Aceh, provinsi yang terletak paling barat dari Sumatra ini memiliki keunikan tersendiri. Dimana ia menjadi daerah kedua yang ditetapkan sebagai daerah istimewa, setelah Daerah Istimewa Yogyakarta. Show Jika Yogyakarta ditetapkan sebagai daerah istimewa pada tahun 1945, sedangkan Aceh baru ditetapkan pada tahun 1959 silam. Sudah 62 tahun berlalu, tapi sudahkah kamu tahu mengapa Aceh ditetapkan sebagai daerah istimewa? Kilas balik sejarah singkatnya di sini yuk, Beauties!
Sebelum ditetapkan sebagai daerah istimewa, provinsi Aceh mempunyai cerita sejarah yang cukup panjang. Dilansir dari acehprov.go.id, kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan status. Pada masa revolusi kemerdekaan, Keresidenan Aceh pada awal tahun 1947 berada di bawah daerah administrative Sumatra Utara. Sehubungan dengan adanya agresi militer Belanda terhadap Republik Indonesia, Keresidenan Aceh, Langkat, dan Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah Militer yang berkedudukan di Kutaradja (Banda Aceh sekarang) dengan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud Beureueh. Walau sudah dibentuk Daerah Militer namun keresidenan masih dipertahankan. 5 April 1948 ditetapkan Undang-undang nomor 10 tahun 1948, yaitu membagi Sumatra menjadi tiga Provinsi Otonom, yang meliputi: Sumatra Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan. Provinsi Sumatra Utara meliputi Keresidenan Aceh. Selanjutnya pada akhir tahun 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Sumatra Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi provinsi Aceh. Teungku Muhammad Daud Beureueh yang menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo kemudian diangkat menjadi Gubernur Provinsi Aceh.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 provinsi Aceh kembali menjadi Keresidenan. Namun perubahan status ini menimbulkan gejola politik yang cukup hebat dan mengganggu banyak hal. Kemudian dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, yang dimana status provinsi Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I. Sempat terjadinya perubahan Gubernur provinsi Aceh, namun hal ini tidak membuat gejolak politik seluruhnya berakhir. Demi menjaga stabilitas Nasional demi persatuan dan kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama MISSI HARDI tahun 1959, dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan gejolak politik, pemerintahan, dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi lalu ditindak lanjuti dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26 Mei 1959, Daerah Swatantra Tingkat I atau provinsi Aceh diberi status "Daerah Istimewa" dengan sebutan lengkap Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan predikat sebagai Daerah Istimewa, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat, dan pendidikan. Status ini pun telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965. (ria/ria)Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota.[1] Menurut pasal 18B UUD 1945, negara "mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang". Dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat perkembangan definisi mengenai daerah istimewa mulai dari BPUPKI (1945) sampai dengan pengaturan dan pengakuan keistimewaan Aceh (2006) dan Yogyakarta (2012). Perkembangan definisi inilah yang menyebabkan perbedaan penafsiran mengenai pengertian dan isi keistimewaan suatu daerah, yang pada akhirnya menyebabkan pembentukan, penghapusan, dan pengakuan kembali suatu daerah istimewa.
Konsep dasar daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam persidangan pendiri bangsa dalam BPUPKI dan PPKI, UUD 1945 asli, Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan UUD 1945 setelah amendemen.
Perdebatan mengenai apa itu daerah istimewa sebenarnya diawali dari voting bentuk negara Indonesia dalam sidang BPUPKI.[2] Keadaan tersebut berlanjut dalam diskusi para bapak pendiri bangsa mengenai bentuk negara.[3] Akhirnya dicari jalan tengah untuk kedudukan daerah yang berstatus zelfbesturende landschappen dalam lingkungan negara Indonesia dengan memunculkan ide daerah istimewa.
Namun dalam sidang BPUPKI ada penyamaan antara zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen. Dengan demikian tidak hanya kesultanan maupun kerajaan, namun juga daerah mempunyai susunan asli, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya yang dapat ditetapkan sebagai daerah yang bersifat istimewa.[4] Negara menghormati dan memperhatikan susunan asli daerah tersebut. Namun belum ada bentuk jelas bagaimana daerah istimewa tersebut.
