4 BAB 11 BAB 11. TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN: PRODUK OLAHAN HEWANI Teti Estiasih, Anang M. Legowo, Sri Mulyani, A N. Al-Baarri, A. Hintono PENDAHULUAN Bahan pangan hewani merupakan bahan pangan yang berkualitas nutrisi tinggi karena asam amino esensilanya lengkap dan kandungan antinutrisi yang rendah atau tidak mengandung antinutrisi. Bahan pangan hewani biasa diolah menjadi berbagai produk olahan yang saat ini sudah banyak tersedia secara komersial. Perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih praktis dan tuntutan dunia kerja yang menyita banyak waktu sehingga waktu memasak terbatas, mengakibatkan tingginya minat konsumen untuk mengkonsumsi produk olahan hewani yang siap saji atau waktu pemasakan singkat. Berbagai produk olahan hewani tersedia dalam bentuk siap konsumsi seperti susu UHT dan olahan beku seperti nugget yang mudah disajikan. Bahan pangan hewani juga seringkali merupakan ingridien untuk produk pangan sehingga diolah menajdi produk intermediat seperti tepung telur dan lemak susu. Untuk memahami proses pengelohan bahan hewani, maka perlu dipahami terlebih dahulu karakteristik bahan dan penanganan pasca panen. Pada Bab 11 ini kedua hal tersebut akan dibahas. Juga akan dibahas bagaimana teknologi pengolahan bahan hewani tersbeut menajdi berbagai produk olahan. 1.TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU 1.1. Pengertian dan Lingkup Pengolahan Susu Susu (milk) merupakan cairan yang disekresikan oleh kelenjar mamae (ambing) ternak sapi perah sehat, tanpa ditambah sesuatu atau dikurangi komponennya. Penamaan susu diselaraskan dengan fakta bahwa ternak sapi perah adalah penghasil susu terbesar di dunia. Susu dari ternak mamalia yang lain, pada umumnya disebutkan bersama dengan nama ternaknya. Misalnya susu dari ternak kambing disebut susu kambing dan susu dari kerbau disebut susu kerbau. Susu tergolong bahan pangan yang memiliki zat gizi (nutrisi) lengkap, mudah dicerna, dan bercitarasa lezat. Susu memiliki peran penting dalam menunjang kebutuhan gizi manusia, yaitu dapat dikonsumsi bayi setelah ASI (air susu ibu) eksklusif, anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Disisi lain, susu merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba, sehingga susu sangat mudah rusak (highly perishable food). Mikroba kontaminan pada susu sebagian besar (lebih dari 95%) adalah mikroba pembusuk, utamanya golongan bakteri asam laktat (BAL) dan selebihnya mungkin ada mikroba patogen. Oleh karena
5 itu, perlu penanganan yang benar agar susu dapat digunakan sebagai bahan baku olahan yang berkualitas baik, tahan lama, dan aman. Pengolahan susu merupakan teknologi pasca panen yang mengolah susu segar menjadi berbagai produk olahan. Tujuan pengolahan susu antara lain, yaitu: (1) menghasilkan bahan baku pengolahan yang baik, (2) menghasilkan berbagai produk sebagai bagian diversifikasi dan pengembangan produk pangan, (3) menghasilkan nilai tambah (added value) pada mata rantai produksi susu, dan (4) memberi kontribusi pada penyediaan makanan bergizi baik bagi masyarakat. Banyak jenis produk olahan susu seperti susu pasteurisasi, susu steril, susu bubuk, susu fermentasi, es krim, keju. Dalam sub bab ini diuraikan tentang prinsip dasar penanganan dan pengolahan susu, meliputi: (1) Penanganan susu segar; (2) Teknologi pemanasan susu pada pengolahan susu pasteurisasi dan susu steril; (3) Teknologi evaporasi pada pengolahan susu kental, serta proses pengeringan pada pengolahan susu bubuk; (4). Fermentasi susu; (5) Pengolahan keju, es krim, dan mentega (butter). 1.2. Penanganan Susu Segar Penanganan susu segar dilakukan sejak pemerahan hingga susu di bawa ke tempat pengumpulan susu atau industri pengolahan susu. Kegiatan utamanya adalah menjaga agar susu tidak cepat mengalami kerusakan, serta sekaligus mempersiapkan susu sebagai bahan baku untuk pengolahan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada penanganan susu segar, yaitu: (1) pencegahan kontaminasi mikroba pada susu dan pengendaliannya; (2) memperpanjang daya simpan susu, misalnya dengan sistem laktoperoksidase; (3) penerapan prinsip dan metode pendinginan susu; serta (4) penerapan metode homogenisasi dan pemisahan lemak susu. 1.2.1. Pencegahan Kontaminasi Mikroba Pada waktu susu masih didalam tubuh ternak (didalam ambing), kondisinya steril. Akan tetapi, sejak pemerahan akan terjadi kontaminasi, khususnya mikroba, yang dapat mengakibatkan kerusakan susu. Didalam setiap mililiter susu segar terdapat ratusan ribu hingga jutaan sel bakteri pembusuk. Berdasarkan standar kualitas susu segar (BSN, 2011) jumlah mikroba maksimum yang diperbolehkan adalah 1 juta koloni per mili liter (106CFU/mL). Rata-rata bakteri tersebut dapat berkembang biak delapan kali lipat setiap jam bila susu disimpan pada suhu kamar. Pada saat pemerahan, susu tersebut dapat terkontaminasi oleh berbagai jenis bakteri dari berbagai sumber, yaitu: kulit ternak, tangan pemerah, udara, peralatan pemerahan. Kulit ternak dapat menjadi sumber kontaminasi mikroba, debu, bulu dan kotoran selama pemerahan. Untuk mencegah kontaminasi dapat dilakukan dengan mencuci dan membersihkan badan ternak, serta bagian ambing dan puting sebelum pemerahan. Pencucian dapat juga menggunakan larutan klorin dengan konsentrasi 50 ppm untuk membantu mematikan mikroba. Kontaminasi mikroba dari tangan pemerah sering tidak diperhatikan. Padahal tangan yang kotor sangat potensial menjadi sumber bakteri pembusuk maupun bakteri patogen. Beberapa famili bakteri pada susu yang diduga hasil kontaminasi dari pemerah yaitu 28% Pseudomonadaceae, 20% Micrococcaceae,
6 18% Achromobacteriaceae dan 14% Enterobacteriaceae (Christiansen and Overby, 1988). Untuk mencegah kontaminasi dari pemerah, maka disarankan agar pemerah mencuci tangan hingga bersih, kemudian dilap hingga kering sebelum melakukan pemerahan. Udara merupakan media penunjang bagi penyebaran mikrobia dari tempat sekitar pemerahan kedalam susu. Oleh sebab itu, kondisi lingkungan pemerahan harus dijaga kebersihannya agar tidak menjadi sumber kontaminasi. Peralatan pemerahan yang tidak bersih dapat menjadi sumber kontaminasi. Peralatan pemerahan berupa saringan, tabung penyedot susu atau mesin pemerah dan wadah susu (milk can). Penggunaan mesin pemerah tergolong praktis dan minimal terkontaminasi mikroba. Pembersihan dan sanitasi peralatan diperlukan untuk menghilangkan sisa susu yang masih menempel pada peralatan. 1.2.2.Pengawetan Susu dengan Sistem Laktoperoksidase Metode pengawetan susu segar dengan sistem laktoperoksidase (lactoperoxydase-system) merupakan metode alternatif. Sistem ini mengaktifkan enzim laktoperoksidase (enzim LP) yang secara alami ada di dalam susu untuk menghasilkan efek anti bakteri (Al-Baarri et al., 2015; Al-Baarri et al., 2019). Aktifitas enzim LP sejak pemerahan mengalami penurunan seiring dengan waktu dan suhu penyimpanan. Pada Gambar 1 tampak bahwa aktifitas awal enzim LP didalam susu relatif tinggi, yaitu sekitar 4 U/mL. Pada suhu ruang, aktifitas enzim LP menurun hingga dibawah 1 U/mL pada menit ke-180 (3 jam). Pada saat itu susu mulai mengalami kerusakan akibat aktifitas mikroba. Akan tetapi, pada suhu dingin (40C), penurunan aktifitas enzim LP lambat. Pada menit ke-270 (6,5 jam) baru mencapai separuh aktifitas awal, yaitu 2 U/mL. Dalam kondisi ini, tanda-tanda kerusakan susu belum terlihat nyata (Al-Baarri dan Legowo, 2012). Gambar 1. Aktivitas enzim laktoperoksidase seiring waktu penyimpanan susu. Aktivasi enzim LP pada susu memerlukan senyawa tiosianat dan H2O2dalam jumlah tertentu. Kedua senyawa ini sebenarnya sudah ada didalam susu, tetapi dalam jumlah sedikit. Untuk mengaktifkan enzim LP maka jumlah tiosianat dan H2O2harus ditingkatkan konsentrasinya hingga masing-masing menjadi 15 ppm
7 dan 10 ppm. Senyawa H2O2akan mengaktifkan enzim LP setelah terurai menjadi air dan oksigen. Enzim LP bersama oksigen akan mengubah tiosianat menjadi oksida tiosianat (OSCN-) yang dapat mematikan mikroba (Villa, et al., 2014). Praktek pengawetan sistem LP efektif bila dikombinasikan dengan suhu penyimpanan susu. Apabila pengawetan dilakukan pada suhu ruang (sekitar 300C), maka daya awet susu dapat mencapai 7-8 jam, sedangkan pada suhu yang relatif rendah (sekitar 150C) daya awetnya mencapai 24 jam (Legowo, 2018). Perlu dicatat bahwa sistem ini sulit diterapkan ditingkat peternak, karena butuh ketelitian dan kehati-hatian terkait penggunaan hidrogen peroksidanya. 1.2.3. Pendinginan Susu Pendinginan merupakan metode pengawetan susu segar yang sangat efektif. Pada suhu ruang (300C atau lebih), mikroba didalam susu dapat berkembang dan meningkat 8 kali lipat setiap jam. Hanya dalam waktu 5-6 jam susu akan menjadi rusak yang ditandai dengan timbulnya bau asam dan terbentuknya gumpalan. Pendinginan pada suhu 3-40C dapat menghambat pertumbuhan mikroba didalam susu. Pendinginan mampu memperpanjang fase adaptasi (fase lag) dari pertumbuhan bakteri sehingga perkembang biakan bakteri pembusuk dapat dihambat. Pada prinsipnya sistem pendinginan adalah memindahkan panas dari susu ke media pendingin yang disediakan. Media pendingin (refrigerant) berfungsi menyerap panas dari susu hingga suhu rendah tertentu sesuai dengan rancangan peralatannya. Beberapa sistem dapat diterapkan untuk pendinginan susu, yaitu dalam bentuk peralatan pendinginan yang sederhana hingga yang kompleks. Sekarang ini sudah banyak mobil/ truk pengangkut susu yang dilengkapi dengan tangki pendingin, sehingga memungkinkan untuk mengangkut susu dari sentra peternakan sapi perah, atau dari tempat/ koperasi pengumpul susu, ke lokasi industri pengolahan susu. 1.2.4.Pemisahan Lemak Susu Susu sebagai bahan baku industri pengolahan susu seringkali harus dipisahkan atau dikurangi lemaknya. Hal ini menjadi bagian penting pengolahan produk susu rendah lemak maupun produk tanpa lemak. Lemak susu (cream) dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mentega (butter), es krim (ice cream) dan berbagai produk krim. Bagian bukan lemak susu berupa skim dan serum yang kaya akan protein. Skim banyak digunakan sebagai bahan dasar pembuatan keju, skim bubuk, kasein bubuk dan bahan campuran untuk beberapa produk makanan. Serum atau dikenal sebagai whey banyak mengandung protein disamping laktosa dan mineral, serta dapat diolah menjadi whey bubuk dan sebagai bahan campuran untuk pembuatan beberapa produk makanan/ minuman. Pemisahan lemak susu dapat dilakukan dengan menggunakan alat pemisah krim (cream separator). Prinsip kerja alat pemisah krim adalah penerapan gaya sentrifugal dengan cara pemusingan (sentrifugasi) untuk memisahkan partikel berdasarkan perbedaan densitas atau bobot jenisnya. Krim akan berada dibagian atas membentuk suatu lapisan, sedangkan skim maupun
8 whey akan tertinggal dibagian bawah. Kecepatan pemisahan krim dipengaruhi oleh ukuran globula lemak susu dan kecepatan perputaran sentrifugasi. Berdasarkan kadar lemaknya, krim dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan yaitu krim normal, setengah krim, whipping cream,heavy whipping cream,double cream dan plastic cream (Legowo et al., 2009). Secara umum pada saat pemisahan krim dari susu segar akan diperoleh krim normal. Untuk mendapatkan kadar lemak susu tertentu seringkali harus dilakukan standarisasi, misalnya pada bahan untuk pembuatan produk-produk tertentu seperti minuman susu rendah lemak, mentega, susu kental dan keju. 1.2.5. Homogenisasi Homogenisasi adalah proses memperkecil dan menyeragamkan ukuran globula lemak susu. Ukuran globula lemak susu bervariasi sekitar 0,5-20 m di ubah menjadi sekitar 0,5-1,0 m. Susu hasil homogenisasi disebut sebagai susu homogen, yang memiliki sifat tidak mudah mengalami pembentukan dan pemisahan lapisan krim. Susu homogen dapat menghasilkan produk olahan yang bermutu baik dan menarik. Es krim yang dibuat dari susu homogen memiliki tekstur yang lembut dan kemampuan mengembang (overrun) yang baik, serta tidak mengalami pemisahan lemak selama penyimpanan dalam freezer. Mentega (butter) yang dibuat dari susu homogen tidak membentuk gumpalan partikel (clusters, clumps) yang kasar. Alat untuk proses homogenisasi disebut homogenizer atau alat homogenisasi. Pada prinsipnya alat homogenisasi terdiri dari pompa bertekanan tinggi dan katup. Susu masuk kedalam katup dan ditekan dalam ruang sempit diantara dua bagian katup maka globula lemaknya dapat dipecah dan diperkecil. Terjadinya pemecahan dan pengecilan globula lemak susu pada proses homogenisasi melalui beberapa tahapan (Legowo et al., 2009). Semula globula lemak berukuran besar (mother fat globule) akan mengalami peregangan (stretching), kemudian terpecah menjadi beberapa globula yang lebih kecil. Pada akhir proses terjadi micronization (globula berukuran kecil dan seragam). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses dan hasil homogenisasi, diantaranya yaitu: besarnya tekanan, jenis alat homogenisasi, kandungan lemak susu, kecepatan aliran susu dan suhu selama proses. Alat homogenisasi bermacam-macam, tetapi dapat dikelompokkan kedalam golongan alat homogenisasi satu tahap (one-stage homogenizer) dan dua tahap (two-stage homogenizer). Alat homogenisasi dua tahap biasanya dapat menghasilkan ukuran globula lemak relatif kecil. Proses homogenisasi menghasilkan produk susu homogen yang memiliki beberapa keuntungan, antara lain yaitu : (1) distribusi lemak susu merata, sehingga tidak terbentuk lapisan krim pada permukaan susu, (2) susu tampak lebih putih dan menarik, (3) lebih cepat menggumpal dengan rennet pada proses pembuatan keju, (4) mengurangi sensitifitas terhadap proses oksidasi, dan (5) flavor menjadi lebih baik. 1.3.Teknologi Pemanasan Susu Proses pemanasan susu harus dipertimbangkan bahwa suhu yang digunakan dapat membunuh mikroba patogen dan kandungan zat gizi tidak
9 rusak. Tujuan proses pemanasan pada susu dan produk olahannya antara lain yaitu: (1) membunuh mikroba patogen, (2) membunuh sebagian besar mikroba pembusuk, (3) inaktifasi enzim didalam susu maupun enzim dari mikroba, (4) mempengaruhi sifat fisik dan kimiawi susu agar sesuai untuk pengolahan lebih lanjut. Ada tiga proses pemanasan yang lazim diterapkan pada pemanasan susu, yaitu: termisasi, pasteurisasi, dan sterilisasi. 1.3.1. Termisasi Termisasi adalah pemanasan susu pada suhu relatif rendah sekitar 60-650C selama 15-20 detik. Perlakuan ini diterapkan sebagai pemanasan pendahuluan sebelum susu diproses untuk diolah menjadi suatu produk. Termisasi bertujuan untuk: (1) meminimalkan jumlah mikroba khususnya bakteri psikrofil, (2) mencegah perubahan enzimatik utamanya enzim lipase dan protease, (3) penyesuaian suhu susu untuk pemanasan lebih lanjut, karena pada saat susu segar diterima oleh industri pengolahan dalam keadaan dingin. 1.3.2. Pasteurisasi Susu Pasteurisasi adalah proses pemanasan susu pada suhu dan waktu tertentu untuk mematikan semua mikroba patogen dan sebagian mikroba pembusuk. Beberapa jenis mikroba patogen yang sering dijumpai didalam susu dan sangat resisten terhadap panas yaitu Mycobacterium tuberculosis penyebab sakit tuberkulosis (TBC), Brucellae sp. penyebab sakit brucellosis, Salmonella dan Shigella sp. penyebab sakit saluran pencernaan, serta Coxiella burnetti penyebab sakit demam Q (Q-fever). Diantara mikroba patogen tersebut, Coxiella burnetti dianggap paling resisten terhadap panas sehingga harus menjadi perhatian utama pada proses pasteurisasi susu. Istilah pasteurisasi diambil dari nama seorang ahli yang bernama Louis Pasteur (1822-1895). Penemuan penting Louis Pasteur dalam risetnya adalah mikroba dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, dan mikroba tersebut dapat dimatikan dengan pemanasan, sehingga bahan menjadi lebih awet. Hasil temuan inilah yang menjadi dasar proses pasteurisasi. Secara umum dikenal dua metoda pasteurisasi susu yaitu: (1)Pasteurisasi susu pada suhu rendah dengan waktu pemanasan lama, yakni metode LTLT (low temperature long time). Pemanasan sekurangnya pada suhu 630C selama 30 menit. Metode ini biasanya diterapkan pada skala kecil. (2)Pasteurisasi pada suhu tinggi dengan waktu cepat, yakni metode HTST (High Temperature Short Time), pemanasan minimal pada suhu 720C selama 15 detik. Metode yang disebut juga flash method ini dapat dioperasikan secara kontinyu dengan kapasitas besar. Keberhasilan proses pasteurisasi susu dapat ditentukan dengan metode uji fosfatase, yaitu menentukan adanya aktivitas enzim posfatase didalam susu pasteurisasi. Untuk menginaktifkan enzim posfatase membutuhkan waktu lebih lama dibanding waktu untuk membunuh bakteri patogen Coxiella burnetti yang paling resisten didalam susu. Oleh sebab itu, apabila uji posfatase 0 atau negatif maka proses pasteurisasi susu dianggap cukup atau berhasil. Untuk menentukan mutu susu pasteurisasi diperlukan beberapa beberapa uji, misalnya uji organoleptik, uji kimiawi, uji mikrobiologis ataupun uji adanya cemaran logam. Persyaratan tentang berbagai uji tersebut telah
10 ditetapkan menurut SNI No. 01-3951-1995 seperti tercantum pada Tabel 1. Persyaratan minimum kadar lemak dan BPTL susu pasteurisasi yang ditambah flavor masing-masing 2,8 dan 7,7%, sedangkan persyaratan yang lain sama. Produk susu pasteurisasi komersial dewasa ini dikenal cukup banyak variasinya, baik terkait ukuran dan bentuk kemasannya, maupun varian citarasa (flavor) nya. 1.3.3. Sterilisasi Susu Sterilisasi adalah proses pemanasan untuk mematikan semua mikroba yang ada pada susu. Proses sterilisasi biasanya dilakukan pada suhu 1210C selama 15 menit atau yang dikenal dengan sterilisasi komersial. Artinya, proses sterilisasi tersebut dapat mematikan hampir semua mikroba tanpa merusak bahan dan secara komersial layak diperdagangkan atau dikonsumsi. Sterilisasi susu dapat dilakukan dengan sistem batch menggunakan alat otoklaf dan dengan sistem kontinyu yang disebut proses UHT (Ultra High Temperature). Sterilisasi susu dengan otoklaf biasanya dilakukan pada suhu 1210C selama 10-15 menit, sedangkan sterilisasi UHT dilakukan pada suhu 135-1400C selama 2-5 detik. Dari kedua sistem tersebut, UHT merupakan metoda sterilisasi susu yang banyak diterapkan pada industri skala besar. Tabel 1. Standar Mutu Susu Pasteurisasi (SNI No. 01-3951-1995) Kadar Lemak, % (b/b) min. Uji Reduktase dengan metilen blue Kadar Protein, % (b/b) min. TPC (total plate count), sel/ml, maks. Coliform Presumptive, MPN/ml, maks. Logam Berbahaya: As, (ppm), maks. Pb, (ppm), maks. Cu, (ppm), maks. Zn, (ppm), maks. Bahan Pengawet, Pemantap, Pewarna Sesuai Permenkes RI No. 235/1979 Pada proses pengolahan susu UHT dikenal dua tipe pemanasan, yaitu: (1) Tipe pemanasan langsung (direct heating) dan (2) Tipe pemanasan tidak langsung (indirect heating). Tahapan proses pengolahan susu UHT antara lain meliputi: pencampuran (mixing), termisasi, pasteurisasi, homogenisasi, sterilisasi, regenerasi, dan pengisian (filling). Selesai sterilisasi, susu segera didinginkan hingga suhu 280C. Akhirnya susu steril segera dikemas melalui tahap filling kedalam wadah yang disediakan dan telah disterilkan.
