Wali Songo atau Sembilan Wali merupakan tokoh yang memiliki peranan cukup penting dalam penyebaran agama Islam di Indonesia khususnya Pulau Jawa. Bahkan, saat ini Indonesia menjadi negara dengan jumlah mayoritas pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Show Secara harfiah, Wali berarti “wakil” atau “utusan” dan sanga atau songo berarti “Sembilan”. Dalam penyebaran agama Islam, para Wali Songo ini berdakwah dengan menggunakan cara yang halus melalui pendekatan kebudayaan, kesenian, maupun pendidikan. Oleh masyarakat, para wali songo ini diberi gelar Sunan yang artinya “yang dihormati”. Adapun kesembilan wali tersebut, antara lain : Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) Maulana Malik Ibrahim dipercaya sebagai keturunan dari Nabi Muhammad. Wali yang disebut Sunan Gresik ini dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di Pulau Jawa. Selain berdakwah, Sunan Gresik mengajarkan cara baru dalam bercocok tanam. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Saat Majapahit sedang berada diambang keruntuhan karena perang saudara hingga ada masalah politik dan krisis ekonomi maka Sunan Gresik berusaha menenangkan dan menggugah semangat masyarakat. Bersama dengan pasukan dan tentara dari Laksamana Cheng Ho, Sunan Gresik mencetak sawah baru dan membangun irigasi untuk pertanian rakyat. Tindakannya ini berhasil membawa perbaikan pada masyarakat pesisir Gresik. Melalui pendekatan yang halus maka secara perlahan agama Islam dapat disebarkan dengan baik. Sunan Ampel Raden Rahmat atau dikenal dengan Sunan Ampel adalah wali songo yang dianggap sesepuh oleh para wali lainnya. Ia adalah wali yang berasal dari Jeumpa, Aceh. Selama berdakwah, Sunan Ampel terkenal dalam kemampuannya berdiplomasi. Ia mampu mengajarkan agara Islam ditengah masyarakat yang masih terikat kasta. Sunan Ampel dikenal dengan ajarannya “Molimo” yaitu tidak mau melakukan lima perkara yang dilarang, antara lain “emoh main” (tidak mau berjudi), “emoh ngumbi” (tidak mau minum yang memabukkan), “emoh madat” (tidak mau mengisap candu atau ganja), “emoh maling” (tidak mau mencuri atau kolusi), dan “emoh madon” (tidak mau berzina). Sunan Bonang (Raden Makhdum Ibrahim) Raden Makhdum Ibrahim atau dikenal Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel. Berkat didikan ayahnya, ia memperdalam ajaran Islam dan berguru pada Maulana Ishaq (ayah Sunan Giri) di Malaka. Setelah itu, ia kembali ke Tuban untuk mulai berdakwah. Sunan Bonang berdakwah melalui saluran pendidikan dan kesenian, yaitu dengan mendirikan pondok pesantren dan memperbarui gamelan Jawa dengan memasukan rebab dan bonang. Sunan Drajat (Raden Qasim Syarifuddin) Raden Qasim Syarifuddin adalah putra Sunan Ampel dan adik dari Sunan Bonang. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kalangan rakyat kecil. Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. (Baca juga: Saluran Penyebaran Islam di Indonesia) Dakwahnya diselingi dengan tembang suluk yang berisi petuah-petuah indah dan mendalam. Minat yang tinggi dari masyarakat terhadap dakwahnya mendorong Sunan Drajat untuk mendirikan pesantren yang dijalankan secara mandiri sebagai wilayah otonom dan bebas pajak. Sunan Kudus (Jafar Shaddiq) Ja’far Shaddiq adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji dan Cucu Sunan Ampel. Sunan Kudus memulai dakwahnya di pesisir utara Jawa Tengah dan ia terkenal memiliki wawasan ilmu agama serta pengetahuan yang luas, sehingga dijuluki wali al-ilmu atau “orang berpengetahuan”. Kecerdasannya itu membuat masyarakat memintanya menjadi pimpinan di daerah yang kemudian dinamakan “Kudus”. Ia bahkan berperan besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak sebagai panglima perang, penasihat Sultan Demak, dan hakim peradilan kerajaan. Sunan Giri (Muhammad