Dalam sidang PPKI konsepnya tidak jauh berbeda. Zelfbesturende landschappen ditegaskan hanya sebagai daerah bukan sebagai negara. Kesitimewaannyapun dikaitkan dengan susunan asli dari daerah tersebut. Demikian pula susunan asli zelfstandige gemeenschappen/Inheemsche Rechtsgemeenschappen seperti negeri di Minangkabau dihormati susunan aslinya. Panitia kecil yang dibentuk PPKI tidak memajukan usul apapun mengenai daerah istimewa.[5] PPKI memutuskan kedudukan daerah istimewa (Kooti – bahasa waktu itu) untuk sementara ditetapkan tidak ada perubahan dan penyelesaian selanjutnya diserahkan pada presiden.[6] Di luar sidang PPKI, Presiden Indonesia menetapkan empat piagam kedudukan untuk empat penguasa Jawa.[7] Daerah istimewa dalam UUD 1945 asli diatur dalam bab VII pasal 18 mengenai pemerintahan daerah.[8] Tidak banyak yang diberikan keterangan dalam pasal tersebut selain persyaratan “hak asal usul” dan istilah “daerah yang bersifat istimewa”.[9] Jika ditilik dari peristilahan maka daerah istimewa pada waktu itu dekat dengan istilah daerah otonomi khusus saat ini. Hanya saja pemberian otonomi khusus tersebut diberikan untuk daerah-daerah yang berstatus “zelfbesturende landschappen dan volksgemeenschappen” pada zaman Hindia Belanda.[10] Sayang tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai daerah-daerah mana saja yang berstatus khusus tersebut.
Istilah daerah istimewa hanya muncul sekali dalam konstitusi RIS. Itupun hanya menyangkut satu daerah yang berstatus sebagai “Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri”.[11] Dalam konstitusi ini muncul istilah Daerah Swapraja sebagai ganti istilah Zelfbesturende landschappen. Ada empat pasal yang mengatur daerah swapraja pada konstitusi tersebut, mulai dari pasal 64-67.[12] Dalam konstitusi tersebut ditegaskan Negara mengakui semua swapraja yang ada. Kedudukan swapraja sangat kuat. Pengaturan daerah swapraja diserahkan pada daerah bagian yang memiliki daerah swapraja tersebut dengan perjanjian politik, bukan dengan Undang-undang daerah bagian. Pengurangan maupun penghapusan wilayah atau kekuasaan daerah swapraja memerlukan kuasa Undang-undang Federal RIS. Semua pejabat Indonesia yang bertugas di daerah swapraja diganti oleh pejabat daerah swapraja yang bersangkutan. Segala perselisihan yang terjadi antara daerah bagian dan daerah swapraja diputus oleh Mahkamah Agung Federal.
Sama seperti Konstitusi RIS, dalam UUD Sementara hanya muncul istilah daerah swapraja. Namun pengaturannya yang berbeda dengan Konstitusi RIS. Dalam UUD ini daerah swapraja diatur dalam pasal 132-133.[13] Kedudukan daerah swapraja diatur dengan Undang-undang, dengan pengertian keinginan daerah swapraja akan dipertimbangkan oleh pemerintah.[14] Pemerintahan di daerah swapraja harus berdasarkan otonomi, permusyawaratan, dan perwakilan rakyat dalam kerangka negara kesatuan. Daerah swapraja dapat dihapus atas perintah Undang-undang. Perselisihan yang terjadi antara pemerintah mengenai undang-undang yang mengatur daerah swapraja dan peraturan pelaksanaannya diadili oleh pengadilan perdata. Semua pejabat daerah bagian RIS diganti dengan pejabat Indonesia.
