Mengapa produk Indonesia kurang laku dibandingkan produk luar negeri?

dokpri

Sudah tidak jarang kita melihat banyak sekali produk luar yang beredar di pasar ekonomi, mulai dari pasar tradisional sampai supermarket. Tidak jarang pula, popularitas produk luar naik begitu pesat sehingga menutup penghasilan dari produk-produk asli Indonesia. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia pada Juli 2018 mencapai USD 18,27 miliar rupiah. Jikalau hal ini terus berlanjut, maka laju impor tentu akan terus naik, dan semakin mengurangi devisa negara.

Adapun penyebab 'sindrom' ini dapat terjadi karena 3 faktor. Faktor pertama, yaitu kurang bermutunya kualitas produk yang ada di pasar. Faktor kedua, pandangan masyarakat Indonesia yang menganggap produk Indonesia itu tidak berkualitas. Faktor ketiga, ada banyak produk-produk bagus ciptaan anak bangsa, tetapi tidak didukung oleh pemerintah.

Yang pertama, yaitu faktor kualitas. Walaupun tidak semua produk Indonesia berkualitas buruk, jika dibandingkan dengan produk impor, biasanya memang terlihat bahwa produk luar lebih baik secara kualitas daripada produk lokal. 

Misalnya saat membeli tas. Kalau kita bandingkan tas buatan lokal dengan yang dari luar, pasti akan terlihat bahwa bahan yang digunakan untuk membuat tas lebih bagus yang impor daripada yang lokal. Karena ini biasanya barang impor akan lebih mahal. Tapi, orang tidak segan membeli produk luar walaupun lebih mahal.

Lalu, ada juga faktor pandangan masyarakat tentang produk Indonesia. Sering kita mendapati bahwa orang menganggap produk Indonesia itu tidak berkualitas. Walaupun terkadang memang benar produk itu tidak bermutu baik, tapi anggapan bahwa produk Indonesia itu tidak baik tidak berlaku untuk semua produk di negeri ini. 

Ada juga produk yang dibuat dengan mutu baik, bahkan kadang lebih baik daripada produk luar.  Contohnya La Fonte. La Fonte sebenarnya adalah produk buatan Indonesia, dan produk ini bahkan sudah menyebar ke negara-negara lain seperti Korea, Thailand, Malaysia, dan masih banyak lagi. Tapi, kadang walaupun seperti itu tetap saja ada orang yang lebih memilih produk terkenal dari luar karena rasanya bagi mereka produk luar pasti lebih baik kualitasnya, padahal tidak selalu begitu.

Yang terakhir, produk-produk Indonesia yang sudah bagus tetapi tidak didukung dengan strategi pemasaran yang baik atau mendapat dukungan dari pemerintah. Hal ini berhubungan erat dengan faktor kedua diatas, karena pasti akan sulit apabila tidak ada yang dapat menyampaikan jika produk-produk lokal itu berkualitas. Contohnya adalah Ricky Elson. Ia pernah pulang dari Jepang dari kuliahnya untuk mencoba membuat mobil listrik bersama dengan menteri BUMN Dahlan Iskan. Akan tetapi, Kementerian Riset dan Teknologi tidak kunjung memberi izin kepada produk ini, walaupun Dahlan sudah beberapa kali mencoba menghubungi. Alhasil, Ricky Elson merasa bahwa karyanya tidak dihargai di negerinya sendiri dan memutuskan kembali ke Jepang dimana karyanya lebih dihargai, bahkan sudah mendapatkan paten internasional. Melihat contoh tersebut, kita dapat menyimpulkan, bagaimana masyarakat bisa tahu kalau suatu produk itu baik kalau tidak ada yang 'mempromosikan' produk tersebut ?

Sampai di sini, kita sudah melihat berbagai faktor penyebab kurang diminatinya produk lokal. Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana dampaknya jika hal ini diteruskan dan bagaimana cara menyelesaikannya. Dampak dari efek ini yang pasti adalah semakin meningkatnya impor, seperti yang sudah dijelaskan di awal. Kalau begini sudah pasti devisa negara akan berkurang, dan bisa berlanjut dengan semakin melemahnya nilai rupiah di luar negeri. Juga ekonomi dalam negeri akan semakin merosot karena permintaan yang semakin rendah.