Ainul Yaqin) Wali yang termasyur dengan sebutan Sunan Giri ini bernama asli Raden Paku. Sejak remaja ia belajar agama Islam di pondok pesantren Ampel dan berguru kepada Sunan Ampel. Ia mendirikan pesantren di Giri Kedaton yang berperan sebagai pusat dakwah di wilayah Jawa dan Indonesia Timur bahkan sampai ke Kepulauan Maluku. Sunan Giri terkenal dengan dakwahnya yang membawa keceriaan, yang mana di tengah dakwahnya, ia menyelipkan tembang yang riang seperti cublak cublak suweng, lir ilir, dan jamuran. Sunan Kalijaga (Raden Mas Said) Masa muda dari Sunan Kalijaga dihabiskan sebagai “perampok budiman”, yang mengambil harta orang kaya untuk dibagikan ke rakyat miskin. Petualangannya itu berakhir saat bertemu Sunan Bonang, sehingga bertobat dan tergerak untuk menimba ilmu agama Islam. Sunan Kalijaga menjadikan Demak sebagai pusat dakwahnya. Dimana, ia berdakwah menggunakan pendekatan budaya dan kesenian yaitu wayang kulit serta tembang suluk. Ciri khas dari dakwahnya adalah toleransinya terhadap budaya dan tradisi setempat yang secara bertahap ia tanamkan kesadaran akan nilai-nilai Islam pada budaya masyarakat. Sunan Muria (Raden Umar Said) Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Seperti ayahnya, Sunan Muria menggunakan budaya dan kesenian dalam dakwahnya, dimana tembang sinom, kinanti, dan tradisi kenduri merupakan hasil kreativitasnya. Ia berupaya menanamkan kesadaran akan keluhuran nilai-nilai Islam secara bertahap. Pendekatannya disesuaikan dengan kondisi para pendengarnya yang kebanyakan berasal dari kalangan pedagang, nelayan, dan rakyat biasa. Adapun wilayah dakwahnya meliputi Pati, Juwana, Tayu, dan Kudus. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya wali yang berdakwah untuk Jawa Barat. Ia mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahan. Dalam perkembangannya, pusat ini kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Dibantu putranya, Maulana Hasanuddin juga berhasil menyebarkan agama Islam di Banten dan Sunda Kelapa serta merintis berdirinya Kesultanan Banten. Banyaknya umat yang menganut Islam di Pulau Jawa hingga hari ini, tidak lepas dari peran Walisongo. Walisongo adalah sembilan orang wali yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Kehadiran mereka di sekitar abad 14 membuat Islam dapat diterima oleh sebagian besar penduduk Jawa saat itu. Hal tersebut merupakan sesuatu yang sangat luar biasa, mengingat abad abad, sebelumnya Islam adalah agama yang ditolak di pulau Jawa. Masyarakat Jawa, yang dulunya menganut agama Hindu, Budha dan Kapitayan, berhasil memahami Islam dan akhirnya memutuskan menjadi seorang muslim dalam kurun waktu 50 tahunan saja. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari metode dan strategi yang digunakan oleh Walisongo saat berdakwah. Seperti apa cara dakwah walisongo? Maulana Malik IbrahimMaulana Malik Ibrahim merupakan Walisongo yang pertama di tanah Jawa. Cara beliau berdakwah adalah mendekati masyarakat dengan memperbaiki taraf hidup masyarakat saat itu. Maulana Malik Ibrahim berdakwah dengan membuka warung murah, pengobatan gratis, serta mengajari masyarakat bercocok tanam. Cara ini terbukti menarik hati masyarakat setempat untuk mengenal Allah lewat keikhlasan yang ditunjukkan oleh Beliau. Sunan AmpelSunan Ampel memiliki Ayah seorang ulama dari Samarkand di Asia Tengah. Beliau datang ke Nusantara dan kemudian menikah dengan Putri Bupati Tuban. Mulai saat itulah Sunan Ampel memiliki nama Raden Rahmat. Sunan Ampel berdakwah dengan memperbaiki moral masyarakat, yaitu dengan mengajarkan untuk menjauhi 5 hal tercela : tidak berjudi, tidak mabuk-mabukan, tidak mencuri, tidak menghisap candu, dan tidak berzina. Sunan GiriSunan Giri, yang merupakan menantu Sunan Ampel ini, memanfaatkan kekuasaan dan jalur perniagaan