Ketua LP MA arif yang pertama kali yakni pada tahun 1928 1938 adalah

Ketua LP MA arif yang pertama kali yakni pada tahun 1928 1938 adalah

Yogyakarta, maarifdiy.com. Dalam diskusi yang singkat namun bernas, Ketua LP Maarif NU Pusat, Dr. K.H. Arifin Junaidi memberi 4 (empat) pesan yang bersifat instruktif.

Pesan pertama, lambang pengurus LP Ma’arif mengacu pada nama yang benar, yakni LP Ma’arif NU di bawah logo NU. Logo NU yang dimaksud adalah simbol globe yang dilingkari tali tersimpul, dikitari oleh 9 (sembilan) bintang, 5 (lima) bintang terletak melingkari di atas garis katulistiwa, yang terbesar di antaranya terletak di tengah atas, sedang 4 (empat) bintang lainnya terletak melingkar di bawah katulistiwa, dengan tulisan nahdlatul ulama dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia ke sebelah kiri. Semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau. Adapun tulisan LP Ma’arif NU berada di bawah logo tersebut. Berikut adalah contoh lambang LP Ma’arif NU yang dimaksud.

Ketua LP MA arif yang pertama kali yakni pada tahun 1928 1938 adalah

Gambar: Logo LP Ma’arif NU terbaru, sejak Oktober 2015

Pesan kedua, “Nama atau identitas  pengurus di bawah lambang secara lengkap, mengacu pada nama dan pemaknaan yang benar. LP Ma’arif NU adalah nama, pengurus melekat pada nama, dan wilayah kewenangan ada setelah nama, yakni pusat-wilayah-cabang. Dengan demikian, nama yang benar adalah “Pengurus LP Maarif NU Wilayah DIY atau Pengurus LP Ma’arif NU Cabang Gunung Kidul.” Dengan ini, nama atau identifitas lama seperti Pengurus Wilayah LP Ma’arif NU DIY diperbaiki karena tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan yang benar. “Pemenggalan berdasarkan logika kebahasaan yang benar adalah Pengurus    LP Ma’arif NU    Wilayah DIY.  Arti yang dikandung adalah Pengurus X Cabang Y, karena yang diurusi adalah LP maarif bukan wilayah. Oleh karena itulah, sebutan untuk pusat adalah Pengurus LP Maarif NU Pusat bukan Pengurus Pusat LP Maarif NU,” demikian penuturan Ketua LP Ma’arif NU Pusat.

Pesan ketiga, “Adakan rapat pengurus secara rutin. Pengurus LP Ma’arif NU Pusat rapat setiap hari Rabu. Semua pengurus diharapkan meluangkan waktu pada hari dan jam yang telah ditentukan.” Pesan ini mengandung instruksi, yakni agar pengurus LP Maarif NU benar-benar meluangkan waktu khusus untuk mengurus pendidikan maarif secara serius. Rapat rutin menunjukkan keseriusan dan berpengaruh pada keberlanjutan program. Setiap program yang dibuat perlu direalisasikan secara sungguh-sungguh.

Pesan keempat, “Sumbangkanlah keahlian dan pengalaman para kader semua untuk pendidikan Ma’arif.” Pesan ini juga mengandung instruksi bahwa semua kader Ma’arif memiliki tugas untuk membesarkan pendidikan LP Ma’arif NU yang di wilayahnya masing-masing. Adapun pengurus, dapat menggali potensi dari mana pun di bawah LP Ma’arif NU. Para guru, dosen, praktisi, tokoh masyarakat, dan ahli dapat berperan-serta membesarkan pendidikan di lingkungan LP Ma’arif NU melalui pintu koordinasi dengan pengurus. Demikian pean-instruktif dari Ketua LP Ma’arif NU Pusat, Dr. K.H. Z. Arifin Junaidi untuk diindahkan oleh seluruh pengurus LP Maarif NU beserta warganya. (Admin 2)

Keberadaan Lembaga Pendidikan Ma‘arif Nahdlatul Ulama’ (LP. Ma’arif NU) di mulai dari pertemuan KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Mahfudz Shiddiq dan KH. Abdullah Ubaid, pada awal September 1929 bertempat di kantor Hoof Bestur Nahdlatul Oelama Jl. Bubutan Kawatan Surabaya, menjelang di laksanakannya Muktamar NU ke-4 di Semarang.