11 Tabel 2. Standar Mutu Susu UHT (SNI No. 01-3950-1995) Kadar Lemak, % (b/b) min. Kadar Protein, % (b/b) min. TPC (total plate count), sel/ml, maks. Coliform Presumptive, MPN/ml, maks. Logam Berbahaya: As, (ppm), maks. Pb, (ppm), maks. Cu, (ppm), maks. Zn, (ppm), maks. Bahan Pengawet, Pemantap, Pewarna Sesuai Permenkes RI No. 235/1979 Hasil proses sterilisasi susu perlu dilakukan pengujian untuk menentukan mutunya. Standar mutu susu UHT yang tanpa ditambah flavor menurut SNI No. 01-3950-1995 dapat dilihat pada Tabel 2. Persyaratan minimum kadar lemak dan BPTL susu UHT yang ditambah flavor masing-masing 2,8 dan 7,7%,sedangkan persyaratan yang lain sama. Produk susu UHT cukup bervariasi, baik terkait dengan ukuran dan bentuk kemasannya, maupun varian citarasanya. 1.4. Evaporasi dan Pengeringan Susu Evaporasi susu merupakan usaha pengurangan sebagian kandungan air dari susu dengan proses penguapan. Proses evaporasi susu juga disebut sebagai proses pemekatan dan menghasilkan produk susu kental (evaporated milk). Pengeringan merupakan proses penghilangan sebagian besar air pada susu sehingga dihasilkan produk susu bubuk (milk powder). 1.4.1. Pengolahan Susu Kental Dasar proses pengolahan susu kental adalah proses evaporasi. Secara umum dikenal dua produk utama susu kental yaitu susu kental biasa (evaporated milk,concentrated milk) dan susu kental manis (sweetend concentrated milk). Susu kental secara umum mempunyai komposisi sebagai berikut: lemak berkisar antara 7,5-9,0%, bahan padat tanpa lemak (BPTL) 17,5-22,0% dan total bahan padat (TBP) sekitar 25-31%. Susu kental pada umumnya diproduksi secara komersial dalam kemasan kaleng atau botol plastik (plastic tube) yang diproses steril. Oleh sebab itu susu kental sering juga disebut sterilized concentrated milk. Tahap proses pengolahan susu kental meliputi: standarisasi, pemanasan pendahuluan, evaporasi, homogenisasi dan pendinginan. Setelah diperoleh susu kental, kemudian
12 dilakukan pengemasan, sterilisasi, pendinginan dan penyimpanan atau distribusi (Refstrup, 1988). Tahapan khusus pada pembuatan susu kental adalah evaporasi menggunakan alat evaporator pada suhu sekitar 550C dengan tekanan semi vakum. Susu kental yang telah disterilkan dan dikemas aseptis dapat disimpan pada suhu kamar dalam waktu beberapa bulan. Pengolahan susu kental manis pada prinsipnya sama dengan pengolahan susu kental, tetapi ada penambahan gula, pada umumnya sukrosa dengan konsentrasi sekitar 63-64%. 1.4.2. Pengolahan Susu Bubuk Susu bubuk adalah produk yang dihasilkan dari pengeringan susu. Persyaratan susu bubuk menurut FAO/WHO antara lain kadar airnya maksimum 5% dan kadar lemaknya berkisar antara 26-40%. Berdasarkan bahan dasarnya, terutama kandungan lemak susunya, dikenal beberapa jenis susu bubuk yaitu: a. Susu bubuk penuh (whole milk powder, atau full cream milk powder). Kadar lemak susu bubuk penuh adalah sekitar 26-40%. b. Susu bubuk rendah lemak (low fat milk powder, atau partly skimmed milk powder).. Kadar lemak susu bubuk ini adalah pada kisaran >1,5% hingga <26%. c. Susu bubuk skim (skimmed milk powder). Susu bubuk ini dibuat dari skim atau bagian susu tanpa lemak, sehingga kadar lemaknya 0-1,5%. d. Bubuk whey (whey powder) merupakan produk yang dihasilkan dari whey cair sebagai hasil samping pembuatan keju atau kasein. Tahap proses pengolahan susu bubuk meliputi: standarisasi, klarifikasi, pemanasan (pasteurisasi dan sterilisasi), evaporasi, homogenisasi, pengeringan dan aglomerasi, pengumpulan produk dan pengemasan (Refstrup, 1988; Widodo, 2003). Ada dua macam proses pengeringan yang diterapkan pada pembuatan susu bubuk, yaitu: (1) proses pengeringan dengan alat roller dryer atau drum dryer dan (2) pengeringan dengan cara penyemprotan menggunakan alat spray dryer. Pengeringan dengan roller dryer memerlukan tempat yang tidak luas dan mudah pengoperasiannya. Namun kapasitasnya terbatas dan sering terjadi kerusakan produk akibat pemanasan berlebih, khususnya perubahan flavor dan kelarutan bubuk (daya rehidrasi) yang rendah. Pengeringan dengan spray dryer pada dasarnya adalah menyemprotkan susu kental dalam suatu ruangan (chamber) yang dibarengi hembusan udara panas/ udara pengering dan mengubahnya menjadi susu bubuk. 1.5. Teknologi Fermentasi Susu Proses fermentasi susu merupakan metoda pengolahan susu yang sudah cukup lama. Beberapa produk susu fermentasi mempunyai manfaat untuk menjaga kesehatan tubuh (Legowo, 2003; Liu et al., 2005). Tabel 3. Beberapa jenis susu fermentasi di Asia Lactobacillus bulgaricus Streptococcus thermophillus Timur Tengah, Eropa, Asia, Afrika
13 Lactobacillus kefir Lactobacillus brevis Saccharomyces kefir Torulopsis kefir Lactobacillus acidophillus Lactobacillus casei Lactobacillus brevis Leuconostoc paramesenteroides Lactococcus lactis Streptococcus thermophillus Lactobulgaricus bulgaricus Lactococcus lactis Lactobacillus acidophillus Lactobacillus bulgaricus Saccharomyces lactis Torula koumiss Lactobacillus helveticus Saccharomyces cerevisiae Lactobacillus helveticus Saccharomyces cerevisiae Lactobacillus kefirgranum Sumber: Overby (1988); Surono (2004). Produk susu fermentasi cukup banyak jenisnya. Perbedaan prinsip dari berbagai jenis produk susu fermentasi tergantung pada jenis susu yang digunakan, jenis mikroba untuk fermentasi, dan cara pengolahan, baik sebelum atau sesudah fermentasi. Jenis susu yang berbeda akan menghasilkan produk susu fermentasi yang berbeda pula, meskipun jenis mikroba dan kondisi proses yang digunakan sama. Pada Tabel 3 disajikan beberapa jenis produk susu fermentasi yang berasal dari beberapa negara di Asia. Kultur starter (starter cultures) adalah mikroba yang digunakan untuk produksi susu fermentasi. Beberapa tipe kultur starter yaitu: (1) single strain atau kultur murni, (2) multi strain mengandung dua atau lebih strain yang berbeda; dan (3) mixed cultures mengandung dua atau lebih spesies bakteri/ mikroba. Sebagian besar mikroba untuk pembuatan produk susu fermentasi adalah golongan bakteri asam laktat (BAL). Ada BAL yang bersifat homofermentatif yang menghasilkan produk utama asam laktat, dan ada pula BAL yang bersifat heterofermentatif yakni selain menghasilkan asam laktat juga menghasilkan senyawa lain, misalnya CO2. Selama proses fermentasi akan terjadi peruraian beberapa komponen susu tergantung dari jenis mikroba yang digunakan. Pada Tabel 4 disajikan perubahan senyawa didalam susu selama fementasi. Tabel 4. Perubahan beberapa senyawa kimia dalam susu fermentasi. Perubahan Setelah Fermentasi Laktosa berkurang. Terjadi pembentukan asam
14 laktat, asam organik (suksinat, fumarat, benzoat, dll.), galaktosa, glukosa, serta sakarida yang lain. Protein berkurang, karena sebagian terurai menjadi peptida dan asam-asam amino bebas. Urea berubah menjadi amonia. Lemak berkurang, tetapi terjadi peningkatan asam lemak volatil dan asam lemak bebas rantai panjang. Terjadi penurunan jumlah vitamin B12, vitamin C, biotin dan asam piruvat. Terjadi peningkatan vitamin B6, asam folat dan niasin. Disamping itu, bertambah pula asam nukleat, senyawa flavor (asetaldehid, setoin, diasetil), dan senyawa lain. Sumber: Surono (2004) 1.5.1. Pengolahan Yogurt Yogurt merupakan produk hasil fermentasi susu yang berupa cairan kental hingga semi padat dengan cita rasa asam yang spesifik. Di beberapa negara yogurt dikenal dengan nama yang berbeda-beda, misalnya Jugurt (Turki), Zabady (Mesir, Sudan), Dahee (India), Cieddu (Italia) dan Filmjolk (Skandinavia). Di Indonesia, yogurt dipasarkan dalam bentuk minuman encer hingga kental dalam kemasan plastik atau karton. Untuk menambah daya tarik dan kelezatan, kedalam yogurt ditambahkan flavor buah-buahan. Salah satu contoh diversifikasi tersebut adalah yogurt yang difortifikasi dengan ekstrak buah tropis dan ditepungkan yang disebut Fruity powder yogurt (Al-Baarri et al., 2016) Yogurt juga dapat dibuat dari susu kambing, yang beberapa asam lemaknya relatif mudah menguap (volatil), sehingga mempengaruhi flavor susu dan derivatnya (Legowo, 2002). Cita rasa tersebut terbentuk karena aktivitas lipolisis, terutama karena peningkatan volatile fatty acid (VFA) asam kaproat, kaprilat dan asam kaprat ( Legowo et al., 2006). Ada banyak tipe yogurt, yaitu: yogurt kental (hard yogurt), yogurt lunak (soft yogurt), yogurt alami tanpa bahan penambah cita rasa (plain yogurt), yogurt minuman (drink yogurt), dan yogurt yang dicampur es krim (frozen yogurt) (Mitsuoka, 1993). Kekentalan yogurt dipengaruhi oleh jumlah total bahan padat (TBP), sehingga dikenal 3 jenis yogurt: (1) yogurt padat atau sangat kental (spoonable yogurt) memiliki TBP 14-18%, (2) yogurt dengan kekentalan sedang atau normal, memiliki TBP sekitar 12%; (3) yogurt encer/ cair, memiliki TBP 8-10%. Jumlah TBP yogurt dapat diatur dengan penambahan atau pengurangan protein susu (skim). Berdasarkan proses pembuatannya, yogurt dikelompokkan kedalam tiga tipe utama, yaitu: a. Stired yogurt merupakan yogurt yang dikoagulasikan didalam tanki inkubasi dan kemudian didinginkan sebelum dikemas. b. Set yogurt. Yogurt tipe ini dikoagulasikan dan didinginkan didalam wadah setelah proses pengemasan. c. Drink yogurt. Yogurt mirip stired yogurt, tetapi gumpalan dihancurkan hingga menjadi cairan sebelum dikemas. Mula-mula susu segar di pasteurisasi pada suhu 72-800C selama beberapa menit. Susu kemudian didinginkan pada suhu 430C untuk memberi kondisi yang
15 sesuai bagi pertumbuhan mikroba starter. Selanjutnya ditambahkan starter sebanyak 2-5% (v/v atau b/b) dari jenis BAL Lactobacillus bulgaricus atau Streptococcus thermophillus atau keduanya. Ada beberapa jenis kultur starter, yaitu: a. Kultur Master (master culture), starter yang dibuat di laboratorium. b. Kultur Induk (mother culture), diturunkan dari kultur master. c. Kultur intermediet, yakni kultur induk yang dibuat dalam jumlah besar. d. Kultur kerja atau starter kerja (bulk starter), untuk diinokulasikan. Setelah inokulasi, dilakukan tahap proses inkubasi pada suhu yang sama selama 6-12 jam. Selesai inkubasi akan diperoleh produk yogurt yang ditandai dengan susu menjadi kental dan beraroma asam. Yogurt normal biasanya mempunyai keasaman sekitar 0,9 – 1,0%. Proses pembuatan yogurt sebenarnya relatif sederhana, tetapi untuk memperoleh produk yogurt yang berkualitas baik seringkali tidak sederhana. Beberapa permasalahan yang kadang timbul pada proses pembuatan yogurt (Legowo et al., 2009). Pertama, yogurt mempunyai tekstur tidak kental dan tidak halus. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor yaitu: (1) penambahan kultur starter pada suhu yang tidak tepat. (2) waktu inkubasi terlalu lama; (3) terjadi kontaminasi bakteri tertentu; (4) jumlah padatan susu tidak tepat; (5) pengadukan terlalu cepat; dan (6) susu tidak dihomogenisasi. Kedua, rasa yogurt menyimpang, mungkin terlalu asam atau ada rasa tidak normal. Penyimpangan tersebut kemungkinan karena kultur starter terkontaminasi, waktu inkubasi terlalu lama, dan saat pasteurisasi susu terjadi over-heating sehingga terbentuk off-flavor. Ketiga, terbentuk cairan bening dibagian atas yogurt. Kemungkinannya, yaitu: (1) waktu inkubasi yogurt terlalu lama, dan (2) yogurt diaduk berlebihan. Pada tahun 1908 E. Metchnikoff membuat hipotesis bahwa ada hubungan erat antara umur panjang masyarakat Bulgaria dengan kebiasaan mengkonsumsi susu fermentasi seperti yogurt. Peranan positif yogurt bagi kesehatan terutama didukung adanya bakteri asam laktat (BAL) didalamnya (Mitsuoka, 1993; Ray 1996). Jika ditambahkan bakteri probiotik pada pembuatan yogurt, dapat diperoleh beberapa manfaat bagi kesehatan (Legowo et al., 2009), al.: (1) Untuk melawan pertumbuhan mikroba patogen didalam saluran pencernaan, karena pembentukan asam-asam organik serta hidrogen peroksida dan bakteriosin. (2) Membantu mengatasi masalah lactose intolerance (tidak mampu mencerna laktosa). Bakteri asam laktat dapat memetabolisir laktosa susu menjadi glukosa, galaktosa, dan asam yang mudah diserap oleh tubuh. (3) Mereduksi kanker atau tumor didalam saluran pencernaan. Senyawa karsinogenik seperti nitrosamin yang masuk ke pencernaan dicegah penyerapannya oleh bakteri yang membentuk selaput protein dan vitamin. (4) Mereduksi jumlah kolesterol dalam darah. Dugaan mekanisme penurunan kolesterol tersebut adalah bakteri asam laktat dapat mendegradasi kolesterol menjadi coprostanol, yang tidak dapat diserap oleh usus. Beberapa jenis bakteri yang termasuk probiotik yaitu: Lactobacillus (L.) casei,L. reuteri,L. acidophilus LA-1,L. rhamnosus, dan beberapa spesies Bifidobacterium. 1.6. Pengolahan Keju
16 Keju (cheese) adalah produk koagulasi protein kasein susu dengan menggunakan renet, kemudian diproses lanjut secara spesifik. Renet adalah penggumpal protein yang mengandung enzim renin atau chymosin. Awalnya renet diperoleh dari ekstrak lambung ternak mamalia, namun dewasa ini diproduksi melalui proses fermentasi menggunakan mikroba tertentu, sehingga renetnya disebut sebagai fermentation produced chymosin (FPC) atau microbial rennet. Jenis keju yang paling sederhana adalah keju segar (fresh cheese). Keju ini hasil koagulasi kasein susu menggunakan asam dan renet, kemudian dipres untuk memisahkan cairan whey. Jenis keju yang lain diklasifikasikan berdasarkan: (1) komposisi kimiawi, terutama kandungan lemaknya, (2) ada tidaknya proses pemeraman, (3) jenis mikroba untuk pemeraman, dan (4) berdasarkan konsistensi atau tekstur keju. Berdasar konsistensinya dikenal jenis keju keras (hard cheese), keju semi-keras (semi-hard cheese) dan keju lunak (soft cheese). Keju juga dapat dibuat dari berbagai jenis susu ternak. Legowo, et.al. (2003) melaporkan bahwa proporsi susu kambing dan susu sapi skim berpengaruh nyata terhadap kadar lemak, nilai pH dan mutu hedonik keju cottage. Keju dengan proporsi susu kambing tinggi mempuyai kadar lemak yang tinggi, berwarna putih sedikit kekuningan tetapi ada aroma kambing (goaty flavor). Secara umum ada beberapa tahap dasar pembuatan keju yaitu: panyiapan/ pengaturan susu, pembentukan dadih, pemadatan dan manipulasi dadih, dan perlakuan spesifik (Goyal, 2020). Pengaturan (setting) susu dimaksudkan untuk mengkondisikan susu sebagai bahan utama keju, sekaligus pasteurisasi untuk membunuh mikroba patogen. Selanjutnya susu didinginkan pada suhu sekitar 300C agar sesuai untuk digumpalkan protein kaseinnya dengan penambahan asam dan renet. Pemberian rennet biasanya dalam bentuk larutan (ekstrak rennet) agar mudah tercampur secara merata didalam susu. Rasio renet dan air pelarutnya adalah sekitar 1:10 hingga 1:40. Penambahan renet kedalam susu diikuti dengan pengadukan selama beberapa menit, hingga nantinya akan terbentuk gumpalan yang disebut dadih (curd). Mekanisme pembentukan dadih menggunakan enzim renin dimulai dari hidrolisis rantai peptida kasein. Rantai peptida kappa-kasein dihidrolisis oleh enzim renin pada residu asam amino ke-105 (phenilalanin) dan asam amino ke-106 (methionin) menghasilkan rantai peptida pendek para-kappa-kasein dan glikomakropeptida. Hasil hidrolisis ini selain mengakibatkan penggumpalan protein kasein, juga membentuk flavor yang spesifik keju. Faktor yang mempengaruhi pembentukan dadih dan tekstur dadih antara lain yaitu: a. Jumlah renet. Pada kisaran tertentu, makin banyak jumlah renet yang diberikan maka semakin banyak dan kenyal dadih yang terbentuk. b. Rasio lemak dan skim susu. Proporsi lemak susu yang tinggi justru akan mengakibatkan tektur dadih yang lunak. c. Konsentrasi protein yang cukup tinggi akan menghasilkan dadih yang banyak dan kenyal. Setelah terbentuk dadih, dilakukan proses pemotongan dadih untuk mengeluarkan whey dari dalam dadih. Pemotongan biasanya dilakukan sekitar
17 0,5-2,0 jam setelah pembentukan dadih. Pemotongan dengan pisau digerakkan secara mekanis, yang sudutnya diatur sedemikian sehingga tidak mengakibatkan dadih menjadi hancur. Pada saat pemotongan, whey dan lemak keluar dari dadih. Pemanasan atau pemasakan dapat mengeluarkan cairan whey dan membuat stuktur dadih menjadi kokoh, karena pengekerutan matriks protein. Selanjutnya dilakukan proses pemadatan dan manipulasi dadih untuk pembentukan jenis-jenis keju tertentu. Keju blue-viened memerlukan dadih bersifat asam dengan sedikit pemanasan atau tanpa pemanasan. Manipulasi dilakukan setelah pemotongan dadih, sambil dadih diaduk pelan sehingga cairan whey keluar. Dadih dimasukkan wadah pencetak dan diberi penekanan ringan sambil dibalik-balik hingga dadih menjadi cukup kering. Selanjutnya dadih siap untuk di beri garam dan diinokulasi mikroba/jamur biru khusus untuk keju tersebut. Keju pasta (misal mozarella) banyak dikembangkan dibeberapa negara. Dadih dipertahankan didalam cairan whey pada suhu hangat (63-650C) sampai terbentuk massa padat. Dadih dibiarkan mencapai keasaman tertentu, pH sekitar 5, kemudian dibuat lebih lentur (plastic) pada cairan whey yang lebih panas, yaitu pada suhu sekitar 70-800C. Penggaraman dalam proses pembuatan keju secara umum mempunyai tujuan antara lain: (1) menghasilkan flavor keju yang khas (sedikit asin), (2) menunjang pembentukan tekstur, (3) mempengaruhi kenampakan keju, (4) mengontrol fermentasi asam laktat, (5) mencegah pertumbuhan mikroba pembusuk. Penggaraman berbagai jenis keju pada umumnya bervariasi antara 1-3%, sedangkan keju bertekstur keras memerlukan jumlah garam > 2%. Penekanan merupakan proses yang bertujuan untuk membentuk partikel-partikel dadih atau keju yang kompak (tidak longgar/tidak berongga). Secara umum penekanan diterapkan untuk pembuatan keju yang perlu diperam. Proses penekanan dilakukan pada kondisi semi-vakum (kurang dari 0,5 atm) dengan tekanan sekitar 85-95 kN/m2selama 2-3 jam. Tahap perlakuan khusus dimaksudkan untuk membentuk jenis-jenis keju tertentu. Perlakuan khusus tersebut dapat berupa antara lain: a. Melakukan pemuluran (stretching) dalam kondisi hangat pada pembuatan keju mozzarella. b. Pemisahan krim dari dadih pada pembuatan keju cottage. c. Inokulasi kultur starter tertentu, misalnya pada pembuatan keju requefort dan keju blue-viened. d. Penyemprotan spora kapang putih pada permukaan keju tertentu, misalnya keju camembert. e. Membalur permukaan keju brick dan limburger untuk induksi bakteri aerob. f. Penyimpanan didalam ruang khusus pada suhu agak hangat pada pembuatan keju swiss. g. Pengasapan untuk memberi flavor spesifik dan efek berminyak pada permukaan keju. h. Melakukan pemeraman dadih pada suhu dan waktu tertentu sampai diperoleh cita rasa, tekstur dan body keju yang diinginkan. Selama pemeraman terjadi degradasi laktosa, protein dan lemak yang disebabkan oleh enzim-enzim dari bakteri (BAL), jamur ( moulds) atau ragi (yeast) yang ditambahkan.
18 1.7. Pengolahan Krim Susu Krim (cream) atau lemak susu adalah komponen susu yang memiliki sifat spesifik dan nilai ekonomi tinggi. Krim banyak dimanfaatkan untuk membuat produk es krim (ice cream) dan mentega (butter). Es krim pertama kali dibuat pada tahun 1767 oleh Elizabeth Raffield (Lampert, 1970). Carlo Gatti memperkenalkan es krim secara komersial pada tahun 1860 dalam bentuk rebusan telur dan susu bersama-sama untuk membentuk custard, kemudian didinginkan dalam wadah yang dikelilingi oleh es dan garam. 1.7.1. Pengolahan Es Krim Batasan tentang es krim banyak dikemukakan oleh para ahli atau lembaga yang berkompeten, antara lain : a. Gibson (1988) mendiskripsikan es krim sebagai sistem kompleks berisi buih yang terdispersi didalam fase kontinyu yang dibekukan. Es krim merupakan suatu emulsi yang berisi krim, bahan padat tanpa lemak (BPTL), stabilizer, air, garam, gula dan komponen lain. b. Association of Great Britain and Ireland (Arbuckle, 1977) mendefinisikan es krim sebagai produk pembekuan yang mengandung lebih dari 8% lemak susu serta lebih dari 10% BPTL. c. USDA yang dikutip oleh Eckles (1980) menyatakan bahwa es krim adalah produk pembekuan dari krim dan gula dengan atau tanpa zat aroma dan mengandung tidak kurang dari 14% lemak susu. Tahapan pembuatan es krim meliputi: (1) pencampuran, (2) pasteurisasi, (3) homogenisasi, (4) pendinginan, (5) Aging (penuaan), (6) pembekuan dan (7) pengemasan. Bahan-bahan untuk pembuatan es krim dapat berasal dari susu, krim dan produk olahan susu (susu bubuk, susu kental, skim), serta bahan lain seperti pemanis, penstabil, pengemulsi, telur, bahan flavor dan air. Pencampuran bahan untuk membuat adonan es krim dilakukan bertahap, yaitu diawali dengan bahan cair seperti susu, krim dan susu kental atau skim. Bahan-bahan ini dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 40-430C. Setelah itu, bahan-bahan padat seperti gula dan pengental (CMC, carboxy methyl celulose) dituangkan. Bahan penstabil seperti alginat biasanya akan larut sempurna pada saat pemanasan. Setelah semua bahan tercampur, dilakukan pasteurisasi pada suhu 800C selama sedikitnya 25 detik. Tahap berikutnya adalah homogenisasi adonan untuk memperkecil ukuran globula lemak susu menjadi sekitar 1-2 m. Sifat penting yang perlu diperhatikan pada pembuatan es krim adalah overrun. Yang dimaksud overrun adalah pengembangan volume es krim relatif terhadap volume adonan mula-mula. Overrun dapat menentukan body, tekstur, kelezatan, serta hasil produksi dan keuntungan es krim. Besarnya overrun dapat ditentukan berdasarkan: (1) perbedaan volume (berat konstan), yaitu dengan menghitung besarnya volume es krim dikurangi volume adonan dibagi dengan volume adonan; (2) perbedaan berat (volume konstan), yaitu dengan menghitung besarnya berat adonan dikurangi berat es krim dibagi dengan berat es krim. Satuan overrun dinyatakan dalam persen (%) dengan rumus sebagai berikut:
19 Volume es krim – Volume adonan “Overrun” (%) = --------------------------------------------- X 100% Volume adonan Berat adonan – Berat es krim “Overrun” (%) = -------------------------------------------- X 100% Berat es krim Es krim yang baik mempunyai overrun berkisar antara 70-100%. Biasanya es krim dengan overrun 90-100% digolongkan sebagai tipe bulk yang tidak langsung dikonsumsi, sedangkan es krim dengan overrun 70-80% biasanya dikemas dalam kemasan kecil yang siap dikonsumsi. Setelah proses homogenisasi, tahap selanjutnya adalah pendinginan dan penuaan (aging). Adonan didinginkan pada suhu 0-40C dan kemudian dilakukan aging dengan cara mempertahankan adonan pada suhu tersebut selama 24 jam. Pada saat aging terjadi pembekuan lemak yang semula cair sewaktu homogenisasi, serta terjadinya pengembangan volume adonan yang akhirnya menjadi es krim dengan tingkat overrun tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya overrun adalah bahan pengemulsi (termasuk kuning telur), bahan penstabil, suhu pasteurisasi adonan dan besarnya tekanan homogenisasi. Es krim yang terbentuk segera dibekukan secara cepat supaya kristal es yang terbentuk kecil dan produk bertekstur lembut. Tahap ini diikuti proses hardening atau pengerasan es krim, yaitu dengan cara membekukan es krim pada suhu –180C. Pada suhu ini kira-kira 80% air yang ada di dalam es krim mengalami pembekuan. Bila suhu pembekuan diturunkan menjadi -300C maka jumlah air yang membeku mencapai 90%. Setelah tahap inilah es krim siap dikemas, didistribusikan, dan akhirnya dikonsumsi. 1.7..2. Pembuatan Es Krim yang Diperkaya Probiotik Produk fermentasi dipercaya sebagai makanan fungsional yang mempuyai banyak manfaat untuk kesehatan. Penggunaan bakteri asam laktat (BAL) yang berperan sebagai probiotik pada produk susu fermentasi akan menambah populasi bakteri alami didalam sistem pencernaan. Persyaratan umum bakteri probiotik, yakni pada saat dikonsumsi: (1) tahan terhadap pH lambung dan cairan empedu, (2) dapat hidup dan berkoloni dengan mikrobiota alami didalam saluran cerna. Manfaat probiotik tersebut antara lain, yaitu: membantu sistem pencernaan bekerja optimal, dapat mencegah diare pada penderita lactose intolerance, serta dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Bertolak dari fenomena tersebut, beberapa peneliti mencoba untuk menambahkan BAL dalam adonan es krim, yang akhirnya disebut es krim fermentasi. Penambahan BAL dalam pembuatan es krim sangat memungkinkan karena dalam adonan es krim masih terdapat gula (sukrosa maupun laktosa) sebagai substrat untuk pertumbuhan BAL. Untuk lebih disukai konsumen inkubasi dihentikan saat pH mencapai 5,6 (Davidson et al., 2000).
20 Pengaruh penambahan BAL dalam es krim akan mempengaruhi total bahan padat, pH, waktu pelelehan dan nilai overrun. Berkurangnya bahan padat akan meningkatkan overrun tetapi akan menurunkan waktu pelelehan es krim (Legowo et al., 2008). Es krim dengan penambahan BAL probiotik 3-6% mempuyai karakteristik es krim yang telah memenuhi standar kualitas dan berpotensi sebagai pangan fungsional. Total bahan padat es krim berkisar 33,02 – 31,07%, nilai overrun sebesar 40,5% - 49% dan resistensi pelelehan es krim selama 7,22 – 11,06 menit. Sedangkan tingkat keasaman es krim berkisar antara 0, 63 – 0,97% dengan nilai pH antara 4,88 – 5,32. Total BAL antara 1,9 x 10 7– 4,5 x 107cfu/ml (Mulyani et al., 2006). Jika BAL yang ditambahkan dalam adonan es krim fermentasi merupakan probiotik, maka produknya dapat disebut sebagai es krim probiotik. Penambahan probiotik L.casei dan Bifidobacterium bifidum dengan perbandingan 1: 2 dalam adonan es krim menghasilkan viabilitas BAL yang terbaik yaitu 6,4 x 108 – 1,4 x 1011 cfu/ml (Mulyani et al., 2008). Jumlah tersebut telah memenuhi standar internasional untuk minuman probiotik yaitu minimal 107cful/ml dengan jumlah konsumsi rata-rata 100 ml per hari (Davidson et al., 2000). Untuk meningkatkan sifat fisik es krim dan mempertahankan tektur selama proses penyimpanan beku adonan es krim dapat ditambahkan penstabil dari berbagai jenis hidrokoloid, misalnya gum arab, gelatin ataupun karagenan. Penambahan 0,5% gelatin dari adonan es krim mampu memperbaiki tekstur, meningkatkan tekstur creamy pada es krim meskipun kadar lemaknya rendah (Mulyani, 2018). Kemampuan gelatin sebagai penstabil lebih baik dibandingkan gum arab dan karagenan (Mulyani et al. 2020). Proses pembekuan cepat menjadi faktor yang memperkecil kematian BAL dan probiotik. Hasil penelitan menunjukkan bahwa pada penyimpanan beku selama 30 hari, jumlah BAL dalam es krim probiotik masih cukup tinggi yaitu 3,3 x 107– 6,7 x 108cfu/ml (Legowo, et.al.,, 2008). Ada beberapa tahap pembuatan es krim yang diperkaya probiotik yaitu pencampuran bahan, pasteurisasi, pemblenderan, pendinginan inokulasi, pemeraman, pembekuan dan penyimpanan. Tahap awal yaitu pencampuran bahan-bahan sesuai dengan komposisi yang telah ditentukan seperti whipping cream, skim, CMC, kuning telur, gula dan air. Campuran bahan dipasteurisasi pada suhu 80 oC selama 30 detik, kemudian didinginkan pada suhu ± 41oC sehingga siap untuk diinokulasikan starter. Penambahan starter sebesar 4% dari berat adonan ke dalam adonan es krim lalu diinkubasi selama 4 jam pada suhu 41 oC di dalam inkubator. Selanjutnya adalah penuaan (aging) dengan suhu 4 oC selama 5 jam, setelah itu memasukkan adonan es krim ke dalam ice cream maker selama 30 menit (Mulyani et al., 2008). 1.8. Pengolahan Butter Butter adalah mentega yang dibuat dari bahan utama lemak susu (cream). Butter pada umumnya dapat langsung dikonsumsi tanpa harus dimasak (edible fat consumed uncooked). Sebagai bahan makanan, butter merupakan sumber kalori, meningkatkan daya terima produk makanan lain, membentuk struktur bahan tertentu, serta menghasilkan flavor yang spesifik. Mentega juga merupakan sumber vitamin A dan vitamin D serta beberapa asam lemak tidak jenuh, seperti asam lemak omega-3 dan omega-6.
21 Jenis mentega maupun butter relatif banyak, yang dapat dikelompokkan/ digolongkan berdasarkan prosesnya, rasa, dan krim yang digunakan. Berdasarkan proses pembuatannya, butter digolongkan menjadi dua, yaitu: butter yang diperam (ripened butter) dan mentega yang tidak diperam (unripened butter). Berdasarkan rasanya, ada dua macam butter, yaitu mentega asin (salted butter) dan mentega tidak asin (unsalted butter). Berdasarkan krim yang digunakan untuk pembuatannya, dikenal ada tiga jenis butter, yaitu: (1) butter yang dibuat dari krim asam (cultured-cream butter), yakni krim yang diinokulasi bakteri sehingga berubah menjadi krim asam; (2) butter yang dibuat dari krim tidak asam atau krim normal (sweet cream butter); (3) butter yang dibuat dari krim normal, tetapi kemudian diasamkan dengan menumbuhkan bakteri asam laktat pada prosesnya (soured butter). Mentega adalah suatu massa kompak dari lemak susu sebagai suatu emulsi air (W, water) dalam lemak (O, oil), atau W/O emulsion, yang dibuat dengan proses pengadukan yang disebut churning. Kandungan lemak minimum dalam mentega adalah 83%, sedangkan kadar air maksimum 16%. Bahan–bahan yang digunakan untuk pembuatan mentega secara keseluruhan meliputi: a. Susu sebagai sumber lemak susu. b. Protein, yang biasanya berupa susu bubuk skim. c. Bahan pewarna yang memenuhi persyaratan food grade. d. Anti oksidan, yang berfungsi untuk mencegah oksidasi lemak. Jenis anti oksidan yang banyak digunakan adalah BHA (butylated hydroxy anysol). e. Garam. Tahap-tahap proses pembuatan butter meliputi: separasi, standarisasi, netralisasi, pasteurisasi, pemeraman, pendinginan, pengadukan (churning), pencucian, penggaraman dan pengemasan. Tahap separasi merupakan langkah pertama untuk memisahkan krim dari dari susu. Pemisahan krim biasa dilakukan dengan menggunakan alat cream separator pada kecepatan perputaran 6.000 rpm. Standarisasi atau penyesuaian kadar lemak harus dilakukan agar mencapai sekitar 30-33%. Bila kadar lemak terlalu rendah maka proses churning terlalu lama.Sebaliknya bila terlalu tinggi maka proses churning juga akan menjadi sulit. Standarisasi dapat dilakukan Metoda Pearson’s square dengan bahan krim dan skim (Legowo et al., 2009). Setelah jumlah krim ditentukan, tahap berikutnya adalah netralisasi untuk mengatur pH sekitar 6,8-7,2 dengan menambahkan senyawa alkali seperti natrium bikarbonat, magnesium oksida, magnesium hidroksida. Selanjutnya dilakukan pasteurisasi dan pemeraman. Akan tetapi pemeraman hanya dilakukan bila dikehendaki mentega dengan citarasa yang spesifik. Tahap berikutnya yang sangat penting adalah pengadukan atau churning. Istilah churn sendiri berarti alat pengaduk untuk pembuatan mentega/ butter. Churn merupakan pengaduk berbentuk silinder yang dapat berputar pada sebuah sumbu yang dilengkapi pisau-pisau pengaduk. Alat pengaduk tersebut pada umumnya terbuat dari logam anti karat yang digerakkan dengan tenaga listrik. Proses churning berlangsung selama sekitar 45 menit. Butter terbentuk dengan cepat pada saat akhir proses churning. Dalam kondisi tersebut terjadi perubahan emulsi dari emulsi minyak dalam air (o/w, oil in water) menjadi emulsi air dalam minyak (w/o, water in oil). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses churning adalah:
22 a. Suhu proses sekitar 3-100C. Pada suhu rendah (3-40C) proses churning memerlukan waktu cepat, yaitu sekitar 3 jam. Sedangkan pada suhu 100C memerlukan waktu relatif lama, yakni sekitar 12 jam. b. Jumlah krim yang dimasukkan churn adalah 0,3-0,5 isi churn dengan kadar lemak krim 30-33%. c. Keasaman krim harus pada kisaran 0,4-0,5%. Mentega yang diperoleh dari proses churning selanjutnya dicuci untuk memisahkan cairan atau serum atau sering disebut sebagai susu mentega (butter milk). Proses churning dan pencucian perlu dilakukan beberapa kali hingga diperoleh butter yang dikehendaki. Perlu dicatat bahwa butter milk dewasa ini bukan merupakan limbah (waste), tapi sebagai hasil samping (by product) yang dapat diolah lanjut menjadi produk minuman. Tahap terakhir pembuatan butter adalah membuat partikel-partikel butter menjadi massa yang kompak dengan cara diberi tekanan. Kadar air mentega diatur hingga sekitar 14-16%. Apabila ingin membuat butter dengan flavor spesifik, yaitu selain diberi garam juga diberi bahan flavor tertentu. RINGKASAN 1. Penanganan susu segar dilakukan sebelum pengolahan dengan tujuan: (1) mencegah dan memperkecil kontaminasi mikroba dan kontaminan lain pada susu; (2) memperpanjang daya awet susu; (3) memperkecil dan menyeragamkan ukuran globula lemak susu dengan homogenisasi; dan (4) pemisahan lemak susu dan pengaturan kadar lemak susu. Penanganan susu dilakukan pada saat pemerahan, hingga distribusi susu ke tempat/ pabrik pengolahan, sehingga dapat tersedia bahan baku pengolahan susu yang aman dan berkualitas baik. 2. Pendinginan susu merupakan bagian penting dalam rangkaian penanganan susu segar. Pendinginan terutama ditujukan untuk mencegah perkembang biakan mikroba yang ada didalam susu. Berdasarkan SNI No. Tentang Persyaratan Mutu Susu Segar disebutkan bahwa jumlah mikroba maksimum didalam susu adalah kurang dari 1 juta sel per mL. Supaya aman, susu sebelum diolah harus didinginkan pada suhu kurang dari 80C. 3. Teknologi pengolahan susu banyak ragamnya dan menghasilkan berbagai jenis produk olahan. Teknologi pemanasan susu dapat menghasilkan berbagai produk susu pasteurisasi (pasteurized milk products) dan susu steril (sterilized milk products) atau susu UHT. Teknologi evaporasi menghasilkan produk susu kental (evaporated milk,condensed milk) dan produk susu kental manis (sweetened evaporated milk). Teknologi pengeringan susu dapat menghasilkan berbagai produk susu bubuk (milk powder). Teknologi pengolahan yang lain adalah fermentasi untuk menghasilkan susu fermentasi (fermented milk) dan pemanfaatan krim susu untuk menghasilkan mentega (butter). 4. Pasteurisasi susu dapat dilakukan pada suhu rendah dan waktu pemanasan lama atau dikenal metode LTLT (low temperature long time), yaitu sekurangnya pada suhu 630C selama 30 menit. Pasteurisasi susu juga dapat dilakukan pada suhu relatif tinggi dengan waktu cepat atau disebut metode
