Manakah masjid yang memiliki gaya arsitektur perpaduan budaya lokal nusantara hindu dan islam

tirto.id - Masjid Menara Kudus adalah salah satu masjid yang berperan dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Masjid yang berada di Kudus, Jawa Tengah, ini memiliki arsitektur unik, yakni perpaduan Hindu-Jawa dengan Islam.

Masjid bersejarah yang juga disebut dengan Masjid Al Aqsha dan Masjid Al Manar ini sudah eksis ada sejak tahun 1549. Letaknya berlokasi di Kecamatan Kauman, Kota Kudus, Jawa Tengah. Pendiri Masjid Kudus adalah Sunan Kudus atau Syekh Ja'far Shodiq.

Disebut Masjid Menara Kudus karena masjid ini sepaket dengan menara unik yang menjadi ciri khasnya. Tri Maya Yulianingsih dalam buku Jelajah Wisata Nusantara (2010), menjelaskan bahwa Menara Kudus merupakan hasil akulturasi budaya Hindu-Jawa dengan Islam.

Sejarah & Pendiri Masjid Menara Kudus

Sama seperti masjidnya, Menara Kudus juga didirikan oleh Sunan Kudus sebagai simbol dalam candrasengkala "gapuro rusak ewahing jagad". Sunan Kudus sendiri adalah salah satu dari Walisongo atau para ulama yang mempelopori dakwah Islam di Jawa.

Sunan Kudus pernah menjadi senopati di Kesultanan Demak, kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa yang sekaligus meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Selain itu, Sunan Kudus juga dikenal sebagai ahli hukum Islam.

Baca juga:

  • Sejarah Majapahit: Penyebab Runtuhnya Kerajaan & Daftar Raja-Raja
  • Penjelasan 4 Teori Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia
  • Sejarah Kesultanan Demak: Kerajaan Islam Pertama di Jawa

Seperti para Wali lainnya, Sunan Kudus juga punya strategi untuk menebarkan syiar Islam di Jawa dengan cara-cara yang bisa diterima oleh masyarakat lokal. Pembangunan Masjid Menara Kudus menjadi salah satu contohnya.

Sunan Kudus mendirikan Masjid Menara Kudus dengan arsitektur perpaduan antara budaya Hindu atau Jawa dengan Islam yang datang dari arab.

Mengutip laman Kabupaten Kudus, saat itu dilakukan akulturasi agar masyarakat tidak merasa asing dan terkejut dengan bangunan masjid. Hasilnya, penduduk tidak menolak kehadiran masjid sehingga dakwah Islam lebih mudah dilakukan.

Antara masjid dan Menara Kudus tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan yang berhubungan langsung dengan sejarah Kota Kudus dan masih difungsikan hingga saat ini.

Baca juga:

  • Sejarah Runtuhnya Kerajaan Ternate dan Silsilah Raja atau Sultan
  • Sejarah Kesultanan Tidore: Pendiri, Kejayaan, & Daftar Raja-Sultan
  • Sejarah Singkat Kesultanan Cirebon: Kerajaan Islam Sunda Pertama

Bangunan & Arsitektur Masjid Menara Kudus

Masjid Menara Kudus didirikan di tanah seluas sekitar 5.000 meter persegi. Masjid dikelilingi tembok pembatas yang memisahkannya dengan perkampungan setempat. Terdapat "Gapura Bentar" sebagai jalan utama di utara dan selatan masjid.

Gerbang utara menjadi jalan masuk untuk jamaah langsung ke masjid. Gerbang selatan menjadi jalan menuju kompleks pemakanan. Penamaan "Gapura Bentar" diambil dari istilah Hindu yang bermakna "gerbang".

Masuk ke halaman masjid akan disuguhi pemandangan menara. Menara Kudus dibuat dari bata merah dengan luas 100 meter pesegi dan tinggi 18 meter. Ukiran bermotif Hindu dapat ditemukan pada bagian bawah menara.

Baca juga:

  • Sejarah Hari Raya Nyepi di Bali: Perayaan, Upacara, & Maknanya
  • Sejarah Ilmu Pengetahuan Islam Masa Dinasti Abbasiyah
  • Contoh Perkembangan Akulturasi Budaya Islam di Indonesia

Menurut Andanti Puspita Sari Pradisa dalam "Perpaduan Budaya Islam dan Hindu dalam Masjid Menara Kudus" (2017) yang disampaikan pada Seminar Heritage Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI), bangunan Menara Kudud memiliki bagian kepala, badan, dan kaki.

Bagian kepala atau di bawah atap terdapat bedug yang digungakan sebagai penanda waktu salat dengan menghadap utara-selatan.

Sementara bagian badan memiliki ruang kecil atau relung yang dikosongkan. Jika dalam bangunan Pura, relung ini biasa diisi patung. Lalu, bagian kaki terdapat ornamen-ornamen motif Hindu.

