Pengobatan secara bedikei dilakukan oleh suku asli melayu Riau yang berasal dari Bengkalis yaitu

Pengertian

Kata “dikei” atau “bedikei” berasal dari kata “zikir” atau “berzikir.” Ritual ini berupaya mencapai kesatuan dengan Tuhan, sebuah teknik yang dilakukan untuk satu tujuan yaitu membuat obat oleh seorang shaman yang disebut kemantan dengan memanggil roh-roh agar memberikan bantuan pengobatan dan mengubah orang yang sakit menjadi sehat. Orang Sakai memakai kata “dikei” untuk ritual pengobatan di mana seseorang masuk dan keluar alam roh, serta kembali dengan kehendaknya sendiri.

Penyebutan dikei juga menyiratkan perpaduan pertunjukan selap, tarian, dan nyanyian. Dalam menjalankan tugasnya, kemantan dibantu oleh beberapa dibalak (pembantu laki-laki) dan didayak (pembantu perempuan), serta seorang penabuh gendang (bidu, dari istilah Melayu ‘biduanda’, ‘bujang nobat’ dalam kelongkap).

Sementara khalayak dikei, yaitu orang-orang yang hadir dalam dikei pada saat ritual disebut sebagai anak inang untuk laki-laki dan anak asuh untuk perempuan. Sebutan umum bagi mereka yaitu inang-asuh. Istilah dikei ini mengidentifikasi khalayak sebagai bangsawan anak buah yang membutuhkan perlindungan, seperti yang tersirat dalam syair lagu berikut:

Minto tolok, minto bantu
Pelia’olah inang asuh
Dalam tangan kami

(Saya) minta tolong, (saya) minta bantuan
(Tolong) jaga inangasuh
Yang ada di tangan kami

Waktu kemantan menjalankan aktivitas disebut “bilo bedikei” atau “waktu bedikei”. Orang-orang yang menghadiri dikei, mengatakan bahwa mereka datang untuk “nengot dikei” (melihat dikei). Dikei adalah perjalanan batin (melalui selap) kemantan ke alam roh untuk mencari obat. Di alam roh, kemantan mencari roh penjaganya atau roh lain (roh de’o)yang dapat membantunya mengobati pasien. Perjalanan ini terlihat oleh mata biasa dengan selapnya kemantan yang memainkan memainkan skenario berdasarkan lagu roh yang dimainkan. Misalnya, jika ia memanggil roh (roh de’o) Ajo Buayo Gilo (raja Buaya Gila) maka ia akan menari menirukan gerak seekor buaya.

Ritual dikei ada dua macam, dikei biasa dan kelongkap (biasa disebut kelongkap saja). Dikei biasa, atau ritual pengobatan biasa hanya berlangsung sekitar dua jam, dan biasanya hanya melibatkan satu orang kemantan. Tujuan ritual ini adalah untuk mengobati orang sakit. Sedangkan kelongkap merupakan dikei yang khusus dilakukan sebagai rangkaian pengobatan bagi pasien yang sakit keras atau bagi kepentingan kemantan sendiri. Untuk pasien yang sakit keras, setelah pasien sembuh, kemantan yang telah memenuhi kewajibannya mengatur kelongkap sebagai balas jasa atas bantuan roh yang diberikan. Jika keluarga pasien tidak mengadakan kelongkap, dikhawatirkan ia dapat jatuh sakit kembali. Roh-roh juga akan menghukum kemantan karena gagal untuk menjaga hubungan resiprokal. Jadi, dikei kelongkap adalah ritual pengobatan yang diperlukan terutama kepentingan kemantan, sebagai ucapan terima kasih kepada roh penjaganya danuntuk mempererat hubungan antara keduanya.

Perlengkapan yang harus dipersiapkan untuk ritual ini adalah nampan, bertih (botih), dan pedupaan. Bertih adalah perlengkapan kemantan yang paling penting. Roh-roh melihat bertih seperti kelopak bunga-bunga yang cantik. Jadi, ketika kemantan menebarkan bertih, ia seperti menebarkan bunga-bunga untuk menghormati para roh.

Perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan dikei lainnya adalah puan dan model persembahan. Model persembahan tidak diharuskan dalam dikei obat biasa, namun harus ada dalam kelongkap, sesuai dengan namanya, kelongkap. Dalam dikei obat biasa, model disiapkan oleh keluarga pasien, sedangkan untuk kelongkap semua warga kampung yang mampu dapat membantu membuat model dengan berbagai bentuk anyaman dan hiasan-hiasan.  Persembahan-persembahan kelongkap berbentuk berbagai jenis kendaraan air atau kapal (lancak, lancang); atau berbagai jenis rumah yang disebut balai, atau ruang pertemuan. Model berbentuk rumah atau balai sering dipakai dalam dikei pengobatan biasa, namun model kapal hanya untuk kelongkap.

Prosesi Pelaksanaan

Prosesi ritual dikei biasanya dibuka setelah jam tujuh malam di rumah kemantan atau di rumah pasien. Tamu laki-laki duduk di bagian depan ruang dikei. Tamu perempuan, duduk berhadapan dengan tamu laki-laki di sisi yang dekat dengan ruang dapur. Mereka semua menghadap kemantan. Seorang dibalak duduk di belakang kemantan untuk melindunginya jika ia menghempas badannya ke belakang. Penabuh gendang (bidu) duduk di tidak jauh dari kemantan. Pasien berada di depan kemantan, terbaring atau duduk. Gendang dipukul dengan cepat, kemantan pun mulai bersiap-siap memasuki ruang selap. Ia mengenakan kain kesum’onya (lihat kemantan). Pisau kayunya diletakkan di nampan bersama-sama perlengkapan lain. Biasanya di dalamnya juga terdapat boneka burung dari anyaman daun kelapa. Boneka burung mewakili semangat pasien.  Model persembahan diletakkan berhadapan dengan kemantan, di tengahnya terdapat air bunga (ai bungo) dan kaleng berisi bertih. Sebuah lilin dengan panjang sekitar 30 sentimeter dinyalakan dan diletakkan di dekatnya. Kemantan kemudian mencelupkan tangannya ke dalam air bunga dan membasahi wajahnya.

Gendang mulai dibunyikan dengan pukulan cepat. Kemantan mengambil sejumput bertih di tangan kanannya kemudian mengusap bertih ke bagian kiri dadanya (muanto asok). Biasanya kemudian kemantan mendadak melonjak ke belakang seperti tersengat. Ia mengulang tindakan ini dengan tangan kirinya ke dada sebelah kanan. Lalu kemantan  perlahan-lahan melakukan gerakan sembah di depan model persembahan, bila ada. Kain merahnya menutup seluruh kepalanya ketika wajahnya menyentuh lantai. Ketika berada di bawah kain inilah kemantan memasuki selap shamanis. Dengan latar suara gendang, kemantan merapalkan mantera (monto). Seorang didayak mendorong tempat pedupaan ke bawah kain agar kemantan dapat menghisap asap manis kemoyan (kemenyan). Setelah sekitar dua-tiga menit, komat-kamit mantera yang tak terpahami berganti menjadi lirik-lirik lagu yang dikenal dalam irama pukulan gendang. Alam roh (alap lain) “masuk” dalam kesadarannya dan semangatnya akan segera “masuk” ke alap lain dan melakukan aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk mengembalikan semangat pasien.

Salah satu lagu yang dinyanyikan kemantan untuk membuka ritual pengobatan dikei adalah sebagai berikut:  

Dondak Dondak 
Salam Alaikum
Sebolah ki’i 
Salam Alaikum
Sebolah kanan
Memento tabe
Kepado anak ajo 
Di tonga podak
O’ak di gunuk
Memo’i salam
Kepado o’ak di podak
Minto tabe
Kepado o’ak di podak 

Dendang dendangAssalamualaikum(Bagi yang di) sebelah kiriAssalamualaikum(Bagi yang di) sebelah kanan(Saya) minta izinKepada anak rajaDi tengah padangOrang di gunungMemberi salamKepada orang di padang(Saya) minta izin

Kepada orang di padang

Ketika menyanyi ia menegakkan punggungnya pelan-pelan. Dari bawah kain ia mengangkat tangannya sampai ke wajah, membuat gerakan sembah dan hormat (menyombah). Setelah beberapa saat, ia merendahkan tangannya sedikit, kemudian memutarnya ke atas, membawanya ke depan wajahnya lagi dalam bentuk segitiga, mengulangi gerakan ini tiga kali. Sembah ini ditujukan kepadaroh-roh yang dilihat kemantan dengan mata batinnya. Kemantan kemudian mengambil sejumput bertih di tangannya.

