Malu merupakan bagian dari iman karena sifat malu dapat mendorong perbuatan yang

Salah satu akhlak yang mulia yang merupakan bentuk ketaatan seorang muslim dan sebagai salah satu wujud rasa syukur kepada Allah Ta’ala adalah rasa malu kepada Allah. Allah Ta’ala telah memberikan segala nikmat yang pasti tak dapat terhitung dan Allah Ta’ala yang menghilangkan segala hal yang menyulitkan dirinya. Hendaknya seorang muslim memiliki rasa malu kepada Allah, karena ibadah yang dia lakukan sangat tak sebanding dengan nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya.

Sifat malu sangat penting karena malu merupakan bagian dari iman. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ

“Iman itu bercabang tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih, yang paling utama adalah kalimat la illaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan, dan malu termasuk cabang dari iman.” (HR. Bukhari & Muslim)

Rasa malu disebut bagian dari iman karena malu menjadi pengendali bagi seorang muslim untuk senantiasa berada dalam kebaikan dan berpaling dari segala keburukan atau maksiat. Sebagaimana halnya dengan iman yang senantiasa mendorong seorang mukmin untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ

“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (HR. Bukhari & Muslim)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ

“Malu itu seluruhnya kebaikan.” (HR. Bukhari & Muslim dari Sahabat ‘Imran bin Husain)

Betapa malu adalah akhlak yang mulia. Karena itu, ketika ada salah seorang sahabat radhiyallahu ‘anhu yang menasehati saudaranya ketika merasa malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ

“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.” (HR. Bukhari & Muslim)

Malu merupakan Rasulullah Muhammad sallallahu’alaihi wasallam, teladan bagi setiap muslim. Beliau adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.

وعَن أَبِي سعيدٍ الخدريّ رضى الله عنهُ قال: كان رسول الله صلّى الله ليه وسلّم أشدّ حياءٍ من العذراء في خدرها، فاِذ راءى شيئاً يكلرهه عرفناه في وجهه. متفقٌ عليه.

Dari Abu Said al-Khudri –radhiyallahuánhu-, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu álaihi wasallam itu lebih merasa malu daripada seorang gadis yang ada dalam ruang pingitannya. Maka apabila beliau melihat sesuatu yang tidak beliau sukai kami mengetahuinya pada wajahnya. (HR. Bukhari-Muslim)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), karena hujan merupakan sumber kehidupan bagi bumi, tanaman-tanaman, dan hewan-hewan ternak. Maka dengan begitu dapat disebutkan bahwa kehidupan dunia dan kehidupan akhirat dinamai dengan al-hayaa’. Barang siapa yang tidak memiliki malu dalam dirinya maka dia adalah mayat di dunia dan kesengsaraan di akhirat.

Al-Junaid rahimahullah berkata, “Rasa malu yaitu memperhatikan kenikmatan dan pelanggaran, sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[Madarijus Salikin (II/270). Lihat juga Fathul Bari (X/522) tentang definisi malu.]

Malu Baik dan Malu Buruk

Malu terbagi menjadi dua, yakni malu yang terpuji dan malu yang tercela. Malu yang terpuji adalah malu untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Malu ini bisa digolongkan malu kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya”. “Kami sudah malu wahai Rasulullah”, jawab para sahabat. Nabi bersabda,

لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ

“Bukan demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi dll, dinilai hasan karena adanya riwayat-riwayat lain yang menguatkannya oleh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 935)

Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat, serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.

Rasa malu terpuji selanjutnya adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.

Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang atau pun saat sendiri tanpa siapa pun yang menyertai.

Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari pengenalan terhadap Allah dan keagunganNya. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.

Adapun malu yang tercela adalah malu di hadapan manusia ketika menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Misalnya, malu untuk menyampaikan kebenaran dan menuntut ilmu, atau pun dalam menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran, malu memakai jilbab yang syar’i, dan malu mencari nafkah untuk keluarga karena dirinya bukan seorang bos.

Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Sementara perbuatan ini masih disebut malu, karena menyerupai malu yang disyari’atkan.” Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidak-berdayaan. [Lihat Qawa’id wa Fawaid (hal. 182)]

Suatu kali ketika Umar radhiyallahu ‘anhu berkutbah lalu membatasi mahalnya mas kawin, maka seorang perempuan menyampaikan kepadanya, ”Apakah ketika Allah memberikan kepada kami, kemudian Anda akan menghalangi hak bagi kami, hai Umar! Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, ”Dan kamu berikan kepada salah seorang perempuan itu harta yang banyak, maka janganlah kamu mengmbilnya sedikitpun.” Rasa malu tidak menghalangi ibu itu untuk membela hak kaumnya. Begitu pula Umar radhiyallahu ‘anhu tidak terhalangi juga untuk menyampaikan mohon maaf atas kekeliruannya. “Setiap manusia adalah lebih pandai dari Umar.” [Atsar ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Al-Kubro (7/233), At-Thahawi dalam Musykilul Atsar (4427), sanadnya dinilai kuat oleh As-Sakhawi dalam Maqasid Hasanah (1/171), akan tetapi hadis ini dinilai dhaif oleh Imam Al-Albani, karena sanad hadis ini berkutat pada perawi yang majhul atau matruk (Al-Irwa’, 6/349)]

Bisa dibayangkan bagaimana jika seseorang itu tidak memiliki malu, dan malu itu dicabut dari dalam dirinya. Dia pun akan bertingkah seenaknya sendiri, tak peduli bahwa tindakan itu adalah pelanggaran atas hak-hak kepada Allah dan hak orang lain yang menjadi kewajibannya.

