendekatan emik yang dimaksud adalah kemampuan seorang peneliti untuk memahami apa sebenarnya yang dirasakan oleh manusia yang menjadi kajiannya, baik latar budaya, nilai, politik, yang mengitari masyarakat yang menjadi objek penelitiannya. Sehingga apa yang di rasakan masyarakat sebagai objek kajiannya akan muncul dalam penulisannya. Pendekatan kedua adalah pendekatan etik.  Pendekatan etik ini bertujuan untuk menuntut peneliti untuk tidak terjebak dalam egosentrisme dari masyarakat yang mereka kaji, tidak terjebak pada pengagungan yang berlebihan dalam memahami berbagai aspek dari masyarakat tersebut. Karena itu nilai etik ini penting untuk membuat peneliti menjadi kritis dalam memandang sebuah persoalan, walaupun mereka juga harus memahami sebuah peristiwa yang mereka kaji seperti apa yang masyarakatnya rasakan. Sebagaimana di katakana Burhan Bungin (2008), bukti dari pentingnya mengetahui apa yang di rasakan oleh masyarakat yang menjadi objek kajian adalah adanya salah satu metode pengujian keabsahan data kualitatif yaitu triangulasi dan lain sebagainya. Lalu bagaimana kaitannya dengan subyektifitas dalam penulisan sejarah? Berdasarkan penjelasan di atas terlihat dua kesamaan yang paling menonjol yaitu pemahaman dan interpretasi, selain sama-sama mengkaji tentang manusia. Menurut Dilthey (Kuntowijoyo, 2008), pendekatan geistessenchaften (ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial yang di dalamnya juga terdapat ilmu sejarah) ialah dengan hermeneutik (hermeneutikos (Yunani), tafsir, interpretasi/ verstehen/ to understand). Hermeneutika ialah memahami “inner context” dari perbuatan yang tidak nyata dalam kata-kata pelaku sendiri.verstehen adalah pengalaman “dalam” yang menembus jiwa dan seluruh pengalaman kemanusiaan. Verstehen atau understanding adalah usaha untuk “meletakkan diri” dalam yang “lain”.verstehen adalah mengeri “makna yang ada di dalam”, mengerti subjective mind dari perilaku sejarah. Penjelasan ini mengarahkan kita untuk dapat memahami bahwa pada umumnya ilmu kemanusiaan (humaniora) dan ilmu pengetahuan sosial yang dalam keduanya terdapat ilmu sejarah tidak akan mendapatkan keobjektivan sama halnya dengan ilmu alam. Karena seorang peneliti atau sejarawan itu sendiri harus terikat oleh pemahaman dan penafsiran akan objek yang di kajinya. Karena itulah subjektivitas dari seorang peneliti atau seorang sejarawan akan muncul dari objek penelitiannya. Salah satu contohnya adalah apa yang di tulis oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat bekerjasama dengan Tim Relawan Untuk Kemanusiaan Institut Sejarah Sosial Indonesia yang di editori oleh John Rosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid, tahun 20004, dengan judul “Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65”. Kegiatan Institut Sejarah Sosial Indonesia ini dengan menggunakan sejarah lisan dalam mengumpulkan sumber sejarah untuk mengetahui apa yang di rasakan oleh korban peristiwa Gerakan 30 September adalah salah satu contoh dari bagaimana seorang sejarawan mengambil makna dari fakta sesuai dengan apa yang objek kajiannya rasakan. Walaupun demikian sekali lagi, seorang sejarawan harus terikat pula oleh pendekatan etik untuk menjaga kesepihakan yang provokatif dan menilai hitam-putih tadi.