UUD 1945 Setelah AmendemenPada tahun 2000, melalui Perubahan Kedua UUD, pasal 18 asli diamendemen menjadi pasal 18, 18A, dan 18B. Pengaturan daerah istimewa ditempatkan dalam pasal 18B ayat (1).[15] Istilah yang digunakan juga berbeda menjadi “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa”. Pengaturannya didasarkan pada undang-undang, tanpa merinci syarat suatu daerah istimewa. Selain itu dalam pasal ini dibedakan antara “satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa” dan “satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus”.[16] Konsep pelaksanaan daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah secara umum sebagai pelaksanaan pasal (atau pasal-pasal) mengenai pemerintahan daerah dalam konstitusi. Konsep ini disusun secara kronologis, meliputi UU 22/1948 (UUD 1945 asli), UU 1/1957 (UUD Sementara 1950), UU 18/1965, UU 5/1974, UU 22/1999 (ketiganya UUD 1945 asli), dan UU 32/2004 (UUD 1945 amendemen). UU 22/1948Undang-undang yang mengatur daerah istimewa pertama kali adalah UU 22/1948 mengenai Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah daerah yang telah memiliki pemerintahan sendiri sebelum adanya Republik Indonesia (zelfbestuur)[17] Sedangkan bentuk keistimewaannya adalah terletak pada kepala daerahnya.[18] Kepala daerah istimewa merupakan penguasa monarki.[19] Selain itu dalam daerah istimewa yang terdiri atas gabungan dua zelfbestuur diangkat wakil kepala daerah.[20] Selain itu daerah istimewa memiliki tingkatan daerah istimewa setingkat provinsi, setingkat kabupaten, dan setingkat desa.[17][21] UU 1/1957Undang-undang 1/1957 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah merupakan undang-undang yang disusun sebagai pelaksanaan pasal 131 dan 132 UUD Sementara 1950.[22] Dalam undang-undang ini, syarat utama daerah istimewa adalah daerah yang berkedudukan sebagai daerah swapraja dan dengan mengingat pentingnya posisi daerah tersebut dalam kepentingan nasional dan perkembangan masyarakat.[23] Keistimewaannya tetap berada pada kepala daerahnya.[24].[25] Selain itu dapat pula diangkat wakil kepala daerah.[26] Penetapan daerah swapraja menjadi daerah istimewa sebenarnya pemberian bentuk baru kepada swapraja tersebut sekaligus merupakan penghapusan pemerintahan swapraja itu.[27] UU 18/1965Berbeda dengan dua undang-undang pemerintahan daerah sebelumnya, Undang-undang 18/1965 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah, merupakan titik balik bagi daerah istimewa.[28] Semua daerah swaparaja yang masih ada dihapus.[29] Hanya Aceh dan Yogyakarta yang diakui sebagai daerah istimewa, itupun hanya sampai waktu tertentu.[30] Daerah istimewa tidak diatur dalam bab khusus namun hanya ditempatkan pada aturan peralihan. Pemerintah mendesain untuk menghapuskan daerah istimewa secara pelan namun pasti.[31] Dengan demikian akhirnya semua daerah di Indonesia sama kedudukannya dan hanya ada satu daerah khusus, Jakarta.[32] UU 5/1974Kebijakan pemerintah Orde Baru meneruskan kebijakan dari Orde lama, bahkan lebih sistematis untuk menghapus daerah istimewa. Hanya Daerah Istimewa Yogyakarta yang disebutkan secara tegas dalam aturan peralihan Undang-undang 5/1974.[33] Nama Aceh sebagai daerah istimewa tidak satupun disebut dalam undang-undang tersebut. Alih-alih DKI Jakarta diberi jaminan untuk diatur dengan undang-undang tersendiri.[34] UU 22/1999Walaupun reformasi mulai berjalan namun kedudukan daerah istimewa semakin miris. Penyelenggaraan pemerintahan di semua daerah diberlakukan sama, tidak terkecuali Aceh dan Yogyakarta.[35] Jaminan keistimewaan hanya diletakkan pada penjelasan sehingga kedudukannya tidak sekuat jaminan di dalam pasal-pasal.[36] Hanya DKI Jakarta yang diberi kekhususan sebagai Ibu kota Negara.[37] Selain itu Provinsi Timor Timur juga akan diberi otonomi khusus sebagai opsi untuk mencegah separatisme di daerah bekas koloni Portugis itu.[38].[39] Di sisi lain muncul konsep baru bahwa yang dimaksud daerah istimewa adalah desa, bukan zelfbestuur.[40] Konsep UU 32/2004Pasca perubahan UUD 1945, daerah istimewa tidak sendiri lagi dengan adanya daerah khusus.[41] Walaupun demikian, daerah istimewa hanya diterjemahkan sebagai Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta.[42] Sebagaimana undang-undang pemerintahan daerah semenjak 1965, undang-undang ini pun daerah istimewa hanya diatur dalam bab xiv ketentuan lain-lain pasal 225-227. Undang-undang ini mensyaratkan daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus harus diatur dengan undang-undang tersendiri.