Mengapa produk pangan olahan hewani lebih cepat rusak dibandingkan produk pangan olahan nabati

4

BAB 11

BAB 11. TEKNOLOGI PENGOLAHAN PANGAN:

PRODUK OLAHAN HEWANI

Teti Estiasih, Anang M. Legowo, Sri Mulyani, A N. Al-Baarri, A. Hintono

PENDAHULUAN

Bahan pangan hewani merupakan bahan pangan yang berkualitas nutrisi

tinggi karena asam amino esensilanya lengkap dan kandungan antinutrisi yang

rendah atau tidak mengandung antinutrisi. Bahan pangan hewani biasa diolah

menjadi berbagai produk olahan yang saat ini sudah banyak tersedia secara

komersial. Perubahan gaya hidup masyarakat yang lebih praktis dan tuntutan

dunia kerja yang menyita banyak waktu sehingga waktu memasak terbatas,

mengakibatkan tingginya minat konsumen untuk mengkonsumsi produk olahan

hewani yang siap saji atau waktu pemasakan singkat. Berbagai produk olahan

hewani tersedia dalam bentuk siap konsumsi seperti susu UHT dan olahan beku

seperti nugget yang mudah disajikan. Bahan pangan hewani juga seringkali

merupakan ingridien untuk produk pangan sehingga diolah menajdi produk

intermediat seperti tepung telur dan lemak susu.

Untuk memahami proses pengelohan bahan hewani, maka perlu

dipahami terlebih dahulu karakteristik bahan dan penanganan pasca panen.

Pada Bab 11 ini kedua hal tersebut akan dibahas. Juga akan dibahas bagaimana

teknologi pengolahan bahan hewani tersbeut menajdi berbagai produk olahan.

1.TEKNOLOGI PENGOLAHAN SUSU

1.1. Pengertian dan Lingkup Pengolahan Susu

Susu (milk) merupakan cairan yang disekresikan oleh kelenjar mamae

(ambing) ternak sapi perah sehat, tanpa ditambah sesuatu atau dikurangi

komponennya. Penamaan susu diselaraskan dengan fakta bahwa ternak sapi

perah adalah penghasil susu terbesar di dunia. Susu dari ternak mamalia yang

lain, pada umumnya disebutkan bersama dengan nama ternaknya. Misalnya susu

dari ternak kambing disebut susu kambing dan susu dari kerbau disebut susu

kerbau.

Susu tergolong bahan pangan yang memiliki zat gizi (nutrisi) lengkap,

mudah dicerna, dan bercitarasa lezat. Susu memiliki peran penting dalam

menunjang kebutuhan gizi manusia, yaitu dapat dikonsumsi bayi setelah ASI (air

susu ibu) eksklusif, anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Disisi lain, susu

merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba, sehingga susu sangat

mudah rusak (highly perishable food). Mikroba kontaminan pada susu sebagian

besar (lebih dari 95%) adalah mikroba pembusuk, utamanya golongan bakteri

asam laktat (BAL) dan selebihnya mungkin ada mikroba patogen. Oleh karena

5

itu, perlu penanganan yang benar agar susu dapat digunakan sebagai bahan baku

olahan yang berkualitas baik, tahan lama, dan aman.

Pengolahan susu merupakan teknologi pasca panen yang mengolah susu

segar menjadi berbagai produk olahan. Tujuan pengolahan susu antara lain,

yaitu: (1) menghasilkan bahan baku pengolahan yang baik, (2) menghasilkan

berbagai produk sebagai bagian diversifikasi dan pengembangan produk pangan,

(3) menghasilkan nilai tambah (added value) pada mata rantai produksi susu,

dan (4) memberi kontribusi pada penyediaan makanan bergizi baik bagi

masyarakat. Banyak jenis produk olahan susu seperti susu pasteurisasi, susu

steril, susu bubuk, susu fermentasi, es krim, keju.

Dalam sub bab ini diuraikan tentang prinsip dasar penanganan dan

pengolahan susu, meliputi: (1) Penanganan susu segar; (2) Teknologi pemanasan

susu pada pengolahan susu pasteurisasi dan susu steril; (3) Teknologi evaporasi

pada pengolahan susu kental, serta proses pengeringan pada pengolahan susu

bubuk; (4). Fermentasi susu; (5) Pengolahan keju, es krim, dan mentega (butter).

1.2. Penanganan Susu Segar

Penanganan susu segar dilakukan sejak pemerahan hingga susu di bawa

ke tempat pengumpulan susu atau industri pengolahan susu. Kegiatan utamanya

adalah menjaga agar susu tidak cepat mengalami kerusakan, serta sekaligus

mempersiapkan susu sebagai bahan baku untuk pengolahan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada penanganan susu segar, yaitu:

(1) pencegahan kontaminasi mikroba pada susu dan pengendaliannya; (2)

memperpanjang daya simpan susu, misalnya dengan sistem laktoperoksidase; (3)

penerapan prinsip dan metode pendinginan susu; serta (4) penerapan metode

homogenisasi dan pemisahan lemak susu.

1.2.1. Pencegahan Kontaminasi Mikroba

Pada waktu susu masih didalam tubuh ternak (didalam ambing),

kondisinya steril. Akan tetapi, sejak pemerahan akan terjadi kontaminasi,

khususnya mikroba, yang dapat mengakibatkan kerusakan susu. Didalam setiap

mililiter susu segar terdapat ratusan ribu hingga jutaan sel bakteri pembusuk.

Berdasarkan standar kualitas susu segar (BSN, 2011) jumlah mikroba

maksimum yang diperbolehkan adalah 1 juta koloni per mili liter (106CFU/mL).

Rata-rata bakteri tersebut dapat berkembang biak delapan kali lipat setiap jam

bila susu disimpan pada suhu kamar. Pada saat pemerahan, susu tersebut dapat

terkontaminasi oleh berbagai jenis bakteri dari berbagai sumber, yaitu: kulit

ternak, tangan pemerah, udara, peralatan pemerahan.

Kulit ternak dapat menjadi sumber kontaminasi mikroba, debu, bulu dan

kotoran selama pemerahan. Untuk mencegah kontaminasi dapat dilakukan

dengan mencuci dan membersihkan badan ternak, serta bagian ambing dan

puting sebelum pemerahan. Pencucian dapat juga menggunakan larutan klorin

dengan konsentrasi 50 ppm untuk membantu mematikan mikroba.

Kontaminasi mikroba dari tangan pemerah sering tidak diperhatikan.

Padahal tangan yang kotor sangat potensial menjadi sumber bakteri pembusuk

maupun bakteri patogen. Beberapa famili bakteri pada susu yang diduga hasil

kontaminasi dari pemerah yaitu 28% Pseudomonadaceae, 20% Micrococcaceae,

6

18% Achromobacteriaceae dan 14% Enterobacteriaceae (Christiansen and

Overby, 1988). Untuk mencegah kontaminasi dari pemerah, maka disarankan

agar pemerah mencuci tangan hingga bersih, kemudian dilap hingga kering

sebelum melakukan pemerahan.

Udara merupakan media penunjang bagi penyebaran mikrobia dari

tempat sekitar pemerahan kedalam susu. Oleh sebab itu, kondisi lingkungan

pemerahan harus dijaga kebersihannya agar tidak menjadi sumber kontaminasi.

Peralatan pemerahan yang tidak bersih dapat menjadi sumber

kontaminasi. Peralatan pemerahan berupa saringan, tabung penyedot susu atau

mesin pemerah dan wadah susu (milk can). Penggunaan mesin pemerah

tergolong praktis dan minimal terkontaminasi mikroba. Pembersihan dan

sanitasi peralatan diperlukan untuk menghilangkan sisa susu yang masih

menempel pada peralatan.

1.2.2.Pengawetan Susu dengan Sistem Laktoperoksidase

Metode pengawetan susu segar dengan sistem laktoperoksidase

(lactoperoxydase-system) merupakan metode alternatif. Sistem ini mengaktifkan

enzim laktoperoksidase (enzim LP) yang secara alami ada di dalam susu untuk

menghasilkan efek anti bakteri (Al-Baarri et al., 2015; Al-Baarri et al., 2019).

Aktifitas enzim LP sejak pemerahan mengalami penurunan seiring dengan waktu

dan suhu penyimpanan.

Pada Gambar 1 tampak bahwa aktifitas awal enzim LP didalam susu relatif

tinggi, yaitu sekitar 4 U/mL. Pada suhu ruang, aktifitas enzim LP menurun

hingga dibawah 1 U/mL pada menit ke-180 (3 jam). Pada saat itu susu mulai

mengalami kerusakan akibat aktifitas mikroba. Akan tetapi, pada suhu dingin

(40C), penurunan aktifitas enzim LP lambat. Pada menit ke-270 (6,5 jam) baru

mencapai separuh aktifitas awal, yaitu 2 U/mL. Dalam kondisi ini, tanda-tanda

kerusakan susu belum terlihat nyata (Al-Baarri dan Legowo, 2012).

Gambar 1. Aktivitas enzim laktoperoksidase seiring waktu penyimpanan susu.

Aktivasi enzim LP pada susu memerlukan senyawa tiosianat dan H2O2dalam

jumlah tertentu. Kedua senyawa ini sebenarnya sudah ada didalam susu, tetapi

dalam jumlah sedikit. Untuk mengaktifkan enzim LP maka jumlah tiosianat dan

H2O2harus ditingkatkan konsentrasinya hingga masing-masing menjadi 15 ppm

7

dan 10 ppm. Senyawa H2O2akan mengaktifkan enzim LP setelah terurai menjadi

air dan oksigen. Enzim LP bersama oksigen akan mengubah tiosianat menjadi

oksida tiosianat (OSCN-) yang dapat mematikan mikroba (Villa, et al., 2014).

Praktek pengawetan sistem LP efektif bila dikombinasikan dengan suhu

penyimpanan susu. Apabila pengawetan dilakukan pada suhu ruang (sekitar

300C), maka daya awet susu dapat mencapai 7-8 jam, sedangkan pada suhu yang

relatif rendah (sekitar 150C) daya awetnya mencapai 24 jam (Legowo, 2018).

Perlu dicatat bahwa sistem ini sulit diterapkan ditingkat peternak, karena butuh

ketelitian dan kehati-hatian terkait penggunaan hidrogen peroksidanya.

1.2.3. Pendinginan Susu

Pendinginan merupakan metode pengawetan susu segar yang sangat

efektif. Pada suhu ruang (300C atau lebih), mikroba didalam susu dapat

berkembang dan meningkat 8 kali lipat setiap jam. Hanya dalam waktu 5-6 jam

susu akan menjadi rusak yang ditandai dengan timbulnya bau asam dan

terbentuknya gumpalan. Pendinginan pada suhu 3-40C dapat menghambat

pertumbuhan mikroba didalam susu. Pendinginan mampu memperpanjang fase

adaptasi (fase lag) dari pertumbuhan bakteri sehingga perkembang biakan

bakteri pembusuk dapat dihambat.

Pada prinsipnya sistem pendinginan adalah memindahkan panas dari

susu ke media pendingin yang disediakan. Media pendingin (refrigerant)

berfungsi menyerap panas dari susu hingga suhu rendah tertentu sesuai dengan

rancangan peralatannya. Beberapa sistem dapat diterapkan untuk pendinginan

susu, yaitu dalam bentuk peralatan pendinginan yang sederhana hingga yang

kompleks. Sekarang ini sudah banyak mobil/ truk pengangkut susu yang

dilengkapi dengan tangki pendingin, sehingga memungkinkan untuk

mengangkut susu dari sentra peternakan sapi perah, atau dari tempat/ koperasi

pengumpul susu, ke lokasi industri pengolahan susu.

1.2.4.Pemisahan Lemak Susu

Susu sebagai bahan baku industri pengolahan susu seringkali harus

dipisahkan atau dikurangi lemaknya. Hal ini menjadi bagian penting pengolahan

produk susu rendah lemak maupun produk tanpa lemak. Lemak susu (cream)

dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mentega (butter), es krim (ice

cream) dan berbagai produk krim. Bagian bukan lemak susu berupa skim dan

serum yang kaya akan protein. Skim banyak digunakan sebagai bahan dasar

pembuatan keju, skim bubuk, kasein bubuk dan bahan campuran untuk

beberapa produk makanan. Serum atau dikenal sebagai whey banyak

mengandung protein disamping laktosa dan mineral, serta dapat diolah menjadi

whey bubuk dan sebagai bahan campuran untuk pembuatan beberapa produk

makanan/ minuman.

Pemisahan lemak susu dapat dilakukan dengan menggunakan alat

pemisah krim (cream separator). Prinsip kerja alat pemisah krim adalah

penerapan gaya sentrifugal dengan cara pemusingan (sentrifugasi) untuk

memisahkan partikel berdasarkan perbedaan densitas atau bobot jenisnya. Krim

akan berada dibagian atas membentuk suatu lapisan, sedangkan skim maupun

8

whey akan tertinggal dibagian bawah. Kecepatan pemisahan krim dipengaruhi

oleh ukuran globula lemak susu dan kecepatan perputaran sentrifugasi.

Berdasarkan kadar lemaknya, krim dapat dikelompokkan menjadi

beberapa golongan yaitu krim normal, setengah krim, whipping cream,heavy

whipping cream,double cream dan plastic cream (Legowo et al., 2009). Secara

umum pada saat pemisahan krim dari susu segar akan diperoleh krim normal.

Untuk mendapatkan kadar lemak susu tertentu seringkali harus dilakukan

standarisasi, misalnya pada bahan untuk pembuatan produk-produk tertentu

seperti minuman susu rendah lemak, mentega, susu kental dan keju.

1.2.5. Homogenisasi

Homogenisasi adalah proses memperkecil dan menyeragamkan ukuran

globula lemak susu. Ukuran globula lemak susu bervariasi sekitar 0,5-20 m di

ubah menjadi sekitar 0,5-1,0 m. Susu hasil homogenisasi disebut sebagai susu

homogen, yang memiliki sifat tidak mudah mengalami pembentukan dan

pemisahan lapisan krim. Susu homogen dapat menghasilkan produk olahan yang

bermutu baik dan menarik. Es krim yang dibuat dari susu homogen memiliki

tekstur yang lembut dan kemampuan mengembang (overrun) yang baik, serta

tidak mengalami pemisahan lemak selama penyimpanan dalam freezer. Mentega

(butter) yang dibuat dari susu homogen tidak membentuk gumpalan partikel

(clusters, clumps) yang kasar.

Alat untuk proses homogenisasi disebut homogenizer atau alat

homogenisasi. Pada prinsipnya alat homogenisasi terdiri dari pompa bertekanan

tinggi dan katup. Susu masuk kedalam katup dan ditekan dalam ruang sempit

diantara dua bagian katup maka globula lemaknya dapat dipecah dan diperkecil.

Terjadinya pemecahan dan pengecilan globula lemak susu pada proses

homogenisasi melalui beberapa tahapan (Legowo et al., 2009). Semula globula

lemak berukuran besar (mother fat globule) akan mengalami peregangan

(stretching), kemudian terpecah menjadi beberapa globula yang lebih kecil. Pada

akhir proses terjadi micronization (globula berukuran kecil dan seragam).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses dan hasil homogenisasi,

diantaranya yaitu: besarnya tekanan, jenis alat homogenisasi, kandungan lemak

susu, kecepatan aliran susu dan suhu selama proses. Alat homogenisasi

bermacam-macam, tetapi dapat dikelompokkan kedalam golongan alat

homogenisasi satu tahap (one-stage homogenizer) dan dua tahap (two-stage

homogenizer). Alat homogenisasi dua tahap biasanya dapat menghasilkan

ukuran globula lemak relatif kecil.

Proses homogenisasi menghasilkan produk susu homogen yang

memiliki beberapa keuntungan, antara lain yaitu : (1) distribusi lemak susu

merata, sehingga tidak terbentuk lapisan krim pada permukaan susu, (2) susu

tampak lebih putih dan menarik, (3) lebih cepat menggumpal dengan rennet

pada proses pembuatan keju, (4) mengurangi sensitifitas terhadap proses

oksidasi, dan (5) flavor menjadi lebih baik.

1.3.Teknologi Pemanasan Susu

Proses pemanasan susu harus dipertimbangkan bahwa suhu yang

digunakan dapat membunuh mikroba patogen dan kandungan zat gizi tidak

9

rusak. Tujuan proses pemanasan pada susu dan produk olahannya antara lain

yaitu: (1) membunuh mikroba patogen, (2) membunuh sebagian besar mikroba

pembusuk, (3) inaktifasi enzim didalam susu maupun enzim dari mikroba, (4)

mempengaruhi sifat fisik dan kimiawi susu agar sesuai untuk pengolahan lebih

lanjut. Ada tiga proses pemanasan yang lazim diterapkan pada pemanasan susu,

yaitu: termisasi, pasteurisasi, dan sterilisasi.

1.3.1. Termisasi

Termisasi adalah pemanasan susu pada suhu relatif rendah sekitar

60-650C selama 15-20 detik. Perlakuan ini diterapkan sebagai pemanasan

pendahuluan sebelum susu diproses untuk diolah menjadi suatu produk.

Termisasi bertujuan untuk: (1) meminimalkan jumlah mikroba khususnya

bakteri psikrofil, (2) mencegah perubahan enzimatik utamanya enzim lipase dan

protease, (3) penyesuaian suhu susu untuk pemanasan lebih lanjut, karena pada

saat susu segar diterima oleh industri pengolahan dalam keadaan dingin.

1.3.2. Pasteurisasi Susu

Pasteurisasi adalah proses pemanasan susu pada suhu dan waktu

tertentu untuk mematikan semua mikroba patogen dan sebagian mikroba

pembusuk. Beberapa jenis mikroba patogen yang sering dijumpai didalam susu

dan sangat resisten terhadap panas yaitu Mycobacterium tuberculosis

penyebab sakit tuberkulosis (TBC), Brucellae sp. penyebab sakit brucellosis,

Salmonella dan Shigella sp. penyebab sakit saluran pencernaan, serta Coxiella

burnetti penyebab sakit demam Q (Q-fever). Diantara mikroba patogen tersebut,

Coxiella burnetti dianggap paling resisten terhadap panas sehingga harus

menjadi perhatian utama pada proses pasteurisasi susu.

Istilah pasteurisasi diambil dari nama seorang ahli yang bernama Louis

Pasteur (1822-1895). Penemuan penting Louis Pasteur dalam risetnya adalah

mikroba dapat menyebabkan kerusakan bahan pangan, dan mikroba tersebut

dapat dimatikan dengan pemanasan, sehingga bahan menjadi lebih awet. Hasil

temuan inilah yang menjadi dasar proses pasteurisasi. Secara umum dikenal dua

metoda pasteurisasi susu yaitu: (1)Pasteurisasi susu pada suhu rendah

dengan waktu pemanasan lama, yakni metode LTLT (low temperature long time).

Pemanasan sekurangnya pada suhu 630C selama 30 menit. Metode ini biasanya

diterapkan pada skala kecil. (2)Pasteurisasi pada suhu tinggi dengan waktu

cepat, yakni metode HTST (High Temperature Short Time), pemanasan minimal

pada suhu 720C selama 15 detik. Metode yang disebut juga flash method ini dapat

dioperasikan secara kontinyu dengan kapasitas besar.

Keberhasilan proses pasteurisasi susu dapat ditentukan dengan metode

uji fosfatase, yaitu menentukan adanya aktivitas enzim posfatase didalam susu

pasteurisasi. Untuk menginaktifkan enzim posfatase membutuhkan waktu lebih

lama dibanding waktu untuk membunuh bakteri patogen Coxiella burnetti yang

paling resisten didalam susu. Oleh sebab itu, apabila uji posfatase 0 atau negatif

maka proses pasteurisasi susu dianggap cukup atau berhasil.

Untuk menentukan mutu susu pasteurisasi diperlukan beberapa

beberapa uji, misalnya uji organoleptik, uji kimiawi, uji mikrobiologis ataupun uji

adanya cemaran logam. Persyaratan tentang berbagai uji tersebut telah

10

ditetapkan menurut SNI No. 01-3951-1995 seperti tercantum pada Tabel 1.

Persyaratan minimum kadar lemak dan BPTL susu pasteurisasi yang

ditambah flavor masing-masing 2,8 dan 7,7%, sedangkan persyaratan yang lain

sama. Produk susu pasteurisasi komersial dewasa ini dikenal cukup banyak

variasinya, baik terkait ukuran dan bentuk kemasannya, maupun varian citarasa

(flavor) nya.

1.3.3. Sterilisasi Susu

Sterilisasi adalah proses pemanasan untuk mematikan semua mikroba

yang ada pada susu. Proses sterilisasi biasanya dilakukan pada suhu 1210C

selama 15 menit atau yang dikenal dengan sterilisasi komersial. Artinya, proses

sterilisasi tersebut dapat mematikan hampir semua mikroba tanpa merusak

bahan dan secara komersial layak diperdagangkan atau dikonsumsi.

