Kelompok kelompok atau organisasi yang pernah mencoba untuk mengubah ideologi Pancasila

PENGAMAT Intelijen Stanislaus Riyanta menyebut ideologi khilafah telah menyebar subur di Indonesia. "Jadi, bukan benih lagi, sudah berupa pohon dan sudah panen," katanya kepada Medcom.id di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, kelompok khilafah memperjuangkan ideologinya dengan dua cara. Pertama, menggunakan pendekatan narasi. Kedua, menggunakan pendekatan aksi kekerasan seperti teror.

Paham khilafah di Indonesia, kata dia, tidak berdiri sendiri. Gerekan mereka merupakan bagian dari aksi transnasional dari berbagai macam kelompok yang memiliki tujuan sama untuk mengganti sistem pemerintahan suatu negara.

"Salah satu gerakan transnasional yang dominan ialah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kelompok lain yang kegiatannya ekstrem," beber Stanis.

Ia menyebut paham khilafah masuk ke Indonesia melalui media sosial. Dengan demikian, masyarakat mudah menerima narasi-narasi mereka.

Ideologi itu menyasar generasi muda yang butuh jati diri, eksistensi, dan aktualisasi. "Jadi, ketika mereka menemukan paham khilafah itu di media sosial, mereka ikut," ucap Stanis.

Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu sebelumnya meminta masyarakat tak terpengaruh paham khilafah, meskipun paham itu telah masuk ke ranah pendidikan.

"Ancaman khilafah sudah terang-terangan ingin mengganti ideologi Pancasila. Ini datang untuk merusak, sudah berjalan di sekolah dan universitas," ungkap Ryamizard, Rabu (8/5).

Ideologi itu digunakan beberapa kelompok yang ingin memecah belah kesatuan Indonesia. Mereka ingin mendirikan negara sendiri dan berpisah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menhan menegaskan paham khilafah sangat bertentangan dengan norma yang terkandung di dalam Pancasila. Mantan KSAD itu tak ingin khilafah berkembang di masyarakat Indonesia.

"Pancasila harus dilestarikan. Kita tidak bisa biarkan mindset pelajar nantinya berubah. Dalam tempo 20-30 tahun lagi, kalau dibiarkan, hancur Indonesia," tegas Ryamizard.

Sementara itu, Karopenmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror, Rabu (8/5) menangkap dua terduga teroris di Bekasi, Jawa Barat. Keduanya bagian dari kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Bekasi.
"

Tadi malam ditangkap dua pelaku, dua pelaku ini jaringannya berbeda, tapi memiliki koneksi yang sangat kuat dalam kelompok JAD Indonesia," kata Dedi, kemarin.

Kedua terduga teroris, yakni EY, 27, dan YM, 18. EY ditangkap di SPBU Pertamina Jalan Raya Kalimalang, Jakarta Timur. Adapun YM ditangkap di Kelurahan Bojong Rawa, Kecamatan Rawa Lumbu, Kota Bekasi.

"Dia (EY) menjadi seorang amir JAD Bekasi. Dia menggantikan amir yang sudah ditangkap beberapa tahun lalu oleh Densus 88 ketika terjadi peristiwa bom di Thamrin," terangnya. (Fer/Gan/P-3)

Ancaman nyata dari pihak-pihak yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara Indonesia telah muncul dalam beberapa tahun terakhir, yang ditandai dengan berbagai aksi yang menyerukan penggunaan paham atau ideologi lain.

Selain itu, upaya mengganti Pancasila dapat dilihat dari pemahaman generasi muda masa kini, yang menganggap Pancasila sudah tidak relevan dan perlu diganti dengan ideologi atau dasar negara yang lain.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Serukan Halau Kekuatan Inkonstitusional

Ketua Pemuda Katolik Komda Jawa Timur, Agatha Retnosari mengatakan ancaman mengubah Pancasila sebagai dasar negara telah terlihat salah satunya dari sektor pendidikan, di mana pengajaran ideologi lain lebih dominan dibandingkan pengajaran nilai-nilai Pancasila.

“Kalau saya melihatnya sungguh nyata karena mereka yang ingin menggantikan Pancasila ini. Mereka tidak hanya lewat jalan-jalan teror, tetapi juga mereka masuk melewati jalur-jalur pendidikan. Maka dari itu, menjadi penting buat kita yang memang menginginkan pancasila tetap tegak berdiri di Indonesia, kita juga harus lebih cerdas dan lebih cerdik dari mereka dalam menggunakan cara,” kata Agatha Retnosari.

Ditambahkannya, penanaman nilai-nilai Pancasila sedianya dilakukan sejak dini, yaitu mulai dari keluarga.

Patung Proklamator Soekarno di Museum Bung Karno di Blitar, Soekarno penggali Pancasila sebagai ideologi bangsa. (Foto: Petrus Riski/VOA)

Menurut Agatha, meski pendidikan formal penting, tapi pendidikan di dalam keluarga jauh lebih penting. Karena, orang tua adalah guru pertama yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan Pancasila kepada anak-anak, tutur Agatha.

“Misalnya, sikap tenggang rasa, sikap saling tolong menolong, dan lain sebagainya. Menurut saya kalau itu sudah dilakukan dan menjadi kebiasaan sehari-hari, nilai-nilai Pancasila itu bukanlah menjadi hal-hal yang asing lagi,” kata Agatha.

“Jika Pancasila itu dihayati dan dilakukan dalam keseharian kita sebagai pribadi dan juga ke dalam hidup berbangsa dan bernegara, rasanya ideologi lain yang akan berusaha masuk ke negara Indonesia, juga mengalami kesulitan atau hambatan,” jabarnya.