23 HTST (high temperature short time), yaitu sekurangnya pada suhu 720C selama 15 detik. Sterilisasi susu dapat dilakukan dengan sistem batch menggunakan alat otoklaf dan dengan sistem kontinyu yang disebut proses UHT (Ultra High Temperature) pada suhu 135-1400C selama 2-5 detik. 5. Pada garis besarnya, proses pengolahan susu kental meliputi penyaringan, standarisasi, pemasan (pasteurisasi), homogenisasi, penambahan gula, evaporasi (pengurangan kadar air), pendinginan, kristalisasi dan pengemasan. Secara garis besar, tahap tahap proses pengolahan susu bubuk meliputi standarisasi, klarifikasi, pemanasan (pasteurisasi dan sterilisasi), evaporasi, homogenisasi, pengeringan, aglomerasi dan pengemasan. 6. Teknologi fermentasi susu pada umumnya menggunakan bakteri asam laktat (BAL) dan beberapa mikroba lain untuk menghasilkan produk yang spesifik. Yogurt adalah salah satu produk susu fermentasi dengan starter BAL Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. BAL dapat mengubah laktosa susu menjadi glukosa, galaktosa, dan asam laktat sehingga dihasilkan rasa manis dan asam. 7. Pada pengolahan keju, proses fermentasi utama diterapkan untuk menggumpalkan protein susu menggunakan rennet yang mengandung enzim renin atau chymosin. Jenis keju dapat diklasifikasikan berdasarkan (1) komposisi kimianya khususnya kadar lemak, (2) ada tidaknya proses pemeraman, (3) jenis mikroba yang digunakan dan (4) konsistensi atau keras lunaknya tekstur keju. Berdasarkan konsitensinya ini keju dibedakan menjadi hard cheese dan soft cheese. 8. Krim (cream) atau lemak susu memiliki sifat spesifik dan nilai ekonomi tinggi. Krim banyak dimanfaatkan untuk membuat es krim dan mentega (butter). Tahap pengolahan es krim meliputi pencampuran adonan, pasteurisasi, homogenisasi, pendinginan, aging, pembekuan cepat dan pengemasan. Overrun merupakan salah satu parameter utama kualitas es krim yang menentukan nilai ekonomis dari es krim. Dewasa ini banyak pengembangan produk berbasis es krim, salah satunya adalah es krim yang diperkaya bakteri asam laktat maupun probiotik. 9. Mentega adalah suatu massa kompak dari lemak susu yang dibuat dengan proses pengadukan yang disebut churning. Kandungan lemak minimum dalam mentega adalah 83%, sedangkan kadar air maksimum 16%. Tahap proses pembuatan mentega meliputi: separasi, standarisasi, netralisasi, pasteurisasi, pemeraman, pendinginan, pengadukan (churning), pencucian, penggaraman dan pengemasan. Proses churning berperan untuk pembalikan emulsi dari emulsi minyak dalam air (o/w, oil in water) menjadi emulsi air dalam minyak (w/o, water in oil). DAFTAR PUSTAKA
24 Al-Baarri, A. N. and A. M. Legowo. 2012. Aplikasi Teknologi Lactoperoxidase-Sepharose-Membrane sebagai Metode Pengawetan Susu Segar yang Murah dan Aman. Prosiding Seminar Insentif Riset Sinas (INSINas):PG103–109. Al-Baarri, A.N., A. M. Legowo, R.F. Siregar, T. Utami, C.W.C. Adi, A. Rachmantyo, dan F. L. Pradhana. 2016. Teknik Pembuatan Fruity Powder Yogurt. Indonesian Food Technologists, Semarang. Al-Baarri, A. N., A. M. Legowo, S. Hayakawa, and M. Ogawa. 2015. Enhancement Antimicrobial Activity of Hyphothiocyanite Using Carrot Against Staphylococcus Aureus and Escherichia Coli. Procedia Food Science 3:473-478. Al-Baarri, A. N., N. T. Damayanti, A. M. Legowo, I. H. Tekiner, and S. Hayakawa. 2019. Enhanced Antibacterial Activity of Lactoperoxidase Thiocyanate Hydrogen Peroxide System in Reduced-Lactose Milk Whey. International Journal of Food Science 2019:6. Al-Baarri, A. N., A. M. Legowo, S. K. Arum, and S. Hayakawa. 2018. Extending Shelf Life of Indonesian Soft Milk Cheese (Dangke) by Lactoperoxidase System and Lysozyme. International Journal of Food Science 2018:7. Arbuckle, W. S. 1977. Ice Cream. AVI Pub. Co., Westport, CT. Badan Pusat Statistik (BPS). 2017. Konsumsi susu nasional. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2011. SNI No. 3141-1 Tentang Standar Kualitas Susu Segar. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta. Christiansen, P. S. and A. J. Overby. 1988. Quality requirements of milk for processing. In Meat Science, Milk Science and Technology. H.R. Cross and A.J. Overby (Eds.). Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam-Tokyo. p: 201-209. Davidson, R.H., S.E. Duncan, C.R. Hackney, W.N. Eigel and J.W. Boling. 2000. Probiotic Culture Survival and Implications in Fermented Frozen Yogurt Characteristics. Journal of Dairy Science, 83(4):666-73 · Daulay, D. 1991. Buku/Monograf Fermentasi Keju. Ditjen Dikti-PAU Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Eckles, C.H., W.B. Combs and H. Macy. 1980. Milk and Milk Products. Tata Mc Graw-Hill Publishing Co. Ltd., Bombay-New Delhi. Gibson, D. L. 1988. Ice cream. In Meat Science, Milk Science and Technology. H.R. Cross and A.J. Overby (Eds.). Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam-Tokyo. p: 333-348. Goyal, M.R. 2020. Engineering Practices for Milk Products. CRC Press, Taylor & Francis Group, USA. Lampert, L.M. 1970. Modern Dairy Products. Chemical Publishing Co., Inc., New York, U.S.A. Legowo, A.M. 1988. Tahu susu bergizi tinggi. Harian Wawasan, 28 November 1988. Legowo, A. M. 2002. Peranan yogurt sebagai makanan fungsional. J. Pengembangan Peternakan Tropis, 27, 3: 142-150. Legowo, A.M. 2018. Pengawetan susu segar dengan system laktoperoksidase. Foodreview Indonesia, Vol XIII, 6, p. 50-52. Legowo, A.M. , Nurwantoro, R. Chairani dan. C. Purbasari. 2003. Kadar Protein, Lemak, Nilai pH dan Mutu Hedonik Keju Cottage dengan Bahan Dasar Susu Kambing dan susu Sapi Skim. Buku panduan Seminar Nasional
25 Teknologi Peternakan dan Veteriner,Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor, 29- 30 September 2003 Legowo, A.M., Soepardie, K. Permatasari. 2004. Komposisi kimiawi, tingkat pengembangan dan sifat organoleptik kerupuk susu dengan bahan dasar susu asam. Jurnal Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, 1 (1): 39-46. Legowo, A.M., U. Santosa,M. Adnan, A.N, Albarri , Nurwantoro dan F. Sabara. 2006. Profil Asam-asam lemak Yogurt Susu Sapi dan Susu Kambing. Prosiding Seminar Nasional PATPI, Yogyakarta, 2- 3 Agutus 2006. Legowo, A.M., S. Mulyani dan H. Swastika. 2008. Total bahan Padat, kadar laktosa dan Overrun Es Krim Probiotik dengan menggunakan starter L. casei dan B.bifidum. Seminar Pangan Nasional PATPI, Yogyakarta, tanggal 17 Januari 2008. Legowo, A.M., Kusrahayu, S. Mulyani. 2009. Ilmu dan Teknologi Susu. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Legowo, A.M. S. Mulyani dan A. Azizah. 2009. Profil kolesterol, kadar protein dan tekstur keju dengan bahan pengumpal Mucor meihei. Makalah Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang tanggal 20 juni 2009. Liu, Je-R., Y-Y. Lin, M-J. Chen, L.-J. Chen and C-W. Lin. 2005. Antioxidative Activities of Kefir. Asian-Aust. J. Anim. Sci., 18 (4): 567-573. Mitsuoka, T. 1993. Yogurt (Japanese). Nippon Hoso Shuppan Kyokai, Tokyo. Mulyani. S. , Nurwantoro dan Maqfiroh. 2006. Prospek es Krim Fermentasi Sebagai Makanan Fungsional. Prosiding Seminar Nasional 2006. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang Mulyani, S., A.M. Legowo dan A. Mahanani. 2008. Viabilitas Bakteri Asam Laktat, Keasaman dan Waktu Pelelehan Es Krim Probiotik dengan menggunakan starter L. casei dan B.bifidum. JPPT,33 (2) : 120-125 Mulyani, S. 2018. Karakteristik Gelatin Kulit Kerbau (Bubalus bubalis) yang Diekstraksi menggunakan Crude Acid protease dan sifat pengemulsinya pada es krim. Disertasi. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Mulyani, S. R. Nafiatur, S. Susanti dan Y.B.Pramono. 2020. The Physical and sensorus characteristic of Ice cream Enriched Corn Oil Using Different Stabilizers. IJST, 8 (5) . Nawangsari, DN. A.N. Al-Baarri, S. Mulyani, A.M. Legowo. V.P. Bintoro. 2014. Resistance of Immobilized Lactoperoxidase activity from bovine whey againts storage solutions. International Journal of Dairy Science. 9(2) : 56-62 Nielsen, P. and E. W. Nielsen. 1988. Technical treatment of milk. In Meat Science, Milk Science and Technology. H.R. Cross and A.J. Overby (Eds.). Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam-Tokyo. p: 211-261. Ockerman, H. W. 1991. Food Science Sourcebook 2nd Part 2: Food Composition, Properties, and General Data. Avi-Van Nostrand Reinhold, New York. Ohtani, S., T. Wang, K. Nishimura and M. Irie. 2005. Milk fat analysis by fiber-optik spectroscopy. Asian-Australalasian J. of Animal Sci., 18 (4): 580-583. Overby, A. J. 1988. Microbial cultures for milk processing. In Meat Science, Milk Science and Technology. H.R. Cross and A.J. Overby (Eds.). Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam-Tokyo. p: 263-273.
26 Potineni, R. V. and D. G. Peterson. 2005. Influence of thermal processing conditions on flavor stability in fluid milk: benzaldehyde. J. Dairy Sci., 88: 1-6. Ray, B. 1996. Probiotics of lactic acid bacteria: science or myth? In Lactic Acid Bacteria, B. Ray (Ed.). NATO ASI Series, Vol. H 98, Springer-Verlag Germany. p: 101-136. Refstrup, E. 1988. Concentrated and dry milk products. In Meat Science, Milk Science and Technology. H.R. Cross and A.J. Overby (Eds.). Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam-Tokyo. p: 349-372. Samuelsson, E. G. 1988. Liquid milk products and UHT milk. In Meat Science, Milk Science and Technology. H.R. Cross and A.J. Overby (Eds.). Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam-Tokyo. p: 275-288. Sherbon, J. W. 1988. Physical properties of milk. In Fundamentals of Dairy Chemistry, 3rd ed. N.P. Wong, R. Jennes, M. Keeney and E.H. Marth (Eds.). Van Nostrand Reinhold, New York. p: 409-460. Smith, J. W., L.O. Ely, W.M. Graves, and W.D. Gilson. 2002. Effect of milking frequency on DHI performance measures. J. Dairy Sci., 85: 3526-3533. SNI (Standar Nasional Indonesia). 1992. SNI 01-3141-1995 tentang Syarat Mutu Susu Segar. Dewan Standarisasi Nasional-DSN, Jakarta. SNI (Standar Nasional Indonesia). 1995. SNI 01-3950-1995 tentang Standar Mutu Susu UHT. Dewan Standarisasi Nasional-DSN, Jakarta. Soeparno, 2007. Pengolahan Hasil Ternak. Penerbit Universitas Terbuka, Jakarta. Sudono, A., F. Rosdiana dan B. S. Setiawan. 2004. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. PT Agromedia Pustaka, Jakarta. Surono, I. S. 2004. Probiotik, Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI, Jakarta. Van den Berg, J. C. T. 1988. Dairy Technology in the Tropics and Subtropics. PUDOC, Wageningen. Villa, V.Y., A. M. Legowo, V. P. Bintoro, and A. N. Al-Baarri. 2014. Quality of fresh bovine milk afer addition of Hypothiocyaniterich-solution from Lactoperoxidase system. International Journal of Dairy Science, vol. 9, no. 1, pp. 24–31. Whitney, R. M. 1988. Proteins of milk. In Fundamentals of Dairy Chemistry, 3rd ed. N.P. Wong, R. Jennes, M. Keeney and E.H. Marth (Eds.). Van Nostrand Reinhold, New York. p: 81-170. Widodo. 2003. Teknologi proses susu bubuk. Lacticia Press, Yogyakarta. Ziarno, M., E. Sekul, dan A.A. Lafraya. 2007. Cholesterol Assimilation By Commercial Yoghurt Starter Cultures. Acta. Sci. Pol., Technol. Aliment, 6 (1): 83 - 94. PERTANYAAN DAN LATIHAN 1. Perlakuan penanganan susu segar yang ditujukan untuk menyeragamkan dan memperkecil ukuran globula lemak susu sehingga tidak mudah membentuk cream layer adalah : A. Pendinginan B. Termisasi
27 C. Plate heat exchanger D. Homogenisasi 2. Proses Pasteurisasi maupun susu pasteurisasi selalu diikuti oleh proses pendinginan atau penyimpanan pada suhu dingin, tujuannya adalah : A. Mempercepat kematian mikroba patogen B. Memperpanjang masa simpan C. Menghambat pertumbuhan bakteri termofilik D. Mencegah terbentuknya lapisan krim 3. Susu kental sebaiknya mempuyai kadar air maksimum sebesar : A. 25% B. 27% C. 35% D. 40% 4. Proses Pengolahan susu bubuk yang menyemprotkan susu kental melalui nozzle dan mengubahnya menjadi partikel partikel kecil disebut proses : A. Penggumpalan B. Pengkabutan C. Aglomerasi D. Atomisasi 5. Senyawa yang ditambahkan pada proses aglomerasi susu bubuk sehingga kadar air sangat rendahdan bubuk relatif mudah larut dalam air, yaitu : A. Whey powder B. Lesitin C. Skim milk D. Bubuk krim 6. Jenis keju yang digumpalkan dengan rennet atau bahan pengumpal lain ., tetapi tidak mengalami proses pemeraman disebut : A. Keju segar B. Keju edam C. Keju cheddar D. Keju mozzarella 7. Proses pemeraman pada keju bertujuan untuk : A. Mengawetkan keju B. Membentuk cita rasa asam C. Membentuk tekstur elastis (mulur) dan lunak D. Membentuk tekstur dan cita rasa khas keju 8. Menurut peraturan USDA es krim sebaiknya mempuyai kadar lemak minimal sebesar : A. 11% B. 12% C. 13% D. 14%
28 9. Pengembangan volume es krim relatif terhadap volume awal adonan disebut : A. Foaming ability B. Swelling C. Overrun D. Hidrasi 10. Proses perubahan emulsi minyak di dalam air (o/w) menjadi emulsi air di dalam minyak (w/o) pada pengolahan mentega disebut A. Termisasi B. Aging C. Choncing D. Churning Kunci Jawaban Latihan : 1. D 6. A 2. C 7. D 3. D 8. D 4. C 9. C 5. B 10.D TUGAS MANDIRI 1. Buatlah paper dengan tema pengolahanan dan pengembangan suatu produk dengan menggunakan bahan utama komoditas susu. Gunakan referensi/ pustaka dari jurnal internasional mutakhir (terbit 10 tahun terakhir), paling sedikit 3 buah. 2. Cari dan terjemahkan secara bebas 1 naskah dari jurnal internasional mutakhir. Buatlah rangkuman isis naskah dan berikan tambahan pembahasan terkait peluang pengembangan dari artikel tersebut dan implikasinya bagi industry pangan di Indonesia. 3. Buatlah naskah yang terkait dengan pengembangan produk olahan susu yang diperkaya probiotik. Gunakan referensi/ pustaka dari jurnal internasional mutakhir (terbit 10 tahun terakhir), paling sedikit 3 buah. 2. PENGOLAHAN TELUR 2.1. Struktur dan Nilai Nutrisi Telur Telur (eggs) merupakan hasil ternak unggas, khususnya ayam petelur. Telur mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk membentuk individu baru hingga menetas. Zat-zat makanan tersebut esensial juga bagi manusia. Oleh sebab itu, sejak dahulu hingga kini telur dimanfaatkan oleh manusia sebagai bahan pangan yang kaya akan zat gizi. Disamping dari ayam petelur, telur juga diperoleh dari unggas yang lain seperti telur itik dan telur burung puyuh.