Pertemuan itu di adakan atas perintah Rais Akbar NU Hadratussysyaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari, merespons permintaan KH. A. Wahab Hasbullah yang mengusulkan agar ada badan khusus di tubuh Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang menaungi dan menangani bidang pendidikan.

Selain itu, KH. A. Wahab Hasbullah juga menyampaikan pemikirannya agar inovasi dalam bidang pendidikan yang di rintis Wahid Hasyim di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang di terapkan pesantren lain, dengan demikian kemandirian dalam mendidik dan kualitas pendidikan meningkat.

Sesuai dengan kelahiran NU untuk mempertahankan dan mengembangkan ahlusunnah waljama’ah (ASWAJA) serta membentuk akhlak umat dan bangsa diharapkan terwujud melalui badan khusus tersebut.

Karena itulah KH. M. Hasyim Asy‘ari meminta agar Wahid Hasyim menyampaikan pokok-pokok pikirannya kepada KH. Mahfudz Shiddiq dan KH. Abdullah Ubaid, yang merupakan dua aktifis dan motor penggerak Nahdlatul Ulama’ pada saat itu.

KH. Abdul Wahid Hasyim

Pada saat itu, KH. Abdul Wahid Hasyim belum aktif di NU, sedangkan Mahfudz Shiddiq dan Abdullah Ubaid sudah masuk dalam jajaran pengurus HBNO. Namun demikian Wahid Hasyim (lahir 1 Juni 1914), putra Rais Akbar NU Hadratussysyaikh KH. Hasyim Asy‘ari, yang saat itu berusia 15 tahun dan sudah merintis pendidikan yang memadukan pola pengajaran pesantren dengan pelajaran umum.

Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain Bahasa Arab, murid juga di ajari Bahasa Inggris dan Belanda yang di kuasai oleh KH. A. Wahid Hasyim secara otodidak. Kemudian Pada tahun 1932 dalam usia 18 tahun ia menuntut ilmu ke Makkah, sekembalinya ke tanah air yakni pada tahun 1935, gebrakan baru pada masa itu dalam dunia pendidikan di wujudkannya menjadi Madrasah Nidzamiyah.

Perhatian Wahid Hasyim kepada pendidikan sangat besar. Hal tersebut terbukti pada tahun 1944 Wahid Hasyim mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengelolaannya diserahkan kepada KH. A. Kahar Muzakkir.

Saat menjabat Menteri Agama pada tahun 1950 Wahid Hasyim mengeluarkan peraturan berdirinya Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang menjadi cikal bakal terbentuknya Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Islam Negeri (UIN) sekarang.

Selain itu, KH. A. Wahid Hasyim juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah tertanggal 20 Januari 1950, yang mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama di lingkungan sekolah umum, baik negeri maupun swasta, mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama di Malang, Banda-Aceh, Bandung, Bukittinggi, dan Yogyakarta, serta mendirikan Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) di beberapa daerah yakni Tanjungpinang, Banda-Aceh, Padang, Jakarta, Banjarmasin, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan, dan Salatiga.

Wahid Hasyim juga mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk mendirikan masjid Negara yang kemudian di beri nama Masjid Istiqlal. Pada 19 April 1953 dalam usia yang relatif muda, 39 tahun, KH. Abdul Wahid Hasyim meninggal dunia dalam kecelakan kendaraan bermotor di Cimindi Jawa Barat.

KH. Abdullah Ubaid

Tokoh lain yang wafat seusia adalah Abdullah Ubaid. Seperti halnya Wahid Hasyim, tokoh yang lahir pada tahun 1899 ini termasuk sosok yang telah menunjukkan keistimewaannya sejak muda. Sosok ulama yang satu ini di golongkan sebagai salah seorang tokoh pemuda yang mendahului zamannya. Pendidikan formal pertama di dapatnya dari Madrasah Al Chairiyah.