Ancaman dari Ideologi Lain, Warga Diajak Perkuat Persatuan

Koordinator Gusdurian Surabaya Yuska Harimurti menuturkan tokoh agama dan tokoh masyarakat harus memainkan peranan untuk membumikan Pancasila.

“Peran tokoh agama menjadi sangat penting, karena kalau kita melihat akhir-akhir ini ada beberapa pihak yang menyuarakan perlunya mengganti dasar negara selain Pancasila. Nah, ada semacam keresahan bagi kita, bagaimana mungkin Pancasila itu jika tidak ada di bangsa Indonesia. Pancasila ini adalah pemersatu,” kata Yuska.

“Pancasila itu adalah yang menjadi tolok ukur jika ada masalah-masalah perbedaan yang mencuat. Kita harus segera berani menyatakan ketika ada masalah perbedaan itu mencuat, kita harus berani menyatakan untuk mari kita kembali ke Pancasila,” paparnya.

BACA JUGA: BNPT: Kondisi Negara yang Kritis Rentan Disusupi Teroris

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengajak seluruh elemen masyarakat di Jawa Timur untuk bersama-sama menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia yang merefleksikan sila ketiga dan menjadi kunci penting menjaga kelestarian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“PR kita hari ini adalah, bagaimana bersama kita menjaga persatuan Indonesia, persaudaraan dan kebersamaan ini menjadi bagian penting, persatuan ini menjadi titik kunci untuk bisa menjaga NKRI,” kata Khofifah.

“Dan kalau pada 1 Juni Hari Pancasila, maka implementasi dari sila ketiga, saya ingin mengajak kita semua kembali melakukan ikhtiar, bagaimana kita rekatkan kembali persatuan Indonesia dalam konteks apapun, dalam strata dan status sosial apapun, dan dimana pun,” pungkas Khofifah Indar Parawansa. [pr/em]

Liputan6.com, Jakarta - Pancasila sudah menjadi dasar negara sejak Indonesia lahir. Kendati begitu, perjalanan Pancasila sebagai ideologi Indonesia, sudah berkali-kali ingin diganti.

Sejarawan yang juga peneliti LIPI Asvi Warman Adam menyebut, ideologi Indonesia pernah diperdebatkan pada zaman Presiden Sukarno. Kala itu, diperdebatkan ideologi negara diganti oleh agama.

"Dalam perdebatan, apakah dasar negara kita itu adalah Pancasila ataukah agama Islam. Banyak yang menginginkan agama Islam sebagai dasar negara, namun tidak mencapai suara yang cukup (tidak sampai kata sepakat)," kata Asvi saat ditemui Liputan6.com di Jakarta, Rabu 31 Mei 2017.

Bahkan pada era Sukarno, Pancasila juga sempat diperdebatkan sebagai dasar negara pada 1957. Para konstituante memperdebatkan dasar negara Indonesia dalam persidangan.

"Mereka berdebat apakah dasar negara itu Pancasila atau Islam atau ideologi sosial ekonomi. Tetapi tidak satu pun dari kelompok yang mencapai suara, sehingga usul atau perdebatan itu menjadi terkatung-katung," ujar dia.

Namun, karena perdebatan tersebut dianggap tidak berhasil untuk menentukan ideologi Indonesia, maka Presiden Sukarno kembali mengeluarkan Dekrit Presiden pada Juni 1959.

Penggantian Pancasila pada Era Reformasi

Tak hanya itu, pada era reformasi upaya untuk mengganti ideologi negara kembali terjadi. Hal ini dilakukan dengan memasukkan agama ke dalam konstitusi dasar-dasar negara.

"Tapi itu juga tidak berhasil (mengganti Pancasila sebagai ideologi Indonesia)," tutur Asvi.

Menurut Asvi, hal ini menjadi bukti kuat Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Sebab, telah berkali-kali dicoba dan diupayakan untuk diganti, tetapi berulang kali pula diputuskan ideologi Indonesia tetap Pancasila.

"Karena (Pancasila) itu kan dasar negara. Jika fondasi itu diganti, maka negara itu akan runtuh. Kita cukup Pancasila saja. Agama atau ideologi lain tidak bisa gantikan Pancasila sebagai dasar negara," pungkas Asvi.

Penggagas Pancasila

Sebagian orang mengenal Sukarno adalah tokoh yang pertama kali menjadi penggagas rumusan Pancasila. Namun, ternyata ada juga anggapan yang menyebut Mohammad Yamin dan Soepomo-lah sosok yang menggagas rumusan Pancasila yang kini menjadi dasar dan ideologi bangsa Indonesia.

"Jadi dikatakan bahwa penggagas pertama Pancasila itu bukanlah Sukarno tetapi Mohammad Yamin, kemudian dikatakan lagi bukan hanya Moh. Yamin tapi juga Soepomo," ungkap Asvi.

Ia mengatakan, lahirnya Pancasila diawali dengan serangkaian rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sejak 29 Mei 1945 hingga 1 Juni 1945.

"Satu-satunya yang membahas tentang dasar negara itu hanya Sukarno dan itu disampaikan pada 1 Juni 1945. Jadi itulah sebabnya 1 Juni itu dijadikan sebagai Hari Kelahiran Pancasila," tutur dia.

Peneliti LIPI itu menjelaskan, keputusan Presiden Jokowi yang menetapkan 1 Juni sebagai Hari Pancasila merupakan serangkaian proses, yang diawali dengan pidato dari Presiden Sukarno pada 1 Juni 1957.

"Kemudian tanggal 22 Juni yang dikenal sebagai Piagam Jakarta itu adalah masukan-masukan dari para tokoh dan kemudian disempurnakan lagi pada 18 Agustus 1957," terang Asvi.