5.   Subjektivitas, Interpretasi Sejarah dan Kontroversi Sejarah

Sejarawan Collingwood (Dadang Supardan, 2007: 342) mengemukakan bahwa: History proceeds by the interpretationof evidence; where evidence is a collective name thing which singly are called documents, and a documents is a thing existing here and now, of a such a kind that the historian, by thinking about it, can get answer to the question he aks about past events Penjelasan Collingwood di atas jelas membicarakan adanya penapsiran dalam bukti-bukti sejarah seperti halnya dokumen. Dokumen inilah yang akan terus berdialog dan di interpretasi oleh seorang sejarawan. Interpretasi atau penefsiran sejarah seringkali disebut juga dengan analisis sejarah. Kuntowijoyo sebagaimana di kutif Dudung Abdurrahman (1999) mengatakan bahwa analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Namun keduanya, analisis dan sintesis dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Oleh sebab itu, sebagaimana Berkhofer (Alfian, 1984), analisis sejarah itu sendiri bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta-fakta itu kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Jelaslah bahwa interpretasi bukan penapsiran yang semena-mena, namun harus berdasarkan data dan fakta. Walaupun terkadang dalam menginterpretasikan sejarah, peneliti kadang terpaksa membuat dugaan yang dibayangkan dari data yang ada dan berusaha untuk menemukan penjelasannya sesuai dengan dugaan-dugaan itu. Hal demikian bisa saja mengarah kepada hasil yang tidak sesuai dengan hakikat sejarah itu sendiri, bahkan yang ada hanyalah cerminan pemikiran, aliran atau selera si peneliti. Untuk itu peneliti sebaiknya memusatkan perhatiannya pada pos-pos tertentu yang membicarakan suatu masalah, misalnya dengan mempelajari tokoh-tokoh, lingkungan kejadian yang melingkupinya dan lain sebagainya (Dudung Abdurrahman, 1999: 65). Interpretasi bisa di katakan awal dari adanya subjektivitas sejarah. Berbagai macam fakta masa lalu tidak pernah lengkap dapat di temukan, karena memang masa lalu itu sendiri telah jauh dari objeknya sehingga tidak bisa dirasakan, diraba, dilihat dan lain sebagainya secara langsung oleh indra peneliti. Masa lalu tenggelam dalam dokumen yang tidak seratus persen lengkap seperti apa adanya, ingatan manusia sebagai saksi sejarah tidak mungkin dapat merekonstruk semua kejadian yang ada. Karena itu muncul subjektivitas pertama yaitu ketidak lengkapan peristiwa sejarah yang dihasilkan oleh sejarawan, dan ini juga yang mengharuskan seorang sejarawan untuk terus menerus menemukan evidensi-evidensi baru terkait dengan peristiwa sejarah tersebut. Karena data tidak lengkap maka terkadang juga muncul interpretasi untuk menyesuaikan data-data yang ada, walaupun dalam hal ini seorang sejarawan harus berhati-hati dan tetap berpatokan pada data yang ada, ini adalah proses munculnya subjektivitas ke dua dari interpretasi data. Kemudian seorang sejarawan juga harus memahami