Pemberian grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti merupakan amanat dari Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), yang selengkapnya menyebutkan sebagai berikut:
Grasi dan Rehabilitasi Adanya syarat Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (“MA”) adalah agar terdapat check and balances antara eksekutif dan yudikatif. Jadi setiap pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan MA karena grasi mengenai atau menyangkut putusan hakim. Presiden juga berhak untuk mengabulkan atau menolak grasi yang telah mendapatkan pertimbangan dari MA.[2] Grasi pada praktiknya diberikan atas dasar alasan kemanusiaan termasuk kesehatan, pembatasan setahun sejak inkracht dan hanya sekali, selain alasan kemanusiaan grasi juga dapat diberikan juga atas dasar pemohon sudah berkelakuan baik dan menjadi teladan bagi narapidana yang lain. Sementara itu, pengertian rehabilitasi menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah sebagai berikut: Hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Rehabilitasi dapat diberikan kapan saja yang semata-mata bertujuan untuk keadilan. Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan.[3] Sementara itu, permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP.[4] Sama seperti grasi, rehabilitasi pada intinya untuk kepentingan masyarakat dan untuk misi kemanusiaan, rehabilitasi juga diajukan kepada Presiden dengan memperhatikan pertimbangan MA agar terdapat check and balances antara eksekutif dan yudikatif. Amnesti dan Abolisi Pengertian amnesti menurut M. Marwan dan Jimmy P. dalam Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition (hal. 41) adalah: Pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana. Abolisi menurut Marwan dan Jimmy dalam buku yang sama (hal. 10) adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi (“UU 11/1954”), menyebutkan bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan. Sementara dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan. Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa kewenangan Presiden dalam membuat keputusan terkait dengan abolisi dan amnesti harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), hal ini bertujuan agar tidak ada penyalahgunaan. Di dalam Pasal 71 huruf i Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU MD3”) disebutkan bahwa: DPR berwenang memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi. Pada dasarnya fungsi DPR di sini sebagai pengontrol kebijakan pemerintah dalam rangka mewujudkan check and balances antar lembaga negara. DPR sebagai representatif dari rakyat untuk mengawasi kinerja pemerintah dalam mengambil kebijakan. Dalam pelaksanaannya amnesti diberikan hanya pada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana politik. Amnesti dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana politik sebelum maupun sesudah dilakukan penyidikan ataupun sebelum maupun yang sudah mendapat putusan dari pengadilan. Simak juga artikel Amnesti, Rehabilitasi, Abolisi, dan Grasi. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Referensi: M. Marwan dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition. Surabaya: Reality Publisher. Dasar Hukum: [1] Pasal 2 ayat (2) dan (3) UU 5/2010 [2] Pasal 4 ayat (1) UU 5/2010 [3] Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP [4] Pasal 97 ayat (3) KUHAP
Tentang DPR
Terkait dengan fungsi legislasi, DPR memiliki tugas dan wewenang:
Terkait dengan fungsi anggaran, DPR memiliki tugas dan wewenang:
Terkait dengan fungsi pengawasan, DPR memiliki tugas dan wewenang:
Tugas dan wewenang DPR lainnya, antara lain:
PERTIMBANGAN ATAU NASIHAT HUKUM MAHKAMAH AGUNG Sebagai badan peradilan tertinggi, Mahkamah Agung memiliki fungsi yang berkenaan dengan teknis yudisial dan no teknis yudisial. Dalam bidang teknis non yudisial, Mahkamah Agung, salah satunya, berfungi sebagai lembaga yang memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya. Selain itu, Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung). Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang. Dalam sejarahnya, Ketua Mahkamah Agung telah melaksanakan fungsi penasihatan/pertimbangan kepada lembaga tinggi negara lainnya melalui sejumlah Fatwa resmi dan tertulis, sebagai berikut:
|