29 Telur dari berbagai jenis unggas mempunyai struktur dan karakteristik fisik serta kimiawi yang hampir sama. Struktur telur unggas tersusun atas tiga bagian utama, yaitu dari luar ke dalam berturut-turut berupa cangkang/ kulit telur (shell egg), putih telur (egg white), dan kuning telur (egg yolk) (Ilustrasi 1). Telur berbentuk bulat oval dan dibagian tumpul sebelah dalam terdapat rongga udara. Telur mengandung zat-zat gizi relatif lengkap seperti protein, lemak, vitamin dan mineral sehingga dapat disebut sebagai kapsul gizi (Rehault-Godbert et al., 2019). Protein telur berkualitas tinggi, dan dikenal sebagai protein seimbang (balanced protein), karena mengandung semua asam amino esensial bagi tubuh manusia (Miranda et al., 20015). Lemak telur mudah dicerna dan merupakan sumber energi bagi tubuh. Telur kaya akan asam lemak esensial terutama asam oleat dan asam lemak tak jenuh lainnya. Telur mengandung hampir semua vitamin, kecuali vitamin C (ascorbic acid). Telur dikenal sebagai sumber vitamin A, D, B1, dan Riboflavin. Telur mengandung berbagai jenis mineral seperti besi (Fe), posfor (P), dan lainnya yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang peternakan, produksi telur juga semakin meningkat. Peningkatan produksi telur perlu diimbangi dengan pengolahan yang memadai, baik pengolahan primer yakni penanganan dan pengawetan maupun pengolahan sekunder yang mengubah telur menjadi produk pangan olahan. Telur selain dapat digunakan sebagai bahan baku produk makanan, snack dan bakery, telur juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengembang (leaven), pengemulsi (emulsifier), pengental dan pengikat (thickener and binder),pemberi citarasa (flavor) dan pemberi warna. Gambar 2. Struktur telur (Sumber: Rehault-Godbert et al., 2019) 2.2. Pengawetan Telur Telur segar biologis dan telur segar komersial tidaklah sama. Secara teoritis hanya telur yang baru ditelurkan adalah segar; tetapi bila dipasarkan telur dianggap segar jika tidak terjadi perubahan isi telur yang nyata dan rongga udara dalam telur masih relatif kecil (tampak pada peneropongan). Jika ditangani dan disimpan pada kondisi lingkungan yang sesuai, telur masih diterima secara komersial sebagai telur segar 2 atau 3 minggu setelah peneluran. Jadi umur telur hanyalah satu dari banyak faktor kesegaran. Suhu, kelembaban dan penanganan ikut berperan menentukan kesegaran telur. Telur umur 1 minggu yang disimpan dalam refrigerator, bisa jadi lebih segar daripada telur yang disimpan pada suhu kamar selama 1-3 hari. Telur mempunyai nilai maksimum/ berkualitas tinggi sebagai bahan pangan pada saat ditelurkan. Selanjutnya kualitas telur mengalami penurunan
30 sampai saat dikonsumsi. Telur sangat peka terhadap pengaruh lingkungan sehingga mudah sekali mengalami kerusakan baik fisik, kimiawi maupun mikrobiologis. Cangkang telur yang berpori-pori memungkinkan gas dan air lepas dari telur serta masuknya mikroba ke dalam telur bila kondisi lingkungan tidak menguntungkan (favorable) untuk penyimpanan. Dari saat ditelurkan sampai dikonsumsi, telur akan mengalami perubahan-perubahan (Hatta et al., 1997; Roberts, 2004), diantaranya adalah : a. Berat telur berkurang, terutama disebabkan oleh menguapnya air dari putih telur lewat pori-pori cangkang, dan sebagian lagi karena menguapnya CO2, NH3, N2dan H2S. b. Rongga udara bertambah besar, c. Berat jenis turun, berat jenis telur segar berkisar antara 1,065 -1,100. d. Proporsi putih telur kental berkurang karena menjadi encer, akibat rusaknya protein ovomusin (fibrous glycoprotein ovomucin), suatu senyawa yang memberikan struktur kental putih telur. e. Kuning telur bertambah besar, karena adanya pergerakan air dari putih telur ke kuning telur. f. Terjadi perubahan bau dan flavor akibat terjadinya penyerapan bau-bauan dan flavor sekitarnya melalui cangkang telur. g. Terjadi pembusukan akibat pertumbuhan mikroba. h. Terjadi peningkatan pH, terutama pH putih telur akan meningkat dari sekitar 7 menjadi 10 atau 11, sedangkan pH kuning telur meningkat secara bertahap dari 6 sampai 7. Kenaikan pH putih telur disebabkan karena penguapan CO2. Pengawetan telur terutama ditujukan untuk menunda perubahan fisikokimiawi dan mencegah kerusakan mikrobiologis (Lechevalier et al., 2011). Dengan pengawetan memungkinkan ketersediaan dan distribusi telur yang lebih baik sepanjang tahun, sehingga menjamin stabilitas harga. Pengawetan telur dapat dibedakan ke dalam 2 bentuk, yaitu pengawetan telur utuh dan pengawetan isi telur setelah dipecah. 2.2.1. Pengawetan telur utuh Prinsip pengawetan telur utuh yaitu: (1) menghambat pertumbuhan mikroba, (2) menjaga/mempertahankan kandungan air dan tekanan CO2di dalam telur selama mungkin. Untuk itu, alternative metode yang dapat dipilih yaitu: (1) memodifikasi lingkungan dengan mengatur suhu, kelembaban, dan komposisi atmosfir; (2) memberi perlakuan pada telur dengan menutup pori-pori cangkang; (3) menggunakan kombinasi metode 1 dan 2. Beberapa cara pengawetan telur utuh antara lain: (1) pengepakan kering (dry packing); (2) perendaman dalam cairan; (3) penyimpanan dingin dengan atmosfer normal, atau atmosfer termodifikasi, atau atmosfer terkendali; (4) perlakuan pelapisan cangkang/penutupan pori-pori cangkang. 1. Dry Packing. Metode dry packing adalah mengepak telur utuh ke dalam material kering seperti pasir, sekam, serbuk gergaji dsb. Dry packing dapat menghambat penguapan air dan hilangnya CO2dari dalam telur. Namun jika packing materialnya longgar tidak mencegah penguapan ataupun dekomposisi isi telur.
31 2. Perendaman dalam larutan kapur. Larutan kapur diperoleh dengan cara melarutkan kapur (CaO) kedalam air. CO2atmosfer bereaksi dengan larutan kapur membentuk CaCO3pada permukaan larutan sehingga mencegah masuknya mikroba ke dalam telur. Larutan kapur juga mendeposit lapisan tipis CaCO3pada permukaan cangkang telur sehingga sebagian akan menutup pori-pori cangkang. Praktisnya 1 kg kapur dilarutkan dalam 15 l air kemudian disaring dan dituang ke wadah untuk perendaman. Telur direndam selama 21 – 30 hari, kemudian diangkat/ ditiriskan. Daya simpan telur mencapai 3 – 5 bulan. 3. Perendaman dalam water glass. Water glass adalah larutan Na2SiO4 (sodium silikat), bersifat kental, seperti sirup, bening, tidak mudah menguap, tidak berbau dan tidak berasa. Water glass tidak dapat menembus cangkang, tetapi dapat mendeposit silika pada permukaan cangkang sehingga menutup pori-pori cangkang. Water glass juga mempunyai sifat antibakteri yang disebabkan karena: (1) bersifat basa, dan (2) merupakan pelarut gas yang jelek sehingga memberikan kondisi anaerobik yang dapat menghambat beberapa bakteri. Praktisnya larutan water glass dapat dibuat dengan mencampur water glass dan air dengan perbandingan 1 : 10 sampai larut. Telur direndam selama 30 hari. 4. Perendaman dalam larutan garam dapur. Garam dapur (NaCl) dapat mencegah/menghambat pertumbuhan mikroba karena mempunyai efek: (1) meningkatkan tekanan osmosis yang dapat menyebabkan terjadinya plasmolisis sel mikroba; (2) menurunkan air bebas (Aw, water activity) dan dapat mendehidrasi sel mikroba; (3) ion Cl bersifat toksik bagi mikroba; (4) menurunkan kelarutan O2dalam air; (5) membuat sel mikroba peka terhadap CO2; (6) merintangi aksi enzim proteolitik. Garam dapat menembus pori-pori cangkang dan masuk ke dalam telur sehingga selain mengawetkan juga dapat memberi rasa asin. 5. Perendaman dalam larutan penyamak nabati. Senyawa aktif bahan penyamak nabati, tannin, dapat digunakan untuk pengawetan telur. Tannin terdapat pada kulit akasia, teh, daun jambu biji, sehingga bahan-bahan tersebut banyak digunakan untuk perendaman telur. Larutan diperoleh dengan cara merendam bahan penyamak dalam air selama 12 - 24 jam. Air hasil perendaman inilah yang dipakai sebagai larutan penyamak. Perendaman telur ke dalam larutan penyamak tersebut, kulit telur akan tersamak. 6. Penyimpanan Dingin. Pada dasarnya telur utuh dapat disimpan pada suhu rendah diatas titik beku telur, yakni -20C. Penyimpanan ini memperlambat hilangnya CO2dari dalam telur dan memperlambat masuknya air dari putih ke kuning telur, disamping itu pertumbuhan mikroba juga akan terhambat. 7. Pelapisan Cangkang. Pelapisan cangkang merupakan upaya mempertahankan kualitas telur dengan menutup pori-pori cangkang. Dengan tertutupnya pori-pori maka: (1) evaporasi dapat dikurangi sehingga memperkecil kehilangan berat telur dan menjaga rongga udara tetap kecil; (2) pelepasan CO2telur dapat dihambat sehingga kenaikan pH putih telur kecil dan pengenceran putih telur terhambat; (3) mikroba tidak dapat menembus cangkang. Pelapisan dapat dilakukan di bagian luar ataupun di bagian dalam cangkang. Untuk pelapisan bagian luar dapat digunakan minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak kelapa sawit ataupun minyak lain seperti parafin cair yang aplikasinya melalui penyemprotan (spraying) maupun pencelupan
32 (dipping). Pelapisan bagian dalam cangkang dapat dilakukan dengan membuat lapisan tipis putih telur yang menggumpal di bawah membran kulit telur dengan cara flash heat treatment, yakni mencelupkan telur ke dalam air mendidih atau minyak mendidih dalam waktu sekejap 2.2.2. Pengawetan telur yang telah dipecah Pengawetan telur pecah dapat berupa cair (liquid egg), beku (frozen egg) atau kering (dry egg), baik sebagai whole egg (keseluruhan isi telur), ataupun putih dan kuning telur secara terpisah. Tahapan proses pengawetan telur yang telah dipecah adalah dengan beberapa tahapan: sortasi, pencucian, pemecahan, penyaringan, pasteurisasi, pengemasan, dan pembekuan. Sortasi merupakan kegiatan memilah dan memilih telur yang memenuhi syarat untuk dipecah. Telur yang akan diawetkan harus mempunyai kualitas interior yang edible (layak makan), bebas dari kotoran atau material asing yang melekat. Pencucian telur dapat dilakukan dengan menyemprot telur menggunakan air yang mengandung Chlorine. Selanjutnya, pemecahan telur dapat dikerjakan oleh orang/tenaga yang terlatih atau dengan mesin pemecah telur otomatis, dan dilakukan dalam ruang khusus pemecahan di bawah kondisi sanitasi yang baik. Setelah pemecahan dilakukan penyaringan untuk menyingkirkan serpihan/pecahan cangkang, membran dan kalaza. Tahap selanjutnya adalah pasteurisasi yang ditujukan untuk membunuh bakteri patogen dalam telur, khususnya Salmonella. Pasteurisasi pada suhu 600C selama 3,5 menit dapat membunuh Salmonella, dan mencegah hilangnya sifat fungsional putih telur. Telur cair dapat dikemas dengan corrugated box dengan lapisan film plastik. Untuk telur beku dikemas dengan kaleng atau wadah karton berlapis polietilen. Untuk telur bubuk dikemas dengan corrugated karton dengan lapisan plastik yang disegel kuat/rapat untuk mencegah uap air masuk. Pada akhirnya dilakukan pembekuan cepat (blast freezing) pada suhu -400C dengan waktu sekitar 15 jam. Pembekuan putih telur tidak banyak masalah, tetapi pada kuning dan whole egg dapat mengalami kerusakan selama pembekuan karena air akan terpisah dari bahan padat kuning telur dan dapat menurunkan sifat fungsionalnya terutama daya buih. 2.3. Pengeringan Telur Prinsip pengeringan adalah penghilangan air dari telur sehingga cukup rendah untuk menghentikan pertumbuhan mikroorganisme dan menghambat laju reaksi kimia. Proses pengeringan akan menghasilkan produk berupa telur kering atau tepung telur/bubuk telur yang awet. Keuntungan produk telur kering, yaitu: (1) biaya simpan rendah, baik disimpan kering atau dingin dan butuh ruang lebih kecil dibanding telur utuh atau cair; (2) biaya transport lebih rendah daripada telur beku atau cair; (3) mudah ditangani secara saniter; (4) tidak peka terhadap pertumbuhan bakteri selama penyimpanan; (5) memungkinkan pengendalian yang tepat akan jumlah air yang digunakan dalam formulasi; (6) keseragaman yang baik; (7) memungkinkan pengembangan berbagai convenience food baru. Ada berbagai macam produk telur kering yaitu: putih telur kering (dried egg white), kuning telur kering (dried egg yolk), gabungan putih dan kuning telur
33 kering (dried whole egg). Berdasarkan proses pengeringannya dikenal beberapa macam produk putih telur kering. Hampir semua produk putih telur kering telah dihilangkan glukosa alaminya sebelum pengeringan dan stabil pada hampir semua kondisi penyimpanan (Hill dan Sebring, 1990). Beberapa produk putih telur kering yaitu: a. Spray dried egg white, adalah putih telur kering yang dikeringkan dengan metode spray drying. Ada dua tipe produk ini, yaitu tipe pengembang (whipping type) dan tipe bukan pengembang (nonwhipping type), yang keduanya berbeda penggunaannya atau sifat fungsional yang dikehendaki. b. Pan-dried egg white, adalah putih telur kering yang dihasilkan dari proses pengeringan dengan metode pan drying. Produknya berbentuk serpihan (flake), granula dan bubuk (powder), digunakan untuk pembuatan permen beraerasi. c. Instant-dissolving egg white, adalah produk putih telur yang dikeringkan dengan spray drying dan memiliki sifat sangat mudah larut dalam air. Selain beberapa produk tersebut diatas, juga ada produk campuran seperti dried blends whole egg and Yolk with Carbohydrate (sucrose,corn syrup). Ada juga produk scramble egg mix (campuran putih telur, kuning telur, susu skim, garam, minyak nabati) dan produk imitation whole egg yang biasanya berbasis putih telur dengan tambahan minyak nabati dan susu skim milk sebagai pengganti bagian kuning telur. 2.3.1.Sifat Telur Kering Pengeringan telur diarahkan untuk mendapatkan produk akhir yang saat digunakan mempunyai sifat-sifat mendekati bahan awalnya, yakni telur cair segar. Sifat-sifat penting untuk produk telur kering seperti: sifat membuih, sifat emulsi, sifat koagulasi, dll. 1. Sifat membuih bila dikocok. Sifat ini penting untuk pembuatan roti, kue dan permen. Putih telur akan kehilangan sifat membuihnya bila dikeringkan tanpa perlakuan pendahuluan dan panas berlebihan. Pemanasan putih telur di atas 570C menyebabkan hilangnya sifat membuih. Sejumlah kecil kuning telur (kurang dari 0,03 % berat basah) yang mengkontaminasi putih telur selama pemecahan dan pemisahan dapat mempengaruhi sifat membuih putih telur. Sifat membuih kuning telur juga dapat hilang karena pecahnya emulsi globula lemak menjadi lemak bebas. Karbohidrat dapat ditambahkan pada whole egg dan kuning telur untuk mencegah hilangnya sifat membuih. 2. Sifat emulsi. Kuning telur, putih telur dan whole egg merupakan emulsifier yang baik untuk produk pangan. Kemampuan mengemulsi dari kuning telur 4 kali lipat putih telur, sedangkan sifat mengemulsi whole egg sedang. Pengeringan akan mengubah sifat mengemulsi tersebut. Stabilitas emulsi mayonnaise yang terbuat dari whole egg kering dan kuning telur kering menurun bilamana produk tersebut disimpan 350C selama 3 bulan. Perubahan hanya sedikit jika disimpan 230C atau kurang selama 6 bulan. 3. Sifat koagulasi. Di bawah kondisi pengeringan dan penyimpanan yang layak, sifat koagulasi oleh panas produk telur kering tetap baik; tetapi jika kondisi pengeringannya sangat “keras” dan jika kondisi penyimpanannya jelek,
34 produk whole egg dan kuning telur dapat kehilangan sifat koagulasi panasnya seperti pada sifat kelarutannya. 4. Perubahan cita rasa dan nutrisi. Cita rasa dapat berubah karena kondisi pengeringan dan penyimpanan yang jelek. Salah satu faktor terpenting yang menyebabkan jeleknya stabilitas penyimpanan produk telur kering adalah glukosa alami yang ada. Hampir semua produk putih telur mempunyai glukosa bebas, oleh karenanya jika dihilangkan lebih dulu sebelum pengeringan maka akan sedikit mengalami perubahan cita rasa selama pengeringan. Pengeringan di bawah kondisi normal hanya sedikit menyebabkan hilangnya sifat nutritif telur. Vitamin A, Vitamin B seperti thiamin, riboflavin, asam pantotenat dan asam nikotinat masih terukur dalam whole egg kering dan esensial dijumpai sama dengan produk telur segar. Nilai protein telur kering tetap tidak berubah. Namun bila kondisi pengeringan dan penyimpanan yang jelek dapat merusak nutrisi telur. 2.3.2. Metoda pengeringan Pengeringan telur dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu: spray drying, pan drying, dan freeze drying. Metode spray drying merupakan metoda yang paling banyak digunakan. Pada spray drying, cairan diatomkan ke dalam aliran udara panas. Atomisasi akan menghasilkan luas permukaan yang sangat besar sehingga evaporasi air sangat cepat (Bergquist, 1990). Udara yang digu-nakan disaring untuk menghilangkan debu, kemudian dipanaskan sampai suhu 121-2320C. Bubuk yang terbentuk dipisahkan dari udara pengering. Produk kering dikeluarkan dari alat pengering, kemudian didinginkan, diayak, dan dikemas. Metode pan drying digunakan untuk menghasilkan produk putih telur flake-type. Nampan-nampan (pans) diisi putih telur dan disusun pada rak dalam ruangan yang dipanaskan. Evaporasi air berlangsung perlahan-lahan dan meninggalkan lapisan kristal yang disebut flake. Pengeringan sampai kadar air 12 – 16% akan menghasilkan flake-type material. Produk dengan ukuran 1,5 – 12,5 mm umumnya dianggap flake; lebih halus dari ini disebut putih telur granular. Dapat juga digiling menjadi bubuk halus. Metode freeze drying terbatas penggunaannya, karena kapasitas alatnya relatif kecil. Air dihilangkan dari produk yang dalam keadaan beku. Produk dibekukan dan divakumkan hingga sekitar 0,25 atmosfer. Panas harus dipasok ke produk pada suhu relatif rendah, sekitar 20-300C, sampai mengering. Walaupun prinsipnya sederhana namun peralatannya sangat kompleks dan biayanya lebih mahal daripada metoda pengeringan yang lain. 2.4. Pengolahan Telur Telur dapat diolah menjadi beberapa macam produk makanan, baik telur sebagai bahan utama maupun sebagai bahan campuran. Telur sbg bahan utama dapat diolah sebagai telur rebus, telur asin, telur pindang, telur dadar, telur ceplok, omellete. Telur sebagai bahan campuran dapat diolah sebagai roti atau produk bakery, es krim, salad dressing,mayonaise, dll. Sifat membuih dari telur
35 baik putih telur maupun kuning telur digunakan sebagai bahan pengembang makanan, sifat mengemulsi dari kuning telur digunakan sebagai emulsifier, sifat mudah menggumpal baik putih maupun kuning telur digunakan sebagai pemertebal dan pengikat (thickener and binder),selain itu juga telur digunakan sebagai pemberi citarasa (flavor) dan kuning telur sebagai pemberi warna. 2.4.1. Telur Rebus Telur rebus sering dihidangkan sebagai kudapan berupa telur rebus yang masih bercangkang maupun yang telah dikupas. Telur rebus yang telah dikupas, lebih lanjut dapat diolah menjadi aneka lauk pauk yang lezat seperti acar telur, sambal goreng telur, rendang telur dan lain-lain. Selain itu, telur dapat diolah menjadi telur asin, telur pindang dan sebagainya, yang penyajiannya berupa telur rebus yang masih bercangkang. Telur rebus ini tidak menarik disajikan bila cangkangnya pecah dan begitu pula bila telur rebus yang telah dikupas ternyata albumennya menempel pada cangkang yang menyebabkan kenampakannya jelek. Berbagai metoda perebusan telur telah banyak dilakukan dan dicoba untuk mencegah agar telur tidak pecah cangkangnya pada waktu perebusan, namun demikian hasil dari metoda-metoda tersebut masih beragam, tergantung kondisi telur yang direbus. Menurut Sheldon dan Kimsey (1985), telur rebus yang baik hendaknya memenuhi kriteria sebagai berikut: cangkang tidak pecah selama perebusan, cangkang mudah dikupas dan albumen yang menggumpal tidak melekat pada cangkang, dan kuning telur terpusat dengan baik dan tidak terlihat cincin gelap. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian pecah cangkang ketika telur direbus adalah: ketebalan cangkang, ukuran dan bentuk cangkang, umur telur dan temperatur penyimpanan telur, temperatur awal dari air yang dimasak. Waktu perebusan dan suhu pemasakan berpengaruh terhadap kejadian pecah selama perebusan dan perubahan warna kuning telur (Stadelman dan Rhorer, 1984; Hatta et al., 1997). Menurut Stadelman (1990), dalam mengukur kemudahan kupas dapat dilibatkan 2 faktor pengupasan yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menghilangkan cangkang, dan kenampakan telur rebus setelah dikupas. Kemudahan kupas telur rebus ada kaitannya dengan pH putih telur; telur dengan pH putih telur 8,7 atau lebih biasanya mudah dikupas. Britton dan Fletcher (1987) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan pada pH putih telur merupakan faktor utama yang mendukung peningkatan kemudahan kupas. Penghilangan CO2dari lingkungan sekitar telur mempercepat hilangnya CO2dari putih telur, meningkatkan pH putih telur dan meningkatkan kemudahan kupas. Pelapisan telur dengan minyak dan penyimpanan dingin menghambat penurunan pH sehingga telur sulit dikupas setelah direbus. American Egg Board merekomendasikan perebusan telur dengan cara meletakkan telur selapis dalam panci yang telah ditambahkan air paling sedikit 1 inci di atas telur, ditutup dan dipanaskan dengan cepat sampai mendidih, kemudian sumber panas dimatikan dan dibiarkan tertutup sampai 15-17 menit untuk telur yang besar (Stadelman, 1990). Sesuaikan naik atau turunnya waktu kira-kira 3 menit untuk setiap ukuran telur yang lebih besar atau lebih kecil. Segera didinginkan seluruh telur dalam air dingin yang mengalir selama 5 menit untuk mencegah permukaan kuning telur berwarna gelap.
