Mengapa kita tidak boleh mencela peribadatan orang lain

Reporter : Sandy Mahaputra

Saat emosi tak terkendali, menghina Tuhan agama lain seringkali tak sengaja terlontar. Padahal Rasulullah mengajarkan.....

Dream - Islam menjadi salah satu agama yang dianut oleh umat manusia. Selain Islam juga terdapat agama-agama lainnya seperti Kristen, Budha, Hindu dan sebagainya. Setiap agama memiliki kepercayaannya masing-masing.

Namun hal ini sering kali menjadi sebuah perdebatan diantara umat manusia. Tidak sedikit pula pemeluk agama yang menghina Tuhan dari agama lain. Sehingga hal ini kerap menimbulkan permusuhan diantara umat beragama.

Dalam Islam, menghina Tuhan agama lain merupakan suatu hal yang sangat dilarang. Karena dapat menimbulkan kerusakan yang besar. Bukan hanya bagi dirinya sendiri namun juga terhadap Allah SWT. Berikut penjelasan selengkapnya.

Sejatinya Islam mengatur segala sendi kehidupan, termasuk larangan mencaci maki, mengolok-olok, menghina atau menjelekkan sesembahan penganut agama lain. Karena begitu pentingnya, Allah SWT pun mengatur hal ini. Sebagaimana firman-Nya bahwa,

“ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs al-An’am : 108)

Berawal dari tindakan kaum Muslim yang mencaci maki sesembahan orang kafir Quraisy. Lalu mereka pun berkata kepada Allah SWT, " Ya Rasulullah, hentikan makianmu tehadap seserahan kami atau kami akan mencaci maki Rabb-mu."

Maka Rasulullah SAW pun melarang umatnya untuk menghina sesembahan orang-orang kafir. Sehingga Allah SWT pun akhirnya melarang kaum Muslimin untuk menghina sesembahan orang-orang tersebut. Oleh karena itu diturunkalah surat Al-An'am ayat 108 tersebut.

Namun dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa...

Mengapa kita tidak boleh mencela peribadatan orang lain
(palingyunik.blogspot.co.id)

2 dari 3 halaman

Pada masa itu kaum muslim mencaci berhala-berhala orang kafir, sehingga mereka pun membalas dengan menghina Allah SWT secara berlebihan tanpa sedikit bekal pengetahuan di dalam diri mereka.

Saat menafsirkan surah al-An'am ayat 108 ini, Imam Ibnu Katsir pun menjelaskan dalam Tafsir Al-Qur'an al-'Ahzim, bahwa Allah SWT melarang Rasulullah SAW dan orang-orang yang beriman untuk mencaci maki sesembahan-sesembahan kaum musyrik, sekalipun cacian itu mengandung kemaslahatan.

Pasalnya caci maki terhadap sesembahan orang kafir dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari kemaslahatan itu sendiri. Sebab Hinaan dan cacian sebagian umat Muslim terhadap sesembahan orang-orang kafir dapat menjadi pemicu bagi orang kafir untuk menghina Allah SWT. Padahal Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Suci dan Maha Mulia. (Tafsiir Ibnu Katsiir Juz 7, Hal. 268, tahqiq :Syaikh Abdullah bin Muhammad Alu Syaikh)

3 dari 3 halaman

Sesungguhnya menghina merupakan salah satu sifat manusia yang mengikuti hawa nafsu. Sikap ini merupakan salah satu sifat tercela yang dilarang Allah SWT dan harus dihindari oleh seorang muslim.

Islam melarang umatnya untuk menghina sesembahan agama lain. Islam juga melarang untuk memaksa orang lain memeluk agama Islam. Sebab kewajiban manusia sebagai seorang hamba adalah menyampaikan atau mengajak manusia lainnya ke jalan yang benar, tanpa paksaan melainkan dengan kerelaan. Karena paksaan dapat menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan menghilangkan sifat ikhlas.

Ulasan selengkapnya klik di sini.

Jakarta -

Sangat tegas Al Quran menyatakan: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam/Q.S. Al-Isra'/17:70). Siapapun yang merasa anak cucu Adam tidak boleh menelantarkan apalagi menghina kelompok non-muslim, apapun agama, kepercayaan, etnik, dan kewarganegaraan orang itu. Ayat lain juga menegaskan: Dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang beriman/Q.S. al-Syu'ara/26:114). Barangsiapa yang membunuh seorang manusia ..., maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya/Q.S. al-Maidah/5:32).