Lagu selanjutnya adalah lagu untuk memanggil roh de’o agar turun mengobati pasien. Judul lagu roh ini mengambil nama roh yang dipanggil, seperti: Olak Kesumbo, Bu’uk Kocik Timbo Tasik, Budak Kocik, Anak Mu’ai, Puto’i Mambak Gilo, Balam Angin, Bo’uk Kocik, Pelanduk Puti’,  Gaja’ Puti’, Ajo Buayo Gilo, Kudo Sembilat Mayo, Nenek Mayo Sembilat, Anak Alun Si Kumpai Alun, dan Mamak Gilo. Namun, ada beberapa lagu roh yang hanya dipanggil untuk ritual kelongkap dan bukan untuk dikei pengobatan, seperti: Ajo Batak, Ajo Cino, Ajo Belando Gilo, Didayak Soi Ja’o dan Ajo Jopun. Lagu-lagu roh ini meskipun judulnya sama, tetapi liriknya dapat berbeda-beda antara satu kemantan dengan kemantan lainnya. Bahkan, seorang kemantan yang sama dapat menyanyikan lagu roh yang sama dengan lirik yang berbeda dalam dikei yang berbeda. Oleh karena itu, setiap lagu roh, meskipun judulnya sama dan dinyanyikan satu orang kemantan, dianggap sebagai bentuk ekstemporisasi yang berbeda. Bagaimanapun, perbedaan itu hanya pada lirik penggambaran roh yang dimaksud, meskipun intinya tetap sama. Di antara roh-roh tersebut sebagian diwujudkan dalam bentuk boneka dari anyaman daun kelapa.  

SUSURI JUGA:  Alam dalam Pandangan Budaya Melayu Riau

Sambil menyanyikan lagu roh, kemantan menghimbau roh untuk tidak mempermalukannya karena permintaan obatnya. Sesekali ia menebarkan bertih dengan sikap yang menunjukkan seseorang yang sedang menebarkan bunga pada orang yang dihormatinya. Kemantan pun bangkit mengambil lilin. Seorang didayak, berlutut di depannya, mengambil bertih dengan kedua tangannya, meletakkan tangannya di atas tempat pedupaan (puaso) untuk menyucikan tangannya, dan mengusap pinggang shaman, sisi-sisi kedua kakinya, sampai ke telapak kaki, diakhiri dengan menepuk bagian atas telapak kakinya. Kemantan menyombah lagi dengan lilin masih di tangannya. Ia sekarang siap bergerak cepat di depan hadirin dan lebih penting lagi, di alam roh.

Ia meletakkan wadah bertih dan tempat pedupaan, lalu berjalan menuju pasien yang kemudian duduk bersila. Dengan memegang lilin di satu tangan dan bertih serta tempat pedupaan di tangan lain, kemantan memutarkannya di atas kepala pasien beberapa kali. Ia mengakhiri putaran terakhir dengan mengangkat dan menurunkan tangannya tepat di atas ubun-ubun pasien. Ketika ia melakukan ini, ia mengucapkan mantera (mantera-mantera ini bervariasi antara satu kemantan dengan kemantan lain). Salah satu contoh manteranya:

Tuju timbak,
Bule ku timbak  
Tuju ganti, 
Bule ku ganti 

Tujuh timbang
Dapat kutimbang Tujuh ganti

Dapat kuganti

Kemantan memberikan tempat pedupaan kepada didayak. Ia mengambil sejumput bertih dari kantongnya, memegang bertih itu dalam genggapannya di atas kepala pasiennya dan ia melepaskannya di atas ubun-ubun pasiennya, memberi kesan bahwa ia sedang mengisi kepala pasien dengan bertih itu. Kemantan meregangkan jari-jarinya di atas kepala pasien, menekan bertih sambil terus menyanyikan lagu roh yang dipanggilnya.