dan terikat oleh apa yang dirasakan oleh masyarakat yang menjadi objek penelitiannya sehingga pendekatan emik akan ikut juga di dalamnya. Namun satu hal yang terpenting disini adalah nilai politis dan etis sekali lagi tidak harus mendominasi supaya tidak terjadi penapsiran yang serampangan yang akan menghasilkan sejarah naratif hayalan. Lalu bagaimana dengan berbagai peristiwa sejarah yang saat ini terdapat multi tafsir dan memunculkan kontroversi? Gerakan 30 September misalnya, yang sampai saat ini menarik untuk terus di diskusikan, karena memang mengahilkan kesimpulan yang multitafsir terutama tentang tokoh dan dalang dari penggerak peristiwa tersebut. Paling tidak terdapat 5 (lima) penapsiran tentang siapa dalang dari peristiwa berdarah tersebut yaitu PKI yang merupakan penapsiran yang sudah lumrah, Presiden Sukarno, Presiden Soeharto, Angkatan Darat, dan ada juga yang mengumandangkan keterlibatan CIA dalam peristiwa ini. Tentang PKI sebagai broker dari peristiwa G 30 September jelas kita dapatkan di banyak buku dan literature lainnya seperti pada buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI terbitan Balai Pustaka tahun 1993, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, terbitan Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI 19995, Sejarah Umat Islam Indonesia, terbitan MUI, dan lain sebagainya. Begitu juga halnya dengan argumen dan bukti yang ditunjukkan dalam menganalisa tokoh dan kelompok lain sebagai dalang dari peristiwa ini sama-sama memiliki kekuatan ilmiah dan metode yang dapat dipertanggung jawabkan, lalu pendapat yang mana paling bener? John Roosa dalam bukunya  “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto” terbit 2008, seperti di katakana Asvi Warman Adam (2009) merupakan salah satu dari tiga buku yang mendapatkan pengahargaan terbaik tentang kemanusiaan di Malaysia. Walaupun dengan jelas mengatakan bahwa terdapat permainan Suharto di dalamnya namun kekuatan lain sebagai kausalitas pendukung tetap ada, baik keterlibatan Sukarno, Angkatan Darat, PKI terutama, dan CIA. Hal senada juga diungkapkan oleh Asvi Warman Adam dalam bukunya “Seabad Kontroversi Sejarah” terbit 2007, dan “membongkar manipulasi sejarah” terbit 2009. Jelas bahwa beberapa penafsiran/ interpretasi ini mengandung subjektivitas, karena di dalamnya telah bermain nilai politis dan etis. Namun sekali lagi nilai-nilai yang ikut serta dalam penapsiran tersebut tidak bisa lepas, karena itu yang tidak boleh adalah penghakiman yang ekstrim terhadap peristiwa sejarah seperti rasa suka dan tidak suka, atau hitam dan putih. Perlu kita sadari juga bahwa selama penyajian peristiwa yang kita sajikan di dukung oleh data dan pakta, selama itu juga tulisan sejarah tersebut termasuk sejarah yang ilmiah. Selama interpretasi di dukung oleh data walaupun interpretasi berlainan selama itu juga penapsiran itu merupakan penapsiran yang ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah pula.

