ABU JA’FAR AL-MANSURA.Riwayat Abu Ja’far al-MansurAbu Ja’far dilahirkan di kota Humayyah (Hamimah)Yordaniyah 101 H/712 M, merupakan khalifah kedua BaniAbbasiyah. Ibu beliau bernama Salamah al-Barbariyah, wanitadari suku Barbar. Dan ayahnya bernama Muhammad bin Alibin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Abu Ja’far selalumendapat anugrah kemenangan dalam setiap peperanganmelawan Bani Umayyah dan kerusuhan-kerusuhan kaumpemberontak di dalam negri dan dalam menekan imperiumBizantium. Oleh karena itu ia diberi gelar “al-Mansur” (orangyang mendapat pertolongan Allah). Sebutan al-Mansur sendiriadalah gelar takhta yang ditambahkan kepada nama aslinya.Gelar takhta itu ternyata lebih populer dan mudah dikenaldaripada nama aslinya, ini menjadi semacam tradisi dalamkholifahan Dinasti Abbasiyah, seperti as-Saffah untuk AbuAbbas, al- Rasyid untuk Harun, al-Imam, al-Makmun, dll. Al-Mansur memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas, danmemiliki pemikiran cemerlang. Dalam usia 36 tahun, ia telahmenjadi kholifah menggantikan kedudukan Abu Abbas as-Saffah yang telah wafat. Di usiayang begitu muda, ia tampil ke depan menyelesaikan berbagai persoalan yang tengahmelanda kekuasaannya. Keberhasilannya dalam mengatasi persoalan-persoalan dalam negeriDinasti Abbasiyah, membawa harum Bani Abbas dan memperkuat dasar pemerintahan DinastiAbbasiyah.Selain itu, al-Mansur juga dikenal sebagai seorang khalifah yang agung, tegas,bijaksana, alim, berpikiran maju, pemerintahannya rapi, disegani, dan seorang pemberani.Keberaniannya ini diperlihatkan dengan kemampuannya mengatasi pemberontak-pemberontak yang terjadi, diantaranya adalah pemberontakan yang dilakukan oleh pamannya,yaitu Abdullah bin Ali. Khalifah Abu Ja’far al-Mansur juga dikatakan sebagai bapakpembangunan daulah Bani Abbasiyah, karena beliaulah sebenarnya untuk pertama kali yangmembuat dan mengatur politik pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah. Jalur-jalur administrasipemerintah mulai dari pusat sampai daerah-daerah ditata dengan baik antara kepala qadhi,kepala jawatan pajak, kepala polisi rahasia, dan kepala jawatan pos. Dengan demikian,maka pemerintahan pada masa kholifah Abu Ja’far al-Mansur menjadi tertib dan lancar,sehingga pemerintahannya menjadi kokoh, maju, dan berhasil membawa umatIslamkemasa kejayaan. Abu Ja’far al-Mansur sangat besar jasanya dalam mengembangkan kebudayaan danperadaban Islam. Beliau adalah seorang yang cinta ilmu pengetahuan. Melalui kekuasaan danhartanya, dia memberikan dorongan dan kesempatan yang luas bagi para cendekiawan untukmengembangkan riset ilmu pengetahuan. Buku-buku yang dihasilkan oleh bangsa Romawiyang telah dilupakan, diperintahkan untuk dikumpulkan kembali, kemudian diterjemahkankedalam bahasa Arab. Ilmu falak dan ilmu filsafat mulai digali dan dikembangkan dipemerintahannya. Abu Ja’far al-Mansur menjabat sebagai kholifah selama 22 tahun (136-158H/754-775 M). dan beliau wafat dalam perjalanan ketika hendak menunaikan ibadah haji di1 | P a g e Bir Maimun (Makkah) pada usia 63 tahun, jenazah Upload your study docs or become a Course Hero member to access this document Upload your study docs or become a Course Hero member to access this document End of preview. Want to read all 4 pages? Upload your study docs or become a Course Hero member to access this document Foto diambil dari wikidata