36 Sheldon dan Kimsey (1985) melaporkan prosedur perebusan telur dengan memasukkan telur ke dalam air kemudian dipanaskan hingga mendidih dan dibiarkan mendidih selama 20 menit, memberikan temperatur internal telur paling tinggi (98,7oC) dibandingkan dengan metoda perebusan telur dengan cara telur dipanaskan dalam air sampai mendidih dan dibiarkan dalam keadaan panas selama 20 menit (95,6oC), dan dengan metoda steaming selama 20 menit (89,4oC). American Egg Board memberikan petunjuk mengupas telur sebagai berikut: dinginkan telur rebus dengan cepat dan melalui air dingin yang mengalir cepat (selama 5 menit), retakkan cangkang pada semua permukaan dengan membenturkan pelan pada meja, putar telur di antara tangan untuk melonggarkan cangkang, kemudian kupas mulai dari ujung tumpul. Pendinginan di bawah air mengalir atau mencelupkan dalam air menjadikan pekerjaan pengupasan lebih mudah. Sebenarnya mesin pengupas telur telah dikembangkan, namun semua mesin menyobek banyak putih telur; oleh karena itu mengupas telur banyak dikerjakan secara manual. 2.4.2. Telur Asin Telur asin (salted egg) merupakan produk awetan dari pengasinan telur. Namun cara pengawetan dengan pengasinan ini menimbulkan perubahan rasa telur yakni menjadi asin, maka dapat dikatakan pula bahwa telur asin merupakan salah satu produk olahan telur. Telur asin telah lama dikenal masyarakat, baik di Indonesia maupun di negara lain di Asia. Di China telur asin dikenal dengan Hulidan, dan di Taiwan dikenal Shyandan. Telur asin utuh dikonsumsi sebagai bagian dari diet reguler, namun kuning telur asin juga digunakan sebagai bahan isian pada beberapa produk pangan seperti moon cake (kue bulan), glutinous rice dumpling, dsb. Proses pembuatan telur asin melibatkan penggunaan garam NaCl/ garam dapur, dan bahan-bahan pendukung lainnya. Penggunaan NaCl (garam dapur) dalam pengolahan pangan disamping memberikan rasa asin, juga dapat menghambat kerusakan karena mikroba. NaCl dapat masuk kedalam telur melalui pori-pori cangkang dengan proses ionisasi, difusi dan osmosis. NaCl terionisasi menjadi Na+dan Cl-. Ada beberapa cara pengasinan telur yang telah dikenal, baik secara pelumuran dengan adonan maupun secara perendaman dengan larutan garam. Pengasinan telur dengan cara pelumuran adonan dikerjakan dengan menggunakan campuran garam dan serbuk material dengan perbandingan tertentu kemudian ditambah air secukupnya sampai terbentuk adonan seperti pasta. Serbuk material yang digunakan dapat berupa batu bata merah, abu, lumpur atau pasir. Telur yang telah dipilih dan dicuci dilumuri atau dibenamkan dalam adonan sehingga seluruh permukaan telur terkena adonan. Setelah itu disimpan beberapa lama, biasanya 7 – 10 hari. Pengasinan telur dengan cara perendaman dalam larutan garam dikerjakan dengan menggunakan larutan NaCl jenuh atau larutan NaCl 20 – 30% selama beberapa waktu, biasanya 7 – 10 hari.
37 Kriteria telur asin matang yang baik dan disukai yaitu: cangkang tidak pecah/retak, putih telur kenyal, kuning telur masir, berwarna menarik (orange sampai merah) dan berminyak. Selama pengasinan, air meninggalkan telur sedangkan garam masuk ke dalam putih dan kuning telur. Eksudasi minyak dalam kuning telur seiring dengan waktu akibat dehidrasi dan denaturasi protein Minyak yang tereksudasi dari kuning telur asin berada dalam bentuk lipid bebas yang dilepaskan dari lipoprotein. Lipid bebas pada interface bulatan granula kuning telur memberikan tekstur yang masir (gritty) pada kuning telur asin rebus. RINGKASAN 1. Telur dihasilkan oleh ternak unggas, khususnya ayam petelur. Telur juga dihasilkan oleh jenis ungags yang lain seperti telur itik dan telur burung puyuh. Telur dikenal sebagai bahan pangan yang kaya akan zat gizi. Protein telur dikenal mempunyai nilai gizi tinggi yang memiliki kandungan asam amino esensial lengkap. 2. Telur segar relatif mudah rusak, sehingga perlu upaya pengawetan. Telur segar akan mengalami perubahan selama penyimpanan, yang ditandai antara lain: berkurangnya bobot telur, bertambah besarnya rongga udara, berkurangnya proporsi putih telur kental, membesarnya kuning telur, peningkatan pH, perubahan bau dan tanda kebusukan. 3. 3.Pengawetan telur dapat diterapkan pada kondisi telur utuh maupun untuk isi telur. Pengawetan telur utuh meliputi: dry packing, perendaman dalam larutan kapur, perendaman dalam water glass, perendaman dalam larutan garam, perendaman dalam larutan penyamak nabati, penyimpanan dingin, dan pelapisan cangkang. Pengawetan telur yang sudah dipecah dapat berupa cair (liquid egg), beku (frozen egg) atau kering (dry egg), baik sebagai whole egg (keseluruhan isi telur), ataupun putih dan kuning telur secara terpisah. 4. Telur juga dapat dikeringkan isinya sehingga dihasilkan produk telur utuh kering, putih telur kering, dan kuning telur kering. Proses pengeringan dapat mempengaruhi sifat fungsional telur keringnya pada waktu digunakan untuk pengolahan produk pangan. Perubahan sifat tersebut yaitu: sifat membuih, sifat emulsi, sifat koagulasi, sifat nutrisi dan sifat organoleptic. 5. Telur dapat diolah menjadi beberapa macam produk makanan, baik telur sebagai bahan utama maupun sebagai bahan campuran. Telur sbg bahan utama dapat diolah sebagai telur rebus, telur asin, telur pindang, telur dadar, telur ceplok, omellete. Telur sebagai bahan campuran dapat diolah sebagai roti atau produk bakery, es krim, salad dressing,mayonaise, dll. DAFTAR PUSTAKA Bergquist, D.H. 1990. Egg Dehydration. In W.J. Stadelman dan O.J. Cotterill (Ed.). Egg Science and Technology. Food Products Press., New York. Hal. 285-323. Frazier, W.C. and D.C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. McGraw-Hill Book Co., Singapore.
38 Hatta, H., T. Hagi, and K. Hirano. 1997. Chemical and Physicochemical Properties of Hen Eggs and Their Application in Foods. In T. Yamamoto, I.R. Juneja, H. Hatta and M. Kim (Eds.). Hen Eggs: Their Basic and Applied Science. CRC Press, Washington DC, p. 117-133. Hill, W.M. and M. Sebring. 1990. Desugarization of Egg Products. In W.J. Stadelman dan O.J. Cotterill (Ed.). Egg Science and Technology. Food Products Press., New York. Hal. 273-283. Kilara, A. And K. M. Shahani. 1973. Removal of glucose from eggs: A review. J. Milk Food Technol., Vol. 36, No. 10. Lechevalier, V., T. Crogguennec., M. Anton and F. Nau. 2011. Processed Egg Product. In Y. Nys; M. Bain and F. V. Immerseel (Ed). Improving The Safety and Quality of Eggs and Eggs Products. Woodhead Publishing Limited, Cambridge, UK. Miranda, J. M., X. Anton, C. Redondo-Valbuena, C. Roca-Savedra, P. Roca-Savedra, J. A. Rodrigues, A. Lamas, C. M. Franco, and A. Cepeda. 2015. Egg and egg-derived foods: effects on human health and use as functional foods. Nutrients, 7, 706-729. Mountney, G.J. 1976. Poultry Products Technology. The Avi Publishing Company Inc., Westport, Connecticut. Orr, H.L. and D.A. Fletcher. 1973. Eggs and Egg Products. Canada Department of Agriculture. Ottawa. Romanoff, A.L. and A.J. Romanoff. 1949. The Avian Egg. John Wiley & Sons, Inc., New York. Rehault-Godbert S., N. Guyot and Y. Nys. 2019. The golden egg: nutritional value, bioactivities, and emerging benefit for human health. Nutrients, 11, 684. Sheldon, B.W. and H. R. Kimsey. 1985. The effect of cooking methods on the chemical, physical and sensory properties of hard-cooked eggs. Poult. Sci. 64, 84-92. Stadelman, W. J. 1990. Hard Cook Egg. In W.J. Stadelman dan O.J. Cotterill (Ed.). Egg Science and Technology. Food Products Press., New York. Hal.385-398. Roberts, J.R. 2004. Factors affecting egg internal quality and egg shell quality in laying hens. J. Poult. Sci. 41:161–177. LATIHAN DAN PERTANYAAN 1. Berdasarkan strukturnya, bagian telur yang memiliki nilai gizi protein tinggi adalah: a. Cangkang b. Putih telur c. Kuning telur d. Khalaza 2. Telur dikenal sebagai bahan pangan yang bergizi baik dan bermanfaat bagi kesehatan, karena: a. Kandungan proteinnya tinggi dengan asam amino esensial lengkap b. Mengandung asam lemak esensial c. Tidak mengandung mengandung kolesterol d. Sumber vitamin A dan D 3. Telur yang berkualitas baik ditandai dengan kondisi berikut ini, kecuali:
39 a. Masih kecilnya rongga udara b. Masih utuhnya cangkang c. Membesarnya rongga udara d. Bobot telur normal 4. Selama penyimpanan telur akan mengalami perubahan isinya yang ditandai dengan: a. Bertambahnya komponen putih telur kental. b. Mengecilnya kuning telur. c. Meningkatnya pH isi telur d. Menurunnya pH isi telur 5. Sifat-sifat fungsional telur berikut ini penting pada pengolahan produk pangan, kecuali: a. Sifat membuih b. Sifat kelarutan c. Sifat koagulasi d. Sifat emulsi 6. Garam dapur (NaCl) mempunyai efek mengawetkan telur karena mekanisme berikut ini, kecuali: a. Mengakibatkan plasmolisis sel mikroba b. Meningkatkan air bebas telur c. Menurunkan kelarutan oksigen d. Ion klor bersifat racun bagi mikroba 7. Metode ini tidak dapat digunakan untuk pengawetan telur: a. Perendaman telur dalam larutan NaCl b. Perendaman telur dalam larutan penyamak nabati c. Prendaman telur dalam water glass d. Perendaman telur dalam minyak mineral 8. Telur dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan produk berikut ini, kecuali: a. Mayonnaise b. Moon cake c. Salted egg d. Sweetened egg Tugas Mandiri 1. Buatlah naskah tentang potensi gizi telur untuk pengembangan produk pangan olahan. Gunakan sedikitnya 3 referensi dari jurnal internasional mutakhir (terbit 10 tahun terakhir). 2. Carilah sebuah naskah publikasi pada jurnal internasional mutakhir. Buatlah rangkuman isi naskah tersebut dan berikan pembahasan khusus terhadap hal dianggap menarik dan mempunyai peluang untuk dikaji lanjut atau dikembangkan.
40 3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING 3.1. Karakteristik Daging a. Komposisi Daging Setelah hewan disembelih, bagian hewan yang akan dikonsumsi merupakan karkas. Selain kulit, karkas terdiri dari otot (daging), lemak, dan tulang (Tabel 5.). Umumnya produk olahan daging (daging ruminansia dan daging unggas) berasal dari karkas yang terdiri dari jaringan otot (daging). Secara garis besar, jaringan otot ini dibagi menjadi otot polos, otot lurik, dan jaringan ikat. Daging merupakan komponen yang dapat dimakan setelah post mortem dari hewan. Dalam tulisan ini, hewan yang dimaksud adalah ternak yang terdiri dari sapi, domba, biri-biri, kambing, unggas, dan babi. Selain daging, bagian yang biasa dikonsumsi adalah hati dan jantung. Tabel 5. Komposisi karkas berbagai jenis hewan ternak Rerata proporsi berat hidup (%) *termasuk ke dalam non karkas Sumber: Kauffman (2012) Daging setelah penyembelihan mempunyai warna yang bervariasi mulai dari merah ungu gelap sampai pucat atau keabu-abuan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kadar mioglobin dan faktor biologis lainnya seperti pH. Mioglobin merupakan protein yang dalam proses fisiologi berperan mengikat oksigen dan karbon dioksida. Warna daging dada ayam sangat pucat yang disebabkan
41 kadar mioglobinnya yang rendah, akan tetapi warna paha sapi sangat merah yang disebabkan kadar mioglobin yang tinggi. Komposisi daging bervariasi tergantung dari jenis hewan dengan komponen yang sangat berpengaruh terhadap komposisi daging adalah lipid. Rerata daging adalah sebagai beirkut: 1% abu (umumnya terdiri dari kalium, natrium, klorin, magnesium, kalsium, san besi), 1% karbohidrat dalam bentuk glikogen pada saat hewan belum disembelih, dan berubah menjadi asam laktat setelah penyembelihan), 5% lipid, 21% komponen mengandung nitrogen (terutama protein) 72% sisanya adalah air Perbandingan komposisi daging dengan tulang dan lemak ditunjukkan Tabel 6. Otot atau daging tertentu mempunyai kadar lipid sampai 15% seperti daging di bagian perut, tetapi pada bagian lain kadar lemak kurang dari 2%. Di luar lemak, rasio protein/air adalah sekitar 0,3 dan umumnya rasio ini tetap tidak pada hewan yang sudah dewasa. Pada kasus kota membutuhkan komposisi daging secara cepat, maka dengan berdasarkan data kadar air dapat diperkirakan kadar lemak dan protein. Jika rasio protein/air adalah 0,3, sedangkan kadar abu dan karbohidrat relatif tetap dan kadar keduanya sekitar 2%, maka kadar lipid dapat diperkirakan yang dihitung by difference. Sebagai contoh, jika daging mempunyai kadar air 70% (A), maka kadar protein (P) yang setara dengan rasio protein/air (P/A)=0,3 atau P/70=0,3, maka P = 21 atau 21%. Dengan mengurangkan dengan kadar abu dan karbohidrat sebesar 2%, makan kadar lemak adalah 100 – 21 (kadar protein) – 2 (kadar abu+glikogen) – 70 (kadar air) = 7%. Tabel 6. Perbandingan komposisi kasar daging, lemak, dan tulang Komponen bernitrogen (terutama protein) Sumber: Kauffman (2012) Komponen lain yang terdapat dalam daging terdiri adalah asam lemak, gliserol, komponen nitrogen non protein (seperti DNA dan RNA. ammonia, kompponen mengandung gugus amin), dan vitamin. a. Komponen daging tanpa lemak (lean meat) Daging tanpa lemak terdiri dari 10% jaringan kontraktil (jaringan yang dapat berkontraksi) yang terdiri dari protein miofibril (aktin, miosin, dan lainnya) dalam susunan teratur berupa fibril, fibre, dan fibre bundels (Gambar 3.1.); 2% protein jaringan ikat, 6% protein sarkoplasma yang dikelilingi air (kadar air sekitar 75% dan komponen-komponen larut air seperti mioglobin, garam, dan vitamin), dan lemak serta komponen lainnya sebesar 3,5%.
42 Berdasarkan jenis protein, protein dalam daging digolongkan menjadi 4 golongan yaitu: 1. Protein miofibril sebagai jenis protein terbesar yang mencapai 60% dari total protein daging 2. Protein sarkoplasma sejumlah 29% dari total protein 3. Protein stroma sejumlah 6% dari total protein 4. Protein granular sebesar 5% dari total protein b. Lemak dalam daging Jaringan lemak atau adiposa dalam daging terdiri atas 80-85% lemak, 5-10% air, dan 10% jaringan ikat. Jaringan lemak dalam daging biasanya berwarna kekuningan. Warna kuning tersebut berasal dari karotenoid dalam pakan seperti rumput. Lemak dalam daging berperan terhadap flavor daging. Bergantung pada jenis asam lemak dalam daging, flavor atau bau daging sangat bervariasi. Daging babi mempunyai bau yang disebabkan oleh asam lemak jenis dan aldehid tidak jenuh. Pada karkas atau daging, lemak dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: Lemak dalam daging atau intramuscular fat yang terdapat antara muscle fibre dan fibre bundle. Lemak ini dikenal sebagai lemak marbling (marbling fat) yang berepran terhadap rasa juicy, flavor dan keempukan daging. Peternak sapi di Kobe, Jepang terkenal dalam menghasilkan daging dengan kadar lemak marbling tinggi sehingga dagingnya terkenal enak, juicy, dan sangat empuk. Lemak marbling yang tinggi tersebut diperoleh melalui pengelolaan pakan dan perlakuan terhadap sapi yang sangat istimewa. Lemak antar otot atau intermuscular fat. Lemak di bawah kulit (subcutaneous fat) atau lemak penyimpanan (deposit fat). 3.1.2. Struktur Daging Daging terdiri dari sel paralel, tipis, dan panjang yang tersusun menjadi fiber bundles (Gambar 3). Setiap serat daging (muscle fiber) ada dalam bentuk satuan yang terpisah yang diselubungi oleh jaringan ikat yang disebut endomisium (endomysium). Sejumlah serat daging ini bergabung bersama dalam suatu ikatan serat (fiber bundle) yang diselaputi oleh jaringan ikat tipis yang disebut perimisium (perimysium). Sejumlah fiber bundle bergabung dan dibungkus oleh jaringan ikat yang tebal dan besar yang disebut epimisium (epimysium).
43 Gambar 3. Struktur otot atau daging. 1. Epimisium, 2. Perimisium, 3.Endomisium, 4. Muscle fiber (Belitz et al., 2009) Membran yang mengelilingi masing-masing muscle fiber disebut sarkolema (sarcolemma) yang mempunyai ketebalan 75 nm. Sarkolemma terdiri dari tiga lapis: endomisium, lapisan tengah yang amorf, dan membran plasma bagian dalam. Muscle fiber merupakan sel-sel berinti banyak. Inti sel diselubungi oleh cairan yang disebut sarkoplasma (sarcoplasm) dan komponen sel lainnya seperti mitokondria, retikulum endoplasma, dan lisosom. Pada kondisi aerobik, energi sel dihasilkan dalam bentuk ATP di dalam mitokondria. Lisosom menghasilkan endopeptidase yang berperan pada proses pengempukan daging. Gambar 4. Struktur daging (Feiner, 2006) Muscle fiber atau sel daging (muscle cell) mempunyai diameter 0,01 sampai 0, 1 mm dan panjang 150 mm atau lebih. Komponen utama sel daging adalah miofibril (myofibril) yang masing-masing mempunyai diameter 1-2 um.