Page 2

Sudah tidak jarang kita melihat banyak sekali produk luar yang beredar di pasar ekonomi, mulai dari pasar tradisional sampai supermarket. Tidak jarang pula, popularitas produk luar naik begitu pesat sehingga menutup penghasilan dari produk-produk asli Indonesia. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia pada Juli 2018 mencapai USD 18,27 miliar rupiah. Jikalau hal ini terus berlanjut, maka laju impor tentu akan terus naik, dan semakin mengurangi devisa negara.

Adapun penyebab 'sindrom' ini dapat terjadi karena 3 faktor. Faktor pertama, yaitu kurang bermutunya kualitas produk yang ada di pasar. Faktor kedua, pandangan masyarakat Indonesia yang menganggap produk Indonesia itu tidak berkualitas. Faktor ketiga, ada banyak produk-produk bagus ciptaan anak bangsa, tetapi tidak didukung oleh pemerintah.

Yang pertama, yaitu faktor kualitas. Walaupun tidak semua produk Indonesia berkualitas buruk, jika dibandingkan dengan produk impor, biasanya memang terlihat bahwa produk luar lebih baik secara kualitas daripada produk lokal. 

Misalnya saat membeli tas. Kalau kita bandingkan tas buatan lokal dengan yang dari luar, pasti akan terlihat bahwa bahan yang digunakan untuk membuat tas lebih bagus yang impor daripada yang lokal. Karena ini biasanya barang impor akan lebih mahal. Tapi, orang tidak segan membeli produk luar walaupun lebih mahal.

Lalu, ada juga faktor pandangan masyarakat tentang produk Indonesia. Sering kita mendapati bahwa orang menganggap produk Indonesia itu tidak berkualitas. Walaupun terkadang memang benar produk itu tidak bermutu baik, tapi anggapan bahwa produk Indonesia itu tidak baik tidak berlaku untuk semua produk di negeri ini. 

Ada juga produk yang dibuat dengan mutu baik, bahkan kadang lebih baik daripada produk luar.  Contohnya La Fonte. La Fonte sebenarnya adalah produk buatan Indonesia, dan produk ini bahkan sudah menyebar ke negara-negara lain seperti Korea, Thailand, Malaysia, dan masih banyak lagi. Tapi, kadang walaupun seperti itu tetap saja ada orang yang lebih memilih produk terkenal dari luar karena rasanya bagi mereka produk luar pasti lebih baik kualitasnya, padahal tidak selalu begitu.

Yang terakhir, produk-produk Indonesia yang sudah bagus tetapi tidak didukung dengan strategi pemasaran yang baik atau mendapat dukungan dari pemerintah. Hal ini berhubungan erat dengan faktor kedua diatas, karena pasti akan sulit apabila tidak ada yang dapat menyampaikan jika produk-produk lokal itu berkualitas. Contohnya adalah Ricky Elson. Ia pernah pulang dari Jepang dari kuliahnya untuk mencoba membuat mobil listrik bersama dengan menteri BUMN Dahlan Iskan. Akan tetapi, Kementerian Riset dan Teknologi tidak kunjung memberi izin kepada produk ini, walaupun Dahlan sudah beberapa kali mencoba menghubungi. Alhasil, Ricky Elson merasa bahwa karyanya tidak dihargai di negerinya sendiri dan memutuskan kembali ke Jepang dimana karyanya lebih dihargai, bahkan sudah mendapatkan paten internasional. Melihat contoh tersebut, kita dapat menyimpulkan, bagaimana masyarakat bisa tahu kalau suatu produk itu baik kalau tidak ada yang 'mempromosikan' produk tersebut ?

Sampai di sini, kita sudah melihat berbagai faktor penyebab kurang diminatinya produk lokal. Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana dampaknya jika hal ini diteruskan dan bagaimana cara menyelesaikannya. Dampak dari efek ini yang pasti adalah semakin meningkatnya impor, seperti yang sudah dijelaskan di awal. Kalau begini sudah pasti devisa negara akan berkurang, dan bisa berlanjut dengan semakin melemahnya nilai rupiah di luar negeri. Juga ekonomi dalam negeri akan semakin merosot karena permintaan yang semakin rendah.


Mengapa produk Indonesia kurang laku dibandingkan produk luar negeri?

