Oleh SHIDARTA (Mei 2021) Artikel ini merupakan bagian dari materi ujian tengah semester yang diberikan kepada peserta mata kuliah Hukum Persaingan Usaha di tingkat sarjana (S-1) Ilmu Hukum. Dengan demikian, artikel ini dapat diposisikan sebagai panduan jawaban ujian yang dimaksud, sehingga mahasiswa dapat membandingkan jawaban mereka masing-masing dengan panduan ini. Soal yang disampaikan di dalam ujian tersebut adalah tentang perjanjian waralaba yang berpotensi melanggar ketentuan di bidang persaingan usaha. Lengkapnya soal tersebut adalah sebagai berikut:
Jadi, mahasiswa diminta untuk menjawab soal di atas dalam bentuk pendapat hukum (legal opinion). Sebuah contoh pendapat hukum atas kasus di atas ditampilkan di bawah ini. Tentu saja, sebagaimana biasanya untuk soal-soal kasusistis di bidang hukum, mahasiswa tetap diberi koridor untuk berpandangan berbeda sepanjang argumentasi yang disampaikan memang runtut dan jelas. Isi dari pendapat hukum di bawah inipun terbuka untuk tidak disetujui oleh pembaca, namun sebagai sebuah jawaban ujian tengah semester mata kuliah Hukum Persaingan Usaha, kiranya ia sudah memenuhi syarat untuk dinilai sebagai jawaban yang baik. Pendapat hukum tersebut kurang lebih dapat disusun sebagai berikut:
Perkara ini bermula dari laporan seorang bernama Hasanuddin (pelaku usaha di Makassar). Pada bulan November 2020, ia mengikat kerja sama dengan PT Howdy dalam bentuk perjanjian waralaba bengkel motor/mobil di bawah PT Howldy. Dalam perjanjian disepakati bahwa gerai bengkel yang dikelola secara waralaba oleh Hasanuddin hanya boleh menjual busi merek H+H dan Bossy. Dua merek busi tersebut diproduksi oleh PT Howdy dan PT Brother, yang telah mengikat perjanjian pada bulan Mei 2020 untuk hanya menjual busi merek H+H dan Bossy di semua bengkel jaringan PT Howdy. Dalam pasar bersangkutan di seluruh Indonesia, Busi H+H produksi PT Howdy menguasai 20% pangsa pasar, sedangkan busi Bossy menguasai 15%. Hasanuddin mendapati bahwa untuk pasaran busi di Makassar, pelanggan lebih banyak memilih busi merek Hondimus, sehingga Hasanuddin pun menjual busi merek Hondimus ini di bengkel yang dikelolanya tersebut. Audit yang dilakukan PT Howdy pada akhir tahun 2020 menyimpulkan Hasanuddin telah melanggar perjanjian waralaba, sehingga perjanjian itu dihentikan sepihak. PT Howdy telah menarik semua fasilitas/peralatan dan memindahkannya ke pihak lain. Hasanuddin meminta KPPU memeriksa kasus ini. Dasar Hukum
Pendapat HukumDua dasar hukum di atas diajukan sebagai landasan untuk pendapat hukum ini. Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan, “Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah: … b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;…” Sementara itu, Peraturan KPPU No. 6 Tahun 2009 dijadikan dasar hukum karena memberi uraian tentang bagaimana KPPU menyikapi Pasal 50 huruf b tersebut. Perlu dicatat bahwa di dalam Peraturan KPPU ini disebutkan beberapa peraturan perundang-undangan yang lain, antara lain peraturan tentang waralaba dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pasal 10 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 yang memuat larangan perjanjian pemboikotan, tidak ikut dipertimbangkan sebagai dasar hukum. Alasannya adalah karena Pasal 10 ini mensyaratkan perjanjian pemboikotan itu dibuat oleh sesama pelaku usaha yang saling bersaing. Dalam kasus laporan Hasanuddin dari Makassar ini, perjanjian yang dipermasalahkan adalah perjanjian antara pemberi waralaba dan penerima waralaba, dan mereka bukan pelaku usaha yang saling bersaing. Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999 tentang perjanjian tertutup juga tidak relevan untuk dipertimbangkan karena perjanjian antara PT Howdy dan Hasanuddin tidak memenuhi unsur-unsur dari suatu perjanjian tertutup. Jadi, isu sentral dari kasus yang dilaporkan terletak pada apakah perjanjian yang berkaitan dengan waralaba ini dapat dianggap sebagai faktor pengecualian dari keberlakuan UU No. 5 Tahun 1999. Dengan penguasaan pasar busi di Indonesia yang relatif kecil (35%) dari PT Howdy dan PT Brother dan isi kerja sama mereka yang menyatakan bahwa mereka hanya menjual produk busi merek H+H dan Bossy di jaringan bengkel milik mereka sendiri (dalam hal ini PT Howdy), sementara ini tidaklah relevan untuk dipertimbangkan sebagai suatu pelanggaran terhadap UU No. 5 Tahun 1999. Berdasarkan Peraturan KPPU No. 6 Tahun 2009, KPPU telah mengambil sikap bahwa perjanjian yang berkaitan dengan waralaba yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, TIDAK merupakan pengecualian atas Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan dalam kasus di atas adalah apakah perjanjian antara PT Howdy dan PT Brother yang membuat persyaratan untuk hanya menjual busi merek H+H dan Bossy dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat? Bertitik tolak dari peraturan KPPU No. 6 Tahun 2009, unsur-unsur di dalam Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 dijabarkan sebagai berikut:
Peraturan KPPU No. 6 Tahun 2009 memberi beberapa contoh perjanjian waralaba yang melanggar prinsip larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yaitu:
Dalam kasus yang dilaporkan ini, poin nomor 2 di atas perlu diberikan pendapat hukum secara lebih spesifik. Benar, bahwa pemberi waralaba (d.h.i. PT Howdy) telah memberi persyaratan bahwa hanya PT Howdy dan mitranya PT Brother yang boleh memasok busi di jejaring gerai bengkel PT Howdy. Busi yang boleh dipasok dinyatakan secara eksplisit di dalam perjanjian waralaba itu, yaitu merek H+H dan Bossy saja. Peraturan KPPU No. 6 Tahun 2009 mengatakan persyaratan ini berpotensi untuk melanggar UU No. 5 Tahun 1999 karena dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Namun, KPPU juga menegaskan bahwa persyaratan tersebut dapat dikecualikan (sebagi pelanggaran) sepanjang dilakukan untuk mempertahankan identitas dan reputasi dari waralaba yang biasanya dimaksudkan untuk menjaga konsep waralaba yang telah diciptakan oleh pemberi waralaba. Meskipun demikian, pemberi waralaba TIDAK BOLEH melarang penerima waralaba untuk membeli pasokan barang dan/atau jasa dari pihak lain sepanjang barang dan/atau jasa tersebut memenuhi standar kualitas yang disyaratkan oleh pemberi waralaba. Penetapan pembelian pasokan hanya dari pemberi waralaba atau pihak tertentu dapat menimbulkan hambatan bagi pelaku usaha lain yang mampu menyediakan pasokan dengan kualitas yang sama. Untuk itu, pemberi waralaba TIDAK DIPERBOLEHKAN menetapkan secara mutlak akses pembelian atau pasokan yang diperlukan oleh penerima waralaba sepanjang hal itu tidak mengganggu konsep usaha waralaba. Pada sisi inilah perjanjian [berkaitan dengan] waralaba yang notabene sudah dilakukan oleh PT Howdy dengan lebih dari 300 gerai bengkelnya menemukan titik temu dengan UU No. 5 Tahun 1999. KesimpulanPerjanjian [yang berkaitan dengan] waralaba adala perjanjian yang dikecualikan dari pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1999, tetapi dalam kasus yang dilaporkan ini, pengecualian yang ditetapkan dalam Pasal 50 huruf b mengandung permasalahan karena pemberi waralaba telah melarang penerima waralaba untuk menyediakan pasokan busi merek Hondimus di gerai bengkel tersebut sesuai keinginan konsumen, yang patut diduga busi inipun telah memenuhi standar kualitas yang sama dengan pasokan busi merek H+H dan Bossy. Lain halnya jika PT Howdy dapat membuktikan bahwa kualitas dari busi Hondimus berada di bawah standar kualitas busi merek H+H dan Bossy, sehingga pemakaian busi merek Hondimus ini telah merusak indentitas dan menurunkan reputasi dari waralaba yang diberikan oleh PT Howdy. Pembuktian ini harus dimintakan oleh KPPU kepada PT Howdy. Demikian pendapat hukum ini dibuat. tanda tangan, Efendy S. Published at : 14 May 2021 |