Sebuah riwayat dari Asma' binti Abu Bakar yang menanyakan prihal ibunya yang non-muslimah kepada Nabi, apakah boleh bersilaturrahim dengannya, lalu di jawab oleh Nabi: "Sambutlah ibumu dan bersilaturrahimlah dengannya". (H.R. al-Hakim). Seperti kita ketahui, ibu Asma' saat itu masih musyrik. Masih banyak keluarga Nabi yang juga masih musyrik, termasuk kakeknya sendiri, Abdul Muthalib, yang hingga wafatnya tidak
mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi luar biasa respeknya Nabi, sang cucu, terhadapnya.

Dalam kesempatan lain, Aisyah menceritakan suatu ketika kelompok Yahudi datang kepada Nabi sambil mengatakan: "Assamu 'alaikum" (Kebinasaan bagimu). Memang sepintas kedengaran dengan kata "Assalamu 'alaikum" (keselamatan bagimu). Aisyah menjawabnya: "Wa 'alaikumussam walla'nah" (kebinasaan dan laknat Allah bagimu). Nabi menegur 'Aisyah, isterinya, dengan mengatakan: "Pelan-pelan wahai 'Aisyah, sesungguhnya Allah Swt menyukai kelembutan di dalam setiap persoalan". 'Aisyah menjawab: "Apakah engkau tidak mendengarkan apa yang mereka katakan kepadamu?". Nabi menjawab: "Kamu sudah menjawab mereka dengan "Wa 'alaikumussam".

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dua kasus di atas cukup menjadi bukti bagaimana Nabi teladan umat Islam begitu ramah dan lembut memperlakukan orang-orang non-muslim. Ibunya Asma', sang mertua Nabi diminta untuk memperlakukan secara terhormat dan manusiawi kepada ibunya, sungguhpun ia seorang non-muslim. Bahkan Nabi meminta agar sering mendatangi untuk bersilaturahim dengannya. Sekalipun berbeda agama, kalau kerabat tetap harus berprilaku baik dan respek terhadap mereka. Agama tidak boleh menjadi jarak antara satu sama lain. Yang penting di sini ada saling pengertian.

Kisah kedua, nyata-nyata kelompok non-muslim yang bertamu kepada Nabi menunjukkan itikad kurang baik, mendoakan Nabi binasa, lalu 'Aisyah membalasnya dengan kalimat sepadan. Nabi bukannya menegur tamu yang kurang terpuji itu tetapi malah menegur isterinya agar tetap bersikap lemah lembut terhaap tamu. Nabi menyadari betul apa arti kemanusiaan dan bagaimana cara menaklukkan jiwa yang keras. Nabi sering membalas orang yang selalu melancarkan serangan dengan cara-cara lembut, dan ternyata hasilnya sangat menakjubkan, orang-orang yang menyerang Nabi itu takluk dengan kelembutan Nabi. Seandainya Nabi melawannya dengan kekerasan yang sama maka tentu tidak bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi. Itulah pelajaran kepribadian dari Nabi.

Jika setiap kekerasan dihadapi dengan kekerasan, jika setiap cemohan dibalas dengan cemohan, dan jika setiap penghinaan dibalas dengan penghinaan, maka ketegangan akan mewarnai kehidupan kita. Kadang-kadang kita memang harus menempatkan diri kita sebagai "kakak" yang kadangkala harus mengalah terhadap "adik". Jika ada orang menghina kita, anggaplah mereka itu "adik" dan kita sebagai "kakak". Pada akhirnya sang adik akan lebih membutuhkan figure sang "kakak". Yang menjadi masalah kalau tidak ada yang mau menjadi "kakak", semuanya mau menjadi "adik". Mari kita berupaya agar kita semua menjadi "kakak", supaya kehidupan di dalam berbangsa dan bermasyarakat tenteram adanya.

Perbedaan agama, kepercayaan, aliran, mazhab, dan ikatan primordial tidak boleh penghalang untuk menjalin silaturrahim satu sama lain. Perbedaan yang terjadi di antara makhluk Allah Swt harus dianggap sebagai sunnatullah, yang tak boleh dibantah oleh siapapun. Perbedaan harus dianggap sebagai sebuah rahmat, kalua perlu kita merayakan perbedaan itu.