[43] Semua ketentuan dalam undang-undang ini, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri, berlaku juga bagi daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus.[44] Dari semua daerah istimewa dan daerah khusus hanya Aceh, DKI Jakarta, dan Papua yang memiliki UU tersendiri.[45] Sementara itu Yogyakarta yang tidak diatur dengan UU tersendiri, harus tunduk pada semua pengaturan undang-undang ini.[46] Dari kenyataan ini keistimewaan Yogyakarta hanya tinggal nama.[47] Konsep teknis daerah istimewa adalah konsep-konsep yang muncul dalam undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah istimewa kasecara khusus sebagai pelaksanaan pasal (atau pasal-pasal) mengenai pemerintahan daerah dalam konstitusi dan dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Konsep teknis ini meliputi UU 44/1999 dan UU 11/2006 untuk Aceh, serta UU 13/2012 untuk DIY. UU 44/1999UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh merupakan undang-undang pertama yang khusus mengatur Aceh. Undang-undang ini termasuk undang-undang pendek, sebab hanya terdiri dari 13 pasal. Dalam undang-undang ini keistimewaan Aceh didefinisikan sebagai kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.[48] Keistimewaan [Aceh] merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan.[49] Adapun penyelenggaraan keistimewaan meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh.[50] Aceh diberi kewenangan untuk mengembangkan dan mengatur keistimewaan yang dimiliki dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[51] UU 11/2006UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan perpaduan harmonis antara UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh. Undang undang ini termasuk undang-undang yang panjang sebab memiliki 273 pasal. Dalam UU ini, tidak ada definisi baru mengenai keistimewaan Aceh. Namun langsung kepada urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh.[52] Selain itu keistimewaan Aceh juga dinikmati oleh Kabupaten dan Kota di lingkungan Aceh.[53] UU 13/2012
UU 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan undang-undang pengakuan kembali keistimewaan Yogyakarta, setelah 47 tahun keistimewaan Yogyakarta mati segan hidup tak mau. Undang undang ini termasuk undang-undang yang menengah, berisi 51 pasal dan termasuk salah satu undang-undang yang terlama pembahasannya (2007-2012). Versi resmi dari pemerintah meliputi versi 2007 (Depdagri-JIP UGM) dan versi 2010. Keistimewaan Yogyakarta didefinisikan sebagai keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Kewenangan Istimewa merupakan wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Sebagaimana DKI Jakarta, kewenangan istimewa DIY terletak pada level provinsi.[54] Kewenangan istimewa DIY meliputi:
DIY diberikan kewenangan untuk mengatur urusan keistimewaan dengan Perdais (Peraturan Daerah Istimewa).[55] Daerah-daerah istimewa di Indonesia adalah daerah maupun entitas hukum yang memiliki status istimewa di wilayah Indonesia, baik karena hak asal-usulnya maupun sejarahnya, baik yang dibentuk maupun hanya sekadar diakui, baik oleh Negara Indonesia maupun oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Aceh (1959-sekarang)Aceh adalah daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.[56] Aceh menerima status istimewa pada 1959, tiga tahun setelah pembentukan kembali pada 1956.[57], dan sepuluh tahun sejak pembentukan pertama 1949.[58] Status istimewa diberikan kepada Aceh dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959, yang isi keistimewaannya meliputi agama, peradatan, dan pendidikan. Namun pelaksanaan keistimewaan tidak berjalan dengan semestinya dan hanya sebagai formalitas belaka.[59] Pasca penerbitan UU 44/1999 keistimewaan Aceh meliputi penyelenggaraan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama, meliputi: ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.[60] Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan adat meliputi Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat Aceh (misal Majelis Adat Aceh, Imeum mukim, dan Syahbanda).[61] Keistimewaan di bidang pendidikan meliputi penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam serta menyelenggarakan pendidikan madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah.[62] Keistimewaan di bidang peran ulama meliputi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Kabupaten/Kota yang memiliki tugas dan wewenang untuk memberi fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.[63] Berau (1953-1959)Daerah Istimewa Berau adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Berau dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Berau terdiri atas swapraja Sambaliung dan swapraja Gunung-Tabur. Keistimewaan Daerah Istimewa Berau meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Berau dijabat oleh Sultan Muhammad Amminuddin. Daerah Istimewa Berau dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Berau di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Bulongan (1953-1959)Daerah Istimewa Bulongan adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Bulongan dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Bulongan terdiri atas swapraja Bulongan. Keistimewaan Daerah Istimewa Bulongan meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Bulongan dijabat oleh Sultan Maulana Muhammad Jalaluddin, sampai mangkat dia pada 1958. Daerah Istimewa Bulongan dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Bulongan di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Bulongan, yang meliputi kabupaten-kabupaten Bulungan, Malinau, Nunukan, Tana Tidung, dan Kota Tarakan, dibentuk satu provinsi, Provinsi Kalimantan Utara pada 17 November 2012, terpisah dari Provinsi Kalimantan Timur. Kalimantan Barat (1946-1950)Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah satuan kenegaraan yang tegak sendiri dalam lingkungan Republik Indonesia Serikat yang berkedudukan sebagai daerah istimewa. Daerah Istimewa Kalimantan Barat dibentuk oleh Pemerintah Sipil Hindia Belanda pada 28 Oktober 1946 sebagai Dewan Borneo Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada 12 Mei 1947[64] Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi Swapraja Sambas, Swapraja Pontianak, Swapraja Mampawah, Swapraja Landak, Swapraja Kubu, Swapraja Matan, Swapraja Sukadana, Swapraja Simpang, Swapraja Sanggau, Swapraja Tayan, Swapraja Sintang, Neo-swapraja Meliau, Neo-swapraja Pinoh, dan Neo-swapraja Kapuas Hulu.[65] Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat adalah Sultan Swapraja Pontianak, Sultan Hamid II.[64] Sebelum 5 April 1950 Satuan Kenegaraan Yang Tegak Sendiri Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Bagian Republik Indonesia (RI-Yogyakarta).[66] Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan.[67] Kini wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat menjadi Provinsi Kalimantan Barat yang telah dibentuk pada tahun 1956.[68] Kutai (1953-1959)Daerah Istimewa Kutai adalah daerah istimewa setingkat kabupaten di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan. Daerah Istimewa Kutai dibentuk oleh negara Indonesia dengan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan karena hak asal usul yang dimilikinya. Daerah Istimewa Kutai terdiri atas swapraja Kutai. Keistimewaan Daerah Istimewa Kutai meliputi pengangkatan Kepala Daerah Istimewa. Kepala Daerah Istimewa Kutai dijabat oleh Sultan A.M. Parikesit. Daerah Istimewa Kutai dihapus dengan UU 27/1959 tentang Penetapan UU Darurat 3/1953 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II di Kalimantan. Daerahnya dijadikan Kabupaten Kutai, Kota Balikpapan, dan Kota Samarinda di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur. Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Kutai meliputi Kabupaten Kutai Kertanegara, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, dan Kota Bontang di dalam lingkungan Provinsi Kalimantan Timur.[69] Surakarta (1945-1946)Daerah Istimewa Surakarta adalah Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran yang diakui Negara Indonesia sebagai daerah yang memiliki sifat istimewa berdasarkan kedudukan kedua daerah tersebut sebagai Kooti. Pengakuan ini didasarkan atas Piagam Penetapan Presiden RI tertanggal 19 Agustus 1945. Karena perselisihan kedua kerajaan yang ada, Kepala Daerah Istimewa dipegang oleh Komisaris Tinggi yang dijabat oleh Gubernur RP Suroso.[70].[71], yang kemudian Gubernur Suryo.[72].[73] Karena berbagai alasan, baik persaingan dua kerajaan, politik, keamanan, Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 16/SD/1946 pada 15 Juli 1946, yang pada pokoknya berisi mengenai bentuk dan susunan pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta, yang satu di antaranya menjadikan Daerah Istimewa Surakarta sebagai Karesidenan biasa dibawah Pemerintah Pusat.