Arah bangunan Masjid Menara Kudus seperti masjid-masjid lainnya di Indonesia yang mengarah ke arah Kakbah sebagai kiblat. Atap masjid turut mengadopsi arsitektur Hindu saat itu yang dibuat tumpang dengan jumlah ganjil.

Meski Masjid Menara Kudus dibangun dengan mengadaptasi gaya bangunan Hindu, namun tetap memiliki pedoman-pedoman ajaran Islam. Akulturasi ini membuat dakwah Islam lebih diterima masyarakat dengan cara yang elegan.

Baca juga:

  • Sejarah Operasi Trikora: Latar Belakang, Isi, Tujuan, dan Tokoh
  • Biografi Cut Nyak Dhien: Sejarah Singkat Pahlawan Wanita dari Aceh
  • Apa Itu Agama Menurut Para Ahli: Sejarah, Macam, & Perkembangan

Baca juga artikel terkait SEJARAH MASJID NUSANTARA atau tulisan menarik lainnya Ilham Choirul Anwar
(tirto.id - ica/isw)


Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Iswara N Raditya
Kontributor: Ilham Choirul Anwar

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Rep: Bowo Pribadi Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyebaran agama Islam di tanah Jawa tak lepas dari pengaruh akulturasi budaya, khususnya dengan budaya lokal. Akulturasi ini merupakan manifestasi dari pengaruh peradaban dan budaya yang begitu mendominasi masyarakat Jawa pada saat itu.

Bahkan, pada hampir semua tatanan sosial masyarakat, budaya dan peradaban menjadi objek akulturasi ini. Hingga para penyebar agama Islam di tanah Jawa memilihnya sebagai ruang untuk mentransformasikan budaya asli (lokal) ke dalam nilai-nilai Islami.

Nuansa kental akulturasi ini setidaknya masih dapat dilihat dari berbagai saksi sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa, salah satunya Masjid Agung Demak. Masjid Demak yang merupakan peninggalan bersejarah kerajaan Islam Demak ini, tetap berdiri kokoh di Jl Sultan Patah, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jateng.

Masjid kebanggaan warga 'Bintoro'sebutan tlatah Demak ini memiliki ciri arsitektur yang khas. Pengaruh akulturasi menjadikan masjid yang berdiri di atas lahan seluas 11.220 meter persegi ini memiliki perbedaan mencolok dengan tempat ibadah Muslim di Tanah Air pada umumnya.

Sebagai salah satu bangunan masjid tertua di negeri ini, Masjid Agung Demak dibangun dengan gaya khas Majapahit, yang membawa corak kebudayaan Bali. Gaya ini berpadu harmonis dengan langgam rumah tradisional Jawa Tengah.

Persinggungan arsitektur Masjid Agung Demak dengan bangunan Majapahit bisa dilihat dari bentuk atapnya. Namun, kubah melengkung yang identik dengan ciri masjid sebagai bangunan Islam, malah tak tampak. Sebaliknya, yang terlihat justru adaptasi dari bangunan peribadatan agama Hindu.

Bentuk ini diyakini merupakan bentuk akulturasi dan toleransi masjid sebagai sarana penyebaran agama Islam di tengah masyarakat Hindu. Kecuali mustoko (mahkota--Red) yang berhias asma Allah dan menara masjid yang sudah mengadopsi gaya menara masjid Melayu.

Keunikan akulturasi semacam ini, setidaknya juga berakar pada Masjid Menara, Kudus, Kabupaten Kudus, yang terletak sekitar 35 kilometer sebelah timur kota Demak.

Hal ini menunjukkan bahwa para ulama penyebar tauhid (Islam--Red) di tanah Jawa memiliki kemampuan untuk mengharmonisasi kehidupan sosial di tengah masyarakat Hindu yang begitu dominan, ketika itu.

Dengan bentuk atap berupa tajug tumpang tiga berbentuk segi empat, atap Masjid Agung Demak lebih mirip dengan bangunan suci umat Hindu, pura yang terdiri atas tiga tajug.

Bagian tajug paling bawah menaungi ruangan ibadah. Tajug kedua lebih kecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Sedangkan tajug tertinggi berbentuk limas dengan sisi kemiringan lebih runcing.

Sejumlah pakar arkeolog menyebutkan, bentuk bangunan seperti ini dipercaya juga menjadi ciri bangunan di pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto. Namun, penampilan atap masjid berupa tiga susun tajug ini juga dipercaya sebagai simbol Aqidah Islamiyah yang terdiri atas Iman, Islam, dan Ihsan.

  • masjid agung demak
  • sejarah masjid demak

Manakah masjid yang memiliki gaya arsitektur perpaduan budaya lokal nusantara hindu dan islam