Lagu ini diulang beberapa kali sambil mengelilingi model persembahan, mengangkat tangannya dalam gerakan menyombah dan mengambil lilin serta menghadap model persembahan. Ia kemudian melangkah ke belakang, ke depan, dan kemudian ke belakang dan ke depan lagi sebanyak tujuh kali sementara ia menggoyang pinggulnya seiring irama gendang. Ia membalikkan punggung membelakangi model persembahan dan mengulanginya sebanyak tiga kali. Kemudian juga mengulangi gerakannya empat kali dengan menghadap pintu dan akhirnya arah yang berlawanan. Gerak tariannya ini memetakan empat titik utama dengan titik kelimanya di pusat. Titik pusat utama ini secara simbolis berhubungan dengan posisi kemantan yang dipusatkan dalam kosmos.

Kemantan kemudian mulai menari mengelilingi titik pusat namun cepat mengubah lingkaran menjadi angka delapan dengan menggerakkan kaki ke samping ketika kakinya mencapai tengah lingkarannya. Setiap kali ia membalik, ia membungkuk ke depan dan mengarahkan cahaya lilin di tangannya ke arah sudut kurvanya beberapa saat sebelum ia benar-benar berbalik. Ia meluruskan punggungnya dan bergerak ke depan di arah sebaliknya. Ia menari dalam bentuk angka delapan ini selama beberapa menit dengan menyanyikan lagu roh yang tadi dinyanyikannya. dan kemudian berhenti. Ia mengangkat tangannya di depan wajahnya dan menyombah roh itu sekali lagi.

Kemantan berjalan menuju pasien. Seorang didayak memberikan mangkuk air bunga. Ia membasuh wajahnya dengan air itu dan memberi isyarat kepada penabuh gendang untuk menghentikan gendangnya. Dengan menghadap pasiennya, kemantan menekankan ibu jarinya pada dahi pasien. Ia mencelupkan ibu jarinya ke dalam air, meletakkan ibu jarinya di atas lilin untuk menyucikannya, dan kemudian sekali lagi meletakkan ibu jarinya di atas dahi pasien, merentangkan jari-jarinya ke atas ketika ia menekan titik semangat di tubuh pasien ini.

Selanjutnya, kemantan menyanyikan lagu roh baru dan melanjutkan menangani pasien sambil. Ia menyucikan tangannya dengan cahaya lilin dan menyentuh dada pasien sebentar. Kemudian ia memegang pergelangan tangan kanan pasien dan merasakan denyutannya, dan mengulanginya di pergelangan tangan kirinya untuk memeriksa semangan pasien. Ia mengambil bertih, mengusapnya ke pergelangan tangan pasien, dan kemudian mengusap keringat di keningnya di pergelangan tangan kanan pasien. Shaman S bangkit dan memberi isyarat kepada pasien untuk duduk di depan “altar” model persembahan. Seorang didayak menutupi kepala pasien dengan kain batik bersih, agar ia tidak melihat tahap-tahap prosedur pengobatan berikutnya. Dalam posisi duduk seperti ini, dengan kepala tertutup, pasien seperti kemantan dalam permbukaan dikei, dan, seperti pengobat ia secara simbolis ditempatkan di pusat kosmos.

Kemantan menarikan skenario berdasarkan lagu roh yang dinyanyikan. Bila ia menyanyikan lagu roh Anak Mua’ai (anak murai) misalnya, maka ia akan menirukan gerakan burung. Kadang-kadang kemantan memanfaatkan kain merahnya dalam tarian untuk menjadi sayap burung, dan memakai ujung kain untuk membungkus bertih. Bersamaan dengan gerakannya, kemantan mungkin memegang boneka burung murai jika ada di tangan kirinya, dan tangan kanannya memegang lilin yang menyala.

Pukulan gendang mengiringi tarian kemantan yang kemudian melanjutkan tariannya di belakang pasien dalam bentuk angka delapan dengan burung-burungan, lilin, dan bungkusan kain di tangannya. Ketika menyanyikan lagu roh ini, penabuh gendang bisa menimpalinya dengan melanjutkan syair yang dinyanyikan kemantan.

Dalam tahap ini bisa saja kemantan tiba-tiba menyanyikan lagi roh yang baru. Penabuh gendang pun dapat turut  menyanyikan lagu roh. Ketika menari kemantan sesekali menyombah kepada roh yang lagunya dinyanyikan dan menebar bertih ke arah model persembahan.