Sterilisasi susu dapat dilakukan dengan sistem batch menggunakan alat

otoklaf dan dengan sistem kontinyu yang disebut proses UHT (Ultra High

Temperature). Sterilisasi susu dengan otoklaf biasanya dilakukan pada suhu

1210C selama 10-15 menit, sedangkan sterilisasi UHT dilakukan pada suhu

135-1400C selama 2-5 detik. Dari kedua sistem tersebut, UHT merupakan

metoda sterilisasi susu yang banyak diterapkan pada industri skala besar.

Tabel 1. Standar Mutu Susu Pasteurisasi (SNI No. 01-3951-1995)

Kadar Lemak, % (b/b) min.

Uji Reduktase dengan metilen blue

Kadar Protein, % (b/b) min.

TPC (total plate count), sel/ml, maks.

Coliform Presumptive, MPN/ml, maks.

Logam Berbahaya:

As, (ppm), maks.

Pb, (ppm), maks.

Cu, (ppm), maks.

Zn, (ppm), maks.

Bahan Pengawet, Pemantap, Pewarna

Sesuai Permenkes RI

No. 235/1979

Pada proses pengolahan susu UHT dikenal dua tipe pemanasan, yaitu: (1)

Tipe pemanasan langsung (direct heating) dan (2) Tipe pemanasan tidak

langsung (indirect heating). Tahapan proses pengolahan susu UHT antara lain

meliputi: pencampuran (mixing), termisasi, pasteurisasi, homogenisasi,

sterilisasi, regenerasi, dan pengisian (filling). Selesai sterilisasi, susu segera

didinginkan hingga suhu 280C. Akhirnya susu steril segera dikemas melalui

tahap filling kedalam wadah yang disediakan dan telah disterilkan.

11

Tabel 2. Standar Mutu Susu UHT (SNI No. 01-3950-1995)

Kadar Lemak, % (b/b) min.

Kadar Protein, % (b/b) min.

TPC (total plate count), sel/ml, maks.

Coliform Presumptive, MPN/ml, maks.

Logam Berbahaya:

As, (ppm), maks.

Pb, (ppm), maks.

Cu, (ppm), maks.

Zn, (ppm), maks.

Bahan Pengawet, Pemantap, Pewarna

Sesuai Permenkes RI

No. 235/1979

Hasil proses sterilisasi susu perlu dilakukan pengujian untuk menentukan

mutunya. Standar mutu susu UHT yang tanpa ditambah flavor menurut SNI No.

01-3950-1995 dapat dilihat pada Tabel 2. Persyaratan minimum kadar lemak

dan BPTL susu UHT yang ditambah flavor masing-masing 2,8 dan

7,7%,sedangkan persyaratan yang lain sama. Produk susu UHT cukup bervariasi,

baik terkait dengan ukuran dan bentuk kemasannya, maupun varian citarasanya.

1.4. Evaporasi dan Pengeringan Susu

Evaporasi susu merupakan usaha pengurangan sebagian kandungan air

dari susu dengan proses penguapan. Proses evaporasi susu juga disebut sebagai

proses pemekatan dan menghasilkan produk susu kental (evaporated milk).

Pengeringan merupakan proses penghilangan sebagian besar air pada susu

sehingga dihasilkan produk susu bubuk (milk powder).

1.4.1. Pengolahan Susu Kental

Dasar proses pengolahan susu kental adalah proses evaporasi. Secara

umum dikenal dua produk utama susu kental yaitu susu kental biasa

(evaporated milk,concentrated milk) dan susu kental manis (sweetend

concentrated milk). Susu kental secara umum mempunyai komposisi sebagai

berikut: lemak berkisar antara 7,5-9,0%, bahan padat tanpa lemak (BPTL)

17,5-22,0% dan total bahan padat (TBP) sekitar 25-31%.

Susu kental pada umumnya diproduksi secara komersial dalam kemasan

kaleng atau botol plastik (plastic tube) yang diproses steril. Oleh sebab itu susu

kental sering juga disebut sterilized concentrated milk. Tahap proses pengolahan

susu kental meliputi: standarisasi, pemanasan pendahuluan, evaporasi,

homogenisasi dan pendinginan. Setelah diperoleh susu kental, kemudian

12

dilakukan pengemasan, sterilisasi, pendinginan dan penyimpanan atau distribusi

(Refstrup, 1988). Tahapan khusus pada pembuatan susu kental adalah evaporasi

menggunakan alat evaporator pada suhu sekitar 550C dengan tekanan semi

vakum. Susu kental yang telah disterilkan dan dikemas aseptis dapat disimpan

pada suhu kamar dalam waktu beberapa bulan. Pengolahan susu kental manis

pada prinsipnya sama dengan pengolahan susu kental, tetapi ada penambahan

gula, pada umumnya sukrosa dengan konsentrasi sekitar 63-64%.

1.4.2. Pengolahan Susu Bubuk

Susu bubuk adalah produk yang dihasilkan dari pengeringan susu.

Persyaratan susu bubuk menurut FAO/WHO antara lain kadar airnya maksimum

5% dan kadar lemaknya berkisar antara 26-40%. Berdasarkan bahan dasarnya,

terutama kandungan lemak susunya, dikenal beberapa jenis susu bubuk yaitu:

a. Susu bubuk penuh (whole milk powder, atau full cream milk powder). Kadar

lemak susu bubuk penuh adalah sekitar 26-40%.

b. Susu bubuk rendah lemak (low fat milk powder, atau partly skimmed milk

powder).. Kadar lemak susu bubuk ini adalah pada kisaran >1,5% hingga

<26%.

c. Susu bubuk skim (skimmed milk powder). Susu bubuk ini dibuat dari skim

atau bagian susu tanpa lemak, sehingga kadar lemaknya 0-1,5%.

d. Bubuk whey (whey powder) merupakan produk yang dihasilkan dari whey

cair sebagai hasil samping pembuatan keju atau kasein.

Tahap proses pengolahan susu bubuk meliputi: standarisasi, klarifikasi,

pemanasan (pasteurisasi dan sterilisasi), evaporasi, homogenisasi, pengeringan

dan aglomerasi, pengumpulan produk dan pengemasan (Refstrup, 1988; Widodo,

2003). Ada dua macam proses pengeringan yang diterapkan pada pembuatan

susu bubuk, yaitu: (1) proses pengeringan dengan alat roller dryer atau drum

dryer dan (2) pengeringan dengan cara penyemprotan menggunakan alat spray

dryer. Pengeringan dengan roller dryer memerlukan tempat yang tidak luas dan

mudah pengoperasiannya. Namun kapasitasnya terbatas dan sering terjadi

kerusakan produk akibat pemanasan berlebih, khususnya perubahan flavor dan

kelarutan bubuk (daya rehidrasi) yang rendah. Pengeringan dengan spray dryer

pada dasarnya adalah menyemprotkan susu kental dalam suatu ruangan

(chamber) yang dibarengi hembusan udara panas/ udara pengering dan

mengubahnya menjadi susu bubuk.

1.5. Teknologi Fermentasi Susu

Proses fermentasi susu merupakan metoda pengolahan susu yang sudah

cukup lama. Beberapa produk susu fermentasi mempunyai manfaat untuk

menjaga kesehatan tubuh (Legowo, 2003; Liu et al., 2005).

Tabel 3. Beberapa jenis susu fermentasi di Asia

Lactobacillus bulgaricus

Streptococcus thermophillus

Timur Tengah,

Eropa, Asia, Afrika

13

Lactobacillus kefir

Lactobacillus brevis

Saccharomyces kefir

Torulopsis kefir

Lactobacillus acidophillus

Lactobacillus casei

Lactobacillus brevis

Leuconostoc

paramesenteroides

Lactococcus lactis

Streptococcus thermophillus

Lactobulgaricus bulgaricus

Lactococcus lactis

Lactobacillus acidophillus

Lactobacillus bulgaricus

Saccharomyces lactis

Torula koumiss

Lactobacillus helveticus

Saccharomyces cerevisiae

Lactobacillus helveticus

Saccharomyces cerevisiae

Lactobacillus kefirgranum

Sumber: Overby (1988); Surono (2004).

Produk susu fermentasi cukup banyak jenisnya. Perbedaan prinsip dari

berbagai jenis produk susu fermentasi tergantung pada jenis susu yang

digunakan, jenis mikroba untuk fermentasi, dan cara pengolahan, baik sebelum

atau sesudah fermentasi. Jenis susu yang berbeda akan menghasilkan produk

susu fermentasi yang berbeda pula, meskipun jenis mikroba dan kondisi proses

yang digunakan sama. Pada Tabel 3 disajikan beberapa jenis produk susu

fermentasi yang berasal dari beberapa negara di Asia.

Kultur starter (starter cultures) adalah mikroba yang digunakan untuk

produksi susu fermentasi. Beberapa tipe kultur starter yaitu: (1) single strain

atau kultur murni, (2) multi strain mengandung dua atau lebih strain yang

berbeda; dan (3) mixed cultures mengandung dua atau lebih spesies bakteri/

mikroba. Sebagian besar mikroba untuk pembuatan produk susu fermentasi

adalah golongan bakteri asam laktat (BAL). Ada BAL yang bersifat

homofermentatif yang menghasilkan produk utama asam laktat, dan ada pula

BAL yang bersifat heterofermentatif yakni selain menghasilkan asam laktat juga

menghasilkan senyawa lain, misalnya CO2. Selama proses fermentasi akan terjadi

peruraian beberapa komponen susu tergantung dari jenis mikroba yang

digunakan. Pada Tabel 4 disajikan perubahan senyawa didalam susu selama

fementasi.

Tabel 4. Perubahan beberapa senyawa kimia dalam susu fermentasi.

Perubahan Setelah Fermentasi

Laktosa berkurang. Terjadi pembentukan asam

14

laktat, asam organik (suksinat, fumarat, benzoat,

dll.), galaktosa, glukosa, serta sakarida yang lain.

Protein berkurang, karena sebagian terurai menjadi

peptida dan asam-asam amino bebas.

Urea berubah menjadi amonia.

Lemak berkurang, tetapi terjadi peningkatan asam

lemak volatil dan asam lemak bebas rantai panjang.

Terjadi penurunan jumlah vitamin B12, vitamin C,

biotin dan asam piruvat. Terjadi peningkatan

vitamin B6, asam folat dan niasin. Disamping itu,

bertambah pula asam nukleat, senyawa flavor

(asetaldehid, setoin, diasetil), dan senyawa lain.

Sumber: Surono (2004)

1.5.1. Pengolahan Yogurt

Yogurt merupakan produk hasil fermentasi susu yang berupa cairan

kental hingga semi padat dengan cita rasa asam yang spesifik. Di beberapa

negara yogurt dikenal dengan nama yang berbeda-beda, misalnya Jugurt (Turki),

Zabady (Mesir, Sudan), Dahee (India), Cieddu (Italia) dan Filmjolk (Skandinavia).

Di Indonesia, yogurt dipasarkan dalam bentuk minuman encer hingga kental

dalam kemasan plastik atau karton. Untuk menambah daya tarik dan kelezatan,

kedalam yogurt ditambahkan flavor buah-buahan. Salah satu contoh diversifikasi

tersebut adalah yogurt yang difortifikasi dengan ekstrak buah tropis dan

ditepungkan yang disebut Fruity powder yogurt (Al-Baarri et al., 2016)

Yogurt juga dapat dibuat dari susu kambing, yang beberapa asam

lemaknya relatif mudah menguap (volatil), sehingga mempengaruhi flavor susu

dan derivatnya (Legowo, 2002). Cita rasa tersebut terbentuk karena aktivitas

lipolisis, terutama karena peningkatan volatile fatty acid (VFA) asam kaproat,

kaprilat dan asam kaprat ( Legowo et al., 2006).

Ada banyak tipe yogurt, yaitu: yogurt kental (hard yogurt), yogurt lunak

(soft yogurt), yogurt alami tanpa bahan penambah cita rasa (plain yogurt), yogurt

minuman (drink yogurt), dan yogurt yang dicampur es krim (frozen yogurt)

(Mitsuoka, 1993). Kekentalan yogurt dipengaruhi oleh jumlah total bahan padat

(TBP), sehingga dikenal 3 jenis yogurt: (1) yogurt padat atau sangat kental

(spoonable yogurt) memiliki TBP 14-18%, (2) yogurt dengan kekentalan sedang

atau normal, memiliki TBP sekitar 12%; (3) yogurt encer/ cair, memiliki TBP

8-10%. Jumlah TBP yogurt dapat diatur dengan penambahan atau pengurangan

protein susu (skim). Berdasarkan proses pembuatannya, yogurt

dikelompokkan kedalam tiga tipe utama, yaitu:

a. Stired yogurt merupakan yogurt yang dikoagulasikan didalam tanki inkubasi

dan kemudian didinginkan sebelum dikemas.

b. Set yogurt. Yogurt tipe ini dikoagulasikan dan didinginkan didalam wadah

setelah proses pengemasan.

c. Drink yogurt. Yogurt mirip stired yogurt, tetapi gumpalan dihancurkan hingga

menjadi cairan sebelum dikemas.

Mula-mula susu segar di pasteurisasi pada suhu 72-800C selama beberapa

menit. Susu kemudian didinginkan pada suhu 430C untuk memberi kondisi yang

15

sesuai bagi pertumbuhan mikroba starter. Selanjutnya ditambahkan starter

sebanyak 2-5% (v/v atau b/b) dari jenis BAL Lactobacillus bulgaricus atau

Streptococcus thermophillus atau keduanya. Ada beberapa jenis kultur starter,

yaitu:

a. Kultur Master (master culture), starter yang dibuat di laboratorium.

b. Kultur Induk (mother culture), diturunkan dari kultur master.

c. Kultur intermediet, yakni kultur induk yang dibuat dalam jumlah besar.

d. Kultur kerja atau starter kerja (bulk starter), untuk diinokulasikan.

Setelah inokulasi, dilakukan tahap proses inkubasi pada suhu yang sama

selama 6-12 jam. Selesai inkubasi akan diperoleh produk yogurt yang ditandai

dengan susu menjadi kental dan beraroma asam. Yogurt normal biasanya

mempunyai keasaman sekitar 0,9 – 1,0%. Proses pembuatan yogurt sebenarnya

relatif sederhana, tetapi untuk memperoleh produk yogurt yang berkualitas baik

seringkali tidak sederhana. Beberapa permasalahan yang kadang timbul pada

proses pembuatan yogurt (Legowo et al., 2009).

Pertama, yogurt mempunyai tekstur tidak kental dan tidak halus. Hal ini

disebabkan karena berbagai faktor yaitu: (1) penambahan kultur starter pada

suhu yang tidak tepat. (2) waktu inkubasi terlalu lama; (3) terjadi kontaminasi

bakteri tertentu; (4) jumlah padatan susu tidak tepat; (5) pengadukan terlalu

cepat; dan (6) susu tidak dihomogenisasi.

Kedua, rasa yogurt menyimpang, mungkin terlalu asam atau ada rasa

tidak normal. Penyimpangan tersebut kemungkinan karena kultur starter

terkontaminasi, waktu inkubasi terlalu lama, dan saat pasteurisasi susu terjadi

over-heating sehingga terbentuk off-flavor.

Ketiga, terbentuk cairan bening dibagian atas yogurt. Kemungkinannya,

yaitu: (1) waktu inkubasi yogurt terlalu lama, dan (2) yogurt diaduk berlebihan.

Pada tahun 1908 E. Metchnikoff membuat hipotesis bahwa ada hubungan

erat antara umur panjang masyarakat Bulgaria dengan kebiasaan mengkonsumsi

susu fermentasi seperti yogurt. Peranan positif yogurt bagi kesehatan terutama

didukung adanya bakteri asam laktat (BAL) didalamnya (Mitsuoka, 1993; Ray

1996). Jika ditambahkan bakteri probiotik pada pembuatan yogurt, dapat

diperoleh beberapa manfaat bagi kesehatan (Legowo et al., 2009), al.:

(1) Untuk melawan pertumbuhan mikroba patogen didalam saluran

pencernaan, karena pembentukan asam-asam organik serta hidrogen

peroksida dan bakteriosin.

(2) Membantu mengatasi masalah lactose intolerance (tidak mampu mencerna

laktosa). Bakteri asam laktat dapat memetabolisir laktosa susu menjadi

glukosa, galaktosa, dan asam yang mudah diserap oleh tubuh.

(3) Mereduksi kanker atau tumor didalam saluran pencernaan. Senyawa

karsinogenik seperti nitrosamin yang masuk ke pencernaan dicegah

penyerapannya oleh bakteri yang membentuk selaput protein dan vitamin.

(4) Mereduksi jumlah kolesterol dalam darah. Dugaan mekanisme penurunan

kolesterol tersebut adalah bakteri asam laktat dapat mendegradasi

kolesterol menjadi coprostanol, yang tidak dapat diserap oleh usus.

Beberapa jenis bakteri yang termasuk probiotik yaitu: Lactobacillus (L.)

casei,L. reuteri,L. acidophilus LA-1,L. rhamnosus, dan beberapa spesies

Bifidobacterium.

1.6. Pengolahan Keju

16

Keju (cheese) adalah produk koagulasi protein kasein susu dengan

menggunakan renet, kemudian diproses lanjut secara spesifik. Renet adalah

penggumpal protein yang mengandung enzim renin atau chymosin. Awalnya

renet diperoleh dari ekstrak lambung ternak mamalia, namun dewasa ini

diproduksi melalui proses fermentasi menggunakan mikroba tertentu, sehingga

renetnya disebut sebagai fermentation produced chymosin (FPC) atau microbial

rennet.

Jenis keju yang paling sederhana adalah keju segar (fresh cheese). Keju ini

hasil koagulasi kasein susu menggunakan asam dan renet, kemudian dipres

untuk memisahkan cairan whey. Jenis keju yang lain diklasifikasikan

berdasarkan: (1) komposisi kimiawi, terutama kandungan lemaknya, (2) ada

tidaknya proses pemeraman, (3) jenis mikroba untuk pemeraman, dan (4)

berdasarkan konsistensi atau tekstur keju. Berdasar konsistensinya dikenal

jenis keju keras (hard cheese), keju semi-keras (semi-hard cheese) dan keju lunak

(soft cheese).

Keju juga dapat dibuat dari berbagai jenis susu ternak. Legowo, et.al.

(2003) melaporkan bahwa proporsi susu kambing dan susu sapi skim

berpengaruh nyata terhadap kadar lemak, nilai pH dan mutu hedonik keju

cottage. Keju dengan proporsi susu kambing tinggi mempuyai kadar lemak yang

tinggi, berwarna putih sedikit kekuningan tetapi ada aroma kambing (goaty

flavor).

Secara umum ada beberapa tahap dasar pembuatan keju yaitu:

panyiapan/ pengaturan susu, pembentukan dadih, pemadatan dan manipulasi

dadih, dan perlakuan spesifik (Goyal, 2020). Pengaturan (setting) susu

dimaksudkan untuk mengkondisikan susu sebagai bahan utama keju, sekaligus

pasteurisasi untuk membunuh mikroba patogen. Selanjutnya susu didinginkan

pada suhu sekitar 300C agar sesuai untuk digumpalkan protein kaseinnya

dengan penambahan asam dan renet.

Pemberian rennet biasanya dalam bentuk larutan (ekstrak rennet)

agar mudah tercampur secara merata didalam susu. Rasio renet dan air

pelarutnya adalah sekitar 1:10 hingga 1:40. Penambahan renet kedalam susu

diikuti dengan pengadukan selama beberapa menit, hingga nantinya akan

terbentuk gumpalan yang disebut dadih (curd).

Mekanisme pembentukan dadih menggunakan enzim renin dimulai dari

hidrolisis rantai peptida kasein. Rantai peptida kappa-kasein dihidrolisis oleh

enzim renin pada residu asam amino ke-105 (phenilalanin) dan asam amino

ke-106 (methionin) menghasilkan rantai peptida pendek para-kappa-kasein dan

glikomakropeptida. Hasil hidrolisis ini selain mengakibatkan penggumpalan

protein kasein, juga membentuk flavor yang spesifik keju. Faktor yang

mempengaruhi pembentukan dadih dan tekstur dadih antara lain yaitu:

a. Jumlah renet. Pada kisaran tertentu, makin banyak jumlah renet yang

diberikan maka semakin banyak dan kenyal dadih yang terbentuk.

b. Rasio lemak dan skim susu. Proporsi lemak susu yang tinggi justru akan

mengakibatkan tektur dadih yang lunak.

c. Konsentrasi protein yang cukup tinggi akan menghasilkan dadih yang banyak

dan kenyal.