(nwy/nwy)

Al-Qur’an adalah cerminan akhlak Rasulullah. Salah satu di antara akhlak yang diajarkan Al-Qur’an dan diterapkan oleh Rasulullah adalah mengucapkan kata-kata yang baik dalam berhubungan sosial. Termasuk menghindari mencela agama lain ketika berdakwah. Tentu ini menjadi sebuah peringatan bagi kita semua khususnya dengan banyaknya dai-dai muda yang terkadang secara sengaja maupun tidak sengaja menjelekkan agama lain dalam ceramahnya.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan” (QS Al-An'am: 108).

Dalam ayat ini, Al-Qur’an mengajak umat Islam menunjuk akhlak terpuji. Di antara seruan Al-Qur’an adalah meninggalkan mencaci agama lain.

Dr. Muhammad ath-Thanthawi menafsirkan, "Wahai orang beriman, janganlah kalian mencaci sesembahan orang-orang yang menyekutukan Allah, karena tentunya mereka akan mencaci agama kalian yang benar sebab ketidaktahuan mereka atas agama kalian".

Az-Zamakhsyari dalam tafsir al-Kasyaf mencatat, "Alasan mengapa dilarang mencaci agama lain adalah karena perbuatan tersebut menyebabkan kerugian bagi umat Islam sendiri di mana mereka akan membalas dengan mencaci agam Islam."

Al-Qasimi dalam tafsirnya mencatat, "Selama ditakutkan non-Muslim akan mencaci Allah, Rasul Allah, dan Al-Qur’an maka tidak diperbolehkan bagi umat Islam untuk mencaci sesembahan non-Muslim beserta agama mereka."

As-Suyuthi dalam al-Asybah wan Nadhair menyatakan, "Amar ma'ruf nahi munkar dapat gugur ketika perbuatan tersebut justru mengakibatkan marabahaya yang lebih besar."

Baca juga: Memahami Amar Ma’ruf Nahi Munkar secara Benar

Tentunya, di era modern mencaci agama lain justru menyebabkan citra yang buruk bagi umat Islam. Karena itu, meskipun cacian atas agama lain tersebut sesuai dengan kenyataan sekalipun tetaplah tidak diperbolehkan. Karena hal itu, justru berdampak buruk pada citra agama Islam.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya mencatat, "Hukum larangan mencaci agama lain adalah hukum pasti dan tidak bisa diubah dengan alasan apapun, selama dikhawatirkan kaum non-Muslim mencaci agama Islam maka selama itulah umat Islam tidak diperbolehkan mencaci agama lain baik itu mencaci salib mereka ataupun mencaci gereja mereka, serta umat Islam tidak boleh melakukan hal-hal yang menjurus terhadap penghinaan terhadap agama Islam karena hal tersebut terhitung melakukan hal yang berpotensi buruk".

Larangan mencaci agama lain dalam ayat ini ditutup dengan rangkaian

"Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan" (QS Al-An'am: 108).

Sebagai sebuah peringatan agar umat Islam memasrahkan urusan non-Muslim kepada Allah. Karena hanya Allah lah yang berhak memberikan hidayah kepada makhluknya. Sedangkan, dakwah para Dai hanyalah sebagai lantaran dalam masuknya hidayah ke dalam hati umat.

وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ وَقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَاُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَاِلٰهُنَا وَاِلٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَّنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ”Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri” (QS Al-Ankabut: 46).

Ayat ini menjadi sebuah peringatan bahwa dalam berdebat dengan pengikut agama samawi lainnya (Nashrani dan Yahudi), Al-Qur’an pun tetap mengajarkan agar umat Islam memakai kata-kata yang baik dan terpuji. Bahkan dalam akhir ayat ini, Al-Qur’an mengajak umat Islam untuk beriman dengan kitab suci yang diturunkan Allah kepada leluhur mereka terdahulu serta meyakini tuhan umat Islam dan tuhan agama samawi lainnya adalah tuhan yang satu.

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk” (QS An-Nahl: 125).

Dalam ayat ini, Al-Qur’an mengajarkan dakwah harus memakai untaian kata yang santun dan nasihat yang bijaksana. Seandainya dibutuhkan memakai diskusi pun tetap harus menerapkan rangkaian kata yang santun dan tidak menyinggung hati mereka. Karena pada dasarnya, para dai mengajak kepada sesuatu yang benar yang tentunya harus memakai cara yang santun dan benar sesuai akhlak Al-Qur’an. Rasulullah pun jauh hari telah berwasiat bahwa ia diutus sebagai penyempurna akhlak umatnya

قال رسول الله إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق

Rasulullah bersabda "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlak" (HR. Ahmad).

Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir; penerima beasiswa NU pada tahun 2018.