6.   Subjektivitas dan Teori Kritis

Sudah sejak Francis Bacon (1561-1625) (Budi Hardiman, 2003), Bapak Ilmu Pengetahuan Modern, pengetahuan empiris-analitis yang kemudian menjadi ilmu-ilmu alam direfleksikan secara filosofis sebagai pengetahuan yang sahih tentang kenyataan. Dari arus perkembangan filsafat sendiri lahirlah positivisme yang dirintis oleh Aguste Comte (1798-1857). Positivisme adalah puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan dan awal pencapaian cita-cita untuk memperoleh pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori yang dipisahkan dari praxis hidup manusia. Positivisme menganggap pengetahuan mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan yang sahih. Positivisme inilah yang melahirkan ilmu sosiologi yang kita kenal saat ini dalam rumpun inti Ilmu sosial. Lalu bagaimana dengan Ilmu Sejarah yang pada dasarnya terlebih dahulu berdiri sendiri sebagai ilmu pengetahuan? Bermula dari Leovold von Ranke (1795-1886) yang menulis diantaranya Modern Historical Writers. Sebagai penumbuk sejarah modern, Ranke menganjurkan supaya sejarawan menulis apa yang sebenarnya terjadi, wie es eigentlich gewesen, sebab setiap priode sejarah itu akan dipengeruhi oleh semangat zamannya (Zeitgeist) (Kuntowijoyo, 2005: 58). Apa yang dilakukan Ranke ini dalam memformulasikan ilmu sejarah seperti apa adanya melalui dokumen tidak lepas dari pengeruh perkembangan ilmu pengetahuan yang memisahkan antara teori dan kepentingan praxis seperti yang di jelaskan sebelumnya. Pembebasan ilmu pengetahuan dari kepentingan-kepentingan ini, dengan sendirinya juga menunjukkan adanya kepentingan. Kerena itu muncul tokoh-tokoh seperti Marx Horkheimer, Teodor W. Ardono dan kawan-kawannya mengkritisi adanya kepentingan dari pengetahuan yang katanya objektif. Horkheimer (Budi Hardiman, 2003) menelanjangi pola tradisional (positivisme) teori-teori filsafat dan ilmu-ilmu manusia sebagai kontempletif, afirmatif dan oleh karena itu idiologis. Sebab itu mereka memandang bahwa teori-teori itu sebenarnya sama sekali tidak objektif, melainkan melindungi dan melegitimasi kepentingan-kepentingan kekuasaan. Inilah yang mempengaruhi Jurgen Habermas untuk mengembangkan teori kritis secara lebih tajam dan lebih menyeluruh, sehingga di kenal sebagai penjaga paling canggih pemikirannya dari teori kritis. Berdasarkan pandangan pendahulunya serta pengeruh filusuf-filusuf sebelumnya seperti Dilthey, Hegel, Marx dan lain lain Jurgen Habermas membedakan ilmu-ilmu alam yang empiris analitis di satu pihak dan ilmu-ilmu historis-hermeneutis di lain pihak. Bagi Habermas (Hardiman, 2003) distorsi idiologis terjadi apabila kepentingan yang memberikan arah dasar kepada ilmu-ilmu empiris-analitis, yaitu kepentingan akan penguasaan alam, melimpah ke dalam wilayah ilmu historis-hermeneutis. Melacak akar pemikiran Habermas, dapat kita lihat pada rumusan Wilhelm Dilthey (1833-1991) membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu tentang dunia “luar” atau Naturwissenchaften (ilmu-ilmu alam) dan ilmu dunia “dalam” atau Geisteswissenchaften (ilmu-ilmu kemanusiaan, humanities, human studies, cultural sciences) (Kuntowijoyo, 2008: 3). Geisteswissenchaften menggunakan pendekatan hermeneutik. Hermeneutika ialah memahami “inner context” dari perbuatan yang tidak nyata dalam kata-kata pelaku sendiri.verstehen adalah pengalaman “dalam” yang menembus jiwa dan seluruh pengalaman kemanusiaan. Verstehen atau understanding adalah usaha untuk “meletakkan diri” dalam yang “lain”.verstehen adalah mengeri “makna yang ada di dalam”, mengerti subjective mind dari perilaku sejarah. Pandanga Habermas memang tidak sampai di sini, namun ini hanya sebagai gambaran saja. Sehingga bisa diterik bahwa antara pengetahuan alam yang fungsinya menarik generalisasi umum tidak sama dengan apa yang seharusnya diformulasikan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Karena memerlukan pemahaman (verstehen), dan supaya bertujuan praxis bagi kehidupan manusia seperti di isyaratkan para teoritikus teori kritis, maka tidak bisa lepas dari nilai etis dan politis dari manusia itu sendiri, karena itu akan terdapat kepentingan di dalamnya, dan dengan sendirinya masuk unsur subjek di dalamnya, sebab itu ia menjadi subjektif. Dalam ilmu sejarah, adanya objektivitas seperti yang sebenarnya terjadi seperti di isyaraktkan Ranke mulai diragukan kebenarannya. Sadar atau tidak, orang menulis pasti mempunyai maksud. Carl L. Becker (1873-1945) dalam Kuntowijoyo (2005), mengatakan bahwa pemujaan pada fakta, dan pembedaan antara fakta keras (hard fact) dan fakta lunan (soft fact). Hanya ilusi. Fakta sejarah itu tidak seperti batu bata yang tinggal dipasang, tetapi fakta itu sengaja dipilih oleh sejarawan. Sejarah yang objektif itu tidak ada, seperti halnya ternyata ilmu alam pun penuh ketidak pastian seperti yang terungkap dari teori kritis di atas.

