Nahdlatul Ulama (NU berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 yang bergerak di bidang)

Nahdlatul Ulama (NU berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 yang bergerak di bidang)
Ilustrasi NU. ©2020 Merdeka.com/nu.or.id

JATENG | 31 Januari 2021 06:00 Reporter : Jevi Nugraha

Merdeka.com - Hari ini 31 Januari, pada tahun 1926 silam, Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi didirikan. Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini digagas oleh para kiai ternama dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Madura, dan Jawa Barat, yang melakukan pertemuan di rumah K.H Wahab Hasbullah di Surabaya.

Pertemuan yang diberi nama Komite Hijaz ini diprakarsai oleh K.H. Wahab Hasbullah dan K.H Hasyim Asy’ari. Komite Hijaz inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya NU untuk membahas berbagai macam persoalan keagamaan. Seperti dikutip dari NU Online, lahirnya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial masyarakat.

Pada intinya, Komite Hijaz dibentuk sebagai upaya agar Islam tradisional di Indonesia dapat dipertahankan. Selain itu, panitia ini juga bertugas untuk mempersiapkan pengiriman delegasi ke Muktamar Islam di Mekkah yang digagas Ibnu Saud, penguasa baru Hijaz.

Lantas, apa sebenarnya yang melatarbelakangi berdirinya Nahdlatul Ulama? Simak ulasannya yang dilansir dari NU Online:

2 dari 4 halaman

Nahdlatul Ulama (NU berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 yang bergerak di bidang)

©2020 Merdeka.com/nu.or.id

Tidak bisa dipungkiri, bahwa Komite Hijaz yang dibentuk pada 31 Januari menjadi salah satu cikal bakal berdirinya NU. Komite ini lahir karena masalah keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren, ketika Dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Rasulullah SAW karena menjadi tujuan ziarah, yang dianggap bid’ah. Tak hanya itu, bahkan Raja Saud juga menginginkan kebijakan untuk menolak praktik bermadzhab di wilayah kekuasaannya.

Penolakan praktik bermadzhab ini terjadi sejak Ibnu Saud, Raja Najed beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Mekkah dan Madinah) pada tahun 1924-1925. Seperti dikutip dari NU Online, para ulama menganggap bahwa sentimen anti-madzhab itu cenderung puritan karena berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam itu sendiri.

Atas dasar rasa prihatin, para ulama Indonesia yang berhaluan ahlusunnah wal jamaah bersepakat untuk mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian disebut dengan Komite Hijaz.

3 dari 4 halaman

Nahdlatul Ulama (NU berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 yang bergerak di bidang)
©2020 Merdeka.com/alif.id

Sebelumnya, pada awal 1926, koordinasi antar-organisasi Islam di Cianjur menyatakan akan mengirim dua utusan ke Mekah untuk menghadap Raja Sa’ud. Kiai Wahab mengusulkan delegasi tersebut agar membawa persoalan praktik keagamaan Islam tradisional di Indonesia. Usul dari Kiai Wahab tersebut tidak disetujui oleh golongan Islam-reformis, yang akhirnya membuat Islam-tradisional memutuskan untuk menghadap Raja Sa’ud sendiri.

Melihat situasi Islam-tradisional yang kerap ditentang oleh golongan Islam-reformis, Kiai Wahab dan para kiai Islam tradisional lainnya merasa perlu untuk menjaga Islam Nusantara. Seperti dikutip dari NU Online, para kiai Islam-tradisional berkumpul di kediaman KH Wahab Hasbullah dan membentuk Komite Hijaz.

Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam telah mendapatkan izin dari KH Hasyim Asy’ari. Kemudian pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka dan membicarakan perihal utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Akhirnya, para ulama yang hadir pada pertemuan itu, bersepakat menunjuk KH Raden Asnawi sebagai delegasi Komite Hijaz.

4 dari 4 halaman

Nahdlatul Ulama (NU berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 yang bergerak di bidang)
Yaa Lal Wathon - KH Wahab Chasbullah ©2020 Merdeka.com/YouTube / Hazan Fadly

KH Raden Asnawi atau Raden Syamsi, merupakan sosok ulama karismatik dari Kudus, Jawa Tengah. Kiai Asnawi menjadi salah satu poros keilmuan, aktivisme, dan keteladanan bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya. Berkat kemampuannya dalam berdiplomasi, ulama yang dikenal sebagai pejuang ahlusunnah wal jamaah itu, dipercaya untuk menyalurkan aspirasi Komite Hijaz.

Menurut Choriul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010), untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi formal. Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama atau "kebangkitan para ulama" pada16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926. Nama Nahdlatul Ulama sendiri diusulkan oleh KH Mas Alwi bin Abdul Aziz.

Berbicara mengenai pendirian organisasi NU, tentu tidak lepas dari peran beberapa ulama terkemuka di Indonesia, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan KH Bisri Syansuri. Selain itu, juga ada peran besar dari Kiai Cholil Bangkalan yang merupakan guru dari Kiai Hasyim. Berkat perjuangan beberapa tokoh karismatik tersebut, telah membawa NU menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Di samping itu, peristiwa bersejarah itu juga membuktikan bahwa NU tidak hanya merespons kondisi problem sosial di Tanah Air, namun juga menegakkan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam yang diperjuangkan oleh Rasulullah SAW. Tepat pada 31 Januari 2021, Nahdlatul Ulama berusia 95 tahun dan berhasil memberi sumbangsih bagi kehidupan beragama di Indonesia.

(mdk/jen)

tirto.id - Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia. Sejarah hari lahir NU terjadi 93 tahun silam, tepatnya tanggal 31 Januari 1926. Pendirian NU digagas para kiai ternama dari Jawa Timur, Madura, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, yang menggelar pertemuan di kediaman K.H. Wahab Chasbullah di Surabaya.

Selain K.H. Wahab Chasbullah, pertemuan para kiai itu juga merupakan prakarsa dari K.H. Hasyim Asy’ari. Yang dibahas pada waktu itu adalah upaya agar Islam tradisional di Indonesia dapat dipertahankan. Maka, dirasa perlu dibentuk sebuah wadah khusus.

Sebenarnya, upaya semacam itu sudah dirintis Kiai Wahab jauh sebelumnya. Bersama K.H. Mas Mansur, seperti ditulis Ahmad Zahro dalam buku Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999 (2004), Kiai Wahab mendirikan Nahdlatul Wathan yang artinya “kebangkitan tanah air" pada 1914.

Martin van Brulnessen dalam buku berjudul NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) menyebut bahwa, boleh dibilang, Nahdlatul Wathan merupakan sebuah lembaga pendidikan agama bercorak nasionalis moderat pertama di Nusantara.

Sebagai catatan, Nahdlatul Wathan versi Kiai Wahab dan Kiai Mas Mansur berbeda dengan lembaga bernama serupa yang didirikan Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Lombok, Nusa Tenggara Timur, pada 1953.

Baca juga:

  • Mas Mansoer, Ulama Muhammadiyah yang Taat di Jalur Nasionalisme

Menjaga Islam Nusantara

Nahdlatul Wathan berkembang pesat dan pada 1916 sudah memiliki madrasah dengan gedung besar serta bertingkat di Surabaya. Cabang-cabangnya pun berdiri di mana-mana, termasuk di Malang, Semarang, Gresik, Jombang, dan lain-lain.

Tak cukup dengan itu, Kiai Wahab kembali menggagas satu perhimpunan lagi pada 1918. Dikutip dari buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985) karya Choirul Anam, organisasi ini bernama Nahdlatul Tujjar atau “kebangkitan para pedagang".

Setahun berselang, di Ampel, Surabaya, berdiri majelis diskusi dan madrasah bernama Taswirul Afkar. Madrasah ini didirikan sebagai tempat mengaji dan belajar ilmu agama bagi anak-anak yang diharapkan kelak dapat mempergunakan ilmunya untuk melestarikan Islam tradisional. Kiai Wahab dan Kiai Mas Mansur punya andil dalam pembentukan madrasah ini.

Uniknya, Kiai Haji Mas Mansur kelak dikenal sebagai ulama dari Muhammadiyah, ia bahkan merupakan murid langsung dari pendiri organisasi Islam-pembaharu ini, Kiai Haji Ahmad Dahlan. Muhammadiyah nantinya berpolemik dengan golongan Islam-tradisional yang menjadi pemantik lahirnya NU.

Kiai Wahab dan para kiai Islam-tradisional lainnya merasa sangat perlu membentengi Islam Nusantara karena beberapa tata cara ibadah keagamaan mereka kerap ditentang golongan Islam-reformis yang digawangi misalnya oleh Al-Irsyad dan Muhammadiyah, pada dekade ketiga abad ke-20 itu.

Baca juga:

  • Berpulangnya Ulama Penggagas Islam Nusantara

Pada awal 1926, rapat antar-organisasi Islam di Cianjur menyatakan akan mengirim dua utusan ke Mekah untuk menghadap Raja Ibn Sa’ud. Kiai Wahab mengusulkan delegasi tersebut membawa persoalan mengenai praktik keagamaan Islam tradisional di Indonesia.

Namun, usul ini ditolak dengan tegas oleh kelompok Islam-reformis. Penolakan itulah yang kemudian membuat golongan Islam-tradisional memutuskan bakal mengambil jalan sendiri untuk menghadap Raja Ibn Sa’ud guna memperjuangkan kepentingan mereka.

Maka, pada 31 Januari 1926, dikutip dari K.H. Abdul Wahab Hasbullah: Bapak dan Pendiri NU (1972) karya Saifuddin Zuhri, para kiai berkumpul di kediaman Kiai Wahab dan memutuskan membentuk suatu organisasi kemasyarakatan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah yang dinamakan Nahdlatul Ulama atau “kebangkitan para ulama". Tanggal 31 Januari 1926 ditetapkan sebagai hari lahir NU.

NU bergerak di bidang keagamaan dan kemasyarakatan serta dibentuk dengan tujuan untuk memahami dan mengamalkan ajaran Islam, baik dalam konteks komunikasi vertikal dengan Allah SWT maupun komunikasi horizontal dengan sesama manusia.

Dalam perjalanan riwayatnya, NU berkembang pesat dan amat terjaga secara tradisional. Kini, NU menjadi organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, hidup berdampingan dengan wakil kelompok Islam-reformis yang dulu berpolemik, Muhammadiyah.

Baca juga:

  • Kiai Dahlan & Muhammadiyah: Usaha Melumat Kejumudan Umat

Baca juga artikel terkait NAHDLATUL ULAMA atau tulisan menarik lainnya Iswara N Raditya
(tirto.id - isw/tii)


Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Mufti Sholih

Subscribe for updates Unsubscribe from updates