untuk berdakwah. Beliau juga mendirikan pesantren yang mendidik murid-murid, bukan hanya dari Jawa namun juga dari Kalimantan, Makassar, hingga Tidore. Hingga saat ini, Pesantrennya masih ada dan bernama Pesantren Luhur Malang. Sunan Giri juga menciptakan beberapa tembang dan permainan untuk anak-anak. Salah satu yang paling dikenal hingga saat ini adalah Cublak-Cublak Suweng yang mengajarkan agar manusia tidak menuruti hawa nafsu dalam mencari harta atau kebahagiaan. Sunan BonangSunan Bonang dikenal sebagai seorang dalang. Dengan memanfaatkan keahliannya, beliau mengadakan pertunjukan wayang untuk menyebarkan ajaran Islam. Inilah yang membuat dakwahnya lebih mudah diterima oleh masyarakat setempat waktu itu. Sunan DrajatSunan Drajat dikenal sangat bijak dalam menyebarkan agama Islam. Beliau rutin mengadakan dakwah lewat pengajian, pesantren, serta memberikan petuah dalam menyelesaikan masalah. Sunan Drajat juga menggunakan kesenian tradisional, seperti menggunakan tembang pangkur yang diiringi oleh gending Jawa. Beliau juga menggunakan ritual adat tradisional untuk menyampaikan ajaran agama Islam. Sunan KudusPara wali sebenarnya sangat kesulitan untuk mencari pendakwah ke Kudus, karena karakter masyarakat yang masih sangat teguh memeluk agama Hindu saat itu. Sunan Kudus kemudian mendekati masyarakat dengan cara yang sangat halus. Beliau menggunakan simbol-simbol Hindu – Budha untuk menyebarkan Islam. Hal tersebut tampak dari bangunan menara masjid yang beliau bangun di Kudus, yang bentuknya mirip pura atau candi. Selain itu, beliau juga menambatkan seekor sapi di halaman masjid untuk menarik simpati masyarakat setempat. Sapi merupakan hewan suci bagi pemeluk Hindu. Beliau melarang pengikutnya untuk menyembelih sapi saat Idul Adha, serta menceritakan kisah dalam surat Al Baqarah (Sapi Betina). Berkat strategi yang lembut itu, banyak warga yang terpikat dan kini Kudus dikenal sebagai salah satu kota santri. Sunan KalijagaSunan Kalijaga, yang dikenal sebagai seniman budayawan, filsuf, dan waliyullah, ini menggunakan budaya masyarakat setempat untuk mengajarkan Islam. Beliau lihai memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya Jawa yang sudah ada saat itu. Salah satunya adalah berdakwah dengan menggunakan wayang kulit, dengan menyajikan cerita yang berbau Islam. Beliau juga menciptakan lagu Lir Ilir, serta bedug yang digunakan untuk memanggil umat muslim untuk shalat. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menciptakan budaya Grebeg Maulid di Demak untuk memperingati kelahiran Rasulullah. Sunan MuriaSunan Muria, yang merupakan Putra Sunan Kalijaga ini, meniru cara dakwah ayahnya yang menggunakan pendekatan budaya Jawa. Sunan yang dimakamkan di Gunung Muria, Kudus, ini tidak lantas mengharamkan tradisi kuno yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Cara beliau berdakwah dikenal dengan nama Topo Ngeli, yang artinya adalah menghanyutkan diri dalam masyarakat. Beliau lebih senang berdakwah di masyarakat di daerah pelosok dengan menggunakan kesenian Jawa. Tembang macapat Sinom dan Kinanti adalah tembang yang digunakan untuk mengajak umat mengamalkan ajaran Islam. Sunan Gunung JatiSunan Gunung Jati adalah wali yang berhasil menyebarkan agama Islam di Jawa Barat. Cucu Prabu Siliwangi, dari Kerajaan Pajajaran ini, berdakwah dengan menggunakan akulturasi budaya. Beliau tidak menggunakan bahasa Arab, namun menggunakan adat dan budaya lokal lewat kesenian daerah. Misalnya adalah dengan menggunakan gamelan Sekaten untuk mengundang keramaian di hari Idul Fitri dan Idul Adha. Masyarakat yang ingin menyaksikan pertunjukan gamelan tersebut harus membayarnya dengan dua kalimat syahadat. Karena itulah gamelan Sekaten sebenarnya berasal dari kata ‘syahadatain’ atau dua kalimat syahadat. |