C.      Kesimpulan

Objektivitas dan subjektivitas merupakan dua kata yang seringkali salah difahami oleh sebagian orang terutama dalam penulisan sejarah. Padahal kata objetif dalam penulisan sejarah mengacu pada peristiwa yang sebenarnya terjadi dan tidak bisa terulang lagi. Sedangkan sejarah yang objektif merupakan gambaran dari peristiwa sejarah yang di tulis oleh seorang sejarawan. Karena itu kedua-duanya merupakan bagian dari penulisan sejarah. Subjektivitas dalam penulisan sejarah berarti, pertama, merupakan peristiwa yang sudah terjadi, dan penulisannya tidak mungkin dapat di paparkan peperti kejadian aslinya, paling mungkin adalah sebagian dari peristiwa sejarah tersebutlah yang dapat di tulis oleh seorang sejarawan. Karena itu penelitian sejarah terus berkembang dalam mengkaji satu peristiwa untuk terus mendapatkan evidensi-evidensi baru. Kedua, penulisan sejarah jelas melalui pemikiran subjek (sejarawan itu sendiri), oleh sebab itu nilai-nilai yang diyakini oleh seorang sejarawan akan ikut mewarnai penulisan sejarah tersebut. Artinya bahwa seorang sejarawan tidak bisa lepas dari jiwa zaman di mana mereka berada. Sebab itu secara umum terdapat beberapa hal yang menyebabkan subjektivitas ini pada sejarawan yaitu 1. Pemihakan pribadi (personal bias), 2. Prasangka kelompok (group prejudice), 3. Teori-teori bertentangan tentang penafsiran sejarah (conflicting theories of historical interpretation), 4. Konflik-konflik filsafat yang mendasar (underlying pgilosophical conflicts). Adanya subjektivitas dalam ilmu sejarah tidak lepas juga dari adanya pemahaman (verstehen) sebagai pendekatan ilmu kemanusiaan, dan fungsi praxis ilmu pengetahuan sehingga tidak terpisah dari pemilik pengetahuan itu sendiri yaitu mnusia dari kehidupan mereka sehari-hari seperti yang di inginkan dalam teori kritis. Lebih dari itu, jika berbicara mengenai metode penelitian, dimana imu-ilmu kemanusiaan cendrung untuk menggunakan metode kualitatif untuk menemukan makna di balik fakta, maka dengan jelas subjektivitas akan muncul dalam penjelasannya, begitu juga halnya dalam ilmu sejarah. Selain itu, adanya interpretasi atau penafsiran data bisa dikatakan sebagai awal pembentukan subjektivitas sejarah. Namun demikian, selama seorang sejarawan berpegang pada data dan fakta apa pun kesimpualan yang di dapatkan walaupun dalam satu peristiwa terkadang berbeda penafsiran, hal itu tetap bisa diterima sebagai kajian yang ilmiah. Adapun beberapa kecendrungan subjektivitas ekstim yang tidak dibenarkan dalam penulisan sejarah adalah, pertama, berprasangka ekstrim dalam penulisan sejarah yang di lakukan oleh seorang sejarawan. Perasangka ekstrim ini termasuk diantaranya adalah rasa suka dan tidak suka ikut mewarnai dalam penulisannya. Oleh sebab itu, subjektivitas dalam penulisan sejarah adalah menghilangkan prasangka ekstrim dalam melihat peristiwa sejarah. Kedua, tidak seharusnya juga seorang sejarawan memaksakan masa lampau menurut logika masa kini, meskipun masa lampau bukan untuk kelampauan itu sendiri melainkan untuk masa kini dan masa yang akan datang. Namun yang harus diperhatikan juga adalah tidak menarik masa lampau menurut arti masa kini, sehingga tidak terjadi antikuarian atau apa yang disebut sebagai historian’s fallacies, atau tahayyul dan kekeliruan seperti di katakana Thomas Khun.

Daftar Pustaka

Abdullah Taufik & Abdurrachman Surjomihardjo. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi. Jakarta: Gramedia.

Abdullah Taufik & Hisyam Mohamad. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia dan Yayasan Pustaka Umat.

Abdurrachman Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Adam W. Asvi. 2007: Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Adam W. Asvi. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Adam W. Asvi. 2010. Menguak Misteri Sejarah. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Bungin Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Hardiman B. Francisco. 2003. Kritik Idiologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.

Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta . BENTANG.

Kuntowijoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana. Mulyana

Agus, Darmiasti. 2009. Historiografi di Indonesia. Jakarta: Reflika Aditama.

Poesponegoro, Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Balai Pustaka).

Poesoprodjo. 1999. Logika Scientifika: Pengantar Dialektika dan Ilmu. Bandung: Pustaka Grafika.

Purwanto Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris. Yogyakarta: Ombak.

Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI. 1995. Bahaya Laten Komunisme di Indonesia Jilid I. Jakarta: Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi Abri.

Roosa John. 2008. Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia.

Roosa, Ratih, Farid (ed). 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia.

Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia.

Supardan Dadang. 2011. Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara

Suriasumantri S. Jujun. 2003. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Uhar Suharsaputra. 2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Universitas Kuningan.

Zaki. 2007. Menggali Sejarah Menimba Ibrah. Mataram: Arga Puji Press.

Internet

Anonim. 2012. Obyektifitas dan Subyektifitas dalam Sejarah. Dalam http://laumelasdanrumahadatmelas.blogspot.com/. Diakses 30-10-2012. Anonim. 2010. Subyektifitas dan Subyektifitas Sejarah. Dalam http://syajarra.blogspot.com/. Diakses 31-10-2012. Anonim. 2012. Masaalah dan Objektifitas. dalam http://prof-chem.blogspot.com. Diakses 1-11-2012. Dian Kurnia. 2011: Subjektifitas dan Obyektifitas: Sebuah Tinjauan Kritis. Dalam http://initialdastroboy.wordpress.com/. Diakses 2-11-2012.