Setelah terbentuk dadih, dilakukan proses pemotongan dadih untuk

mengeluarkan whey dari dalam dadih. Pemotongan biasanya dilakukan sekitar

17

0,5-2,0 jam setelah pembentukan dadih. Pemotongan dengan pisau digerakkan

secara mekanis, yang sudutnya diatur sedemikian sehingga tidak

mengakibatkan dadih menjadi hancur. Pada saat pemotongan, whey dan lemak

keluar dari dadih. Pemanasan atau pemasakan dapat mengeluarkan cairan whey

dan membuat stuktur dadih menjadi kokoh, karena pengekerutan matriks

protein.

Selanjutnya dilakukan proses pemadatan dan manipulasi dadih untuk

pembentukan jenis-jenis keju tertentu.

Keju blue-viened memerlukan dadih bersifat asam dengan sedikit

pemanasan atau tanpa pemanasan. Manipulasi dilakukan setelah pemotongan

dadih, sambil dadih diaduk pelan sehingga cairan whey keluar. Dadih

dimasukkan wadah pencetak dan diberi penekanan ringan sambil dibalik-balik

hingga dadih menjadi cukup kering. Selanjutnya dadih siap untuk di beri garam

dan diinokulasi mikroba/jamur biru khusus untuk keju tersebut.

Keju pasta (misal mozarella) banyak dikembangkan dibeberapa negara.

Dadih dipertahankan didalam cairan whey pada suhu hangat (63-650C) sampai

terbentuk massa padat. Dadih dibiarkan mencapai keasaman tertentu, pH

sekitar 5, kemudian dibuat lebih lentur (plastic) pada cairan whey yang lebih

panas, yaitu pada suhu sekitar 70-800C.

Penggaraman dalam proses pembuatan keju secara umum mempunyai

tujuan antara lain: (1) menghasilkan flavor keju yang khas (sedikit asin), (2)

menunjang pembentukan tekstur, (3) mempengaruhi kenampakan keju, (4)

mengontrol fermentasi asam laktat, (5) mencegah pertumbuhan mikroba

pembusuk. Penggaraman berbagai jenis keju pada umumnya bervariasi antara

1-3%, sedangkan keju bertekstur keras memerlukan jumlah garam > 2%.

Penekanan merupakan proses yang bertujuan untuk membentuk

partikel-partikel dadih atau keju yang kompak (tidak longgar/tidak berongga).

Secara umum penekanan diterapkan untuk pembuatan keju yang perlu diperam.

Proses penekanan dilakukan pada kondisi semi-vakum (kurang dari 0,5 atm)

dengan tekanan sekitar 85-95 kN/m2selama 2-3 jam.

Tahap perlakuan khusus dimaksudkan untuk membentuk jenis-jenis keju

tertentu. Perlakuan khusus tersebut dapat berupa antara lain:

a. Melakukan pemuluran (stretching) dalam kondisi hangat pada pembuatan

keju mozzarella.

b. Pemisahan krim dari dadih pada pembuatan keju cottage.

c. Inokulasi kultur starter tertentu, misalnya pada pembuatan keju requefort

dan keju blue-viened.

d. Penyemprotan spora kapang putih pada permukaan keju tertentu, misalnya

keju camembert.

e. Membalur permukaan keju brick dan limburger untuk induksi bakteri aerob.

f. Penyimpanan didalam ruang khusus pada suhu agak hangat pada pembuatan

keju swiss.

g. Pengasapan untuk memberi flavor spesifik dan efek berminyak pada

permukaan keju.

h. Melakukan pemeraman dadih pada suhu dan waktu tertentu sampai

diperoleh cita rasa, tekstur dan body keju yang diinginkan. Selama

pemeraman terjadi degradasi laktosa, protein dan lemak yang disebabkan

oleh enzim-enzim dari bakteri (BAL), jamur ( moulds) atau ragi (yeast) yang

ditambahkan.

18

1.7. Pengolahan Krim Susu

Krim (cream) atau lemak susu adalah komponen susu yang memiliki sifat

spesifik dan nilai ekonomi tinggi. Krim banyak dimanfaatkan untuk membuat

produk es krim (ice cream) dan mentega (butter). Es krim pertama kali dibuat

pada tahun 1767 oleh Elizabeth Raffield (Lampert, 1970). Carlo Gatti

memperkenalkan es krim secara komersial pada tahun 1860 dalam bentuk

rebusan telur dan susu bersama-sama untuk membentuk custard, kemudian

didinginkan dalam wadah yang dikelilingi oleh es dan garam.

1.7.1. Pengolahan Es Krim

Batasan tentang es krim banyak dikemukakan oleh para ahli atau lembaga

yang berkompeten, antara lain :

a. Gibson (1988) mendiskripsikan es krim sebagai sistem kompleks berisi buih

yang terdispersi didalam fase kontinyu yang dibekukan. Es krim merupakan

suatu emulsi yang berisi krim, bahan padat tanpa lemak (BPTL), stabilizer,

air, garam, gula dan komponen lain.

b. Association of Great Britain and Ireland (Arbuckle, 1977) mendefinisikan es

krim sebagai produk pembekuan yang mengandung lebih dari 8% lemak

susu serta lebih dari 10% BPTL.

c. USDA yang dikutip oleh Eckles (1980) menyatakan bahwa es krim adalah

produk pembekuan dari krim dan gula dengan atau tanpa zat aroma dan

mengandung tidak kurang dari 14% lemak susu.

Tahapan pembuatan es krim meliputi: (1) pencampuran, (2) pasteurisasi,

(3) homogenisasi, (4) pendinginan, (5) Aging (penuaan), (6) pembekuan dan (7)

pengemasan. Bahan-bahan untuk pembuatan es krim dapat berasal dari susu,

krim dan produk olahan susu (susu bubuk, susu kental, skim), serta bahan lain

seperti pemanis, penstabil, pengemulsi, telur, bahan flavor dan air.

Pencampuran bahan untuk membuat adonan es krim dilakukan bertahap,

yaitu diawali dengan bahan cair seperti susu, krim dan susu kental atau skim.

Bahan-bahan ini dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 40-430C. Setelah itu,

bahan-bahan padat seperti gula dan pengental (CMC, carboxy methyl celulose)

dituangkan. Bahan penstabil seperti alginat biasanya akan larut sempurna pada

saat pemanasan. Setelah semua bahan tercampur, dilakukan pasteurisasi pada

suhu 800C selama sedikitnya 25 detik. Tahap berikutnya adalah homogenisasi

adonan untuk memperkecil ukuran globula lemak susu menjadi sekitar 1-2 m.

Sifat penting yang perlu diperhatikan pada pembuatan es krim adalah

overrun. Yang dimaksud overrun adalah pengembangan volume es krim relatif

terhadap volume adonan mula-mula. Overrun dapat menentukan body, tekstur,

kelezatan, serta hasil produksi dan keuntungan es krim. Besarnya overrun dapat

ditentukan berdasarkan: (1) perbedaan volume (berat konstan), yaitu dengan

menghitung besarnya volume es krim dikurangi volume adonan dibagi dengan

volume adonan; (2) perbedaan berat (volume konstan), yaitu dengan

menghitung besarnya berat adonan dikurangi berat es krim dibagi dengan berat

es krim. Satuan overrun dinyatakan dalam persen (%) dengan rumus sebagai

berikut:

19

Volume es krim – Volume adonan

“Overrun” (%) = --------------------------------------------- X 100%

Volume adonan

Berat adonan – Berat es krim

“Overrun” (%) = -------------------------------------------- X 100%

Berat es krim

Es krim yang baik mempunyai overrun berkisar antara 70-100%.

Biasanya es krim dengan overrun 90-100% digolongkan sebagai tipe bulk yang

tidak langsung dikonsumsi, sedangkan es krim dengan overrun 70-80% biasanya

dikemas dalam kemasan kecil yang siap dikonsumsi.

Setelah proses homogenisasi, tahap selanjutnya adalah pendinginan dan

penuaan (aging). Adonan didinginkan pada suhu 0-40C dan kemudian dilakukan

aging dengan cara mempertahankan adonan pada suhu tersebut selama 24 jam.

Pada saat aging terjadi pembekuan lemak yang semula cair sewaktu

homogenisasi, serta terjadinya pengembangan volume adonan yang akhirnya

menjadi es krim dengan tingkat overrun tertentu. Faktor-faktor yang

mempengaruhi meningkatnya overrun adalah bahan pengemulsi (termasuk

kuning telur), bahan penstabil, suhu pasteurisasi adonan dan besarnya tekanan

homogenisasi.

Es krim yang terbentuk segera dibekukan secara cepat supaya kristal es

yang terbentuk kecil dan produk bertekstur lembut. Tahap ini diikuti proses

hardening atau pengerasan es krim, yaitu dengan cara membekukan es krim

pada suhu –180C. Pada suhu ini kira-kira 80% air yang ada di dalam es krim

mengalami pembekuan. Bila suhu pembekuan diturunkan menjadi -300C maka

jumlah air yang membeku mencapai 90%. Setelah tahap inilah es krim siap

dikemas, didistribusikan, dan akhirnya dikonsumsi.

1.7..2. Pembuatan Es Krim yang Diperkaya Probiotik

Produk fermentasi dipercaya sebagai makanan fungsional yang

mempuyai banyak manfaat untuk kesehatan. Penggunaan bakteri asam laktat

(BAL) yang berperan sebagai probiotik pada produk susu fermentasi akan

menambah populasi bakteri alami didalam sistem pencernaan. Persyaratan

umum bakteri probiotik, yakni pada saat dikonsumsi: (1) tahan terhadap pH

lambung dan cairan empedu, (2) dapat hidup dan berkoloni dengan mikrobiota

alami didalam saluran cerna. Manfaat probiotik tersebut antara lain, yaitu:

membantu sistem pencernaan bekerja optimal, dapat mencegah diare pada

penderita lactose intolerance, serta dapat menurunkan kadar kolesterol dalam

darah.

Bertolak dari fenomena tersebut, beberapa peneliti mencoba untuk

menambahkan BAL dalam adonan es krim, yang akhirnya disebut es krim

fermentasi. Penambahan BAL dalam pembuatan es krim sangat

memungkinkan karena dalam adonan es krim masih terdapat gula (sukrosa

maupun laktosa) sebagai substrat untuk pertumbuhan BAL. Untuk lebih disukai

konsumen inkubasi dihentikan saat pH mencapai 5,6 (Davidson et al., 2000).

20

Pengaruh penambahan BAL dalam es krim akan mempengaruhi total

bahan padat, pH, waktu pelelehan dan nilai overrun. Berkurangnya bahan padat

akan meningkatkan overrun tetapi akan menurunkan waktu pelelehan es krim

(Legowo et al., 2008). Es krim dengan penambahan BAL probiotik 3-6%

mempuyai karakteristik es krim yang telah memenuhi standar kualitas dan

berpotensi sebagai pangan fungsional. Total bahan padat es krim berkisar

33,02 – 31,07%, nilai overrun sebesar 40,5% - 49% dan resistensi pelelehan es

krim selama 7,22 – 11,06 menit. Sedangkan tingkat keasaman es krim berkisar

antara 0, 63 – 0,97% dengan nilai pH antara 4,88 – 5,32. Total BAL antara 1,9 x

10 7– 4,5 x 107cfu/ml (Mulyani et al., 2006).

Jika BAL yang ditambahkan dalam adonan es krim fermentasi merupakan

probiotik, maka produknya dapat disebut sebagai es krim probiotik.

Penambahan probiotik L.casei dan Bifidobacterium bifidum dengan perbandingan

1: 2 dalam adonan es krim menghasilkan viabilitas BAL yang terbaik yaitu 6,4 x

108 – 1,4 x 1011 cfu/ml (Mulyani et al., 2008). Jumlah tersebut telah memenuhi

standar internasional untuk minuman probiotik yaitu minimal 107cful/ml

dengan jumlah konsumsi rata-rata 100 ml per hari (Davidson et al., 2000). Untuk

meningkatkan sifat fisik es krim dan mempertahankan tektur selama proses

penyimpanan beku adonan es krim dapat ditambahkan penstabil dari berbagai

jenis hidrokoloid, misalnya gum arab, gelatin ataupun karagenan. Penambahan

0,5% gelatin dari adonan es krim mampu memperbaiki tekstur, meningkatkan

tekstur creamy pada es krim meskipun kadar lemaknya rendah (Mulyani, 2018).

Kemampuan gelatin sebagai penstabil lebih baik dibandingkan gum arab dan

karagenan (Mulyani et al. 2020).

Proses pembekuan cepat menjadi faktor yang memperkecil kematian BAL

dan probiotik. Hasil penelitan menunjukkan bahwa pada penyimpanan beku

selama 30 hari, jumlah BAL dalam es krim probiotik masih cukup tinggi yaitu 3,3

x 107– 6,7 x 108cfu/ml (Legowo, et.al.,, 2008).

Ada beberapa tahap pembuatan es krim yang diperkaya probiotik yaitu

pencampuran bahan, pasteurisasi, pemblenderan, pendinginan inokulasi,

pemeraman, pembekuan dan penyimpanan. Tahap awal yaitu pencampuran

bahan-bahan sesuai dengan komposisi yang telah ditentukan seperti whipping

cream, skim, CMC, kuning telur, gula dan air. Campuran bahan dipasteurisasi

pada suhu 80 oC selama 30 detik, kemudian didinginkan pada suhu ± 41oC

sehingga siap untuk diinokulasikan starter. Penambahan starter sebesar 4%

dari berat adonan ke dalam adonan es krim lalu diinkubasi selama 4 jam pada

suhu 41 oC di dalam inkubator. Selanjutnya adalah penuaan (aging) dengan

suhu 4 oC selama 5 jam, setelah itu memasukkan adonan es krim ke dalam ice

cream maker selama 30 menit (Mulyani et al., 2008).

1.8. Pengolahan Butter

Butter adalah mentega yang dibuat dari bahan utama lemak susu (cream).

Butter pada umumnya dapat langsung dikonsumsi tanpa harus dimasak (edible

fat consumed uncooked). Sebagai bahan makanan, butter merupakan sumber

kalori, meningkatkan daya terima produk makanan lain, membentuk struktur

bahan tertentu, serta menghasilkan flavor yang spesifik. Mentega juga

merupakan sumber vitamin A dan vitamin D serta beberapa asam lemak tidak

jenuh, seperti asam lemak omega-3 dan omega-6.

21

Jenis mentega maupun butter relatif banyak, yang dapat dikelompokkan/

digolongkan berdasarkan prosesnya, rasa, dan krim yang digunakan.

Berdasarkan proses pembuatannya, butter digolongkan menjadi dua, yaitu:

butter yang diperam (ripened butter) dan mentega yang tidak diperam

(unripened butter). Berdasarkan rasanya, ada dua macam butter, yaitu mentega

asin (salted butter) dan mentega tidak asin (unsalted butter). Berdasarkan krim

yang digunakan untuk pembuatannya, dikenal ada tiga jenis butter, yaitu: (1)

butter yang dibuat dari krim asam (cultured-cream butter), yakni krim yang

diinokulasi bakteri sehingga berubah menjadi krim asam; (2) butter yang dibuat

dari krim tidak asam atau krim normal (sweet cream butter); (3) butter yang

dibuat dari krim normal, tetapi kemudian diasamkan dengan menumbuhkan

bakteri asam laktat pada prosesnya (soured butter).

Mentega adalah suatu massa kompak dari lemak susu sebagai suatu

emulsi air (W, water) dalam lemak (O, oil), atau W/O emulsion, yang dibuat

dengan proses pengadukan yang disebut churning. Kandungan lemak minimum

dalam mentega adalah 83%, sedangkan kadar air maksimum 16%. Bahan–bahan

yang digunakan untuk pembuatan mentega secara keseluruhan meliputi:

a. Susu sebagai sumber lemak susu.

b. Protein, yang biasanya berupa susu bubuk skim.

c. Bahan pewarna yang memenuhi persyaratan food grade.

d. Anti oksidan, yang berfungsi untuk mencegah oksidasi lemak. Jenis anti

oksidan yang banyak digunakan adalah BHA (butylated hydroxy anysol).

e. Garam.

Tahap-tahap proses pembuatan butter meliputi: separasi, standarisasi,

netralisasi, pasteurisasi, pemeraman, pendinginan, pengadukan (churning),

pencucian, penggaraman dan pengemasan. Tahap separasi merupakan langkah

pertama untuk memisahkan krim dari dari susu. Pemisahan krim biasa

dilakukan dengan menggunakan alat cream separator pada kecepatan

perputaran 6.000 rpm.

Standarisasi atau penyesuaian kadar lemak harus dilakukan agar

mencapai sekitar 30-33%. Bila kadar lemak terlalu rendah maka proses churning

terlalu lama.Sebaliknya bila terlalu tinggi maka proses churning juga akan

menjadi sulit. Standarisasi dapat dilakukan Metoda Pearson’s square dengan

bahan krim dan skim (Legowo et al., 2009).

Setelah jumlah krim ditentukan, tahap berikutnya adalah netralisasi

untuk mengatur pH sekitar 6,8-7,2 dengan menambahkan senyawa alkali seperti

natrium bikarbonat, magnesium oksida, magnesium hidroksida. Selanjutnya

dilakukan pasteurisasi dan pemeraman. Akan tetapi pemeraman hanya

dilakukan bila dikehendaki mentega dengan citarasa yang spesifik.

Tahap berikutnya yang sangat penting adalah pengadukan atau churning.

Istilah churn sendiri berarti alat pengaduk untuk pembuatan mentega/ butter.

Churn merupakan pengaduk berbentuk silinder yang dapat berputar pada

sebuah sumbu yang dilengkapi pisau-pisau pengaduk. Alat pengaduk tersebut

pada umumnya terbuat dari logam anti karat yang digerakkan dengan tenaga

listrik. Proses churning berlangsung selama sekitar 45 menit. Butter terbentuk

dengan cepat pada saat akhir proses churning. Dalam kondisi tersebut terjadi

perubahan emulsi dari emulsi minyak dalam air (o/w, oil in water) menjadi

emulsi air dalam minyak (w/o, water in oil). Beberapa hal yang perlu

diperhatikan dalam proses churning adalah:

22

a. Suhu proses sekitar 3-100C. Pada suhu rendah (3-40C) proses churning

memerlukan waktu cepat, yaitu sekitar 3 jam. Sedangkan pada suhu 100C

memerlukan waktu relatif lama, yakni sekitar 12 jam.

b. Jumlah krim yang dimasukkan churn adalah 0,3-0,5 isi churn dengan

kadar lemak krim 30-33%.

c. Keasaman krim harus pada kisaran 0,4-0,5%.

Mentega yang diperoleh dari proses churning selanjutnya dicuci untuk

memisahkan cairan atau serum atau sering disebut sebagai susu mentega (butter

milk). Proses churning dan pencucian perlu dilakukan beberapa kali hingga

diperoleh butter yang dikehendaki. Perlu dicatat bahwa butter milk dewasa ini

bukan merupakan limbah (waste), tapi sebagai hasil samping (by product) yang

dapat diolah lanjut menjadi produk minuman.

Tahap terakhir pembuatan butter adalah membuat partikel-partikel

butter menjadi massa yang kompak dengan cara diberi tekanan. Kadar air

mentega diatur hingga sekitar 14-16%. Apabila ingin membuat butter dengan

flavor spesifik, yaitu selain diberi garam juga diberi bahan flavor tertentu.

RINGKASAN

1. Penanganan susu segar dilakukan sebelum pengolahan dengan tujuan: (1)

mencegah dan memperkecil kontaminasi mikroba dan kontaminan lain pada

susu; (2) memperpanjang daya awet susu; (3) memperkecil dan

menyeragamkan ukuran globula lemak susu dengan homogenisasi; dan (4)

pemisahan lemak susu dan pengaturan kadar lemak susu. Penanganan susu

dilakukan pada saat pemerahan, hingga distribusi susu ke tempat/ pabrik

pengolahan, sehingga dapat tersedia bahan baku pengolahan susu yang aman

dan berkualitas baik.

2. Pendinginan susu merupakan bagian penting dalam rangkaian penanganan

susu segar. Pendinginan terutama ditujukan untuk mencegah perkembang

biakan mikroba yang ada didalam susu. Berdasarkan SNI No. Tentang

Persyaratan Mutu Susu Segar disebutkan bahwa jumlah mikroba maksimum

didalam susu adalah kurang dari 1 juta sel per mL. Supaya aman, susu

sebelum diolah harus didinginkan pada suhu kurang dari 80C.

