Manakah negara yang tidak ikut dalam perjanjian ekstradisi

Oleh Liputan6 pada 09 Jun 2011, 03:13 WIB

Diperbarui 09 Jun 2011, 03:13 WIB

Manakah negara yang tidak ikut dalam perjanjian ekstradisi

Perbesar

Liputan6.com, Jakarta: Siapa yang tak kenal Singapura? Hampir semua orang pasti mengenal salah satu negara di kawasan Asia Tenggara ini, terlebih bagi yang suka pelesiran dan belanja. Namun, ketenaran negara pulau di lepas ujung selatan Semenanjung Malaya ini terkadang "dikotori" ulah segelintir orang yang tersandung masalah, terutama persoalan hukum. Negara berpenduduk lima juta jiwa ini kerap dijadikan tempat menghindari tudingan dan kejaran aparat penegak hukum. Bahkan, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pernah mengatakan jika Singapura merupakan salah satu tempat pelarian paling aman bagi warga Indonesia yang berperkara untuk bersembunyi. Apalagi, imbuhnya, negara Singapura tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Berdasarkan catatan, beberapa warga Indonesia bermasalah yang sempat kabur ke Singapura. Sebut saja Sjamsul Nursalim (merugikan negara Rp 6,9 triliun dan US$ 96,7 juta dalam kasus BDNI), Bambang Sutrisno (Bank Surya, Rp 1,5 triliun), dan David Nusa Wijaya (Bank Sertivia, Rp 1,26 triliun). Terakhir, Singapura juga disebut-sebut keterkaitannya dengan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan saksi kunci kasus suap cek pelawat Nunun Nurbaeti. Namun, sejauh ini informasi yang diperoleh menyebutkan bahwa keberadaan Nazaruddin dan Nunun di Negeri Singa Putih hanyalah untuk berobat.

Sebenarnya, bukan hanya Singapura yang sering dijadikan tempat pelarian. Negara tetangga Australia juga pernah dimanfaatkan untuk lokasi persembunyian. Andrian Kiki Iriawan, Direktur Bank Surya, misalnya. Salah satu pengemplang dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) ini lari ke Negeri Kanguru [baca: Proses Ekstradisi Adrian Kiki Masih Lama].

Ekstradisi! Rupanya celah inilah yang dipakai mereka untuk bersembunyi di tempat lain, terutama jika negara tersebut tidak memiliki perjanjian semacam itu. Ekstradisi adalah sebuah proses formal di mana seorang tersangka kriminal ditahan oleh suatu pemerintah diserahkan kepada pemerintahan lain untuk menjalani persidangan. Atau, tersangka tersebut sudah disidang dan ditemukan bersalah, menjalani hukumnya. Konsensus dalam hukum internasional adalah suatu negara tidak memiliki suatu kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing. Ini berpedoman pada prinsip sovereignty bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Di Indonesia, ketentuan mengenai ekstradisi diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979. Sampai saat ini, Indonesia telah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara, namun ada dua perjanjian yang belum diratifikasi. Ketujuh negara yang telah memiliki perjanjian dengan Indonesia, antara lain Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong, Korea Selatan (belum diratifikasi), dan Singapura (belum diratifikasi). Dalam praktiknya, Indonesia telah melakukan ekstradisi terhadap tersangka warga negara yang terlibat dalam beberapa kasus kejahatan, di antaranya Dennis Austin Standeffer, warga negara Amerika Serikat ke Filipina. Ham Sang Won, warga negara Korea Selatan. Selanjutnya Ratti Fabrizio Angelo, warga negara Italia, dan Ross Williem Mac Arthur, warga negara Australia. Mengadakan maupun melaksanakan perjanjian ekstradisi sebetulnya bukan perkara mudah. Indonesia dalam hal ini telah mengalami berbagai kendala, baik dari negara tujuan (sistem hukum), dari pelaku maupun dari ketiadaan perjanjian ekstradisi dengan negara tertentu.

Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura misalnya. Perjanjian ini telah melalui proses diplomasi yang panjang sejak 1973 dan baru terlaksana 30 tahun kemudian, yakni pada 2007. Kendala lain bagi terlaksananya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura adalah karena mudahnya tersangka yang lari ke Singapura mengganti kewarganegaraannya dan mengalihkan hasil kejahatannya ke dalam bentuk investasi [baca: Perjanjian Ekstradisi Ditanggapi Pesimistis].

Terkait dengan seringnya Singapura yang diduga jadi pintu gerbang atau tujuan sejumlah koruptor melarikan diri, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menegaskan bahwa perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara, khususnya Singapura harus segera diwujudkan. Ia menyarankan seharusnya secara resmi Indonesia bersikap mengenai hubungan bilateral antara kedua negara bertetangga ini. Sikap itu bisa berlanjut dengan perjanjian ekstradisi. Mahfud menjelaskan, saat dirinya menjadi anggota Komisi I DPR, rencana perjanjian ekstradisi ini sebenarnya sudah disiarkan. Ini diperlukan karena banyaknya penjahat dan koruptor yang lari ke Singapura. Tanpa perjanjian ekstradisi yang mengikat antarkedua negara, Mahfud menilai penegak hukum Indonesia akan selalu kesulitan untuk mengejar buronan atau koruptor yang kabur ke Singapura. Ia menekankan, kondisi seperti itu tidak dapat dibiarkan terus-menerus, karena para pelaku korupsi asal Indonesia akan mendepositokan sejumlah besar uang hasil korupsinya di Singapura. Hal itu sudah pasti akan menguntungkan Singapura dan merugikan Indonesia. Namun, Sekretaris Pertama Bidang Politik Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, Herman Loh, membantah ucapan Mahfud soal ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Menurut dia, perjanjian ekstradisi dan persetujuan kerja sama pertahanan sudah ditandatangani oleh kedua negara. Penandatanganan perjanjian tersebut juga disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Bali pada 27 April 2007. "Singapura berkomitmen penuh terhadap perjanjian tersebut, dan saat ini sedang menunggu Indonesia untuk meratifikasinya," katanya. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Michael Tene membenarkan keterangan Kedutaan Besar Singapura. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura memang sudah ditandatangani. Namun perjanjian tersebut tidak dapat diberlakukan jika belum diratifikasi.