Benarlah bahwa malu itu berbanding lurus dengan iman. Hal ini terbukti yakni apabila ada seorang hamba yang dia tidak merasa malu ketika berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala maka bisa dipastikan saat itu kadar imannya sedang berkurang. Karena iman itu akan bertambah dengan ketaatan dan akan berkurang dengan kemaksiatan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُوَاْلإِيْمَانُقُرِنَاجَمِـيْعًا ،فَإِذَارُفِعَأَحَدُهُمَارُفِعَاْلاَخَرُ

“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.” [HR. Hakim (I/22), Ath Thabrani dalam Al-Mu’jamush Shaghir (I/223), Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib (no. 3827), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat Shahih al-Jami’ish Shaghir (no. 3200).]

bersambung insyaallah

***

Artikel Muslimah.or.id Penulis: Ummu ‘Abdillah Dewi Gimarjanti

Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits

حَدَّثَنَاعَبْدُ اللهِ بْنِ يُوْسُفْ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَي رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ وَ هُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الحَيَاءِ فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الحَيَاءَ مِنَ الإِيْمَانِ

Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Yusuf, Ia diberitahukan oleh Malik bin Anas, dari ibnu Syihab, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya Salim, bahwasannya Rasulullah SAW berjalan melewati seseorang dari Anshar yang sedang menasihati saudaranya tentang rasa malu, lalu Rasulullah SAW bersabda, tinggalkan dia, karena malu itu adalah sebagian dari iman. (HR. Bukhari dalam kitab iman).

Malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain. Seperti halnya ketika kita bekerja dalam suatu perusahaan, lalu peraturan yang yang berlaku dalam perusahaan tersebut kita abaikan, tugas yang diamanahkan tidak dijalankan, perjanjian waktu bekerja yang disampaikan pada awal masuk menjadi karyawan tidak kita jalankan, maka perbuatan tersebut tidak beda dengan kezaliman dan pengkhianatan terhadap janji yang kita ikrar kan pada waktu ingin bergabung di dalam perusahaan tersebut. Maha Suci Allah yang memberikan sifat malu agar manusia menahan diri dari kema’siatan yang disadari maupun tidak disadari. Timbul pertanyaan, kenapa begitu banyak orang yang baik di mata kita, tapi sering sekali tidak merasa malu ketika ia melalaikan hak orang lain?

Jenis-jenis Malu

Dalam hal ini, kita harus mengetahui bahwa Malu itu sendiri setidaknya ada dua jenis :

  1. Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan. malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah SWT kepada seorang hamba, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda :

الحَياَءُ لَا يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ

         “Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan”

  1. Malu yang timbul karena adanya usaha. Inilah malu yang didapatkan dengan ma’rifatullah (mengenal Allah SWT) dengan mengenal keagunganNya, kedekatanNya dengan hamba-hambaNya, perhatianNya terhadap mereka, pengetahuanNya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman.

Manusia manapun yang tidak memiliki rasa malu, baik yang berasal dari tabi’at  maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh kedalam perbuatan keji dan maksiat, sehingga tanpa disadarinya dia sudah menjadi tentara-tentara setan  yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Naudzubillah min zalik.

Dahulu, orang-orang Jahiliyyah – yang berada di atas kebodohannya – sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ditanya tentang Rasulullah SAW, Abu Sufyan berkata,

فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ

“Demi Allah Azza wa Jalla , kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam).”

Rasa malu telah menghalangi Abu Sufyan yang pada saat itu belum memeluk islam, untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah SAW, karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.

Begitu juga Kalau kita melihat budaya yang terdapat di Negeri Matahari, yaitu Jepang, Ada Peribahasa Jepang yang sudah dikenal turun-temurun, Iki hajikaku yori, shinu ga mashi. Artinya, “lebih baik mati daripada hidup menanggung malu.” Luar biasanya, peribahasa itu tidak sekadar menjadi pemanis bibir, namun diimplementasikan secara nyata. Gerakan harakiri yang mengerikan, juga terlahir dari rahim budaya malu. Budaya malu itu sendiri sudah begitu berurat akar bagi masyarakat Jepang. Terbukti, ketika sudah menjadi salah satu negara industri maju di dunia seperti saat ini pun, budaya tersebut masih sangat lekat pada diri masyarakatnya. Melalui budaya malunya, mereka merasa memiliki harga diri yang teramat tinggi. Mereka malu untuk berbuat nista, malu bekerja secara asal-asalan, malu korupsi, dan lain sebagainya. Sebaliknya, para koruptor di Negri kita tercinta ini, seolah-olah bangga dengan kekayaan yang dimiliki, yang berasal dari perbuatan memalukan itu. Tanpa rasa malu-malu pula, mereka melempar senyum ke arah kamera, tidak malu jutaan pasang mata melihat dengan pandangan sinis dan mencibir. Tak heran, di tengah kian melambungnya harga-harga, sempat muncul sindiran pedas. Katanya, “Di republik ini semua serba mahal, kecuali harga diri para koruptor.” Penyebabnya, karena mereka sudah tidak memiliki rasa malu lagi. Dilihat dari perspektif sosiokultural, tentu saja apa yang terjadi saat ini cukup mengherankan. Sebab, sejatinya Indonesia juga memiliki kearifan lokal yang tak kalah hebat dibandingkan Jepang. Bahkan, bisa dibilang lebih kaya, karena begitu beragamnya suku bangsa di Indonesia. Maka, seandainya kearifan lokal itu terus dipertahankan, pemahaman agama terus ditingkatkan, bukan mustahil bisa menekan tingkat korupsi maupun kemalasan dalam bekerja di negeri ini, akhirnya menjadi negeri yang makmur, aman dan sejahtera. Wallahu A’lamu bis Showab.

Oleh: Ust. Satibi Darwis, Lc (Sekretaris Dewan Pengawas Syariah PT Asuransi Takaful Keluarga)