44 Sampai 1000 miofibril tersusun secara paralel dalam sel daging. Pada daging unggas yang mempunyai rasio miofibril terhadap sarkoplasma yang tinggi, kontraksi terjadi secara cepat tetapi cepat mengalami relaksasi. Sebaliknya pada daging merah yang lebih sedikit miofibril, kontraksi terjadi secara lambat tetapi lebih lama. Unit kontraktil dari serat daging disebut dengan sarkomer (Gambar 3.3). Sarkomer mempunyai panjang 2 mm dan terletak di antara dua garis z (Z line). Aktin berikatan dengan garis Z dan sebagian berikatan dengan ujung mosin. Miosin terhubungkan dengan garis M (M line). Pita I merupakan zona dimana tidak terdapat tumpang tindih dengan miosin, sedangkan zona H merupakan ruang dimana tidak ada tumpang tindih aktin dan miosin. Pita A mewakili miosin. Satu unit sarkomer membentang antar garis Z yang terdiri dari filamen tipis dan tebal. Gambar 5. Struktur sarkomer (Feiner, 2006) Gambar 6. Contoh suatu sarkomer pada kondisi relaksasi (a) dan berkontraksi (b). 1. Pita I, 2. Pita A, 3. Garis Z, 4. Garis M, 5. Filamen tipis, 6. Filamen tebal, 7. Zona H. I. Filamen tipis dekat garis Z, II. Tumpang tindih filamen tipis dan tebal, III. Filamen tebal, IV. Garis M (Belitz et al., 2009) Pada saat relaksasi, hanya sebagian aktin dan miosin yang tumpang tindih. Pada kondisi relaksasi ini sarkomer bersifat memanjang. Sebaliknya pada saat kontraksi, aktin dan miosin saling berinteksi menyebabkan sarkomer menjadi lebih pendek.
45 3.1.3. Perubahan pasca penyembelihan Perubahan kimia terjadi setelah hewan ternak disembelih, dan setelah penyembelihan terjadi perubahan dari otot menjadi daging, dan proses perubahan tersebut sangat kompleks. Ketika hewan ternak masih hidup dan bernafas, suplai oksigen ke dalam jaringan otot cukup dan digunakan untuk menghasilkan energi dari glikogen. Pada kondisi ini terjadi perubahan glikogen menjadi glukosa kemudian asam laktat yang menyebabkan pH daging menurun dari 7,0-7,2 menjadi 5,5-6,5. Proses ini disebut dengan glikolisis dan terjadi secara normal. Pada kondisi abnormal, dapat terjadi kondisi yang tidk diinginkan yangharus dihindari karena akan berdampak pada mutu prduk olahan daging yang dihasilkan. Kondisi tersbeut adalah sebagai berikut: Daging pucat, lunak, dan berair (PSE condition - pale, soft, exudative). Disebabkan oleh pH menurun secara cepat pada saat kondisi hewan masih hangat yang disebabkan suplai glikogen terjadi secara cepat. Biasanya disebakan kondisi penyembelihan yang menyebabkan hewan menjadi stress. Dampaknya adalah protein larut air (protein sarkoplasma) mengendap, daya ikat air yang rendah, dan warna pucat. Daging kering, keras, dan warna gelap (DFD condition - dry, firm, dark meat). Terjadi akibat suplai glikogen yang lambat akibat hewan kelaparan, kelelahan, atau stress berkepanjangan sebelum disembelih. Hal ini menyebakan asam laktat yang terbentuk sedikit dan pH tetap tinggi. Keadaan ini menyebabkan warna lebih gelap, tekstur padat, dan daya ikat air lebih baik tetapi kualitas mikrobiologis rendah akibat pH yang tinggi. Istilahnya pada daging sapi disebut dark cutting dan glazy pada daging babi. Kedua penyimpangan ini harus dihindari dengan mengendalikan kondisi sebelum dan pada saat penyembelihan. Daging dengan kualitas baik diperoleh dari hewan yang eshat, diberi pakan yang baik, dan tidak stress. Ketika hewan disembelik, ATP (adenosin trifosfat) dalam otot berubah menjadi ADP (adenosin difosfat) dan AMP (adenosin monofosfat) dengan melepaskan energi yang menyebabkan karkas berkontraksi. Setelah waktu tertentu, otot mengalami relaksasi yang menunjukkan berakhirnya masa rigor mortis (masa otot berkontraksi dan kaku). Waktu rigor mortis tergantung dari jenis hewan seperti ditunjukkan Tabel 7. Tabel 7. Perbandingan komposisi kasar daging, lemak, dan tulang Sumber: Greiser dan Guo (2012) Daging yang didinginkan yang dipasok ke pabrik olahan daging umumnya masa riogro mortis sudah tercapai dan tidak menimbulkan masalah. Jika pada waktu rigor mortis dilakukan proses pemotongan, pembekuan, atau pemasakan, biasanya daging menjadi keras
46 3.2. Teknologi Pengolahan Primer Daging Daging dan produk olahan daging merupakan topik yang luas yang mencakup berbagai jenis pangan dan teknologi pengolahan. Daging terdiri dari otot, lemak, dan jarinagn ikat yang dimanfaatkan sebagai pangan, baik dari hewan ternak ruminansia, unggas, maupun ikan. Produk olahan daging terdiri dari daging segar yang diproses tanap pemasakan seperti pemotongan, penggilingan, pendingian, curing (seperti dendeng/jerky). dan pembekuan, serta produk olahan yang mengalami pemasakan (processed meat) seperti sosis, daging burger, nugget, daging kornet (corned) dan lainnya. Istilah untuk daging dan produk olahan daging adalah sebagai berikut: a. Pengolahan primer merupakan pengolahan daging dalam bentuk mentah dan belum siap dikonsumsi. Pengolahan ini meliputi penyembelihan, penanganan karkas, pengempukan daging, perbaikan kualitas daging, pendinginan, dan pembekuan. Produk dari hasil pengolahan primer ini biasanya diolah lebih lanjut dalam pengolahan sekunder. b. Pengolahan sekunder (secondary processing): mengubah karakteristik dari daging dengan mengubah bentuk, ukuran, atau sifat kimia dengan penambahan ingredien lain untuk meningkatkan flavor, fungsionalitas, dan nilai ekonomi. Contohnya adalah produk emulsi daging, daging kering, daging asap c. Produk daging: adalah semua hasil pemasakan daging misalnya, daging steak dll. d. Produk olahan daging (product manufacturing) yaitu produk yang diolah dengan menambahkan bahan lain, seperti sosis, nugget dan lainnya Tabel 8. Daging dan produk olahan daging Kyuring atau Tanpa Kyuring Semua, terutama sapi, babi, unggas Air, fosfat, garam, antioksidan Biasanya utuh, Sebagian giling Air, fosfat, garam, flavor, antioksidan, pemanis Air, garam, pemanis, fosfat Air, fosfat, garam, pemanis Garan, rempah, pemanis, bumbu Ya, Sebagian tanpa kyuring Garan, rempah, pemanis, bumbu
47 Produk yang dibentuk (formed products) Sumber: Maddock (2012) 3.2.1. Pengempukan Daging Keempukan daging merupakan hal terpenting karena mempengaruhi rasa dan rasa enak ketika mengonsumsi daging. Pengempukan daging terdiri dari dua fase yaitu pengempukan awal, dan pengempukan lanjutan. Keempukan daging dipengaruhi oleh 4 faktor utama yang juga dipengaruhi pengolahan sekunder , yaitu: 1. Protein: protein yang berperan dalam daging adalah protein kontraktil. Integritas dari protein kontraktil ini yang mempengaruhi keempukan. Protein daging mengalami disintegritas (terdegradasi) dengan bertambahnya waktu selama post mortem. Enzim dapat membantu mempercepat keempukan dengan mendegradasi protein kontraktil seperti katepsin. Aging merupakan salah satu metode untuk pengempukan daging. 2. Panjang sarkomer. Portein otot bekerja karena mempunyai kemampuan untuk bergeser sehingga sarkomer mengerut (kontraksi) atau memanjang (relaksasi). Pada kondisi mengerut, otot mengalami kontraksi dan menyebabkan daging menjadi keras. Pada kondisi rifor mortis, sarkomer mengalami kontraksi sampai fase rigor mortis terlewati. 3. Jaringan ikat. Jenis dan jumlah jaringan ikat sangat pentiing dalam proses pengempukan daging. Jumlah jaringan ikat yang tinggi menyebabkan daging menjadi keras. Ketika hewan meningkat umurnya, jaringan ikat mengalami pengikatan silang antar fibril dari kolagen. 4. Komposisi daging. Jumlah lemak, wair, dan protein dalam daging mempengaruhi keempukan. Walaupun tidak selalu, jumlah lemak dalam otot (intramuscular/ (marbling fat) berkaitan dnegan keempukan. Ada beberapa cara untuk mengempukkan daging. Selain dengan pemeraman (aging) secara alami (penyimpanan pasca penyembelihan), pengempukan mekanis, enzimatis, dan kimia merupakan tiga metode yang umum digunakan untuk mengempukkan daging. 1. Pengempukkan mekanis. Dilakukan dengan cara merusak serat daging dan jaringan ikat menggunakan tusukan jarum. Metod eini cocok digunakan untuk daging yang dimasak matang, karena ada resiko kontaminasi mikroba dari jarum yang digunakan. 2. Pengempukan enzimatis. Enzim dari beberapa tanaman tropis seperti nanas (bromelain), papaya (papain) serta buah ara (ficin) mampu mengempukkan daging. Enzim ini mendegradasi protein otot secara cepat. Enzi mini harus disuntikkan ke dalam potongan dagin, atau direndam selam aproses marinasi (perendaman dnegan bumbu). Akan tetapi, daging sapi muda tidak memerlukan enzim untuk proses pengempukan. 3. Pengempukan kimiawi. Pengempukan ini dilakukan dengan menambahkan asam, biasanya cuka, pada daging segar. Asam akan mendegradasi jaringan ikan dan protein miofibril sehingga memperbiaki keempukan.
48 3.2.2. Perbaikan Kualitas Daging (Enhanced Meat) Perbaikan kualitas daging dapat dilakukan dengan cara menambahkan bumbu-bumbu dan bahan-bahan lain untuk meningkatkan warna dan rasa terutama keempukan dan juiciness. Bahan-bahan tambahan tersebut biasanya berupa air, garam, fosfat, dan dengan cara dinjeksikan atau dibalurkan pada potongan daging. Proses penambahan bumbu dan bahan lain ini disebut marinasi. Marinasi biasa dilakukan dengan cara perendaman, pembaluran, atau injeksi pada potongan daging. Larutan marinasi biasa ditambahkan sekitar 10% dari berat daging. Penambahan bahan-bahan marinasi selain dilakukan pada potongan daging juga dapat dilakukan pada daging giling atau daging kyuring. Pada larutan marinasi, air dibutuhkan untuk melarutkan bahan-bahan lain. Garam memperbaiki flavor dan membantu pengikatan air oleh daging. Fosfat, biasanya dalam bentuk fosfat alkalin seperti natrium tripolifosfat, umum digunakan pada marinasi. Fosfat berfungsi memperbaiki kemampuan pengikatan air dan juga bersifat antioksidan. Garam dan fosfat berfungsi memoerbaiki daya ikat air. Bahan lain yang biasa digunakan untuk marinasi dengan cara injeksi adalah asam organic seperti asam laktat. Asam ini berfungsi meningkatkan flavor dan memperpanjang daya simpan. Antioksidan dapat ditambahkan untuk mencegah pembentukan flavor yang tidak diinginkan. Flavor atau penguat rasa (flavor enhancer) serta bumbu-bumbu dan protein nabati dapat juga ditambahkan pada larutan marinasi. Pengempuk daging alami seperti ficin, bromelain, dan papain juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan keeempukan daging melalui degradasi serat daging dan jaringan ikat oleh aktivitas protease enzim tersebut. 3.3. Teknologi Pengolahan Sekunder Daging 3.3.1. Kyuring Daging Daging kyuring merupakan produk olahan daging yang luas dan umumnya juga merupakan hasil pengolahan sekunder. Kyuring bertujuan memperbaiki warna, rasa, dan pengawetan. Kyring dapat dilakukan pada daging utuh maupuan daging giling. Hampir semua jenis daging dapat dikyuring seperti sapi, babi, dan produk lainnya. Bahan utama untuk kyuring daging adalah nitrit atau nitrat. Kyuring merupakan tahapan penting pada beberapa produk olahan daging seperti sosis, daging burger, dan daging kornet (corned beef). Tujuan pembentukan warna merah cerah tidak akan tercapai jika proses kyuring mengalami kegagalan, Untuk memahami proses kyuring, maka perlu dipahami terlebih dahulu perubahan yang terjadi pada mioglobin sebagai pigmen daging yang mengalam perubahan selama proses kyuring. a. Pigmen daging mioglobin Pada proses kyuring terjadi perubahan warna daging menjadi merah cerah yang permanen. Reaksi pembentukan warna tersebut terjadi akibat perubahan yang terjadi pada mioglobin sebagai pigmen warna merah daging. Mioglobin merupakan protein berbentuk bulat (globin) yang berikatan dengan cincin hematin (Gambar 3.4.). Cincin hematin dalam mioglobin berikatan dengan satu atom besi dalam bentuk Fe2+ (ferro). Pada kondisi tanpa adanya
49 oksigen dan Fe dalam bentuk ferro, mioglobin berwarna merah keunguan. Warna ini tidak bisa dilihat karena ada pada bagian dalam daging. Ketika daging dipotong, mioglobin akan berikatan dengan oksigen membentuk oksimioglobin dengan atom Fe tetap dalam bentuk ferro. Proses pengikatan oksigen oleh mioglobin ini disebut oksigenasi. Oksimioglobin menimbulkan warna merah pada daging yang biasa kita lihat. Pada kondisi adanya senyawa pengoksidasi, Fe2+ (ferro) dapat berubah menjadi Fe3+. Pada kondisi tidak ada oksigen, maka akn terbentuk metmioglobin yang berwarna coklat dan Fe ada dalam bentuk ferri. Jika oksimioglobin dengan atom ferro mengalami oksidasi, maka ferro akan berubah menjadi ferri dan terbentuk oksi metmioglobin yang berwarna coklat juga. Gambar 7. Struktur mioglobin (Shakilaahmed, 2018). Warna merah meruakan protein globin, warna kuning merupakan inti hematin dengan atom ferro. Pada proses kyuring daging, mioglobin atau oksimioglobin akan berikatan dengan nitrit membentuk nitrosil mioglobin yang berwarna merah. Jika nitrit berikatan dengan metnioglobin atau oksimetmioglobin, maka akan terbentuk nitrosil metmioglobin yang berwarna coklat. Warna coklat ini tidak diinginkan sehingga pada proses kyuring pembentukan nitrosil metmioglobin harus dicegah. Ketika daging dipanaskan atau daging mengalami proses termal, protein globin pada nitrosil mioglobin akan terdenaturasi menyebabkan terbentuk nitrosilhemokromogen yang berwarna merah cerah. Warna merah cerah nitrosil hemokromogen ini yang diinginkan dari proses kyuring. Akan tetapi, jika nitrosil metmioglobin yang berwarna colat dipanaskan akan terbentuk nitrosyl hemikromogen yang juga berwarna coklat. Oleh karena itu dalam proses kyuring harus ditambahan bahan pereduksi yang mampu mencegah oksidasi Fe dari ferro menjadi ferri. b. Bahan kyuring Bahan-bahan kyuring diperlukan untuk membentuk warna dan flavor yang diinginkan. Bahan-bahan tersbeut tidak hanya nitrit atau nitrat tetapi bahan-bahanlain yang menunjang pembentukan warna dan flavor yang baik. Bahan yang umum digunakan untuk proses kyuring adalah air, garam, gula, dan nitrit/nitrat. Sebagai tambahan digunakan fosfat dan eritrobat/askorbat. kadang-kadang bumbu-bumbu ditambahkan seperti lada hitam dan madu yang digunakan dengan cara dioleskan di permukaan daging atau ditambahkan pada larutan garam. 1. Garam. Merupakan bahan dasar untukkyuring yang digunakan dalam bentuk larutan garam atau campuran kering. Garam berfungsi memberikan rasa dan juga pentingd alam melarutkan daging. Garam yang digunakan biasanya dalam bentuk granula atau butiran yang disebut “corn” sehingga
50 timbul istilah corned beef yaitu daging yang diberi garam butiran/granula. dalam Bahasa Indonesia berubah menjadi daging kornet. Supaya rasa asinnya tidak terlalu tajam, garam biasanya digunakan bersama-sama dengan pemnias sheingga dihasilkan rasa yang lembut. Garam juga mempengaruhi rendemedn dan sifat tekstur. Garam yang diguankan harus garam berkualitas tinggi food grade. Pengotor logam dalam garam dapat mempercepat proses oksidasi sehingga menimbulkan bau tengik. Fosfat dan nitrit bersifat menghambat proses oksidasi. Jumlah penggunaan garam dalam proses kyuring sangat beragam. Jumlah terlalu tinggi menyebabkan terlalu asin, sednagkan terlalu rendah menyebabkan protein daging tidak terekstrak. 2. Pemanis. Ada beberapa jenis gula yang biasa ditambahkan pada proses kyuring seperti sukrosa, dekstrosa, dan sirup jagung. Fungsi gula adalah mengimbangi rasa asin dari garam dan juga memperkaya flavor. Sukrosa juga berperan sebagai pengawet akan tetapi peran sebagai pengawet menyebabkan rasanya terlalu manis. Industri biasanya lebih menyukai menggunakan dekstrosa cair atau sirup jagung karena lebih mudah ditangani. 3. Nitrit (NO2) dan nitrat (NO3). Fungsi awal dari nitrit dalam proses kyuring adalah untuk mengahsilkan warna. Selain membentuk warna, nitrit juga berfungsi sebagai antibakteri, menghambat oksidasi lemak. dan juga mempengaruhi flavor. Sampai saat ini peran nitrit tersebut tidak tergantikan. Natrium nitrit merupkaan garam dengan asam lemah dan basa kuat. Ion nitrit bersifat sangat reaktif dan mudah larut air. Pada proses kyruing, nitrat harus berubah menjadi nitrit kemudian berubah menjadi nitrous acid (HONO) dan kemudian NO berekasi dnegan mioglobin membentuk nitrosyl mioglobin (MbNO). Dengan adanya udara, NO bersifat mudah teroksidasi. Nitrit bersifat sebagai antioksidan dan MbNO juga bersifat antioksidan. Ketika dipanaskan MbNO membentuk kompleks yang stabil nitrosilhemokrom yang menghambat sifat katalitik Fe dan mencegah Fe lepas dari mioglobin. 4. Bahan tambahan kyuring. Bahan tambahan yang biasa digunakan dalam proses kyuring adalah askorbat dan eritrobat, fofat, pati, dan hidrokoloid. i. Asam askorbat atau eritrobat mempercepat konversi nitrit menajdi NO dalam proses pembentukan warna daging kyuring, sehingga sering disebut akselerator kyuring. Peran eritrobat sama dengan adam askorbat. Penggunana asam askorbat atau eritrobat menurunkan waktu kyuring, warn yang terbentuk lebih seragam, dan flavor serta warna lebih baik. Eritrobat lebih sering digunakan karena harganya lebih murah. Penggunaan asam askorbat biasamya maksimum 550 ppm. Larutan kyuring (pickle) yang digunakan umumnya 10% dari berat daging. ii. Fosfat. Industri pangan banyak menggunakan fosfat alkali tidak hanya untuk produk kyuring daging dengan tujuan utama mencegah pengerutan. Fosfat berperan meningkatkan pH dan melarutkan protein daging. Fosfat berfungsi meningkatkan kuat ionik cairan daging sehingga meningkatakn hidrasi protein tanp amenyebakan peningkatan rasa asin. Pada titik isoelektrik protein daging, yaitu 5-5,0, kemapuan menaham air sangat rendah. Peningkatan pH menyebabkan kemampuan menahan air meningkat. Penambahan natrium fosfat biasanya 0,2-0,5% dalam bentuk sodium tripolifosfat (STPP). Fungsi lain dari fosfat adalah sebagai buffer, mengkelat logam, dan berperan sebagai polianion yang meningkatkan kuat