3. Teknologi pengolahan susu banyak ragamnya dan menghasilkan berbagai

jenis produk olahan. Teknologi pemanasan susu dapat menghasilkan

berbagai produk susu pasteurisasi (pasteurized milk products) dan susu steril

(sterilized milk products) atau susu UHT. Teknologi evaporasi menghasilkan

produk susu kental (evaporated milk,condensed milk) dan produk susu kental

manis (sweetened evaporated milk). Teknologi pengeringan susu dapat

menghasilkan berbagai produk susu bubuk (milk powder). Teknologi

pengolahan yang lain adalah fermentasi untuk menghasilkan susu fermentasi

(fermented milk) dan pemanfaatan krim susu untuk menghasilkan mentega

(butter).

4. Pasteurisasi susu dapat dilakukan pada suhu rendah dan waktu pemanasan

lama atau dikenal metode LTLT (low temperature long time), yaitu

sekurangnya pada suhu 630C selama 30 menit. Pasteurisasi susu juga dapat

dilakukan pada suhu relatif tinggi dengan waktu cepat atau disebut metode

23

HTST (high temperature short time), yaitu sekurangnya pada suhu 720C

selama 15 detik. Sterilisasi susu dapat dilakukan dengan sistem batch

menggunakan alat otoklaf dan dengan sistem kontinyu yang disebut proses

UHT (Ultra High Temperature) pada suhu 135-1400C selama 2-5 detik.

5. Pada garis besarnya, proses pengolahan susu kental meliputi penyaringan,

standarisasi, pemasan (pasteurisasi), homogenisasi, penambahan gula,

evaporasi (pengurangan kadar air), pendinginan, kristalisasi dan

pengemasan. Secara garis besar, tahap tahap proses pengolahan susu bubuk

meliputi standarisasi, klarifikasi, pemanasan (pasteurisasi dan sterilisasi),

evaporasi, homogenisasi, pengeringan, aglomerasi dan pengemasan.

6. Teknologi fermentasi susu pada umumnya menggunakan bakteri asam laktat

(BAL) dan beberapa mikroba lain untuk menghasilkan produk yang spesifik.

Yogurt adalah salah satu produk susu fermentasi dengan starter BAL

Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophillus. BAL dapat

mengubah laktosa susu menjadi glukosa, galaktosa, dan asam laktat sehingga

dihasilkan rasa manis dan asam.

7. Pada pengolahan keju, proses fermentasi utama diterapkan untuk

menggumpalkan protein susu menggunakan rennet yang mengandung enzim

renin atau chymosin. Jenis keju dapat diklasifikasikan berdasarkan (1)

komposisi kimianya khususnya kadar lemak, (2) ada tidaknya proses

pemeraman, (3) jenis mikroba yang digunakan dan (4) konsistensi atau keras

lunaknya tekstur keju. Berdasarkan konsitensinya ini keju dibedakan

menjadi hard cheese dan soft cheese.

8. Krim (cream) atau lemak susu memiliki sifat spesifik dan nilai ekonomi tinggi.

Krim banyak dimanfaatkan untuk membuat es krim dan mentega (butter).

Tahap pengolahan es krim meliputi pencampuran adonan, pasteurisasi,

homogenisasi, pendinginan, aging, pembekuan cepat dan pengemasan.

Overrun merupakan salah satu parameter utama kualitas es krim yang

menentukan nilai ekonomis dari es krim. Dewasa ini banyak pengembangan

produk berbasis es krim, salah satunya adalah es krim yang diperkaya

bakteri asam laktat maupun probiotik.

9. Mentega adalah suatu massa kompak dari lemak susu yang dibuat dengan

proses pengadukan yang disebut churning. Kandungan lemak minimum

dalam mentega adalah 83%, sedangkan kadar air maksimum 16%. Tahap

proses pembuatan mentega meliputi: separasi, standarisasi, netralisasi,

pasteurisasi, pemeraman, pendinginan, pengadukan (churning), pencucian,

penggaraman dan pengemasan. Proses churning berperan untuk

pembalikan emulsi dari emulsi minyak dalam air (o/w, oil in water) menjadi

emulsi air dalam minyak (w/o, water in oil).

DAFTAR PUSTAKA

24

Al-Baarri, A. N. and A. M. Legowo. 2012. Aplikasi Teknologi

Lactoperoxidase-Sepharose-Membrane sebagai Metode Pengawetan Susu

Segar yang Murah dan Aman. Prosiding Seminar Insentif Riset Sinas

(INSINas):PG103–109.

Al-Baarri, A.N., A. M. Legowo, R.F. Siregar, T. Utami, C.W.C. Adi, A. Rachmantyo,

dan F. L. Pradhana. 2016. Teknik Pembuatan Fruity Powder Yogurt.

Indonesian Food Technologists, Semarang.

Al-Baarri, A. N., A. M. Legowo, S. Hayakawa, and M. Ogawa. 2015. Enhancement

Antimicrobial Activity of Hyphothiocyanite Using Carrot Against

Staphylococcus Aureus and Escherichia Coli. Procedia Food Science

3:473-478.

Al-Baarri, A. N., N. T. Damayanti, A. M. Legowo, I. H. Tekiner, and S. Hayakawa.

2019. Enhanced Antibacterial Activity of Lactoperoxidase Thiocyanate

Hydrogen Peroxide System in Reduced-Lactose Milk Whey. International

Journal of Food Science 2019:6.

Al-Baarri, A. N., A. M. Legowo, S. K. Arum, and S. Hayakawa. 2018. Extending Shelf

Life of Indonesian Soft Milk Cheese (Dangke) by Lactoperoxidase System

and Lysozyme. International Journal of Food Science 2018:7.

Arbuckle, W. S. 1977. Ice Cream. AVI Pub. Co., Westport, CT.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2017. Konsumsi susu nasional. Jakarta.

Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2011. SNI No. 3141-1 Tentang Standar

Kualitas Susu Segar. Dewan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Christiansen, P. S. and A. J. Overby. 1988. Quality requirements of milk for

processing. In Meat Science, Milk Science and Technology. H.R. Cross and

A.J. Overby (Eds.). Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam-Tokyo. p:

201-209.

Davidson, R.H., S.E. Duncan, C.R. Hackney, W.N. Eigel and J.W. Boling. 2000.

Probiotic Culture Survival and Implications in Fermented Frozen Yogurt

Characteristics. Journal of Dairy Science, 83(4):666-73 ·

Daulay, D. 1991. Buku/Monograf Fermentasi Keju. Ditjen Dikti-PAU Pangan dan

Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Eckles, C.H., W.B. Combs and H. Macy. 1980. Milk and Milk Products. Tata Mc

Graw-Hill Publishing Co. Ltd., Bombay-New Delhi.

Gibson, D. L. 1988. Ice cream. In Meat Science, Milk Science and Technology.

H.R. Cross and A.J. Overby (Eds.). Elsevier Science Publishers B.V.,

Amsterdam-Tokyo. p: 333-348.

Goyal, M.R. 2020. Engineering Practices for Milk Products. CRC Press, Taylor &

Francis Group, USA.

Lampert, L.M. 1970. Modern Dairy Products. Chemical Publishing Co., Inc., New

York, U.S.A.

Legowo, A.M. 1988. Tahu susu bergizi tinggi. Harian Wawasan, 28 November

1988.

Legowo, A. M. 2002. Peranan yogurt sebagai makanan fungsional. J.

Pengembangan Peternakan Tropis, 27, 3: 142-150.

Legowo, A.M. 2018. Pengawetan susu segar dengan system laktoperoksidase.

Foodreview Indonesia, Vol XIII, 6, p. 50-52.

Legowo, A.M. , Nurwantoro, R. Chairani dan. C. Purbasari. 2003. Kadar Protein,

Lemak, Nilai pH dan Mutu Hedonik Keju Cottage dengan Bahan Dasar

Susu Kambing dan susu Sapi Skim. Buku panduan Seminar Nasional

25

Teknologi Peternakan dan Veteriner,Pusat Penelitian dan Pengembangan

Peternakan, Bogor, 29- 30 September 2003

Legowo, A.M., Soepardie, K. Permatasari. 2004. Komposisi kimiawi, tingkat

pengembangan dan sifat organoleptik kerupuk susu dengan bahan dasar

susu asam. Jurnal Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, 1 (1): 39-46.

Legowo, A.M., U. Santosa,M. Adnan, A.N, Albarri , Nurwantoro dan F. Sabara. 2006.

Profil Asam-asam lemak Yogurt Susu Sapi dan Susu Kambing. Prosiding

Seminar Nasional PATPI, Yogyakarta, 2- 3 Agutus 2006.

Legowo, A.M., S. Mulyani dan H. Swastika. 2008. Total bahan Padat, kadar

laktosa dan Overrun Es Krim Probiotik dengan menggunakan starter L.

casei dan B.bifidum. Seminar Pangan Nasional PATPI, Yogyakarta, tanggal

17 Januari 2008.

Legowo, A.M., Kusrahayu, S. Mulyani. 2009. Ilmu dan Teknologi Susu. Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Legowo, A.M. S. Mulyani dan A. Azizah. 2009. Profil kolesterol, kadar

protein dan tekstur keju dengan bahan pengumpal Mucor meihei. Makalah

Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan, Program Pasca Sarjana

Universitas Diponegoro, Semarang tanggal 20 juni 2009.

Liu, Je-R., Y-Y. Lin, M-J. Chen, L.-J. Chen and C-W. Lin. 2005. Antioxidative

Activities of Kefir. Asian-Aust. J. Anim. Sci., 18 (4): 567-573.

Mitsuoka, T. 1993. Yogurt (Japanese). Nippon Hoso Shuppan Kyokai, Tokyo.

Mulyani. S. , Nurwantoro dan Maqfiroh. 2006. Prospek es Krim Fermentasi

Sebagai Makanan Fungsional. Prosiding Seminar Nasional 2006.

Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang

Mulyani, S., A.M. Legowo dan A. Mahanani. 2008. Viabilitas Bakteri Asam Laktat,

Keasaman dan Waktu Pelelehan Es Krim Probiotik dengan menggunakan

starter L. casei dan B.bifidum. JPPT,33 (2) : 120-125

Mulyani, S. 2018. Karakteristik Gelatin Kulit Kerbau (Bubalus bubalis) yang

Diekstraksi menggunakan Crude Acid protease dan sifat pengemulsinya

pada es krim. Disertasi. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta

Mulyani, S. R. Nafiatur, S. Susanti dan Y.B.Pramono. 2020. The Physical and

sensorus characteristic of Ice cream Enriched Corn Oil Using Different

Stabilizers. IJST, 8 (5) .

Nawangsari, DN. A.N. Al-Baarri, S. Mulyani, A.M. Legowo. V.P. Bintoro. 2014.

Resistance of Immobilized Lactoperoxidase activity from bovine whey

againts storage solutions. International Journal of Dairy Science. 9(2) :

56-62

Nielsen, P. and E. W. Nielsen. 1988. Technical treatment of milk. In Meat Science,

Milk Science and Technology. H.R. Cross and A.J. Overby (Eds.). Elsevier

Science Publishers B.V., Amsterdam-Tokyo. p: 211-261.

Ockerman, H. W. 1991. Food Science Sourcebook 2nd Part 2: Food Composition,

Properties, and General Data. Avi-Van Nostrand Reinhold, New York.

Ohtani, S., T. Wang, K. Nishimura and M. Irie. 2005. Milk fat analysis by

fiber-optik spectroscopy. Asian-Australalasian J. of Animal Sci., 18 (4):

580-583.

Overby, A. J. 1988. Microbial cultures for milk processing. In Meat Science, Milk

Science and Technology. H.R. Cross and A.J. Overby (Eds.). Elsevier

Science Publishers B.V., Amsterdam-Tokyo. p: 263-273.

26

Potineni, R. V. and D. G. Peterson. 2005. Influence of thermal processing

conditions on flavor stability in fluid milk: benzaldehyde. J. Dairy Sci., 88:

1-6.

Ray, B. 1996. Probiotics of lactic acid bacteria: science or myth? In Lactic Acid

Bacteria, B. Ray (Ed.). NATO ASI Series, Vol. H 98, Springer-Verlag Germany.

p: 101-136.

Refstrup, E. 1988. Concentrated and dry milk products. In Meat Science, Milk

Science and Technology. H.R. Cross and A.J. Overby (Eds.). Elsevier

Science Publishers B.V., Amsterdam-Tokyo. p: 349-372.

Samuelsson, E. G. 1988. Liquid milk products and UHT milk. In Meat Science, Milk

Science and Technology. H.R. Cross and A.J. Overby (Eds.). Elsevier

Science Publishers B.V., Amsterdam-Tokyo. p: 275-288.

Sherbon, J. W. 1988. Physical properties of milk. In Fundamentals of Dairy

Chemistry, 3rd ed. N.P. Wong, R. Jennes, M. Keeney and E.H. Marth (Eds.).

Van Nostrand Reinhold, New York. p: 409-460.

Smith, J. W., L.O. Ely, W.M. Graves, and W.D. Gilson. 2002. Effect of milking

frequency on DHI performance measures. J. Dairy Sci., 85: 3526-3533.

SNI (Standar Nasional Indonesia). 1992. SNI 01-3141-1995 tentang Syarat

Mutu Susu Segar. Dewan Standarisasi Nasional-DSN, Jakarta.

SNI (Standar Nasional Indonesia). 1995. SNI 01-3950-1995 tentang Standar

Mutu Susu UHT. Dewan Standarisasi Nasional-DSN, Jakarta.

Soeparno, 2007. Pengolahan Hasil Ternak. Penerbit Universitas Terbuka,

Jakarta.

Sudono, A., F. Rosdiana dan B. S. Setiawan. 2004. Beternak Sapi Perah Secara

Intensif. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.

Surono, I. S. 2004. Probiotik, Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI, Jakarta.

Van den Berg, J. C. T. 1988. Dairy Technology in the Tropics and Subtropics.

PUDOC, Wageningen.

Villa, V.Y., A. M. Legowo, V. P. Bintoro, and A. N. Al-Baarri. 2014. Quality of fresh

bovine milk afer addition of Hypothiocyaniterich-solution from

Lactoperoxidase system. International Journal of Dairy Science, vol. 9, no. 1,

pp. 24–31.

Whitney, R. M. 1988. Proteins of milk. In Fundamentals of Dairy Chemistry, 3rd

ed. N.P. Wong, R. Jennes, M. Keeney and E.H. Marth (Eds.). Van Nostrand

Reinhold, New York. p: 81-170.

Widodo. 2003. Teknologi proses susu bubuk. Lacticia Press, Yogyakarta.

Ziarno, M., E. Sekul, dan A.A. Lafraya. 2007. Cholesterol Assimilation By

Commercial Yoghurt Starter Cultures. Acta. Sci. Pol., Technol. Aliment, 6

(1): 83 - 94.

PERTANYAAN DAN LATIHAN

1. Perlakuan penanganan susu segar yang ditujukan untuk menyeragamkan dan

memperkecil ukuran globula lemak susu sehingga tidak mudah membentuk

cream layer adalah :

A. Pendinginan

B. Termisasi

27

C. Plate heat exchanger

D. Homogenisasi

2. Proses Pasteurisasi maupun susu pasteurisasi selalu diikuti oleh proses

pendinginan atau penyimpanan pada suhu dingin, tujuannya adalah :

A. Mempercepat kematian mikroba patogen

B. Memperpanjang masa simpan

C. Menghambat pertumbuhan bakteri termofilik

D. Mencegah terbentuknya lapisan krim

3. Susu kental sebaiknya mempuyai kadar air maksimum sebesar :

A. 25%

B. 27%

C. 35%

D. 40%

4. Proses Pengolahan susu bubuk yang menyemprotkan susu kental melalui

nozzle dan mengubahnya menjadi partikel partikel kecil disebut proses :

A. Penggumpalan

B. Pengkabutan

C. Aglomerasi

D. Atomisasi

5. Senyawa yang ditambahkan pada proses aglomerasi susu bubuk sehingga

kadar air sangat rendahdan bubuk relatif mudah larut dalam air, yaitu :

A. Whey powder

B. Lesitin

C. Skim milk

D. Bubuk krim

6. Jenis keju yang digumpalkan dengan rennet atau bahan pengumpal lain .,

tetapi tidak mengalami proses pemeraman disebut :

A. Keju segar

B. Keju edam

C. Keju cheddar

D. Keju mozzarella

7. Proses pemeraman pada keju bertujuan untuk :

A. Mengawetkan keju

B. Membentuk cita rasa asam

C. Membentuk tekstur elastis (mulur) dan lunak

D. Membentuk tekstur dan cita rasa khas keju

8. Menurut peraturan USDA es krim sebaiknya mempuyai kadar lemak minimal

sebesar :

A. 11%

B. 12%

C. 13%

D. 14%

28

9. Pengembangan volume es krim relatif terhadap volume awal adonan disebut :

A. Foaming ability

B. Swelling

C. Overrun

D. Hidrasi

10. Proses perubahan emulsi minyak di dalam air (o/w) menjadi emulsi air di

dalam minyak (w/o) pada pengolahan mentega disebut

A. Termisasi

B. Aging

C. Choncing

D. Churning

Kunci Jawaban Latihan :

1. D 6. A

2. C 7. D

3. D 8. D

4. C 9. C

5. B 10.D

TUGAS MANDIRI

1. Buatlah paper dengan tema pengolahanan dan pengembangan suatu produk

dengan menggunakan bahan utama komoditas susu. Gunakan referensi/

pustaka dari jurnal internasional mutakhir (terbit 10 tahun terakhir), paling

sedikit 3 buah.

2. Cari dan terjemahkan secara bebas 1 naskah dari jurnal internasional

mutakhir. Buatlah rangkuman isis naskah dan berikan tambahan

pembahasan terkait peluang pengembangan dari artikel tersebut dan

implikasinya bagi industry pangan di Indonesia.

3. Buatlah naskah yang terkait dengan pengembangan produk olahan susu yang

diperkaya probiotik. Gunakan referensi/ pustaka dari jurnal internasional

mutakhir (terbit 10 tahun terakhir), paling sedikit 3 buah.

2. PENGOLAHAN TELUR

2.1. Struktur dan Nilai Nutrisi Telur

Telur (eggs) merupakan hasil ternak unggas, khususnya ayam petelur.

Telur mengandung zat-zat makanan yang dibutuhkan untuk membentuk

individu baru hingga menetas. Zat-zat makanan tersebut esensial juga bagi

manusia. Oleh sebab itu, sejak dahulu hingga kini telur dimanfaatkan oleh

manusia sebagai bahan pangan yang kaya akan zat gizi. Disamping dari ayam

petelur, telur juga diperoleh dari unggas yang lain seperti telur itik dan telur

burung puyuh.

29

Telur dari berbagai jenis unggas mempunyai struktur dan karakteristik

fisik serta kimiawi yang hampir sama. Struktur telur unggas tersusun atas tiga

bagian utama, yaitu dari luar ke dalam berturut-turut berupa cangkang/ kulit

telur (shell egg), putih telur (egg white), dan kuning telur (egg yolk) (Ilustrasi 1).

Telur berbentuk bulat oval dan dibagian tumpul sebelah dalam terdapat rongga

udara. Telur mengandung zat-zat gizi relatif lengkap seperti protein, lemak,

vitamin dan mineral sehingga dapat disebut sebagai kapsul gizi

(Rehault-Godbert et al., 2019).

Protein telur berkualitas tinggi, dan dikenal sebagai protein seimbang

(balanced protein), karena mengandung semua asam amino esensial bagi tubuh

manusia (Miranda et al., 20015). Lemak telur mudah dicerna dan merupakan

sumber energi bagi tubuh. Telur kaya akan asam lemak esensial terutama asam

oleat dan asam lemak tak jenuh lainnya. Telur mengandung hampir semua

vitamin, kecuali vitamin C (ascorbic acid). Telur dikenal sebagai sumber vitamin

A, D, B1, dan Riboflavin. Telur mengandung berbagai jenis mineral seperti besi

(Fe), posfor (P), dan lainnya yang bermanfaat bagi tubuh manusia.

Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang peternakan, produksi telur

juga semakin meningkat. Peningkatan produksi telur perlu diimbangi dengan

pengolahan yang memadai, baik pengolahan primer yakni penanganan dan

pengawetan maupun pengolahan sekunder yang mengubah telur menjadi

produk pangan olahan. Telur selain dapat digunakan sebagai bahan baku produk

makanan, snack dan bakery, telur juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan

pengembang (leaven), pengemulsi (emulsifier), pengental dan pengikat

(thickener and binder),pemberi citarasa (flavor) dan pemberi warna.

Gambar 2. Struktur telur

(Sumber: Rehault-Godbert et al., 2019)

2.2. Pengawetan Telur

Telur segar biologis dan telur segar komersial tidaklah sama. Secara

teoritis hanya telur yang baru ditelurkan adalah segar; tetapi bila dipasarkan

telur dianggap segar jika tidak terjadi perubahan isi telur yang nyata dan rongga

udara dalam telur masih relatif kecil (tampak pada peneropongan). Jika

ditangani dan disimpan pada kondisi lingkungan yang sesuai, telur masih

diterima secara komersial sebagai telur segar 2 atau 3 minggu setelah peneluran.