Lihat Humaniora Selengkapnya


Page 3

Sudah tidak jarang kita melihat banyak sekali produk luar yang beredar di pasar ekonomi, mulai dari pasar tradisional sampai supermarket. Tidak jarang pula, popularitas produk luar naik begitu pesat sehingga menutup penghasilan dari produk-produk asli Indonesia. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia pada Juli 2018 mencapai USD 18,27 miliar rupiah. Jikalau hal ini terus berlanjut, maka laju impor tentu akan terus naik, dan semakin mengurangi devisa negara.

Adapun penyebab 'sindrom' ini dapat terjadi karena 3 faktor. Faktor pertama, yaitu kurang bermutunya kualitas produk yang ada di pasar. Faktor kedua, pandangan masyarakat Indonesia yang menganggap produk Indonesia itu tidak berkualitas. Faktor ketiga, ada banyak produk-produk bagus ciptaan anak bangsa, tetapi tidak didukung oleh pemerintah.

Yang pertama, yaitu faktor kualitas. Walaupun tidak semua produk Indonesia berkualitas buruk, jika dibandingkan dengan produk impor, biasanya memang terlihat bahwa produk luar lebih baik secara kualitas daripada produk lokal. 

Misalnya saat membeli tas. Kalau kita bandingkan tas buatan lokal dengan yang dari luar, pasti akan terlihat bahwa bahan yang digunakan untuk membuat tas lebih bagus yang impor daripada yang lokal. Karena ini biasanya barang impor akan lebih mahal. Tapi, orang tidak segan membeli produk luar walaupun lebih mahal.

Lalu, ada juga faktor pandangan masyarakat tentang produk Indonesia. Sering kita mendapati bahwa orang menganggap produk Indonesia itu tidak berkualitas. Walaupun terkadang memang benar produk itu tidak bermutu baik, tapi anggapan bahwa produk Indonesia itu tidak baik tidak berlaku untuk semua produk di negeri ini. 

Ada juga produk yang dibuat dengan mutu baik, bahkan kadang lebih baik daripada produk luar.  Contohnya La Fonte. La Fonte sebenarnya adalah produk buatan Indonesia, dan produk ini bahkan sudah menyebar ke negara-negara lain seperti Korea, Thailand, Malaysia, dan masih banyak lagi. Tapi, kadang walaupun seperti itu tetap saja ada orang yang lebih memilih produk terkenal dari luar karena rasanya bagi mereka produk luar pasti lebih baik kualitasnya, padahal tidak selalu begitu.

Yang terakhir, produk-produk Indonesia yang sudah bagus tetapi tidak didukung dengan strategi pemasaran yang baik atau mendapat dukungan dari pemerintah. Hal ini berhubungan erat dengan faktor kedua diatas, karena pasti akan sulit apabila tidak ada yang dapat menyampaikan jika produk-produk lokal itu berkualitas. Contohnya adalah Ricky Elson. Ia pernah pulang dari Jepang dari kuliahnya untuk mencoba membuat mobil listrik bersama dengan menteri BUMN Dahlan Iskan. Akan tetapi, Kementerian Riset dan Teknologi tidak kunjung memberi izin kepada produk ini, walaupun Dahlan sudah beberapa kali mencoba menghubungi. Alhasil, Ricky Elson merasa bahwa karyanya tidak dihargai di negerinya sendiri dan memutuskan kembali ke Jepang dimana karyanya lebih dihargai, bahkan sudah mendapatkan paten internasional. Melihat contoh tersebut, kita dapat menyimpulkan, bagaimana masyarakat bisa tahu kalau suatu produk itu baik kalau tidak ada yang 'mempromosikan' produk tersebut ?

Sampai di sini, kita sudah melihat berbagai faktor penyebab kurang diminatinya produk lokal. Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana dampaknya jika hal ini diteruskan dan bagaimana cara menyelesaikannya. Dampak dari efek ini yang pasti adalah semakin meningkatnya impor, seperti yang sudah dijelaskan di awal. Kalau begini sudah pasti devisa negara akan berkurang, dan bisa berlanjut dengan semakin melemahnya nilai rupiah di luar negeri. Juga ekonomi dalam negeri akan semakin merosot karena permintaan yang semakin rendah.


Mengapa produk Indonesia kurang laku dibandingkan produk luar negeri?