Setamat dari madrasah tersebut, Abdullah Ubaid kembali ke Pasuruan dan kemudian pada usia 14 tahun dikirim ke Tebuireng, untuk meneruskan pendidikan pada Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy‘ari.

Sekembalinya dari PP. Tebuireng, tahun 1919 dia di angkat menjadi guru di Madrasah Nahdlatul Wathan dan juga di minta mengajar di Madrasah Al Chairiyah, yang bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Arab.

Abdullah Ubaid mampu memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Nahdlatul Wathan, ketika ia berperan di dalamnya baik sebagai guru maupun sebagai penggeraknya yang dapat membuka cabang-cabang di beberapa kota di luar Surabaya.

Bersama Mahfudz Siddiq dan Thohir Bakri, Selain sebagai pendiri LP. Ma’arif NU, Abdullah Ubaid juga tercatat sebagai pendiri Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Organisasi tersebut semula bernama Syubbanul Wathan yang di dirikan pada 1924.

Peran utama Ansor pada saat itu, adalah mendidik dan membangkitkan semangat pemuda untuk bersama-sama dengan kekuatan bangsa lainnya serta mempersatukan kekuatan pemuda untuk memperjuangkan hak-haknya yang terjajah di negerinya sendiri.

Abdullah Ubaid juga dikenal sebagai tokoh pendidikan, sebagaimana ditulis Wahid Hasyim dalam artikel yang berjudul “Abdullah Ubaid Sebagai Pendidik‖ yang dimuat di majalah yang diterbitkan Lembaga Pendidikan Ma’arif “Suluh NU”, Agustus 1941, Th. I No. 5. Pada 8 Agustus 1938. Abdullah Ubaid wafat karena sakit yang ia derita sejak kecelakaan kendaraan bermotor yang di alaminya usai mengikuti Muktamar NU ke-13 pada Juni Tahun 1938 di Menes, Banten, Provinsi Jawa Barat.

KH. Mahfudz Shiddiq

Pada saat belajar/nyantri di PP Tebuireng Jombang, Abdullah Ubaid bertemu dan berteman akrab dengan Mahfudz Siddiq dari Jember, seorang pemuda yang di kemudian hari dikenal sebagai penggerak NU lewat majalah dan organisasi kepemudaan.

Pada masa remajanya, KH. Mahfudz Shiddiq merupakan seorang aktivis dan organisatoris yang sangat piawai. KH. Mahfudz Shiddiq yang pernah menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PBNU, Rais PBNU, merupakan Perumus Konsep Mabadi Khaira Umah, Perintis Gerakan Muawanah, serta Pemimpin Majalah Berita Nahdlatul Ulama.

Mahfudz Shiddiq juga seorang penulis, ia menulis buku berjudul “Ijtihad dan Taqlid untuk Rekonsiliasi”. Wataknya sebagai pendidik sangat kentara sekali sepanjang masa hidupnya.

Mahfud Shiddiq juga suka berpenampilan necis dan rapi. Wawasan pemikirannya amat sangat luas dan modern, baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum. Sebagaimana dua sahabatnya itu, KH. Mahfudz Shiddiq lahir pada tahun 1906 dan meninggal pada tahun 1944, dalam usia muda, yakni usia 38 tahun.

Pertemuan KH. Abdul Wahid Hasyim, KH. Mahfudz Shiddiq dan KH. Abdullah Ubaid, pada awal September Tahun 1929 di kantor HBNO Jl. Bubutan Kawatan Surabaya itu, membuahkan hasil perlunya di bentuk lembaga/bagian di HBNO yang khusus mengurusi pendidikan, yang di beri nama Ma‘arif.

Usulan pembentukan Ma‘arif itu disahkan pada tanggal 19 September Tahun 1929 saat Muktamar NU ke-4 yang di laksanakan pada tanggal 17 s/d 20 September 1929 di Semarang. HBNO Hasil Muktamar Semarang menunjuk KH. Abdullah Ubaid sebagai Ketua Ma‘arif (pendidikan).

*) Dikutip dari beberapa sumber

Admin