Jadi umur telur hanyalah satu dari banyak faktor kesegaran. Suhu, kelembaban

dan penanganan ikut berperan menentukan kesegaran telur. Telur umur 1

minggu yang disimpan dalam refrigerator, bisa jadi lebih segar daripada telur

yang disimpan pada suhu kamar selama 1-3 hari.

Telur mempunyai nilai maksimum/ berkualitas tinggi sebagai bahan

pangan pada saat ditelurkan. Selanjutnya kualitas telur mengalami penurunan

30

sampai saat dikonsumsi. Telur sangat peka terhadap pengaruh lingkungan

sehingga mudah sekali mengalami kerusakan baik fisik, kimiawi maupun

mikrobiologis. Cangkang telur yang berpori-pori memungkinkan gas dan air

lepas dari telur serta masuknya mikroba ke dalam telur bila kondisi lingkungan

tidak menguntungkan (favorable) untuk penyimpanan. Dari saat ditelurkan

sampai dikonsumsi, telur akan mengalami perubahan-perubahan (Hatta et al.,

1997; Roberts, 2004), diantaranya adalah :

a. Berat telur berkurang, terutama disebabkan oleh menguapnya air dari putih

telur lewat pori-pori cangkang, dan sebagian lagi karena menguapnya CO2,

NH3, N2dan H2S.

b. Rongga udara bertambah besar,

c. Berat jenis turun, berat jenis telur segar berkisar antara 1,065 -1,100.

d. Proporsi putih telur kental berkurang karena menjadi encer, akibat rusaknya

protein ovomusin (fibrous glycoprotein ovomucin), suatu senyawa yang

memberikan struktur kental putih telur.

e. Kuning telur bertambah besar, karena adanya pergerakan air dari putih telur

ke kuning telur.

f. Terjadi perubahan bau dan flavor akibat terjadinya penyerapan bau-bauan

dan flavor sekitarnya melalui cangkang telur.

g. Terjadi pembusukan akibat pertumbuhan mikroba.

h. Terjadi peningkatan pH, terutama pH putih telur akan meningkat dari sekitar

7 menjadi 10 atau 11, sedangkan pH kuning telur meningkat secara bertahap

dari 6 sampai 7. Kenaikan pH putih telur disebabkan karena penguapan CO2.

Pengawetan telur terutama ditujukan untuk menunda perubahan

fisikokimiawi dan mencegah kerusakan mikrobiologis (Lechevalier et al., 2011).

Dengan pengawetan memungkinkan ketersediaan dan distribusi telur yang lebih

baik sepanjang tahun, sehingga menjamin stabilitas harga. Pengawetan telur

dapat dibedakan ke dalam 2 bentuk, yaitu pengawetan telur utuh dan

pengawetan isi telur setelah dipecah.

2.2.1. Pengawetan telur utuh

Prinsip pengawetan telur utuh yaitu: (1) menghambat pertumbuhan

mikroba, (2) menjaga/mempertahankan kandungan air dan tekanan CO2di

dalam telur selama mungkin. Untuk itu, alternative metode yang dapat dipilih

yaitu: (1) memodifikasi lingkungan dengan mengatur suhu, kelembaban, dan

komposisi atmosfir; (2) memberi perlakuan pada telur dengan menutup

pori-pori cangkang; (3) menggunakan kombinasi metode 1 dan 2.

Beberapa cara pengawetan telur utuh antara lain: (1) pengepakan kering

(dry packing); (2) perendaman dalam cairan; (3) penyimpanan dingin dengan

atmosfer normal, atau atmosfer termodifikasi, atau atmosfer terkendali; (4)

perlakuan pelapisan cangkang/penutupan pori-pori cangkang.

1. Dry Packing. Metode dry packing adalah mengepak telur utuh ke dalam

material kering seperti pasir, sekam, serbuk gergaji dsb. Dry packing dapat

menghambat penguapan air dan hilangnya CO2dari dalam telur. Namun jika

packing materialnya longgar tidak mencegah penguapan ataupun

dekomposisi isi telur.

31

2. Perendaman dalam larutan kapur. Larutan kapur diperoleh dengan cara

melarutkan kapur (CaO) kedalam air. CO2atmosfer bereaksi dengan larutan

kapur membentuk CaCO3pada permukaan larutan sehingga mencegah

masuknya mikroba ke dalam telur. Larutan kapur juga mendeposit lapisan

tipis CaCO3pada permukaan cangkang telur sehingga sebagian akan menutup

pori-pori cangkang. Praktisnya 1 kg kapur dilarutkan dalam 15 l air kemudian

disaring dan dituang ke wadah untuk perendaman. Telur direndam selama 21

– 30 hari, kemudian diangkat/ ditiriskan. Daya simpan telur mencapai 3 – 5

bulan.

3. Perendaman dalam water glass. Water glass adalah larutan Na2SiO4

(sodium silikat), bersifat kental, seperti sirup, bening, tidak mudah menguap,

tidak berbau dan tidak berasa. Water glass tidak dapat menembus cangkang,

tetapi dapat mendeposit silika pada permukaan cangkang sehingga menutup

pori-pori cangkang. Water glass juga mempunyai sifat antibakteri yang

disebabkan karena: (1) bersifat basa, dan (2) merupakan pelarut gas yang

jelek sehingga memberikan kondisi anaerobik yang dapat menghambat

beberapa bakteri. Praktisnya larutan water glass dapat dibuat dengan

mencampur water glass dan air dengan perbandingan 1 : 10 sampai larut.

Telur direndam selama 30 hari.

4. Perendaman dalam larutan garam dapur. Garam dapur (NaCl) dapat

mencegah/menghambat pertumbuhan mikroba karena mempunyai efek: (1)

meningkatkan tekanan osmosis yang dapat menyebabkan terjadinya

plasmolisis sel mikroba; (2) menurunkan air bebas (Aw, water activity) dan

dapat mendehidrasi sel mikroba; (3) ion Cl bersifat toksik bagi mikroba; (4)

menurunkan kelarutan O2dalam air; (5) membuat sel mikroba peka terhadap

CO2; (6) merintangi aksi enzim proteolitik. Garam dapat menembus pori-pori

cangkang dan masuk ke dalam telur sehingga selain mengawetkan juga dapat

memberi rasa asin.

5. Perendaman dalam larutan penyamak nabati. Senyawa aktif bahan

penyamak nabati, tannin, dapat digunakan untuk pengawetan telur. Tannin

terdapat pada kulit akasia, teh, daun jambu biji, sehingga bahan-bahan

tersebut banyak digunakan untuk perendaman telur. Larutan diperoleh

dengan cara merendam bahan penyamak dalam air selama 12 - 24 jam. Air

hasil perendaman inilah yang dipakai sebagai larutan penyamak. Perendaman

telur ke dalam larutan penyamak tersebut, kulit telur akan tersamak.

6. Penyimpanan Dingin. Pada dasarnya telur utuh dapat disimpan pada suhu

rendah diatas titik beku telur, yakni -20C. Penyimpanan ini memperlambat

hilangnya CO2dari dalam telur dan memperlambat masuknya air dari putih ke

kuning telur, disamping itu pertumbuhan mikroba juga akan terhambat.

7. Pelapisan Cangkang. Pelapisan cangkang merupakan upaya

mempertahankan kualitas telur dengan menutup pori-pori cangkang. Dengan

tertutupnya pori-pori maka: (1) evaporasi dapat dikurangi sehingga

memperkecil kehilangan berat telur dan menjaga rongga udara tetap kecil; (2)

pelepasan CO2telur dapat dihambat sehingga kenaikan pH putih telur kecil

dan pengenceran putih telur terhambat; (3) mikroba tidak dapat menembus

cangkang. Pelapisan dapat dilakukan di bagian luar ataupun di bagian dalam

cangkang. Untuk pelapisan bagian luar dapat digunakan minyak nabati seperti

minyak kelapa, minyak kelapa sawit ataupun minyak lain seperti parafin cair

yang aplikasinya melalui penyemprotan (spraying) maupun pencelupan

32

(dipping). Pelapisan bagian dalam cangkang dapat dilakukan dengan membuat

lapisan tipis putih telur yang menggumpal di bawah membran kulit telur

dengan cara flash heat treatment, yakni mencelupkan telur ke dalam air

mendidih atau minyak mendidih dalam waktu sekejap

2.2.2. Pengawetan telur yang telah dipecah

Pengawetan telur pecah dapat berupa cair (liquid egg), beku (frozen egg)

atau kering (dry egg), baik sebagai whole egg (keseluruhan isi telur), ataupun

putih dan kuning telur secara terpisah. Tahapan proses pengawetan telur yang

telah dipecah adalah dengan beberapa tahapan: sortasi, pencucian, pemecahan,

penyaringan, pasteurisasi, pengemasan, dan pembekuan.

Sortasi merupakan kegiatan memilah dan memilih telur yang memenuhi

syarat untuk dipecah. Telur yang akan diawetkan harus mempunyai kualitas

interior yang edible (layak makan), bebas dari kotoran atau material asing yang

melekat. Pencucian telur dapat dilakukan dengan menyemprot telur

menggunakan air yang mengandung Chlorine. Selanjutnya, pemecahan telur

dapat dikerjakan oleh orang/tenaga yang terlatih atau dengan mesin pemecah

telur otomatis, dan dilakukan dalam ruang khusus pemecahan di bawah kondisi

sanitasi yang baik. Setelah pemecahan dilakukan penyaringan untuk

menyingkirkan serpihan/pecahan cangkang, membran dan kalaza. Tahap

selanjutnya adalah pasteurisasi yang ditujukan untuk membunuh bakteri

patogen dalam telur, khususnya Salmonella. Pasteurisasi pada suhu 600C selama

3,5 menit dapat membunuh Salmonella, dan mencegah hilangnya sifat

fungsional putih telur.

Telur cair dapat dikemas dengan corrugated box dengan lapisan film

plastik. Untuk telur beku dikemas dengan kaleng atau wadah karton berlapis

polietilen. Untuk telur bubuk dikemas dengan corrugated karton dengan lapisan

plastik yang disegel kuat/rapat untuk mencegah uap air masuk. Pada akhirnya

dilakukan pembekuan cepat (blast freezing) pada suhu -400C dengan waktu

sekitar 15 jam. Pembekuan putih telur tidak banyak masalah, tetapi pada kuning

dan whole egg dapat mengalami kerusakan selama pembekuan karena air akan

terpisah dari bahan padat kuning telur dan dapat menurunkan sifat

fungsionalnya terutama daya buih.

2.3. Pengeringan Telur

Prinsip pengeringan adalah penghilangan air dari telur sehingga cukup

rendah untuk menghentikan pertumbuhan mikroorganisme dan menghambat

laju reaksi kimia. Proses pengeringan akan menghasilkan produk berupa telur

kering atau tepung telur/bubuk telur yang awet. Keuntungan produk telur

kering, yaitu: (1) biaya simpan rendah, baik disimpan kering atau dingin dan

butuh ruang lebih kecil dibanding telur utuh atau cair; (2) biaya transport lebih

rendah daripada telur beku atau cair; (3) mudah ditangani secara saniter; (4)

tidak peka terhadap pertumbuhan bakteri selama penyimpanan; (5)

memungkinkan pengendalian yang tepat akan jumlah air yang digunakan dalam

formulasi; (6) keseragaman yang baik; (7) memungkinkan pengembangan

berbagai convenience food baru.

Ada berbagai macam produk telur kering yaitu: putih telur kering (dried egg

white), kuning telur kering (dried egg yolk), gabungan putih dan kuning telur

33

kering (dried whole egg). Berdasarkan proses pengeringannya dikenal beberapa

macam produk putih telur kering. Hampir semua produk putih telur kering telah

dihilangkan glukosa alaminya sebelum pengeringan dan stabil pada hampir

semua kondisi penyimpanan (Hill dan Sebring, 1990). Beberapa produk putih

telur kering yaitu:

a. Spray dried egg white, adalah putih telur kering yang dikeringkan dengan

metode spray drying. Ada dua tipe produk ini, yaitu tipe pengembang

(whipping type) dan tipe bukan pengembang (nonwhipping type), yang

keduanya berbeda penggunaannya atau sifat fungsional yang

dikehendaki.

b. Pan-dried egg white, adalah putih telur kering yang dihasilkan dari proses

pengeringan dengan metode pan drying. Produknya berbentuk serpihan

(flake), granula dan bubuk (powder), digunakan untuk pembuatan

permen beraerasi.

c. Instant-dissolving egg white, adalah produk putih telur yang dikeringkan

dengan spray drying dan memiliki sifat sangat mudah larut dalam air.

Selain beberapa produk tersebut diatas, juga ada produk campuran

seperti dried blends whole egg and Yolk with Carbohydrate (sucrose,corn syrup).

Ada juga produk scramble egg mix (campuran putih telur, kuning telur, susu skim,

garam, minyak nabati) dan produk imitation whole egg yang biasanya berbasis

putih telur dengan tambahan minyak nabati dan susu skim milk sebagai

pengganti bagian kuning telur.

2.3.1.Sifat Telur Kering

Pengeringan telur diarahkan untuk mendapatkan produk akhir yang

saat digunakan mempunyai sifat-sifat mendekati bahan awalnya, yakni telur cair

segar. Sifat-sifat penting untuk produk telur kering seperti: sifat membuih, sifat

emulsi, sifat koagulasi, dll.

1. Sifat membuih bila dikocok. Sifat ini penting untuk pembuatan roti, kue dan

permen. Putih telur akan kehilangan sifat membuihnya bila dikeringkan tanpa

perlakuan pendahuluan dan panas berlebihan. Pemanasan putih telur di atas

570C menyebabkan hilangnya sifat membuih. Sejumlah kecil kuning telur

(kurang dari 0,03 % berat basah) yang mengkontaminasi putih telur selama

pemecahan dan pemisahan dapat mempengaruhi sifat membuih putih telur.

Sifat membuih kuning telur juga dapat hilang karena pecahnya emulsi

globula lemak menjadi lemak bebas. Karbohidrat dapat ditambahkan pada

whole egg dan kuning telur untuk mencegah hilangnya sifat membuih.

2. Sifat emulsi. Kuning telur, putih telur dan whole egg merupakan emulsifier

yang baik untuk produk pangan. Kemampuan mengemulsi dari kuning telur 4

kali lipat putih telur, sedangkan sifat mengemulsi whole egg sedang.

Pengeringan akan mengubah sifat mengemulsi tersebut. Stabilitas emulsi

mayonnaise yang terbuat dari whole egg kering dan kuning telur kering

menurun bilamana produk tersebut disimpan 350C selama 3 bulan. Perubahan

hanya sedikit jika disimpan 230C atau kurang selama 6 bulan.

3. Sifat koagulasi. Di bawah kondisi pengeringan dan penyimpanan yang layak,

sifat koagulasi oleh panas produk telur kering tetap baik; tetapi jika kondisi

pengeringannya sangat “keras” dan jika kondisi penyimpanannya jelek,

34

produk whole egg dan kuning telur dapat kehilangan sifat koagulasi panasnya

seperti pada sifat kelarutannya.

4. Perubahan cita rasa dan nutrisi. Cita rasa dapat berubah karena kondisi

pengeringan dan penyimpanan yang jelek. Salah satu faktor terpenting yang

menyebabkan jeleknya stabilitas penyimpanan produk telur kering adalah

glukosa alami yang ada. Hampir semua produk putih telur mempunyai

glukosa bebas, oleh karenanya jika dihilangkan lebih dulu sebelum

pengeringan maka akan sedikit mengalami perubahan cita rasa selama

pengeringan. Pengeringan di bawah kondisi normal hanya sedikit

menyebabkan hilangnya sifat nutritif telur. Vitamin A, Vitamin B seperti

thiamin, riboflavin, asam pantotenat dan asam nikotinat masih terukur dalam

whole egg kering dan esensial dijumpai sama dengan produk telur segar. Nilai

protein telur kering tetap tidak berubah. Namun bila kondisi pengeringan dan

penyimpanan yang jelek dapat merusak nutrisi telur.

2.3.2. Metoda pengeringan

Pengeringan telur dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:

spray drying, pan drying, dan freeze drying. Metode spray drying merupakan

metoda yang paling banyak digunakan. Pada spray drying, cairan diatomkan ke

dalam aliran udara panas. Atomisasi akan menghasilkan luas permukaan yang

sangat besar sehingga evaporasi air sangat cepat (Bergquist, 1990). Udara

yang digu-nakan disaring untuk menghilangkan debu, kemudian dipanaskan

sampai suhu 121-2320C. Bubuk yang terbentuk dipisahkan dari udara pengering.

Produk kering dikeluarkan dari alat pengering, kemudian didinginkan, diayak,

dan dikemas.

Metode pan drying digunakan untuk menghasilkan produk putih telur

flake-type. Nampan-nampan (pans) diisi putih telur dan disusun pada rak dalam

ruangan yang dipanaskan. Evaporasi air berlangsung perlahan-lahan dan

meninggalkan lapisan kristal yang disebut flake. Pengeringan sampai kadar air

12 – 16% akan menghasilkan flake-type material. Produk dengan ukuran 1,5 –

12,5 mm umumnya dianggap flake; lebih halus dari ini disebut putih telur

granular. Dapat juga digiling menjadi bubuk halus.

Metode freeze drying terbatas penggunaannya, karena kapasitas alatnya

relatif kecil. Air dihilangkan dari produk yang dalam keadaan beku. Produk

dibekukan dan divakumkan hingga sekitar 0,25 atmosfer. Panas harus dipasok

ke produk pada suhu relatif rendah, sekitar 20-300C, sampai mengering.

Walaupun prinsipnya sederhana namun peralatannya sangat kompleks dan

biayanya lebih mahal daripada metoda pengeringan yang lain.

2.4. Pengolahan Telur

Telur dapat diolah menjadi beberapa macam produk makanan, baik telur

sebagai bahan utama maupun sebagai bahan campuran. Telur sbg bahan utama

dapat diolah sebagai telur rebus, telur asin, telur pindang, telur dadar, telur

ceplok, omellete. Telur sebagai bahan campuran dapat diolah sebagai roti atau

produk bakery, es krim, salad dressing,mayonaise, dll. Sifat membuih dari telur

35

baik putih telur maupun kuning telur digunakan sebagai bahan pengembang

makanan, sifat mengemulsi dari kuning telur digunakan sebagai emulsifier, sifat

mudah menggumpal baik putih maupun kuning telur digunakan sebagai

pemertebal dan pengikat (thickener and binder),selain itu juga telur digunakan

sebagai pemberi citarasa (flavor) dan kuning telur sebagai pemberi warna.

2.4.1. Telur Rebus

Telur rebus sering dihidangkan sebagai kudapan berupa telur rebus yang

masih bercangkang maupun yang telah dikupas. Telur rebus yang telah dikupas,

lebih lanjut dapat diolah menjadi aneka lauk pauk yang lezat seperti acar telur,

sambal goreng telur, rendang telur dan lain-lain. Selain itu, telur dapat diolah

menjadi telur asin, telur pindang dan sebagainya, yang penyajiannya berupa

telur rebus yang masih bercangkang. Telur rebus ini tidak menarik disajikan bila

cangkangnya pecah dan begitu pula bila telur rebus yang telah dikupas ternyata

albumennya menempel pada cangkang yang menyebabkan kenampakannya

jelek.

Berbagai metoda perebusan telur telah banyak dilakukan dan dicoba

untuk mencegah agar telur tidak pecah cangkangnya pada waktu perebusan,

namun demikian hasil dari metoda-metoda tersebut masih beragam, tergantung

kondisi telur yang direbus. Menurut Sheldon dan Kimsey (1985), telur rebus

yang baik hendaknya memenuhi kriteria sebagai berikut: cangkang tidak pecah

selama perebusan, cangkang mudah dikupas dan albumen yang menggumpal

tidak melekat pada cangkang, dan kuning telur terpusat dengan baik dan tidak

terlihat cincin gelap. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian pecah cangkang

ketika telur direbus adalah: ketebalan cangkang, ukuran dan bentuk cangkang,

umur telur dan temperatur penyimpanan telur, temperatur awal dari air yang

dimasak. Waktu perebusan dan suhu pemasakan berpengaruh terhadap kejadian

pecah selama perebusan dan perubahan warna kuning telur (Stadelman dan

Rhorer, 1984; Hatta et al., 1997).

Menurut Stadelman (1990), dalam mengukur kemudahan kupas dapat

dilibatkan 2 faktor pengupasan yaitu waktu yang dibutuhkan untuk

menghilangkan cangkang, dan kenampakan telur rebus setelah dikupas.