Lihat Humaniora Selengkapnya


Page 4

Sudah tidak jarang kita melihat banyak sekali produk luar yang beredar di pasar ekonomi, mulai dari pasar tradisional sampai supermarket. Tidak jarang pula, popularitas produk luar naik begitu pesat sehingga menutup penghasilan dari produk-produk asli Indonesia. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia pada Juli 2018 mencapai USD 18,27 miliar rupiah. Jikalau hal ini terus berlanjut, maka laju impor tentu akan terus naik, dan semakin mengurangi devisa negara.

Adapun penyebab 'sindrom' ini dapat terjadi karena 3 faktor. Faktor pertama, yaitu kurang bermutunya kualitas produk yang ada di pasar. Faktor kedua, pandangan masyarakat Indonesia yang menganggap produk Indonesia itu tidak berkualitas. Faktor ketiga, ada banyak produk-produk bagus ciptaan anak bangsa, tetapi tidak didukung oleh pemerintah.

Yang pertama, yaitu faktor kualitas. Walaupun tidak semua produk Indonesia berkualitas buruk, jika dibandingkan dengan produk impor, biasanya memang terlihat bahwa produk luar lebih baik secara kualitas daripada produk lokal. 

Misalnya saat membeli tas. Kalau kita bandingkan tas buatan lokal dengan yang dari luar, pasti akan terlihat bahwa bahan yang digunakan untuk membuat tas lebih bagus yang impor daripada yang lokal. Karena ini biasanya barang impor akan lebih mahal. Tapi, orang tidak segan membeli produk luar walaupun lebih mahal.

Lalu, ada juga faktor pandangan masyarakat tentang produk Indonesia. Sering kita mendapati bahwa orang menganggap produk Indonesia itu tidak berkualitas. Walaupun terkadang memang benar produk itu tidak bermutu baik, tapi anggapan bahwa produk Indonesia itu tidak baik tidak berlaku untuk semua produk di negeri ini. 

Ada juga produk yang dibuat dengan mutu baik, bahkan kadang lebih baik daripada produk luar.  Contohnya La Fonte. La Fonte sebenarnya adalah produk buatan Indonesia, dan produk ini bahkan sudah menyebar ke negara-negara lain seperti Korea, Thailand, Malaysia, dan masih banyak lagi. Tapi, kadang walaupun seperti itu tetap saja ada orang yang lebih memilih produk terkenal dari luar karena rasanya bagi mereka produk luar pasti lebih baik kualitasnya, padahal tidak selalu begitu.

Yang terakhir, produk-produk Indonesia yang sudah bagus tetapi tidak didukung dengan strategi pemasaran yang baik atau mendapat dukungan dari pemerintah. Hal ini berhubungan erat dengan faktor kedua diatas, karena pasti akan sulit apabila tidak ada yang dapat menyampaikan jika produk-produk lokal itu berkualitas. Contohnya adalah Ricky Elson. Ia pernah pulang dari Jepang dari kuliahnya untuk mencoba membuat mobil listrik bersama dengan menteri BUMN Dahlan Iskan. Akan tetapi, Kementerian Riset dan Teknologi tidak kunjung memberi izin kepada produk ini, walaupun Dahlan sudah beberapa kali mencoba menghubungi. Alhasil, Ricky Elson merasa bahwa karyanya tidak dihargai di negerinya sendiri dan memutuskan kembali ke Jepang dimana karyanya lebih dihargai, bahkan sudah mendapatkan paten internasional. Melihat contoh tersebut, kita dapat menyimpulkan, bagaimana masyarakat bisa tahu kalau suatu produk itu baik kalau tidak ada yang 'mempromosikan' produk tersebut ?

Sampai di sini, kita sudah melihat berbagai faktor penyebab kurang diminatinya produk lokal. Yang menjadi masalah sekarang adalah bagaimana dampaknya jika hal ini diteruskan dan bagaimana cara menyelesaikannya. Dampak dari efek ini yang pasti adalah semakin meningkatnya impor, seperti yang sudah dijelaskan di awal. Kalau begini sudah pasti devisa negara akan berkurang, dan bisa berlanjut dengan semakin melemahnya nilai rupiah di luar negeri. Juga ekonomi dalam negeri akan semakin merosot karena permintaan yang semakin rendah.


Mengapa produk Indonesia kurang laku dibandingkan produk luar negeri?

Lihat Humaniora Selengkapnya