Menurut Tene, Indonesia belum meratifikasinya lantaran ada perbedaan posisi antara Indonesia dan Singapura dalam memandang perjanjian ekstradisi. Singapura menginginkan perjanjian ekstradisi sepaket dengan kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA), sedangkan Indonesia ingin agar kedua perjanjian itu berdiri sendiri-sendiri.

Posisi indonesia saat ini adalah bersedia meratifikasi perjanjian ekstradisi, namun tidak bersedia meratifikasi kerja sama pertahanan yang dinilai masih menyimpan masalah dalam sejumlah pasalnya. Jadi, kata Ten, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura belum bisa berjalan. Keterangan itu seolah menjelaskan penyebab pemerintah "kesulitan" mendapatkan buruannya. Selain itu, kendala lain yang terkadang menyertai upaya ini adalah munculnya aroma politis dalam kasus-kasus tertentu.

Jika memang upaya perjanjian ekstradisi tidak gampang dan penuh lika-liku, maka sudah seharusnya pemerintah meminimalkan kepergian orang yang dianggap bermasalah secara hukum. Setiap aparat hukum harus bisa membaca pola pihak-pihak yang akan diperkirakan bermasalah. Satu hal lagi, lembaga yang memang dibentuk untuk memberantas korupsi diharapkan bisa lebih berani mengambil tindakan tegas sesuai dengan kewenangannya.(IAN/ANS/dari berbagai sumber)


Selasa, 25 Januari 2022 - 11:52 WIB

Presiden Jokowi kedua kanan didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kanan) menyambut kunjungan kehormatan Perdana Menteri Republik Singapura Lee Hsien Loong di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (20/10/2019). FOTO/ANTARA/Puspa Perwitasari

JAKARTA - Pemerintah Indonesia dan Singapura menyepakati kerja sama di bidang hukum. Kedua negara menandatangani perjanjian ekstradisi yang progresif, fleksibel, dan antisipatif terhadap perkembangan bentuk dan modus tindak kejahatan di masa sekarang dan masa depan.Perjanjian ekstradisi ini juga akan melengkapi dan menyempurnakan komitmen kedua negara sebagai sesama negara ASEAN terkait perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (ASEAN Mutual Legal Assistance Treaty) yang mengharuskan kerja sama di antaranya terkait pencarian pelaku kejahatan, penggeledahan, maupun penyitaan aset. Perjanjian ekstradisi yang ditandatangani oleh kedua negara memungkinkan dilakukannya ekstradisi terhadap pelaku 31 jenis tindak pidana serta pelaku kejahatan lainnya yang telah diatur dalam sistem hukum kedua negara."Perjanjian ini juga menyepakati pemberlakukan masa retroaktif hingga 18 tahun terhadap tindak kejahatan yang berlangsung sebelum berlakunya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura," bunyi siaran pers Kementerian Kemaritiman dan Investasi dikutip, Selasa (25/1/2022).

Baca juga: Malaysia Tetap Ingin Ekstradisi Nur Sajat, Transgender yang Mejeng Depan Kakbah

Perjanjian ekstradisi buronan Indonesia–Singapura ini juga memiliki fitur khusus yang secara efektif akan mengantisipasi celah hukum dan muslihat pelaku kejahatan. Misalnya, perubahan status kewarganegaraan untuk menghindari penegakan hukum. Dalam perjanjian ekstradisi ini, status warga negara pelaku kejahatan yang berubah tidak dapat mengecualikan pelaksanaan ekstradisi mengingat pelaksanaan ekstradisi harus dilakukan berdasarkan status kewarganegaraan pelaku ketika tindak kejahatan terjadi."Dengan demikian, pemberlakukan perjanjian ekstradisi buronan akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak kriminal di Indonesia dan Singapura," tulisnya.Secara khusus, bagi Indonesia, pemberlakuan perjanjian ekstradisi diyakini dapat menjangkau secara efektif pelaku kejahatan di masa lampau dan memfasilitasi implementasi Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Keberhasilan tim negosiasi pemerintah Indonesia dalam mendorong perjanjian ekstradisi kedua negara merupakan buah komitmen, konsistensi, dan kerja sama lintas pemangku kepentingan di tingkat Kementerian/Lembaga. Kesepakatan kedua negara terkait ekstradisi ini menyempurnakan secara utuh skema ekstradisi yang pernah didiskusikan secara serius sejak masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Baca juga: Tak Mau Teken Perjanjian Ekstradisi, KPK: Singapura Surga Para Koruptor

Diharapkan dengan penandatanganan perjanjian ekstradisi buronan Indonesia – Singapura, kerja sama bidang hukum dan pencegahan kejahatan lintas negara akan semakin efektif, dan menjamin kepentingan serta membawa kemaslahatan bagi kedua negara bersahabat.

(abd)