Kemudahan kupas telur rebus ada kaitannya dengan pH putih telur; telur dengan

pH putih telur 8,7 atau lebih biasanya mudah dikupas. Britton dan Fletcher

(1987) menyatakan bahwa pengaruh lingkungan pada pH putih telur merupakan

faktor utama yang mendukung peningkatan kemudahan kupas. Penghilangan

CO2dari lingkungan sekitar telur mempercepat hilangnya CO2dari putih telur,

meningkatkan pH putih telur dan meningkatkan kemudahan kupas. Pelapisan

telur dengan minyak dan penyimpanan dingin menghambat penurunan pH

sehingga telur sulit dikupas setelah direbus.

American Egg Board merekomendasikan perebusan telur dengan cara

meletakkan telur selapis dalam panci yang telah ditambahkan air paling sedikit 1

inci di atas telur, ditutup dan dipanaskan dengan cepat sampai mendidih,

kemudian sumber panas dimatikan dan dibiarkan tertutup sampai 15-17 menit

untuk telur yang besar (Stadelman, 1990). Sesuaikan naik atau turunnya waktu

kira-kira 3 menit untuk setiap ukuran telur yang lebih besar atau lebih kecil.

Segera didinginkan seluruh telur dalam air dingin yang mengalir selama 5 menit

untuk mencegah permukaan kuning telur berwarna gelap.

36

Sheldon dan Kimsey (1985) melaporkan prosedur perebusan telur

dengan memasukkan telur ke dalam air kemudian dipanaskan hingga mendidih

dan dibiarkan mendidih selama 20 menit, memberikan temperatur internal telur

paling tinggi (98,7oC) dibandingkan dengan metoda perebusan telur dengan cara

telur dipanaskan dalam air sampai mendidih dan dibiarkan dalam keadaan

panas selama 20 menit (95,6oC), dan dengan metoda steaming selama 20 menit

(89,4oC).

American Egg Board memberikan petunjuk mengupas telur sebagai

berikut: dinginkan telur rebus dengan cepat dan melalui air dingin yang

mengalir cepat (selama 5 menit), retakkan cangkang pada semua permukaan

dengan membenturkan pelan pada meja, putar telur di antara tangan untuk

melonggarkan cangkang, kemudian kupas mulai dari ujung tumpul. Pendinginan

di bawah air mengalir atau mencelupkan dalam air menjadikan pekerjaan

pengupasan lebih mudah. Sebenarnya mesin pengupas telur telah dikembangkan,

namun semua mesin menyobek banyak putih telur; oleh karena itu mengupas

telur banyak dikerjakan secara manual.

2.4.2. Telur Asin

Telur asin (salted egg) merupakan produk awetan dari pengasinan telur.

Namun cara pengawetan dengan pengasinan ini menimbulkan perubahan rasa

telur yakni menjadi asin, maka dapat dikatakan pula bahwa telur asin

merupakan salah satu produk olahan telur. Telur asin telah lama dikenal

masyarakat, baik di Indonesia maupun di negara lain di Asia. Di China telur asin

dikenal dengan Hulidan, dan di Taiwan dikenal Shyandan. Telur asin utuh

dikonsumsi sebagai bagian dari diet reguler, namun kuning telur asin juga

digunakan sebagai bahan isian pada beberapa produk pangan seperti moon cake

(kue bulan), glutinous rice dumpling, dsb. Proses pembuatan telur asin

melibatkan penggunaan garam NaCl/ garam dapur, dan bahan-bahan pendukung

lainnya.

Penggunaan NaCl (garam dapur) dalam pengolahan pangan disamping

memberikan rasa asin, juga dapat menghambat kerusakan karena mikroba. NaCl

dapat masuk kedalam telur melalui pori-pori cangkang dengan proses ionisasi,

difusi dan osmosis. NaCl terionisasi menjadi Na+dan Cl-.

Ada beberapa cara pengasinan telur yang telah dikenal, baik secara

pelumuran dengan adonan maupun secara perendaman dengan larutan garam.

Pengasinan telur dengan cara pelumuran adonan dikerjakan dengan

menggunakan campuran garam dan serbuk material dengan perbandingan

tertentu kemudian ditambah air secukupnya sampai terbentuk adonan seperti

pasta. Serbuk material yang digunakan dapat berupa batu bata merah, abu,

lumpur atau pasir. Telur yang telah dipilih dan dicuci dilumuri atau dibenamkan

dalam adonan sehingga seluruh permukaan telur terkena adonan. Setelah itu

disimpan beberapa lama, biasanya 7 – 10 hari. Pengasinan telur dengan cara

perendaman dalam larutan garam dikerjakan dengan menggunakan larutan NaCl

jenuh atau larutan NaCl 20 – 30% selama beberapa waktu, biasanya 7 – 10 hari.

37

Kriteria telur asin matang yang baik dan disukai yaitu: cangkang tidak

pecah/retak, putih telur kenyal, kuning telur masir, berwarna menarik (orange

sampai merah) dan berminyak. Selama pengasinan, air meninggalkan telur

sedangkan garam masuk ke dalam putih dan kuning telur. Eksudasi minyak

dalam kuning telur seiring dengan waktu akibat dehidrasi dan denaturasi

protein Minyak yang tereksudasi dari kuning telur asin berada dalam bentuk

lipid bebas yang dilepaskan dari lipoprotein. Lipid bebas pada interface bulatan

granula kuning telur memberikan tekstur yang masir (gritty) pada kuning telur

asin rebus.

RINGKASAN

1. Telur dihasilkan oleh ternak unggas, khususnya ayam petelur. Telur juga

dihasilkan oleh jenis ungags yang lain seperti telur itik dan telur burung

puyuh. Telur dikenal sebagai bahan pangan yang kaya akan zat gizi. Protein

telur dikenal mempunyai nilai gizi tinggi yang memiliki kandungan asam

amino esensial lengkap.

2. Telur segar relatif mudah rusak, sehingga perlu upaya pengawetan. Telur

segar akan mengalami perubahan selama penyimpanan, yang ditandai antara

lain: berkurangnya bobot telur, bertambah besarnya rongga udara,

berkurangnya proporsi putih telur kental, membesarnya kuning telur,

peningkatan pH, perubahan bau dan tanda kebusukan.

3. 3.Pengawetan telur dapat diterapkan pada kondisi telur utuh maupun untuk

isi telur. Pengawetan telur utuh meliputi: dry packing, perendaman dalam

larutan kapur, perendaman dalam water glass, perendaman dalam larutan

garam, perendaman dalam larutan penyamak nabati, penyimpanan dingin,

dan pelapisan cangkang. Pengawetan telur yang sudah dipecah dapat berupa

cair (liquid egg), beku (frozen egg) atau kering (dry egg), baik sebagai whole

egg (keseluruhan isi telur), ataupun putih dan kuning telur secara terpisah.

4. Telur juga dapat dikeringkan isinya sehingga dihasilkan produk telur utuh

kering, putih telur kering, dan kuning telur kering. Proses pengeringan dapat

mempengaruhi sifat fungsional telur keringnya pada waktu digunakan untuk

pengolahan produk pangan. Perubahan sifat tersebut yaitu: sifat membuih,

sifat emulsi, sifat koagulasi, sifat nutrisi dan sifat organoleptic.

5. Telur dapat diolah menjadi beberapa macam produk makanan, baik telur

sebagai bahan utama maupun sebagai bahan campuran. Telur sbg bahan

utama dapat diolah sebagai telur rebus, telur asin, telur pindang, telur dadar,

telur ceplok, omellete. Telur sebagai bahan campuran dapat diolah sebagai

roti atau produk bakery, es krim, salad dressing,mayonaise, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Bergquist, D.H. 1990. Egg Dehydration. In W.J. Stadelman dan O.J. Cotterill (Ed.).

Egg Science and Technology. Food Products Press., New York. Hal. 285-323.

Frazier, W.C. and D.C. Westhoff. 1988. Food Microbiology. McGraw-Hill Book Co.,

Singapore.

38

Hatta, H., T. Hagi, and K. Hirano. 1997. Chemical and Physicochemical Properties

of Hen Eggs and Their Application in Foods. In T. Yamamoto, I.R. Juneja, H.

Hatta and M. Kim (Eds.). Hen Eggs: Their Basic and Applied Science. CRC

Press, Washington DC, p. 117-133.

Hill, W.M. and M. Sebring. 1990. Desugarization of Egg Products. In W.J.

Stadelman dan O.J. Cotterill (Ed.). Egg Science and Technology. Food

Products Press., New York. Hal. 273-283.

Kilara, A. And K. M. Shahani. 1973. Removal of glucose from eggs: A review. J.

Milk Food Technol., Vol. 36, No. 10.

Lechevalier, V., T. Crogguennec., M. Anton and F. Nau. 2011. Processed Egg

Product. In Y. Nys; M. Bain and F. V. Immerseel (Ed). Improving The Safety

and Quality of Eggs and Eggs Products. Woodhead Publishing Limited,

Cambridge, UK.

Miranda, J. M., X. Anton, C. Redondo-Valbuena, C. Roca-Savedra, P. Roca-Savedra,

J. A. Rodrigues, A. Lamas, C. M. Franco, and A. Cepeda. 2015. Egg and

egg-derived foods: effects on human health and use as functional foods.

Nutrients, 7, 706-729.

Mountney, G.J. 1976. Poultry Products Technology. The Avi Publishing Company

Inc., Westport, Connecticut.

Orr, H.L. and D.A. Fletcher. 1973. Eggs and Egg Products. Canada Department of

Agriculture. Ottawa.

Romanoff, A.L. and A.J. Romanoff. 1949. The Avian Egg. John Wiley & Sons, Inc.,

New York.

Rehault-Godbert S., N. Guyot and Y. Nys. 2019. The golden egg: nutritional value,

bioactivities, and emerging benefit for human health. Nutrients, 11, 684.

Sheldon, B.W. and H. R. Kimsey. 1985. The effect of cooking methods on the

chemical, physical and sensory properties of hard-cooked eggs. Poult. Sci.

64, 84-92.

Stadelman, W. J. 1990. Hard Cook Egg. In W.J. Stadelman dan O.J. Cotterill (Ed.).

Egg Science and Technology. Food Products Press., New York. Hal.385-398.

Roberts, J.R. 2004. Factors affecting egg internal quality and egg shell quality in

laying hens. J. Poult. Sci. 41:161–177.

LATIHAN DAN PERTANYAAN

1. Berdasarkan strukturnya, bagian telur yang memiliki nilai gizi protein tinggi

adalah:

a. Cangkang

b. Putih telur

c. Kuning telur

d. Khalaza

2. Telur dikenal sebagai bahan pangan yang bergizi baik dan bermanfaat bagi

kesehatan, karena:

a. Kandungan proteinnya tinggi dengan asam amino esensial lengkap

b. Mengandung asam lemak esensial

c. Tidak mengandung mengandung kolesterol

d. Sumber vitamin A dan D

3. Telur yang berkualitas baik ditandai dengan kondisi berikut ini, kecuali:

39

a. Masih kecilnya rongga udara

b. Masih utuhnya cangkang

c. Membesarnya rongga udara

d. Bobot telur normal

4. Selama penyimpanan telur akan mengalami perubahan isinya yang ditandai

dengan:

a. Bertambahnya komponen putih telur kental.

b. Mengecilnya kuning telur.

c. Meningkatnya pH isi telur

d. Menurunnya pH isi telur

5. Sifat-sifat fungsional telur berikut ini penting pada pengolahan produk pangan,

kecuali:

a. Sifat membuih

b. Sifat kelarutan

c. Sifat koagulasi

d. Sifat emulsi

6. Garam dapur (NaCl) mempunyai efek mengawetkan telur karena mekanisme

berikut ini, kecuali:

a. Mengakibatkan plasmolisis sel mikroba

b. Meningkatkan air bebas telur

c. Menurunkan kelarutan oksigen

d. Ion klor bersifat racun bagi mikroba

7. Metode ini tidak dapat digunakan untuk pengawetan telur:

a. Perendaman telur dalam larutan NaCl

b. Perendaman telur dalam larutan penyamak nabati

c. Prendaman telur dalam water glass

d. Perendaman telur dalam minyak mineral

8. Telur dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan produk berikut ini, kecuali:

a. Mayonnaise

b. Moon cake

c. Salted egg

d. Sweetened egg

Tugas Mandiri

1. Buatlah naskah tentang potensi gizi telur untuk pengembangan produk pangan

olahan. Gunakan sedikitnya 3 referensi dari jurnal internasional mutakhir

(terbit 10 tahun terakhir).

2. Carilah sebuah naskah publikasi pada jurnal internasional mutakhir. Buatlah

rangkuman isi naskah tersebut dan berikan pembahasan khusus terhadap hal

dianggap menarik dan mempunyai peluang untuk dikaji lanjut atau

dikembangkan.

40

3. TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAGING

3.1. Karakteristik Daging

a. Komposisi Daging

Setelah hewan disembelih, bagian hewan yang akan dikonsumsi

merupakan karkas. Selain kulit, karkas terdiri dari otot (daging), lemak, dan

tulang (Tabel 5.). Umumnya produk olahan daging (daging ruminansia dan

daging unggas) berasal dari karkas yang terdiri dari jaringan otot (daging).

Secara garis besar, jaringan otot ini dibagi menjadi otot polos, otot lurik, dan

jaringan ikat. Daging merupakan komponen yang dapat dimakan setelah post

mortem dari hewan. Dalam tulisan ini, hewan yang dimaksud adalah ternak

yang terdiri dari sapi, domba, biri-biri, kambing, unggas, dan babi. Selain

daging, bagian yang biasa dikonsumsi adalah hati dan jantung.

Tabel 5. Komposisi karkas berbagai jenis hewan ternak

Rerata proporsi berat hidup (%)

*termasuk ke dalam non karkas

Sumber: Kauffman (2012)

Daging setelah penyembelihan mempunyai warna yang bervariasi mulai

dari merah ungu gelap sampai pucat atau keabu-abuan. Hal ini disebabkan oleh

perbedaan kadar mioglobin dan faktor biologis lainnya seperti pH. Mioglobin

merupakan protein yang dalam proses fisiologi berperan mengikat oksigen dan

karbon dioksida. Warna daging dada ayam sangat pucat yang disebabkan

41

kadar mioglobinnya yang rendah, akan tetapi warna paha sapi sangat merah

yang disebabkan kadar mioglobin yang tinggi.

Komposisi daging bervariasi tergantung dari jenis hewan dengan

komponen yang sangat berpengaruh terhadap komposisi daging adalah lipid.

Rerata daging adalah sebagai beirkut:

1% abu (umumnya terdiri dari kalium, natrium, klorin, magnesium,

kalsium, san besi),

1% karbohidrat dalam bentuk glikogen pada saat hewan belum

disembelih, dan berubah menjadi asam laktat setelah penyembelihan),

5% lipid,

21% komponen mengandung nitrogen (terutama protein)

72% sisanya adalah air

Perbandingan komposisi daging dengan tulang dan lemak ditunjukkan

Tabel 6. Otot atau daging tertentu mempunyai kadar lipid sampai 15% seperti

daging di bagian perut, tetapi pada bagian lain kadar lemak kurang dari 2%. Di

luar lemak, rasio protein/air adalah sekitar 0,3 dan umumnya rasio ini tetap

tidak pada hewan yang sudah dewasa. Pada kasus kota membutuhkan

komposisi daging secara cepat, maka dengan berdasarkan data kadar air dapat

diperkirakan kadar lemak dan protein. Jika rasio protein/air adalah 0,3,

sedangkan kadar abu dan karbohidrat relatif tetap dan kadar keduanya sekitar

2%, maka kadar lipid dapat diperkirakan yang dihitung by difference. Sebagai

contoh, jika daging mempunyai kadar air 70% (A), maka kadar protein (P) yang

setara dengan rasio protein/air (P/A)=0,3 atau P/70=0,3, maka P = 21 atau 21%.

Dengan mengurangkan dengan kadar abu dan karbohidrat sebesar 2%, makan

kadar lemak adalah 100 – 21 (kadar protein) – 2 (kadar abu+glikogen) – 70

(kadar air) = 7%.

Tabel 6. Perbandingan komposisi kasar daging, lemak, dan tulang

Komponen bernitrogen (terutama protein)

Sumber: Kauffman (2012)

Komponen lain yang terdapat dalam daging terdiri adalah asam lemak, gliserol,

komponen nitrogen non protein (seperti DNA dan RNA. ammonia, kompponen

mengandung gugus amin), dan vitamin.

a. Komponen daging tanpa lemak (lean meat)

Daging tanpa lemak terdiri dari 10% jaringan kontraktil (jaringan yang

dapat berkontraksi) yang terdiri dari protein miofibril (aktin, miosin, dan

lainnya) dalam susunan teratur berupa fibril, fibre, dan fibre bundels (Gambar

3.1.); 2% protein jaringan ikat, 6% protein sarkoplasma yang dikelilingi air

(kadar air sekitar 75% dan komponen-komponen larut air seperti mioglobin,

garam, dan vitamin), dan lemak serta komponen lainnya sebesar 3,5%.

42

Berdasarkan jenis protein, protein dalam daging digolongkan menjadi 4

golongan yaitu:

1. Protein miofibril sebagai jenis protein terbesar yang mencapai 60% dari total

protein daging

2. Protein sarkoplasma sejumlah 29% dari total protein

3. Protein stroma sejumlah 6% dari total protein

4. Protein granular sebesar 5% dari total protein

b. Lemak dalam daging

Jaringan lemak atau adiposa dalam daging terdiri atas 80-85% lemak,

5-10% air, dan 10% jaringan ikat. Jaringan lemak dalam daging biasanya

berwarna kekuningan. Warna kuning tersebut berasal dari karotenoid dalam

pakan seperti rumput. Lemak dalam daging berperan terhadap flavor daging.

Bergantung pada jenis asam lemak dalam daging, flavor atau bau daging sangat

bervariasi. Daging babi mempunyai bau yang disebabkan oleh asam lemak

jenis dan aldehid tidak jenuh. Pada karkas atau daging, lemak dibagi menjadi 3

kelompok yaitu:

Lemak dalam daging atau intramuscular fat yang terdapat antara muscle

fibre dan fibre bundle. Lemak ini dikenal sebagai lemak marbling

(marbling fat) yang berepran terhadap rasa juicy, flavor dan keempukan

daging. Peternak sapi di Kobe, Jepang terkenal dalam menghasilkan

daging dengan kadar lemak marbling tinggi sehingga dagingnya terkenal

enak, juicy, dan sangat empuk. Lemak marbling yang tinggi tersebut

diperoleh melalui pengelolaan pakan dan perlakuan terhadap sapi yang

sangat istimewa.

Lemak antar otot atau intermuscular fat.

Lemak di bawah kulit (subcutaneous fat) atau lemak penyimpanan

(deposit fat).

3.1.2. Struktur Daging

Daging terdiri dari sel paralel, tipis, dan panjang yang tersusun menjadi

fiber bundles (Gambar 3). Setiap serat daging (muscle fiber) ada dalam bentuk

satuan yang terpisah yang diselubungi oleh jaringan ikat yang disebut

endomisium (endomysium). Sejumlah serat daging ini bergabung bersama

dalam suatu ikatan serat (fiber bundle) yang diselaputi oleh jaringan ikat tipis

yang disebut perimisium (perimysium). Sejumlah fiber bundle bergabung dan

dibungkus oleh jaringan ikat yang tebal dan besar yang disebut epimisium

(epimysium).

43

Gambar 3. Struktur otot atau daging. 1. Epimisium, 2. Perimisium, 3.Endomisium,

4. Muscle fiber (Belitz et al., 2009)

Membran yang mengelilingi masing-masing muscle fiber disebut sarkolema

(sarcolemma) yang mempunyai ketebalan 75 nm. Sarkolemma terdiri dari tiga

lapis: endomisium, lapisan tengah yang amorf, dan membran plasma bagian

dalam. Muscle fiber merupakan sel-sel berinti banyak. Inti sel diselubungi

oleh cairan yang disebut sarkoplasma (sarcoplasm) dan komponen sel lainnya

seperti mitokondria, retikulum endoplasma, dan lisosom. Pada kondisi aerobik,

energi sel dihasilkan dalam bentuk ATP di dalam mitokondria. Lisosom

menghasilkan endopeptidase yang berperan pada proses pengempukan daging.

Gambar 4. Struktur daging (Feiner, 2006)

Muscle fiber atau sel daging (muscle cell) mempunyai diameter 0,01 sampai

0, 1 mm dan panjang 150 mm atau lebih. Komponen utama sel daging adalah

miofibril (myofibril) yang masing-masing mempunyai diameter 1-2 um.