51 ionik dari larutan. Jenis fosfat yang diijinkna untuk digunaka dalam larutan kyuring adalah disodium phosphate, monosodium phosphate, sodium metaphosphate, sodium polyphosphate glassy, sodium tripolyphosphate, sodium pyrophosphate, sodium acid pyrophosphate, sodium hexametaphosphate, dipotassium phosphate, monopotassium phosphate, potassium tripolyphosphate, dan potassium pyrophosphate. STPP dan campurannya dengan heksa metafosfat umumnya digunakan dalam produk kyuring. Penggunaan fosfat meningkatan daya ekstraksi protein daging dan meningkatkan stabilitas pemasakan karena lebih mampu menahan air. iii. Pati. Pati merupakan ingridien multiguna yangdigunakan dalam berbagai produk pangan. Pati berperan membentuk tekstur, pengikat, dan memperbaiki rasa di mulut produk daging. Pati yang paling banyak digunakan untuk olahan daging adalah pati serealia dan umbi-umbian yang masing-masing mempunyai karaktersitik yang berbeda. iv. Hidrokoloid yang paling banyak digunakan untuk olahan daging adalah karagenan dengan penggunaan kurang dari 1%. Karaginan harus dipanaskan terlebih dahulu supaya dapat berfungsi membentuk gel yang kokoh tetapi elastis. Selain karaginan, hidrokoloid yang dapat diguankan dalam olahan daging adalah tepung konjak. c. Metode kyuring Berbagai metode kyuring banyak digunakan baik proses kyuring skala rumah maupun industri besar. Sebenarnya metode yang ada saat ini merupakan modifikasi dari teknologi dasar kyuring yaitu kyuring metode kering (dry curing) dan metode basah menggunakan larutan kyuring (pickle curing). Metode kyuring meliputi: 1. Kyuring kering (dry salt curing) Merupakan metode kyuring yang pertama dilakukan. Metode ini menggunakan garam saja atau kadang-kadang ditambahkan nitrit atau nitrat. Air keluar dari daging karena adanya bahan kyuring dan kemudian ditiriskan, sehingga daging menjadi lebih kering dan keras. Di beberapa daerah, biasanya dicampurkan bumbu-bumbu. Bahan kyuring metode kering ini umumnya berupa garam, gula, nitrat, dan nitrit. Cara yang praktis biasnaya dnegan membalurkan campuran bahan kyuring ke permukaan daging dan daging dibiarkan selama waktu tertentu. Kyuring metode kering ini biasanya dikombinasikan dengan menginjeksikan larutan garam. Kadar garam yang digunakan biasanya jenuh sekitar 10%. 2. Kyuring larutan garam Perendaman dalam larutan garam biasanya diikuti dengan kyuring metode kering dan beberapa waktu lalu sudah dilakukan secara komersial. Potongan daging direndam dalam larutan kyurinng (pickle) yang memungkinkan bahan-bahan kyuring berpenetrasi. Proses ini biasanya lambat dan kemungkinan bisa terjadi pembusukan daging sebelum proses kyuring selesai. Saat ini metode ini sudah jarang dilakukan. 3. Metode injeksi
52 Merupakan metode standar yang dilakukan industry saat ini yaitu dengan menginjeksikan larutan pickle ke dalam potongan daging. Injeksi meningkatkan efisiensi dan menghasilkan distribusi yang lebih merata. Ada tiga metode dasar untuk injeksi ini yaitu pemompaan arteri (artery pumping yaitu larutan pickle diinjeksikan pada pembuluh arteri dalam daging), penusukan dengan satu jarum pada berbagai lokasi (stitch injection), dan injeksi dengan banyak jarum (multi needle injection) menggunakan mesin. Yang terakhir ini yang saat ini banyak digunakan oleh industri. 3.3.2. Produk Emulsi Daging Produk emulsi daging saat ini tersedia di pasaran dalam berbagai jennies produk. Gaya hidup yang berubah menjadi serba praktis menyebabkan produk emulsi daging ini laris dan banyak diminati. Produk emulsi daging antara lain berupa sosis berbagai jenis (wiener, frankfurter, bologna dll), daging kornet, daging burger, bakso, rollade, dan nugget. Daging sapi banyak dioleh menjadi produk emulsi. Contoh produk emulsi untuk daging ayam antara lain sosis ayam, burger ayam, rollade ayam, bakso ayam, dan nugget ayam. Pada produk emulsi ini, protein daging berperan sebagai pengemulsi. Protein miofibril pat menstabilkan meulsi karena mampu berada pada antarmuka minyak/lemak dan air. Ketika globula lemak dikelilingi oleh protein daging, maka emulsi terbentuk. Pengolahan lebih lanjut seperti pemanasan menyebabkan protein daging terdenaturasi dan memperkuat sistem emulsi. Protein miofibril juga membentuk gel yang kuat. Akan tetapi protein sarkoplasma tidak berkontribusi dalam pembentukan emulsi karena membentuk gel yang lemah. Retensi air (kemampuan menahan air) merupakan sifat penting dari produk emulsi daging. Jumlah air yang terikat tergantung dari peran aktin dan myosin sebgaia protein miofibril yang kemampuan pengikatannya dipengaruhi oleh pH. Pada pH di atas atau di bawah pH isoelektrik, kemampuan mengikat air meningkat. Penambahan garan menyebabkan perubahan muatan elektrik protein dan mengakibatkan peningkatan kemampuan mengikat air. Produk emulsi daging yang dapat dipotong (sliceable) biasanya bertekstur kompak, seperti sosis. Produk ini biasanya diolah dari daging giling halus (comminutted meat) dicampur dengan lemak, air, dan es dan bahan tambahan (garam, nitrat, fosfat, bumbu, flavor, dan lainnya). Bahan lain seperti susu skim bisa ditambahkan dan berperan meningkatkan kekompakan produk dan kemampuan untuk dipotong (sliceability). Garam akan mengekstrak protein daging dan kemudian protein daing mengemulsikan lemak, membetuk gel yang kemudian distabilkan dengan pemanasan dan mengubah bahan menajdi produk yang padat. Jumlah lemak yang ditambahkan berkisar 15-30%. Setelah dicampur, bahan-bahan kemudian dimasukkan ke dalam selongsong (casing) alami ataupun sintetik. Bahan sosis yang sudah adalam casing kemudian dipanaskan dalam oven atau diasap. Setelah dipanaskaan atau diasap, sosis didinginkan dengan cara disemprot air atau dicelupkan ke dalam air dingin. Pada beberapa produk, selongsong sintetik biasanya dilepaskan terlebih dahulu. Jika selongsongnya dapat dimakan, maka biasanya dibiarkan tetap menempel seperti pada produk bockwurts. Sifat sosis yang dapat dipotong ini adalah kohesif.
53 Produk emulsi daging yang bersifat tidak kohesif atau tidak kompak (spreadable) diolah dengan cara pemasakan daging giling kasar. Lemak biasa ditambahkan pada kadar 45-50% kemudian dicampur dengan kaldu. Protein non daging seperti susu skim, susu bubuk, dan konsentrat protein kedelai digunakan sebagai penstabil. Formulam produk ini juga mencakup bumbu-bumbu, rempah-rempah, dan bahan tambahan lain. Adonan kemudian dimasukkan ke dalam selongsong atau kaleng secara hati-hati untuk mencegah udara terperangkap. Udara dapat menghambat transfer panas dan meningkatkan oksidasi lipid dan pigmen. Pemanasan menyebabkan perubahan adonan berbentuk gel menjadi bertekstur yang tidak kompak (spreadable). Lemak yang digunakan dalam formula biasanya lemak sapi atau babi, dan bisa diganti dengan minyak nabati. 3.3.3. Daging Asap Sebelum diasap, daging biasanya dikyuring atau digarami, atau kadang-kadang dimasak terlebih dahulu. Daging asap seringkali merupakan makanan khas suatu daerah seperti daging Sei dari Nusa Tenggara Timur. Bacon merupakan salah satu produk kyuring dan pengasapan. Pengasapan dilakukan pada suhu yang secara bertahap meningkat dalam ruangan dengan kelembaban rendah. Produk hasil pengasapan ini sebaiknya dikemas secara vakum untuk mencegah oksidasi lipid karena umumnya mempunyai aktivitas air yang rendah. Secara industri, pengasapan dilakukan dalam ruangan yang disebut smokehouse. Dalam ruang pengasapan ini, asap dihasilkan dari hasil pembakaran kayu jenis tertentu. Jenis kayu sangat berperan menentukan flavor daging asap yang dihasilkan. Kayu-kayu tersbeut biasanya sudah dipotong bentuk balok yang seragam atau berbentuk serbuk gergaji. Lama pengasapan bisa berjam-jam dan pengasapan tradisional biasanya memakan waktu berhari-hari. Selama pemasakana terjadi pembentukan warna dan cita rasa khas daging asap. Warna terbentuk karena adanya reaksi Maillard antara karbonil hasil pirolisis kayu dengan gugus amin dari protein daging. Reaksi ini menyebabkan warna keemasan dari produk. Flavor terbentuk dari interaksi antara komponen-komponen dalam asap dengan komponen-komponen yang ada di daging selain juga dikontribusikan oleh reaksi Maillard. Pengasapan juga dapat dilakukan dengan menggunakan asap cair. Asap cair bisa dibuat dari berbagai kayu keras dengan cara asap dikondensasi. Asap cair telah digunakan secara luas dalam berbagai produk pangan termasuk olahan daging dengan tujuan utama untuk mendapatkan flavor yang khas. Penggunaan asap cair biasanya dilakukan dengan pembaluran, penyemprotan, atau perendaman. Asap cair biasa dipekatkan supaya karaktersitik asapnya lebih kuat, juga biasa dilakukan fraksinasi dan pemurnian. Asap cair ini juga bisa diubah menjadi bentuk bubuk. Komposisi kimia asap cair tergantung dari jenis kayu dan kadar air kayu. kadar air mempengaruhi suhu pirolisis dan asap yang dihasilkan. 3.3.4. Daging Fermentasi Sosis dibuat dengan cara menggiling daging sampai halus dan menambahkan bahan-bahan kyuring dan bahan lainnya. Beberapa jenis sosis
54 secara tradisional difermentasi dengan metode back-slopping yaitu daging dari hasil fermentasi sebelumnya ditambahkan pada adonan sosis baru yang akan difermentasi. Saat ini, inudtsri sosis modern menggunakan kultur starter untuk produknya. Pada pengolahan tradisional, fermentasi dilakukan secara spontan, dimana mikroba berasal dari mikroba yang secara alami terdapat pada daging yang dipengaruhi oleh kadar garam dan lingkungan. Daging tersebut kemudian dimasukkan ke dalam selongsong alami ataupun sintetik. Pada sosis kering (dry sausage) Daging dalam selongsong kemudian dibiarkan mengalami fermentasi pada suhu yang terkontrol yang biasanya 10-24C pada kelembaban relatif 90% selama 1-7 hari. Sosis semi kering difermenrasi pada suhu yang lbeih tinggi 30-40 C selama beberapa hari. Pengeirngan dilakukan pada kelembaban dan waktu yang berbeda tergantung dari jenis sosis. Beberapa jenis sosis diasap dan dimasak sebelum dikeringkan. Proses pengolahan sosis yang berbeda-beda ini menyebbakan perbedaan kadar air. Produk sosis fermnetasi ini mempunyai sejarah yang panjag dan awalnya diolah secara tradisional. Contoh sosis kering yang difermentasi adalah chorizo,pepperoni, dan salami. Produk sosis fermnetasi ini dibuat dari berbagai jenis daging seperti sapi, babi, ayam. kambing, kuda, unta, dan lainnya. RINGKASAN 1. Komposisi daging bervariasi tergantung dari jenis hewan dengan komponen yang sangat berpengaruh terhadap komposisi daging adalah lipid. Kadar lipid daging tergentung dari jenis bagian karkasnya. Warna daging ditentukan oleh kadar mioglobin. Daging tanpa lemak terdiri dari 10% jaringan kontraktil (jaringan yang dapat berkontraksi) yang terdiri dari protein miofibril (aktin, miosin, dan lainnya); 2% protein jaringan ikat, 6% protein sarkoplasma yang dikelilingi air (kadar air sekitar 75% dan komponen-komponen larut air seperti mioglobin, garam, dan vitamin), dan lemak serta komponen lainnya sebesar 3,5%. Berdasarkan jenis protein, protein dalam daging digolongkan menjadi 4 golongan yaitu protein miofibril, sarkoplasma, stroma, dan granular. Pada karkas atau daging, lemak dibagi menjadi 3 kelompok yaitu lemak dalam daging atau intramuscular fat yang dikenal sebagai lemak marbling yang berperan terhadap rasa juicy, lemak antar otot, dan lemak di bawah kulit atau lemak penyimpanan. 2. Setiap serat daging (muscle fiber) ada dalam bentuk satuan yang terpisah yang diselubungi oleh jaringan ikat yang disebut endomisium (endomysium). Sejumlah serat daging ini bergabung bersama dalam suatu ikatan serat (fiber bundle) yang diselaputi oleh jaringan ikat tipis yang disebut perimisium (perimysium). Sejumlah fiber bundle bergabung dan dibungkus oleh jaringan ikat yang tebal dan besar yang disebut epimisium (epimysium). Unit kontraktil dari serat daging disebut dengan sarkomer. Perubahan kimia terjadi setelah hewan ternak disembelih, dan setelah penyembelihan terjadi perubahan dari otot menjadi daging. Setelah penyembelihan, daging mengalami kekakuan (rigor mortis). Setelah waktu tertentu, otot mengalami relaksasi yang menunjukkan berakhirnya masa rigor mortis. 3. Keempukan daging merupakan hal terpenting karena mempengaruhi rasa dan rasa enak ketika mengonsumsi daging. Ada beberapa cara untuk mengempukkan daging. Selain dengan pemeraman (aging) secara alami
55 (penyimpanan pasca penyembelihan), pengempukan mekanis, enzimatis, dan kimia merupakan tiga metode yang umum digunakan untuk mengempukkan daging. 4. Perbaikan kualitas daging dapat dilakukan dengan cara menambahkan bumbu-bumbu dan bahan-bahan lain untuk meningkatkan warna dan rasa terutama keempukan dan juiciness. Bahan-bahan tambahan tersebut biasanya berupa air, garam, fosfat, dan dengan cara dinjeksikan atau dibalurkan pada potongan daging. Proses penambahan bumbu dan bahan lain ini disebut marinasi. 5. Kyuring bertujuan memperbaiki warna, rasa, dan pengawetan. Kyring dapat dilakukan pada daging utuh maupuan daging giling. Pada proses kyuring terjadi perubahan warna daging menjadi merah cerah yang permanen. Reaksi pembentukan warna tersebut terjadi akibat perubahan yang terjadi pada mioglobin sebagai pigmen warna merah daging. Bahan utama proses kyuring adalam garam nitrat atau nitrit, gula, dan garam. Bahan tambahan yang biasa digunakan dalam proses kyuring adalah askorbat dan eritrobat, fofat, pati, dan hidrokoloid. Berbagai metode kyuring banyak digunakan baik proses kyuring skala rumah maupun industri besar. Sebenarnya metode yang ada saat ini merupakan modifikasi dari teknologi dasar kyuring yaitu kyuring metode kering (dry curing) dan metode basah menggunakan larutan kyuring (pickle curing). LATIHAN DAN PERTANYAAN Studi kasus Berdasarkan analisis Saudara dengan didasarkan pada teori yang telah dipelajari, tentukan solusi untuk permasalahan dalam soal berikut ini: 1. Produk daging sapi asap merek X dipasarkan dalam kemasan plastic poli propilen 1,0 mm dan di ritel diletakkan pada chilling case. Proses pengolahan daging asap tersbeut meliputi kyuring dengan menggunakan garam nitrit, garam, gula dan bumbu, kemudian dilakukan pengasapan menggunakan kayu ebony. Akan tetapi produk tersebut mempunyai umur simpan yang pendek yaitu hanya 2 bulan yang disebabkan ketengikan. Menurut Saudara mengapa ketengikan pada produk tersebut mudah terjadi? bagaimana cara untuk mengatasinya? 2. Produk sosis bratwurst yang dibuat oleh PT Sosisu merupakan produk yang diolah seperti sosis umumnya menggunakan ingridien untuk kyuring, garam fosfat, bumbu, dan tambahan pewarna angkak. Sosis ini menggunakan selongsong dari kolagen yang dapat dimakan. Hanya saja yang menjadi masalah adalah tekstur dari sosis ini tidak kompak dan mudah lepas. Menurut Saudara, apa penyebab masalah ini dan bagaimana solusinya? 3. Selain masalah kekompakan struktur sosis, sosis bratwurst yang diproduksi PT Sosisu juga mempunyai tekstur yang keras ketika dikunyah dan kurang juicy. Mengapa tekstur keras tersebut dapat terjadi dan apa solusi untuk mencegah masalah ini? 4. Suatu perusahaan bakso merek Babul-Bakso Bulat mempunyai masalah tekstur yang kurang kenyal dan cenderung keras. Daging untuk pembuatan bakso tersebut disuplai dari suatu rumah potong hewan berdasarkan
56 pesanan. Setelah sapi disembelih, daging dieviserasi dan kemudian dikirim ke pabrik bakso. Di pabrik, daging tersebut langsung digiling dan diolah menjadi bakso karena kapasitas ruang pendinginan yang terbatas. Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan bakso tersebut adalah tapioka, garam, bumbu-bumbu, dan pengenyal STPP. Menurut Saudara, apa yang harus diperbaiki dari proses pembuatan bakso tersebut. Jelaskan alasannya 5. Suatu perusahaan nugget ayam merek “Nuggie Nugget” mempunyai masalah produk yang telah disimpan selama 3 bulan dalam freezer mengalami perubahan tekstur menjadi hampa dan kering. Nugget tersebut dibuat dari daging dada ayam giling, STPP, dan pati yang dilumuri dengan adonan cair dan tepung roti. Daging ayam giling disiapkan dengan menggiling daging ayam yang dicampur dengan serpihan-serpihan es. Mengapa perubahan tekstur selama penyimpanan tersebut terjadi dan bagaimana cara untuk mengatasinya? DAFTAR PUSTAKA Belitz, H. D., W. Grosch, P. Schieberle. 2009. Food Chemistry. 4th revised and extended edition. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg. Feiner, G. 2006. Meat Products Handbook: Practical Science and Technology. Woodhead Publishing, Cambridge, England. Greaser, M.L., W. Guo. 2012. Postmortem Muscle Chemistry. In Y. H. Hui (ed). Meat and Meat Processing. CRC Press, Taylor and Francis Group. Boca Raton. Florida. Kauffmann, R.G. 2012. Meat Composition. In Y. H. Hui (ed). Meat and Meat Processing. CRC Press, Taylor and Francis Group. Boca Raton. Florida. Maddock, R. 2012. Meat and Meat Products. In Y. H. Hui (ed). Meat and Meat Processing. CRC Press, Taylor and Francis Group. Boca Raton. Florida. Martin, J.M. 2012. Meat-Curing Technology. In Y. H. Hui (ed). Meat and Meat Processing. CRC Press, Taylor and Francis Group. Boca Raton. Florida. Shakilahmmed. 2018. Iron - Myoglobin Hemoglobin Heme Iron PNG image on March 31, 2018, 4:02 pm. https://favpng.com/png_view/iron-myoglobin-hemoglobin-heme-iron-pn g/H722c6Ge Smith, B.S. 2012. Marination: Ingredient Technology. In Y. H. Hui (ed). Meat and Meat Processing. CRC Press, Taylor and Francis Group. Boca Raton. Florida. BAHAN BACAAN LAIN Alirezalu K, M. Pateiro, , M. Yaghoubi, A. Alirezalu, S.H. Peighambardoust, J.M. Lorenzo. 2020. Phytochemical constituents, advanced extraction technologies and technofunctional properties of selected Mediterranean plants for use in meat products. A comprehensive review. Trends in Food Science & Technology 100: 292-306 Shaa, L., Y.L. Xiong. 2020. Plant protein-based alternatives of reconstructed meat: Science, technology, and challenges. Trends in Food Science & Technology 102: 51–61. |