[74] Kini wilayah bekas Daerah Istimewa Surakarta, yang meliputi Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Klaten, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen, Kabupaten Karanganyar, dan Kabupaten Wonogiri, serta Kota Surakarta, menjadi bagian Provinsi Jawa Tengah, yang dibentuk pada 1950.[75] Yogyakarta (1945-sekarang)Daerah Istimewa Yogyakarta, selanjutnya disebut DIY, adalah daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.[76] Keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal usul.[77] menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa.[78] Kewenangan Istimewa adalah wewenang tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain wewenang sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.[79] Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan daerah istimewa sejak pembentukannya secara de jure tahun 1950,[80] maupun sejak pengakuannya secara de facto pada 1945.[81] Dalam undang-undang pembentukan DIY,[80] DIY berkedudukan hukum sebagai daerah istimewa setingkat provinsi. Sedang keistimewaannya terletak pada pengangkatan kepala daerah istimewa dan wakil kepala daerah istimewa dari Sultan dan Paku Alam yang bertahta. Namun, bentuk keistimewaan DIY tidak dicantumkan dalam undang-undang pembentukan tetapi hanya dalam undang-undang pemerintahan daerah yang mengatur semua daerah di Indonesia secara umum.[82] Dengan realitas ini, pada tahun 1965 kedudukan hukum DIY diturunkan menjadi daerah provinsi biasa.[83], dan akhirnya pada tahun 1999 dan 2004 keistimewaan DIY memasuki wilayah kekosongan hukum.[84] Pasca penerbitan UU 13/2012, keistimewaan DIY meliputi (a). tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; (b). kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; (c). kebudayaan; (d). pertanahan; dan (e). tata ruang.[85] Keistimewaan dalam bidang tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur antara lain syarat khusus bagi calon gubernur DIY adalah Sultan Hamengkubuwana yang bertahta, dan wakil gubernur adalah Adipati Paku Alam yang bertahta. Gubernur dan Wakil Gubernur memiliki kedudukan, tugas, dan wewenang sebagaimana Gubernur dan Wakil Gubernur lainnya, ditambah dengan penyelenggaran urusan – urusan keistimewaan.[86] Keistimewaan dalam bidang kelembagaan Pemerintah Daerah DIY yaitu penataan dan penetapan kelembagaan, dengan Perdais, untuk mencapai efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan asli.[87] Keistimewaan dalam bidang kebudayaan yaitu memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY, yang diatur dengan perdais.[88] Keistimewaan dalam bidang pertanahan yaitu Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.[89] Keistimewaan dalam bidang tata ruang yaitu kewenangan Kasultanan dan Kadipaten dalam tata ruang pada pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten.[90]
Wacana untuk menjadikan provinsi Sumatra Barat sebagai Daerah Istimewa telah digulirkan sejak tahun 2014 oleh sejumlah tokoh Minang, hal ini didorong oleh fakta bahwa Provinsi Sumatra Barat memiliki keunikan dalam hal kepemerintahan daerah; berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia yang menggunakan sistem pemerintahan desa, di Sumatra Barat berlaku sistem pemerintahan nagari, dengan sistem administratif dan kepemimpinan yang berbeda pula. Selain itu, statusnya sebagai satu-satunya provinsi yang memakai sistem kekerabatan matrilineal dan adat berlandaskan Islam juga dipertimbangkan. Wacana ini masih menjadi perdebatan, terutama karena penamaannya yang bersifat etnis, bukannya administratif, terkait dengan status Mentawai yang secara administratif termasuk wilayah Sumatra Barat, tetapi secara etnis bukanlah bagian dari Minangkabau.[91][92][93][94] BaliProvinsi Bali telah berjuang sejak lama memperoleh status Daerah Istimewa. Ada beberapa faktor yang mendorong wacana ini; Pertama, karakteristik daerah yang menjadi satu kesatuan agama, geografis, budaya, ekonomi dan sosial. Kedua, pengembangan wisata alam dan budaya dijiwai agama Hindu. Ketiga, hampir semua aspek kehidupannya, baik sistem sosial dan ekonomi dilandasi agama Hindu, demikian pula dengan hukum adat yang disebut awig-awig, wajib dipegang teguh oleh masyarakat di dalam desa adat. Namun, pada Februari 2019, Kementerian Dalam Negeri menolak usulan Daerah Istimewa ini.[95][96]
|