44

Sampai 1000 miofibril tersusun secara paralel dalam sel daging. Pada daging

unggas yang mempunyai rasio miofibril terhadap sarkoplasma yang tinggi,

kontraksi terjadi secara cepat tetapi cepat mengalami relaksasi. Sebaliknya

pada daging merah yang lebih sedikit miofibril, kontraksi terjadi secara lambat

tetapi lebih lama.

Unit kontraktil dari serat daging disebut dengan sarkomer (Gambar 3.3).

Sarkomer mempunyai panjang 2 mm dan terletak di antara dua garis z (Z line).

Aktin berikatan dengan garis Z dan sebagian berikatan dengan ujung mosin.

Miosin terhubungkan dengan garis M (M line). Pita I merupakan zona dimana

tidak terdapat tumpang tindih dengan miosin, sedangkan zona H merupakan

ruang dimana tidak ada tumpang tindih aktin dan miosin. Pita A mewakili

miosin. Satu unit sarkomer membentang antar garis Z yang terdiri dari filamen

tipis dan tebal.

Gambar 5. Struktur sarkomer (Feiner, 2006)

Gambar 6. Contoh suatu sarkomer pada kondisi relaksasi (a) dan berkontraksi

(b). 1. Pita I, 2. Pita A, 3. Garis Z, 4. Garis M, 5. Filamen tipis, 6. Filamen tebal, 7.

Zona H. I. Filamen tipis dekat garis Z, II. Tumpang tindih filamen tipis dan tebal,

III. Filamen tebal, IV. Garis M (Belitz et al., 2009)

Pada saat relaksasi, hanya sebagian aktin dan miosin yang tumpang tindih.

Pada kondisi relaksasi ini sarkomer bersifat memanjang. Sebaliknya pada saat

kontraksi, aktin dan miosin saling berinteksi menyebabkan sarkomer menjadi

lebih pendek.

45

3.1.3. Perubahan pasca penyembelihan

Perubahan kimia terjadi setelah hewan ternak disembelih, dan setelah

penyembelihan terjadi perubahan dari otot menjadi daging, dan proses

perubahan tersebut sangat kompleks. Ketika hewan ternak masih hidup dan

bernafas, suplai oksigen ke dalam jaringan otot cukup dan digunakan untuk

menghasilkan energi dari glikogen. Pada kondisi ini terjadi perubahan glikogen

menjadi glukosa kemudian asam laktat yang menyebabkan pH daging

menurun dari 7,0-7,2 menjadi 5,5-6,5. Proses ini disebut dengan glikolisis dan

terjadi secara normal. Pada kondisi abnormal, dapat terjadi kondisi yang tidk

diinginkan yangharus dihindari karena akan berdampak pada mutu prduk

olahan daging yang dihasilkan. Kondisi tersbeut adalah sebagai berikut:

Daging pucat, lunak, dan berair (PSE condition - pale, soft, exudative).

Disebabkan oleh pH menurun secara cepat pada saat kondisi hewan masih

hangat yang disebabkan suplai glikogen terjadi secara cepat. Biasanya

disebakan kondisi penyembelihan yang menyebabkan hewan menjadi stress.

Dampaknya adalah protein larut air (protein sarkoplasma) mengendap, daya

ikat air yang rendah, dan warna pucat.

Daging kering, keras, dan warna gelap (DFD condition - dry, firm, dark meat).

Terjadi akibat suplai glikogen yang lambat akibat hewan kelaparan, kelelahan,

atau stress berkepanjangan sebelum disembelih. Hal ini menyebakan asam

laktat yang terbentuk sedikit dan pH tetap tinggi. Keadaan ini menyebabkan

warna lebih gelap, tekstur padat, dan daya ikat air lebih baik tetapi kualitas

mikrobiologis rendah akibat pH yang tinggi. Istilahnya pada daging sapi

disebut dark cutting dan glazy pada daging babi.

Kedua penyimpangan ini harus dihindari dengan mengendalikan kondisi

sebelum dan pada saat penyembelihan. Daging dengan kualitas baik diperoleh

dari hewan yang eshat, diberi pakan yang baik, dan tidak stress. Ketika hewan

disembelik, ATP (adenosin trifosfat) dalam otot berubah menjadi ADP (adenosin

difosfat) dan AMP (adenosin monofosfat) dengan melepaskan energi yang

menyebabkan karkas berkontraksi. Setelah waktu tertentu, otot mengalami

relaksasi yang menunjukkan berakhirnya masa rigor mortis (masa otot

berkontraksi dan kaku). Waktu rigor mortis tergantung dari jenis hewan

seperti ditunjukkan Tabel 7.

Tabel 7. Perbandingan komposisi kasar daging, lemak, dan tulang

Sumber: Greiser dan Guo (2012)

Daging yang didinginkan yang dipasok ke pabrik olahan daging umumnya masa

riogro mortis sudah tercapai dan tidak menimbulkan masalah. Jika pada waktu

rigor mortis dilakukan proses pemotongan, pembekuan, atau pemasakan,

biasanya daging menjadi keras

46

3.2. Teknologi Pengolahan Primer Daging

Daging dan produk olahan daging merupakan topik yang luas yang

mencakup berbagai jenis pangan dan teknologi pengolahan. Daging terdiri

dari otot, lemak, dan jarinagn ikat yang dimanfaatkan sebagai pangan, baik dari

hewan ternak ruminansia, unggas, maupun ikan. Produk olahan daging terdiri

dari daging segar yang diproses tanap pemasakan seperti pemotongan,

penggilingan, pendingian, curing (seperti dendeng/jerky). dan pembekuan, serta

produk olahan yang mengalami pemasakan (processed meat) seperti sosis,

daging burger, nugget, daging kornet (corned) dan lainnya. Istilah untuk daging

dan produk olahan daging adalah sebagai berikut:

a. Pengolahan primer merupakan pengolahan daging dalam bentuk mentah dan

belum siap dikonsumsi. Pengolahan ini meliputi penyembelihan,

penanganan karkas, pengempukan daging, perbaikan kualitas daging,

pendinginan, dan pembekuan. Produk dari hasil pengolahan primer ini

biasanya diolah lebih lanjut dalam pengolahan sekunder.

b. Pengolahan sekunder (secondary processing): mengubah karakteristik dari

daging dengan mengubah bentuk, ukuran, atau sifat kimia dengan

penambahan ingredien lain untuk meningkatkan flavor, fungsionalitas, dan

nilai ekonomi. Contohnya adalah produk emulsi daging, daging kering,

daging asap

c. Produk daging: adalah semua hasil pemasakan daging misalnya, daging steak

dll.

d. Produk olahan daging (product manufacturing) yaitu produk yang diolah

dengan menambahkan bahan lain, seperti sosis, nugget dan lainnya

Tabel 8. Daging dan produk olahan daging

Kyuring atau

Tanpa Kyuring

Semua,

terutama

sapi, babi,

unggas

Air, fosfat, garam,

antioksidan

Biasanya

utuh,

Sebagian

giling

Air, fosfat, garam,

flavor,

antioksidan,

pemanis

Air, garam,

pemanis, fosfat

Air, fosfat, garam,

pemanis

Garan, rempah,

pemanis, bumbu

Ya, Sebagian

tanpa kyuring

Garan, rempah,

pemanis, bumbu

47

Produk yang

dibentuk (formed

products)

Sumber: Maddock (2012)

3.2.1. Pengempukan Daging

Keempukan daging merupakan hal terpenting karena mempengaruhi rasa

dan rasa enak ketika mengonsumsi daging. Pengempukan daging terdiri dari

dua fase yaitu pengempukan awal, dan pengempukan lanjutan. Keempukan

daging dipengaruhi oleh 4 faktor utama yang juga dipengaruhi pengolahan

sekunder , yaitu:

1. Protein: protein yang berperan dalam daging adalah protein kontraktil.

Integritas dari protein kontraktil ini yang mempengaruhi keempukan.

Protein daging mengalami disintegritas (terdegradasi) dengan bertambahnya

waktu selama post mortem. Enzim dapat membantu mempercepat

keempukan dengan mendegradasi protein kontraktil seperti katepsin.

Aging merupakan salah satu metode untuk pengempukan daging.

2. Panjang sarkomer. Portein otot bekerja karena mempunyai kemampuan

untuk bergeser sehingga sarkomer mengerut (kontraksi) atau memanjang

(relaksasi). Pada kondisi mengerut, otot mengalami kontraksi dan

menyebabkan daging menjadi keras. Pada kondisi rifor mortis, sarkomer

mengalami kontraksi sampai fase rigor mortis terlewati.

3. Jaringan ikat. Jenis dan jumlah jaringan ikat sangat pentiing dalam proses

pengempukan daging. Jumlah jaringan ikat yang tinggi menyebabkan

daging menjadi keras. Ketika hewan meningkat umurnya, jaringan ikat

mengalami pengikatan silang antar fibril dari kolagen.

4. Komposisi daging. Jumlah lemak, wair, dan protein dalam daging

mempengaruhi keempukan. Walaupun tidak selalu, jumlah lemak dalam

otot (intramuscular/ (marbling fat) berkaitan dnegan keempukan.

Ada beberapa cara untuk mengempukkan daging. Selain dengan

pemeraman (aging) secara alami (penyimpanan pasca penyembelihan),

pengempukan mekanis, enzimatis, dan kimia merupakan tiga metode yang

umum digunakan untuk mengempukkan daging.

1. Pengempukkan mekanis. Dilakukan dengan cara merusak serat daging

dan jaringan ikat menggunakan tusukan jarum. Metod eini cocok digunakan

untuk daging yang dimasak matang, karena ada resiko kontaminasi mikroba

dari jarum yang digunakan.

2. Pengempukan enzimatis. Enzim dari beberapa tanaman tropis seperti

nanas (bromelain), papaya (papain) serta buah ara (ficin) mampu

mengempukkan daging. Enzim ini mendegradasi protein otot secara cepat.

Enzi mini harus disuntikkan ke dalam potongan dagin, atau direndam selam

aproses marinasi (perendaman dnegan bumbu). Akan tetapi, daging sapi

muda tidak memerlukan enzim untuk proses pengempukan.

3. Pengempukan kimiawi. Pengempukan ini dilakukan dengan menambahkan

asam, biasanya cuka, pada daging segar. Asam akan mendegradasi jaringan

ikan dan protein miofibril sehingga memperbiaki keempukan.

48

3.2.2. Perbaikan Kualitas Daging (Enhanced Meat)

Perbaikan kualitas daging dapat dilakukan dengan cara menambahkan

bumbu-bumbu dan bahan-bahan lain untuk meningkatkan warna dan rasa

terutama keempukan dan juiciness. Bahan-bahan tambahan tersebut biasanya

berupa air, garam, fosfat, dan dengan cara dinjeksikan atau dibalurkan pada

potongan daging. Proses penambahan bumbu dan bahan lain ini disebut

marinasi.

Marinasi biasa dilakukan dengan cara perendaman, pembaluran, atau

injeksi pada potongan daging. Larutan marinasi biasa ditambahkan sekitar

10% dari berat daging. Penambahan bahan-bahan marinasi selain dilakukan

pada potongan daging juga dapat dilakukan pada daging giling atau daging

kyuring. Pada larutan marinasi, air dibutuhkan untuk melarutkan bahan-bahan

lain. Garam memperbaiki flavor dan membantu pengikatan air oleh daging.

Fosfat, biasanya dalam bentuk fosfat alkalin seperti natrium tripolifosfat, umum

digunakan pada marinasi. Fosfat berfungsi memperbaiki kemampuan

pengikatan air dan juga bersifat antioksidan. Garam dan fosfat berfungsi

memoerbaiki daya ikat air.

Bahan lain yang biasa digunakan untuk marinasi dengan cara injeksi

adalah asam organic seperti asam laktat. Asam ini berfungsi meningkatkan

flavor dan memperpanjang daya simpan. Antioksidan dapat ditambahkan

untuk mencegah pembentukan flavor yang tidak diinginkan. Flavor atau

penguat rasa (flavor enhancer) serta bumbu-bumbu dan protein nabati dapat

juga ditambahkan pada larutan marinasi. Pengempuk daging alami seperti ficin,

bromelain, dan papain juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan

keeempukan daging melalui degradasi serat daging dan jaringan ikat oleh

aktivitas protease enzim tersebut.

3.3. Teknologi Pengolahan Sekunder Daging

3.3.1. Kyuring Daging

Daging kyuring merupakan produk olahan daging yang luas dan

umumnya juga merupakan hasil pengolahan sekunder. Kyuring bertujuan

memperbaiki warna, rasa, dan pengawetan. Kyring dapat dilakukan pada

daging utuh maupuan daging giling. Hampir semua jenis daging dapat

dikyuring seperti sapi, babi, dan produk lainnya. Bahan utama untuk kyuring

daging adalah nitrit atau nitrat. Kyuring merupakan tahapan penting pada

beberapa produk olahan daging seperti sosis, daging burger, dan daging kornet

(corned beef). Tujuan pembentukan warna merah cerah tidak akan tercapai

jika proses kyuring mengalami kegagalan, Untuk memahami proses kyuring,

maka perlu dipahami terlebih dahulu perubahan yang terjadi pada mioglobin

sebagai pigmen daging yang mengalam perubahan selama proses kyuring.

a. Pigmen daging mioglobin

Pada proses kyuring terjadi perubahan warna daging menjadi merah

cerah yang permanen. Reaksi pembentukan warna tersebut terjadi akibat

perubahan yang terjadi pada mioglobin sebagai pigmen warna merah daging.

Mioglobin merupakan protein berbentuk bulat (globin) yang berikatan dengan

cincin hematin (Gambar 3.4.). Cincin hematin dalam mioglobin berikatan

dengan satu atom besi dalam bentuk Fe2+ (ferro). Pada kondisi tanpa adanya

49

oksigen dan Fe dalam bentuk ferro, mioglobin berwarna merah keunguan.

Warna ini tidak bisa dilihat karena ada pada bagian dalam daging. Ketika

daging dipotong, mioglobin akan berikatan dengan oksigen membentuk

oksimioglobin dengan atom Fe tetap dalam bentuk ferro. Proses pengikatan

oksigen oleh mioglobin ini disebut oksigenasi. Oksimioglobin menimbulkan

warna merah pada daging yang biasa kita lihat. Pada kondisi adanya senyawa

pengoksidasi, Fe2+ (ferro) dapat berubah menjadi Fe3+. Pada kondisi tidak ada

oksigen, maka akn terbentuk metmioglobin yang berwarna coklat dan Fe ada

dalam bentuk ferri. Jika oksimioglobin dengan atom ferro mengalami oksidasi,

maka ferro akan berubah menjadi ferri dan terbentuk oksi metmioglobin yang

berwarna coklat juga.

Gambar 7. Struktur mioglobin (Shakilaahmed, 2018). Warna merah meruakan

protein globin, warna kuning merupakan inti hematin dengan atom ferro.

Pada proses kyuring daging, mioglobin atau oksimioglobin akan berikatan

dengan nitrit membentuk nitrosil mioglobin yang berwarna merah. Jika nitrit

berikatan dengan metnioglobin atau oksimetmioglobin, maka akan terbentuk

nitrosil metmioglobin yang berwarna coklat. Warna coklat ini tidak diinginkan

sehingga pada proses kyuring pembentukan nitrosil metmioglobin harus dicegah.

Ketika daging dipanaskan atau daging mengalami proses termal, protein globin

pada nitrosil mioglobin akan terdenaturasi menyebabkan terbentuk

nitrosilhemokromogen yang berwarna merah cerah. Warna merah cerah

nitrosil hemokromogen ini yang diinginkan dari proses kyuring. Akan tetapi,

jika nitrosil metmioglobin yang berwarna colat dipanaskan akan terbentuk

nitrosyl hemikromogen yang juga berwarna coklat. Oleh karena itu dalam

proses kyuring harus ditambahan bahan pereduksi yang mampu mencegah

oksidasi Fe dari ferro menjadi ferri.

b. Bahan kyuring

Bahan-bahan kyuring diperlukan untuk membentuk warna dan flavor

yang diinginkan. Bahan-bahan tersbeut tidak hanya nitrit atau nitrat tetapi

bahan-bahanlain yang menunjang pembentukan warna dan flavor yang baik.

Bahan yang umum digunakan untuk proses kyuring adalah air, garam, gula, dan

nitrit/nitrat. Sebagai tambahan digunakan fosfat dan eritrobat/askorbat.

kadang-kadang bumbu-bumbu ditambahkan seperti lada hitam dan madu yang

digunakan dengan cara dioleskan di permukaan daging atau ditambahkan pada

larutan garam.

1. Garam. Merupakan bahan dasar untukkyuring yang digunakan dalam

bentuk larutan garam atau campuran kering. Garam berfungsi memberikan

rasa dan juga pentingd alam melarutkan daging. Garam yang digunakan

biasanya dalam bentuk granula atau butiran yang disebut “corn” sehingga

50

timbul istilah corned beef yaitu daging yang diberi garam butiran/granula.

dalam Bahasa Indonesia berubah menjadi daging kornet. Supaya rasa

asinnya tidak terlalu tajam, garam biasanya digunakan bersama-sama dengan

pemnias sheingga dihasilkan rasa yang lembut. Garam juga mempengaruhi

rendemedn dan sifat tekstur. Garam yang diguankan harus garam

berkualitas tinggi food grade. Pengotor logam dalam garam dapat

mempercepat proses oksidasi sehingga menimbulkan bau tengik. Fosfat dan

nitrit bersifat menghambat proses oksidasi. Jumlah penggunaan garam

dalam proses kyuring sangat beragam. Jumlah terlalu tinggi menyebabkan

terlalu asin, sednagkan terlalu rendah menyebabkan protein daging tidak

terekstrak.

2. Pemanis. Ada beberapa jenis gula yang biasa ditambahkan pada proses

kyuring seperti sukrosa, dekstrosa, dan sirup jagung. Fungsi gula adalah

mengimbangi rasa asin dari garam dan juga memperkaya flavor. Sukrosa

juga berperan sebagai pengawet akan tetapi peran sebagai pengawet

menyebabkan rasanya terlalu manis. Industri biasanya lebih menyukai

menggunakan dekstrosa cair atau sirup jagung karena lebih mudah ditangani.

3. Nitrit (NO2) dan nitrat (NO3). Fungsi awal dari nitrit dalam proses kyuring

adalah untuk mengahsilkan warna. Selain membentuk warna, nitrit juga

berfungsi sebagai antibakteri, menghambat oksidasi lemak. dan juga

mempengaruhi flavor. Sampai saat ini peran nitrit tersebut tidak tergantikan.

Natrium nitrit merupkaan garam dengan asam lemah dan basa kuat. Ion nitrit

bersifat sangat reaktif dan mudah larut air. Pada proses kyruing, nitrat harus

berubah menjadi nitrit kemudian berubah menjadi nitrous acid (HONO) dan

kemudian NO berekasi dnegan mioglobin membentuk nitrosyl mioglobin

(MbNO). Dengan adanya udara, NO bersifat mudah teroksidasi. Nitrit

bersifat sebagai antioksidan dan MbNO juga bersifat antioksidan. Ketika

dipanaskan MbNO membentuk kompleks yang stabil nitrosilhemokrom yang

menghambat sifat katalitik Fe dan mencegah Fe lepas dari mioglobin.

4. Bahan tambahan kyuring. Bahan tambahan yang biasa digunakan dalam

proses kyuring adalah askorbat dan eritrobat, fofat, pati, dan hidrokoloid.

i. Asam askorbat atau eritrobat mempercepat konversi nitrit menajdi NO

dalam proses pembentukan warna daging kyuring, sehingga sering disebut

akselerator kyuring. Peran eritrobat sama dengan adam askorbat.

Penggunana asam askorbat atau eritrobat menurunkan waktu kyuring,

warn yang terbentuk lebih seragam, dan flavor serta warna lebih baik.

Eritrobat lebih sering digunakan karena harganya lebih murah.

Penggunaan asam askorbat biasamya maksimum 550 ppm. Larutan

kyuring (pickle) yang digunakan umumnya 10% dari berat daging.

ii. Fosfat. Industri pangan banyak menggunakan fosfat alkali tidak hanya

untuk produk kyuring daging dengan tujuan utama mencegah pengerutan.