KLIKMU CO- Oleh: Kyai Mahsun Djayadi* Nama lengkapnya adalah : Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Bin Ali Bin Abdillah Bin Abbas bin Abdul Muthallib, al-Mansur. Beliau lebih popular dengan panggilan Abu Ja’far Al-Mansur. Atau juga dipanggil singkat “Al-Mansur” saja. Abu Ja’far al-Mansur, dilahirkan pada tahun 101 H., di al-Humaymah, kampung halaman keluarga Abbasiyah setelah migrasi dari Hejaz pada tahun 687-688. Ayahnya adalah, Muhammad, cicit dari Abbas; ibunya bernama Salamah al-Barbariyah, adalah wanita dari suku Barbar. Abu Ja’far al-Mansur dibaiat sebagai khalifah karena penobatannya sebagai putera mahkota oleh kakaknya, As-Safah pada tahun 754, dan berkuasa sampai 775. Pada tahun 762 ia mendirikan ibu kota baru dengan istananya “Madinatus Salam”, yang di kemudian hari menjadi kota Baghdad. Abu Ja’far Al-Mansur (101-158 H/732-775 M) menyatakan, sebagaimana yang telah ditempuh Khilafah Bani Umayyah, menyelenggarakan otoritas keagamaan dan keduniawian. Dalam usia 36 tahun, Al-Mansur telah menjadi khalifah menggantikan kedudukan Abul Abbas al-Safah yang telah wafat.15 Sep 2013.
Al-Mansur memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas, dan memiliki pemikiran cemerlang. Dalam usia 36 tahun, ia telah menjadi khalifah menggantikan kedudukan Abul Abbas al-Safah yang telah wafat. Di usia yang begitu muda, ia tampil ke depan menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah melanda pemerintahan dinasti Abbasiyah. Keberhasilannya dalam mengatasi persoalan-persoalan dalam negeri dinasti Bani Abbasiyah, membawa harum nama Bani Abbas dan memperkuat dasar pemerintahan dinasti Abbasiyah. Karena itu, Al-Mansur berhasil membangun kekuasaan dan memantapkannya dengan berbagai strategi politik dengan menyusun peraturan-peraturan, undang-undang, dan sebagainya. Pada masa al-Manshur ini, konsep khalifah mengalami perubahan secara substantif. Dia memaknai khalifah adalah penerima mandat kuasa dari Allah swt, untuk dunia ini. Pada suatu saat dia berkata: “Innama annii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)”. Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekadar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa’ al-Rasyiduun. Di samping itu, berbeda dari daulat Bani Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai “gelar takhta”, seperti al-Manshur, dan belakangan gelar takhta ini lebih populer daripada nama yang sebenarnya. IBRAH DARI KISAH INI: Abu Ja’far al-Mansur, yang lebih akrab dengan panggilan “Al-Mansur” merupakan sosok yang cukup fenomenal. Lahir dari keluarga (dzurriyyah Abbas bin Abdul Muthallib) sungguh telah mewarisi beberapa sifat positif dari kakeknya. Al-Mansur menjadi khalifah kedua dari dinasti Abbasiyah, dalam situasi politik yang “panas” sehingga ia harus melakukan sejumlah kebijakan politik untuk mengokohkan dinasti yang baru berdiri ini. Ia harus berani mengambil sikap tegas meskipun beresiko tinggi. Ia benar-benar telah keluar dari zona aman, siap menghadapi berbagai persoalan baik internal dinasti maupun eksternal dinasti. Dalam perjalanan sejarah manusia, jika ingin sukses menjadi pemimpin yang sebenarnya, maka di samping bakat kepemimpinan, juga harus didukung oleh kecerdasan, kejujuran, dan berbudi luhur. Juga harus berani melakukan perubahan secara radikal dan siap menanggung resiko akibat kebijakannya itu. *Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya |