Operasi militer penumpasan peristiwa g 30 s pki dilakukan oleh pasukan rpkad yang dipimpin oleh


Page 2

MASA PEMBANGUNAN ABRI

( ( 1965 – 1973 )

A. PENUMPASAN G.30.S/PKI DAN

SISA-SISANYA

1. OPERASI-OPERASI MILITER MENUMPAS G.30.S/PKI

Sesudah mengetahui bahwa telah terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap pejabatpejabat teras AD, Panglima Kostrad Mayor Jenderal TNI Soeharto sebagai perwira AD yang paling senior pada waktu itu, segera mengambil langkah-langkah untuk mengatasi keadaan. Berdasarkan saran-saran dari beberapa perwira tinggi TNI-AD serta staf Kostrad, Mayjen TNI Soeharto memutuskan untuk sementara waktu mengambilalih pimpinan AD. Pengambil-alihan sementara ini berdasarkan perintah tetap dari Men/Pangad Letjen TNI A. Yani.

Sesudah itu kontak diadakan dengan Pangdam V/Jaya Mayjen TNI Umar Wirahadikusumah. Kepada Pangdam V/Jaya diperintahkan untuk mengkonsinyasi pasukan yang ada dalam wilayah Kodam V. Kontak selanjutnya diadakan dengan pimpinan angkatan-angkatan lain. Pada hari itu tercapai saling pengertian dan terbina kerjasama dengan pimpinan AL dan Polri.

Dalam tahap berikutnya diusahakan menetralisasi batalyon-batalyon yang dipengaruhi G.30.S/ PKI dan ditempatkan di Lapangan Monumen Nasional (Monas). Kebetulan pasukan-pasukan itu adalah pasukan para yang secara operasional berada dibawah Komando Kostrad. Kepada pimpinan kedua pasukan itu dijelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Sebagian besar Yon tersebut melapor ke Kostrad, sedangkan Yon lainnya menarik diri ke Pangkalan Udara Halim dan bergabung dengan pasukan G.30.S/PKI yang ada di sana.

Pukul 03.00 tanggal 2 Oktober 1965 operasi untuk merebut Pangkalan Udara Halim dimulai. Operasi itu dipimpin oleh Mayor C.I. Santoso dari RPKAD, sedangkan pasukan yang diikutkan adalah RPKAD, dan Yon 328 Kujang diperkuat dengan 1 kompi tank dan 1 kompi panser. Pukul 06.00 tanggal 2 Oktober 1965 daerah sasaran berhasil dikuasai tanpa banyak mengalami kesulitan.

Setelah Pangkalan Udara Halim direbut, sisa

sisa pasukan G.30.S melarikan diri ke arah Jawa Tengah. Sebagian mereka ditangkap disekitar Bekasi. Letnan Kolonel Untung ditangkap di Tegal pada tanggal 11 Oktober 1965.

Hal yang tidak kurang pentingnya dalam rangka penumpasan G.30.S/PKI yalah pidato radio Mayjen TNI Soeharto malam hari tanggal 1 Oktober 1965. Dalam pidato itu dijelaskan bahwa G.30.S/PKI adalah gerakan kudeta yang didalangi oleh PKI. Pidato itu berpengaruh besar terhadap penumpasan di daerah-daerah.

Operasi untuk merebut kembali Markas Kodam VII/Diponegoro dilancarkan dari Magelang, dipimpin langsung oleh Pangdam Brigjen TNI Suryosumpeno. Tanggal 2 Oktober 1965 Markas Kodam dan RRI Semarang berhasil dikuasai kembali yang sejak 1 Oktober 1965 direbut oleh Dewan Revolusi Jawa Tengah. Dari Semarang dilancarkan operasi untuk merebut tempat-tempat yang tadinya sudah dikuasai oleh G.30.S/PKI Salatiga direbut tanggal 3 Oktober 1965, dan sesudah itu dibebaskan pula Solo dan Yogyakarta. Untuk mematahkan sama sekali kekuatan G.30.S/PKI di Jawa Tengah, dikirim satuan-satuan RPKAD.

Tugas RPKAD di Jawa Tengah adalah untuk menormalisasi keadaan yang bergolak akibat G.30.S/PKI dan mencari sekaligus menumpas sisa-sisa G.30.S/PKI dan mencari senjata yang berada di tangan orang yang tidak berhak. Kedatangan mereka sangat dielu-elukan oleh rakyat. Pameran kekuatan yang diadakan keliling kota memberikan semangat rakyat untuk mengganyang G.30.S/PKI di daerah itu. Rencana PKI untuk menjadikan Solo sebagai 'kuburan" RPKAD gagal total, sekalipun sudah dimulai dengan pemogokan buruh kereta api di stasiun Solo. Di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1965, rakyat membanjiri kota untuk mengganyang G.30.S/ PKI. Peristiwa itu disusul dengan Surat Keputusan Pangdam VII selaku Pelaksana Dwikora Daerah (Pepelrada) Daerah Jateng/Daerah Istimewa Yogyakarta membekukan semua kegiatan PKI dan organisasi massanya setelah mengalami pukulan RPKAD, dan mereka tinggal berada di segitiga sempit Boyolali - Klaten - Kartosuro.

Bupati Boyolali Suali (PKI) dan kawannya berusaha membebaskan Mayor Mulyono tokoh G.30.S/PKI Yogya berhasil ditangkap RPKAD. Usaha "coup” mereka di Klaten berhasil digagalkan.

Di Medan gerakan G.30.S/PKI direncanakan akan dipimpin oleh Letkol Maliki Dan Brigif 7, dengan dibantu oleh para komandan kesatuan di Tanjung Balai dan Pematang Siantar antara lain Letkol Sugeng Sugiarto. Mereka telah menyiapkan 1500 orang untuk Medan dan masing-masing 1000 orang untuk Deli Serdang, Langkat. Namun dengan dihancurkannya Gerakan G.30.S/PKI, di Jakarta, mereka tidak sempat bergerak.

Di Riau G.30.S/PKI yang akan dipimpin oleh Kolonel Sumadi diputuskan ditunda menunggu instruksi Jakarta. Juga gerakan mereka di Bali, di Nusatenggara Timur gagal.

Di Kalimantan Selatan, Pangdam X/Lambung Mangkurat Brigjen TNI Amir Machmud didatangi oleh Amar Hanafiah yang menjelaskan bahwa G.30.S/PKI adalah didukung oleh tokohtokoh di Jakarta. Amar Hanafiah mendesak Panglima agar membentuk Dewan Revolusi. Tetapi Panglima berkesimpulan bahwa G.30.S/PKI melakukan kudeta karena mendemisionerkan kabinet Dwikora. Pada tanggal 4 Oktober 1965 Rakyat Kalimantan mulai bergolak untuk menumpas dalang daripada peristiwa penculikan dan pembunuhan di Lubang Buaya. Tokoh-tokoh PKI di seluruh Kalimantan ditangkapi. Pada keesokan harinya terjadi demonstrasi mengganyang G.30.S/PKI.

Di Jawa Barat CDB PKI yang dipimpin oleh Ismail Bakri, pada 1 Oktober 1965 memutuskan untuk tidak mengadakan gerakan setelah mengetahui G.30.S/PKI gagal, ia memerintahkan meninggalkan gedung dan membakar semua dokumen. Gerakan 30 September PKI, berhasil

dihancurkan dan para pemimpinnya ditangkapi. Tidak lebih dari 40 hari. Namun mereka kemudian melakukan konsolidasi dengan membentuk daerahdaerah perlawanan yang mereka sebut Komiteproyek (Kompro) yang disertai dengan kekuatan bersenjatanya.

Untuk menumpas gerakan tersebut, ABRI melancarkan operasi yang dimulai dengan operasi intelijen. Beberapa orang anggota ABRI ditempatkan sebagai care-taker kepala desa di daerah Blitar Selatan. Dari anggota-anggota ini diperoleh keterangan yang lebih banyak. Operasi teritorial umumnya kurang berhasil sebab rakyat yang bersimpati kepada PKI melakukan gerakan 3 T (tidak tahu, tidak mengerti, tidak kenal). Keterangan yang lebih lengkap lagi diperoleh setelah ABRI berhasil menangkap bekas Letkol Pratomo, bekas Komandan Kodim Pandeglang, Jawa Barat. Dari Pratomo diketahui bahwa di Blitar Selatan berkumpul tokoh-tokoh PKI tingkat CC dan CDB Jawa Timur. Operasi militer dilancarkan mulai tanggal 3 Juli 1968. Operasi itu disebut Operasi Trisula dipimpin oleh Kolonel Witarmin dari Kodam VIII/Brawijaya. Dalam waktu satu setengah bulan operasi ini berhasil menggulung kekuatan PKI di Blitar Selatan. Hasil-hasil itu antara lain dicapai berkat bantuan rakyat yang sudah membalik memihak ABRI. Dalam operasi ini banyak tokoh-tokoh PKI yang berhasil ditangkap.

Untuk menghadapi ABRI, gerombolan PKI di Blitar Selatan ini memakai sistem gerilya Vietcong, yaitu

yaitu dengan membangun ruba-ruba (ruangan bawah tanah) sebagai basis. Tidak kurang dari 216 ruba yang ditemukan ABRI, 37 buah di antaranya buatan alam, yang lainnya dibuat oleh anggota-anggota PKI.

Sesuai dengan gerakan 3 T, pada mulanya tokoh-tokoh PKI yang tertangkap tidak mau mengatakan siapa mereka sebenarnya. Untuk mengimbangi hal ini ABRI melancarkan 3 M (menyerah, membantu, atau mati). Ternyata taktik itu berhasil. Dalam seluruh Operasi Trisula itu tertangkap 850 orang tokoh-tokoh PKI, 13