Fosfat berperan meningkatkan pH dan melarutkan protein daging. Fosfat

berfungsi meningkatkan kuat ionik cairan daging sehingga meningkatakn

hidrasi protein tanp amenyebakan peningkatan rasa asin. Pada titik

isoelektrik protein daging, yaitu 5-5,0, kemapuan menaham air sangat

rendah. Peningkatan pH menyebabkan kemampuan menahan air

meningkat. Penambahan natrium fosfat biasanya 0,2-0,5% dalam bentuk

sodium tripolifosfat (STPP). Fungsi lain dari fosfat adalah sebagai buffer,

mengkelat logam, dan berperan sebagai polianion yang meningkatkan kuat

51

ionik dari larutan. Jenis fosfat yang diijinkna untuk digunaka dalam

larutan kyuring adalah disodium phosphate, monosodium phosphate,

sodium metaphosphate, sodium polyphosphate glassy, sodium

tripolyphosphate, sodium pyrophosphate, sodium acid pyrophosphate,

sodium hexametaphosphate, dipotassium phosphate, monopotassium

phosphate, potassium tripolyphosphate, dan potassium pyrophosphate. STPP

dan campurannya dengan heksa metafosfat umumnya digunakan dalam

produk kyuring. Penggunaan fosfat meningkatan daya ekstraksi protein

daging dan meningkatkan stabilitas pemasakan karena lebih mampu

menahan air.

iii. Pati. Pati merupakan ingridien multiguna yangdigunakan dalam

berbagai produk pangan. Pati berperan membentuk tekstur, pengikat,

dan memperbaiki rasa di mulut produk daging. Pati yang paling banyak

digunakan untuk olahan daging adalah pati serealia dan umbi-umbian

yang masing-masing mempunyai karaktersitik yang berbeda.

iv. Hidrokoloid yang paling banyak digunakan untuk olahan daging adalah

karagenan dengan penggunaan kurang dari 1%. Karaginan harus

dipanaskan terlebih dahulu supaya dapat berfungsi membentuk gel yang

kokoh tetapi elastis. Selain karaginan, hidrokoloid yang dapat diguankan

dalam olahan daging adalah tepung konjak.

c. Metode kyuring

Berbagai metode kyuring banyak digunakan baik proses kyuring skala

rumah maupun industri besar. Sebenarnya metode yang ada saat ini

merupakan modifikasi dari teknologi dasar kyuring yaitu kyuring metode kering

(dry curing) dan metode basah menggunakan larutan kyuring (pickle curing).

Metode kyuring meliputi:

1. Kyuring kering (dry salt curing)

Merupakan metode kyuring yang pertama dilakukan. Metode ini

menggunakan garam saja atau kadang-kadang ditambahkan nitrit atau nitrat.

Air keluar dari daging karena adanya bahan kyuring dan kemudian ditiriskan,

sehingga daging menjadi lebih kering dan keras. Di beberapa daerah, biasanya

dicampurkan bumbu-bumbu.

Bahan kyuring metode kering ini umumnya berupa garam, gula, nitrat,

dan nitrit. Cara yang praktis biasnaya dnegan membalurkan campuran bahan

kyuring ke permukaan daging dan daging dibiarkan selama waktu tertentu.

Kyuring metode kering ini biasanya dikombinasikan dengan menginjeksikan

larutan garam. Kadar garam yang digunakan biasanya jenuh sekitar 10%.

2. Kyuring larutan garam

Perendaman dalam larutan garam biasanya diikuti dengan kyuring

metode kering dan beberapa waktu lalu sudah dilakukan secara komersial.

Potongan daging direndam dalam larutan kyurinng (pickle) yang memungkinkan

bahan-bahan kyuring berpenetrasi. Proses ini biasanya lambat dan

kemungkinan bisa terjadi pembusukan daging sebelum proses kyuring selesai.

Saat ini metode ini sudah jarang dilakukan.

3. Metode injeksi

52

Merupakan metode standar yang dilakukan industry saat ini yaitu dengan

menginjeksikan larutan pickle ke dalam potongan daging. Injeksi

meningkatkan efisiensi dan menghasilkan distribusi yang lebih merata. Ada

tiga metode dasar untuk injeksi ini yaitu pemompaan arteri (artery pumping

yaitu larutan pickle diinjeksikan pada pembuluh arteri dalam daging), penusukan

dengan satu jarum pada berbagai lokasi (stitch injection), dan injeksi dengan

banyak jarum (multi needle injection) menggunakan mesin. Yang terakhir ini

yang saat ini banyak digunakan oleh industri.

3.3.2. Produk Emulsi Daging

Produk emulsi daging saat ini tersedia di pasaran dalam berbagai jennies

produk. Gaya hidup yang berubah menjadi serba praktis menyebabkan produk

emulsi daging ini laris dan banyak diminati. Produk emulsi daging antara lain

berupa sosis berbagai jenis (wiener, frankfurter, bologna dll), daging kornet,

daging burger, bakso, rollade, dan nugget. Daging sapi banyak dioleh

menjadi produk emulsi. Contoh produk emulsi untuk daging ayam antara lain

sosis ayam, burger ayam, rollade ayam, bakso ayam, dan nugget ayam.

Pada produk emulsi ini, protein daging berperan sebagai pengemulsi.

Protein miofibril pat menstabilkan meulsi karena mampu berada pada

antarmuka minyak/lemak dan air. Ketika globula lemak dikelilingi oleh protein

daging, maka emulsi terbentuk. Pengolahan lebih lanjut seperti pemanasan

menyebabkan protein daging terdenaturasi dan memperkuat sistem emulsi.

Protein miofibril juga membentuk gel yang kuat. Akan tetapi protein

sarkoplasma tidak berkontribusi dalam pembentukan emulsi karena

membentuk gel yang lemah.

Retensi air (kemampuan menahan air) merupakan sifat penting dari

produk emulsi daging. Jumlah air yang terikat tergantung dari peran aktin dan

myosin sebgaia protein miofibril yang kemampuan pengikatannya dipengaruhi

oleh pH. Pada pH di atas atau di bawah pH isoelektrik, kemampuan mengikat

air meningkat. Penambahan garan menyebabkan perubahan muatan elektrik

protein dan mengakibatkan peningkatan kemampuan mengikat air.

Produk emulsi daging yang dapat dipotong (sliceable) biasanya bertekstur

kompak, seperti sosis. Produk ini biasanya diolah dari daging giling halus

(comminutted meat) dicampur dengan lemak, air, dan es dan bahan tambahan

(garam, nitrat, fosfat, bumbu, flavor, dan lainnya). Bahan lain seperti susu

skim bisa ditambahkan dan berperan meningkatkan kekompakan produk dan

kemampuan untuk dipotong (sliceability). Garam akan mengekstrak protein

daging dan kemudian protein daing mengemulsikan lemak, membetuk gel yang

kemudian distabilkan dengan pemanasan dan mengubah bahan menajdi produk

yang padat. Jumlah lemak yang ditambahkan berkisar 15-30%. Setelah

dicampur, bahan-bahan kemudian dimasukkan ke dalam selongsong (casing)

alami ataupun sintetik. Bahan sosis yang sudah adalam casing kemudian

dipanaskan dalam oven atau diasap. Setelah dipanaskaan atau diasap, sosis

didinginkan dengan cara disemprot air atau dicelupkan ke dalam air dingin.

Pada beberapa produk, selongsong sintetik biasanya dilepaskan terlebih dahulu.

Jika selongsongnya dapat dimakan, maka biasanya dibiarkan tetap menempel

seperti pada produk bockwurts. Sifat sosis yang dapat dipotong ini adalah

kohesif.

53

Produk emulsi daging yang bersifat tidak kohesif atau tidak kompak

(spreadable) diolah dengan cara pemasakan daging giling kasar. Lemak biasa

ditambahkan pada kadar 45-50% kemudian dicampur dengan kaldu. Protein

non daging seperti susu skim, susu bubuk, dan konsentrat protein kedelai

digunakan sebagai penstabil. Formulam produk ini juga mencakup

bumbu-bumbu, rempah-rempah, dan bahan tambahan lain. Adonan kemudian

dimasukkan ke dalam selongsong atau kaleng secara hati-hati untuk mencegah

udara terperangkap. Udara dapat menghambat transfer panas dan

meningkatkan oksidasi lipid dan pigmen. Pemanasan menyebabkan perubahan

adonan berbentuk gel menjadi bertekstur yang tidak kompak (spreadable).

Lemak yang digunakan dalam formula biasanya lemak sapi atau babi, dan bisa

diganti dengan minyak nabati.

3.3.3. Daging Asap

Sebelum diasap, daging biasanya dikyuring atau digarami, atau

kadang-kadang dimasak terlebih dahulu. Daging asap seringkali merupakan

makanan khas suatu daerah seperti daging Sei dari Nusa Tenggara Timur.

Bacon merupakan salah satu produk kyuring dan pengasapan. Pengasapan

dilakukan pada suhu yang secara bertahap meningkat dalam ruangan dengan

kelembaban rendah. Produk hasil pengasapan ini sebaiknya dikemas secara

vakum untuk mencegah oksidasi lipid karena umumnya mempunyai aktivitas air

yang rendah.

Secara industri, pengasapan dilakukan dalam ruangan yang disebut

smokehouse. Dalam ruang pengasapan ini, asap dihasilkan dari hasil

pembakaran kayu jenis tertentu. Jenis kayu sangat berperan menentukan

flavor daging asap yang dihasilkan. Kayu-kayu tersbeut biasanya sudah

dipotong bentuk balok yang seragam atau berbentuk serbuk gergaji. Lama

pengasapan bisa berjam-jam dan pengasapan tradisional biasanya memakan

waktu berhari-hari.

Selama pemasakana terjadi pembentukan warna dan cita rasa khas

daging asap. Warna terbentuk karena adanya reaksi Maillard antara karbonil hasil

pirolisis kayu dengan gugus amin dari protein daging. Reaksi ini menyebabkan

warna keemasan dari produk. Flavor terbentuk dari interaksi antara

komponen-komponen dalam asap dengan komponen-komponen yang ada di daging

selain juga dikontribusikan oleh reaksi Maillard.

Pengasapan juga dapat dilakukan dengan menggunakan asap cair. Asap

cair bisa dibuat dari berbagai kayu keras dengan cara asap dikondensasi. Asap

cair telah digunakan secara luas dalam berbagai produk pangan termasuk olahan

daging dengan tujuan utama untuk mendapatkan flavor yang khas.

Penggunaan asap cair biasanya dilakukan dengan pembaluran, penyemprotan,

atau perendaman. Asap cair biasa dipekatkan supaya karaktersitik asapnya

lebih kuat, juga biasa dilakukan fraksinasi dan pemurnian. Asap cair ini juga

bisa diubah menjadi bentuk bubuk. Komposisi kimia asap cair tergantung

dari jenis kayu dan kadar air kayu. kadar air mempengaruhi suhu pirolisis dan

asap yang dihasilkan.

3.3.4. Daging Fermentasi

Sosis dibuat dengan cara menggiling daging sampai halus dan

menambahkan bahan-bahan kyuring dan bahan lainnya. Beberapa jenis sosis

54

secara tradisional difermentasi dengan metode back-slopping yaitu daging dari

hasil fermentasi sebelumnya ditambahkan pada adonan sosis baru yang akan

difermentasi. Saat ini, inudtsri sosis modern menggunakan kultur starter untuk

produknya. Pada pengolahan tradisional, fermentasi dilakukan secara spontan,

dimana mikroba berasal dari mikroba yang secara alami terdapat pada daging

yang dipengaruhi oleh kadar garam dan lingkungan. Daging tersebut kemudian

dimasukkan ke dalam selongsong alami ataupun sintetik. Pada sosis kering

(dry sausage) Daging dalam selongsong kemudian dibiarkan mengalami

fermentasi pada suhu yang terkontrol yang biasanya 10-24C pada kelembaban

relatif 90% selama 1-7 hari. Sosis semi kering difermenrasi pada suhu yang

lbeih tinggi 30-40 C selama beberapa hari. Pengeirngan dilakukan pada

kelembaban dan waktu yang berbeda tergantung dari jenis sosis. Beberapa

jenis sosis diasap dan dimasak sebelum dikeringkan. Proses pengolahan sosis

yang berbeda-beda ini menyebbakan perbedaan kadar air. Produk sosis

fermnetasi ini mempunyai sejarah yang panjag dan awalnya diolah secara

tradisional. Contoh sosis kering yang difermentasi adalah chorizo,pepperoni,

dan salami. Produk sosis fermnetasi ini dibuat dari berbagai jenis daging

seperti sapi, babi, ayam. kambing, kuda, unta, dan lainnya.

RINGKASAN

1. Komposisi daging bervariasi tergantung dari jenis hewan dengan komponen

yang sangat berpengaruh terhadap komposisi daging adalah lipid. Kadar

lipid daging tergentung dari jenis bagian karkasnya. Warna daging

ditentukan oleh kadar mioglobin. Daging tanpa lemak terdiri dari 10%

jaringan kontraktil (jaringan yang dapat berkontraksi) yang terdiri dari

protein miofibril (aktin, miosin, dan lainnya); 2% protein jaringan ikat, 6%

protein sarkoplasma yang dikelilingi air (kadar air sekitar 75% dan

komponen-komponen larut air seperti mioglobin, garam, dan vitamin), dan

lemak serta komponen lainnya sebesar 3,5%. Berdasarkan jenis protein,

protein dalam daging digolongkan menjadi 4 golongan yaitu protein miofibril,

sarkoplasma, stroma, dan granular. Pada karkas atau daging, lemak dibagi

menjadi 3 kelompok yaitu lemak dalam daging atau intramuscular fat yang

dikenal sebagai lemak marbling yang berperan terhadap rasa juicy, lemak

antar otot, dan lemak di bawah kulit atau lemak penyimpanan.

2. Setiap serat daging (muscle fiber) ada dalam bentuk satuan yang terpisah

yang diselubungi oleh jaringan ikat yang disebut endomisium (endomysium).

Sejumlah serat daging ini bergabung bersama dalam suatu ikatan serat (fiber

bundle) yang diselaputi oleh jaringan ikat tipis yang disebut perimisium

(perimysium). Sejumlah fiber bundle bergabung dan dibungkus oleh

jaringan ikat yang tebal dan besar yang disebut epimisium (epimysium).

Unit kontraktil dari serat daging disebut dengan sarkomer. Perubahan

kimia terjadi setelah hewan ternak disembelih, dan setelah penyembelihan

terjadi perubahan dari otot menjadi daging. Setelah penyembelihan, daging

mengalami kekakuan (rigor mortis). Setelah waktu tertentu, otot

mengalami relaksasi yang menunjukkan berakhirnya masa rigor mortis.

3. Keempukan daging merupakan hal terpenting karena mempengaruhi rasa

dan rasa enak ketika mengonsumsi daging. Ada beberapa cara untuk

mengempukkan daging. Selain dengan pemeraman (aging) secara alami

55

(penyimpanan pasca penyembelihan), pengempukan mekanis, enzimatis, dan

kimia merupakan tiga metode yang umum digunakan untuk

mengempukkan daging.

4. Perbaikan kualitas daging dapat dilakukan dengan cara menambahkan

bumbu-bumbu dan bahan-bahan lain untuk meningkatkan warna dan rasa

terutama keempukan dan juiciness. Bahan-bahan tambahan tersebut

biasanya berupa air, garam, fosfat, dan dengan cara dinjeksikan atau

dibalurkan pada potongan daging. Proses penambahan bumbu dan bahan

lain ini disebut marinasi.

5. Kyuring bertujuan memperbaiki warna, rasa, dan pengawetan. Kyring

dapat dilakukan pada daging utuh maupuan daging giling. Pada proses

kyuring terjadi perubahan warna daging menjadi merah cerah yang

permanen. Reaksi pembentukan warna tersebut terjadi akibat perubahan

yang terjadi pada mioglobin sebagai pigmen warna merah daging. Bahan

utama proses kyuring adalam garam nitrat atau nitrit, gula, dan garam.

Bahan tambahan yang biasa digunakan dalam proses kyuring adalah

askorbat dan eritrobat, fofat, pati, dan hidrokoloid. Berbagai metode

kyuring banyak digunakan baik proses kyuring skala rumah maupun industri

besar. Sebenarnya metode yang ada saat ini merupakan modifikasi dari

teknologi dasar kyuring yaitu kyuring metode kering (dry curing) dan metode

basah menggunakan larutan kyuring (pickle curing).

LATIHAN DAN PERTANYAAN

Studi kasus

Berdasarkan analisis Saudara dengan didasarkan pada teori yang telah dipelajari,

tentukan solusi untuk permasalahan dalam soal berikut ini:

1. Produk daging sapi asap merek X dipasarkan dalam kemasan plastic poli

propilen 1,0 mm dan di ritel diletakkan pada chilling case. Proses

pengolahan daging asap tersbeut meliputi kyuring dengan menggunakan

garam nitrit, garam, gula dan bumbu, kemudian dilakukan pengasapan

menggunakan kayu ebony. Akan tetapi produk tersebut mempunyai umur

simpan yang pendek yaitu hanya 2 bulan yang disebabkan ketengikan.

Menurut Saudara mengapa ketengikan pada produk tersebut mudah terjadi?

bagaimana cara untuk mengatasinya?

2. Produk sosis bratwurst yang dibuat oleh PT Sosisu merupakan produk yang

diolah seperti sosis umumnya menggunakan ingridien untuk kyuring, garam

fosfat, bumbu, dan tambahan pewarna angkak. Sosis ini menggunakan

selongsong dari kolagen yang dapat dimakan. Hanya saja yang menjadi

masalah adalah tekstur dari sosis ini tidak kompak dan mudah lepas.

Menurut Saudara, apa penyebab masalah ini dan bagaimana solusinya?

3. Selain masalah kekompakan struktur sosis, sosis bratwurst yang diproduksi

PT Sosisu juga mempunyai tekstur yang keras ketika dikunyah dan kurang

juicy. Mengapa tekstur keras tersebut dapat terjadi dan apa solusi untuk

mencegah masalah ini?

4. Suatu perusahaan bakso merek Babul-Bakso Bulat mempunyai masalah

tekstur yang kurang kenyal dan cenderung keras. Daging untuk pembuatan

bakso tersebut disuplai dari suatu rumah potong hewan berdasarkan

56

pesanan. Setelah sapi disembelih, daging dieviserasi dan kemudian

dikirim ke pabrik bakso. Di pabrik, daging tersebut langsung digiling dan

diolah menjadi bakso karena kapasitas ruang pendinginan yang terbatas.

Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan bakso tersebut

adalah tapioka, garam, bumbu-bumbu, dan pengenyal STPP. Menurut

Saudara, apa yang harus diperbaiki dari proses pembuatan bakso tersebut.

Jelaskan alasannya

5. Suatu perusahaan nugget ayam merek “Nuggie Nugget” mempunyai masalah

produk yang telah disimpan selama 3 bulan dalam freezer mengalami

perubahan tekstur menjadi hampa dan kering. Nugget tersebut dibuat dari

daging dada ayam giling, STPP, dan pati yang dilumuri dengan adonan cair

dan tepung roti. Daging ayam giling disiapkan dengan menggiling daging

ayam yang dicampur dengan serpihan-serpihan es. Mengapa perubahan

tekstur selama penyimpanan tersebut terjadi dan bagaimana cara untuk

mengatasinya?

DAFTAR PUSTAKA

Belitz, H. D., W. Grosch, P. Schieberle. 2009. Food Chemistry. 4th revised and

extended edition. Springer-Verlag, Berlin Heidelberg.

Feiner, G. 2006. Meat Products Handbook: Practical Science and Technology.

Woodhead Publishing, Cambridge, England.

Greaser, M.L., W. Guo. 2012. Postmortem Muscle Chemistry. In Y. H. Hui (ed).

Meat and Meat Processing. CRC Press, Taylor and Francis Group. Boca

Raton. Florida.

Kauffmann, R.G. 2012. Meat Composition. In Y. H. Hui (ed). Meat and Meat

Processing. CRC Press, Taylor and Francis Group. Boca Raton. Florida.

Maddock, R. 2012. Meat and Meat Products. In Y. H. Hui (ed). Meat and

Meat Processing. CRC Press, Taylor and Francis Group. Boca Raton.

Florida.

Martin, J.M. 2012. Meat-Curing Technology. In Y. H. Hui (ed). Meat and Meat

Processing. CRC Press, Taylor and Francis Group. Boca Raton. Florida.

Shakilahmmed. 2018. Iron - Myoglobin Hemoglobin Heme Iron PNG image

on March 31, 2018, 4:02 pm.

https://favpng.com/png_view/iron-myoglobin-hemoglobin-heme-iron-pn

g/H722c6Ge

Smith, B.S. 2012. Marination: Ingredient Technology. In Y. H. Hui (ed). Meat

and Meat Processing. CRC Press, Taylor and Francis Group. Boca Raton.

Florida.

BAHAN BACAAN LAIN

Alirezalu K, M. Pateiro, , M. Yaghoubi, A. Alirezalu, S.H. Peighambardoust, J.M.

Lorenzo. 2020. Phytochemical constituents, advanced extraction

technologies and technofunctional properties of selected Mediterranean

plants for use in meat products. A comprehensive review. Trends in Food

Science & Technology 100: 292-306

Shaa, L., Y.L. Xiong. 2020. Plant protein-based alternatives of reconstructed

meat: Science, technology, and challenges. Trends in Food Science &

Technology 102: 51–61.