Kadang-kadang kemantan berada di tahap ini sangat lama dengan menyanyikan berbagai lagu roh dan memainkan skenarionya. Jika hal ini terjadi, biasanya didayak akan berteriak mengingatkannya agar segera menyelesaikan tugasnya. Tindakan kemantan tersebut diyakini sebagai kelalaiannya karena melupakan tugas dan malah bermain-main di alam roh.

Kemudian didayak akan memberikan boneka burung kepada kemantan, yang segera digunakannya untuk menggambarkan burung semangat pasien. Kemantan akan memegang boneka burung itu seakan-akan burung itu sangat berat. Kemantan sedang memainkan skenario menangkap burung semangat pasien. Biasanya ia melakukan gerak berpusing (bu’pusik), lalu beberapa dibalak bangkit dan mengelilinginya untuk menjaga kalau-kalau ia tumbang ke belakang atau jatuh. Skenario menangkap burung semangat itu dimainkan dengan gerakan mengejar burung dan menangkapnya dan membungkusnya dengan kain merahnya. Setelah itu, kemantan mengambil lilin sambil mendekap burung itu ke dadanya.

SUSURI JUGA:  Permainan Ligu/Sengki

Irama gendang semakin cepat untuk menggambarkan skenario gerak cepat kemantan untuk mengembalikan burung semangat ke dalam tubuh pasien. Kemantan menari membentuk angka delapan dan sedikit demi sedikit langkah tariannya mendekati sebuah lingkaran sampai ia berpusing di satu titik dengan bungkusan sambil mendekap burung itu di dadanya. Seorang dibalak berjaga-jaga di belakangnya, karena kadang-kadang kemantan mendadak jatuh ke belakang, dan tugasnya adalah membantu kemantan berdiri lagi. Kemantan kemudian kemudian menyembah tiga kali.

Pada saat ini kemantan sedang bergerak keluar dari alam roh. Seorang didayak akan melemparkan bertih ke wajahnya untuk  mengembalikannya pada keadaan sebelumnya dan mereka menuntunnya duduk di dekat pasien.

Setelah membasuh wajahnya dengan air bunga, kemantan mengambil lilin kembali dan mencari-cari roh jahat di sekeliling(dengan mata tertutup). Ia meletakkan lilin, mengambil bertih, menyucikan tangannya dalam api dan menebarkan bertih serta menyembah ke arah yang sama. Irama gendang berhenti. Untuk membantunya sadar kembali kemantan membasuh wajahnya dengan air bunga, meletakkan tangannya ke api lilin dan dengan tangannya yang bebas ia menarik rambut di atas keningnya untuk mengendalikan tingkat selapnya. Para pembantunya juga memberinya air bercampur dengan limau dan bertih (a’i asasa), untuk melemahkan selapnya. Pemulihan semanget pasien adalah saat yang paling rawan.Sedikit saja ada kesalahan gerak atau kekeliruan burung semangat akan lepas lagi.

Setelah kemantan sadar kembali, ia mempersiapkan dirinya untuk mengembalikan semangat pasien. Dengan duduk bersila di depan pasien, ia menyusupkan tangannya yang bebas ke dalam bungkusan dan menariknya keluar sesuatu seperti ada isi di dalam bungkusan itu. Ketika memindahkan tangannya, tangannya tetap menggenggam erat seakan-akan ia memegang sesuatu yang sangat kecil di dalamnya. Ia menyuarakan suara ocehan burung. Jemarinya mengusap keringat di dahinya dan ditujukan pada potongan semangat di dahi pasien, mengerakkan tangannya ke belakang dan ke depan seperti membidikkan sebuah panah pada sasaran. Ia merentangkan lengannya pada dahi pasien setelah ditunjuknya. Ia memasukkan semangat yang digenggamnya  ke tengah dahi. Ia celupkan tangannya di air bunga, menyucikan jari-jarinya dengan api lilin dan meletakkan ibu jarinya pada dahi pasien lagi, membiarkannya selama beberapa saat. Kemudian ia kembali menyucikan jari-jarinya dengan api dan mengusap dahi pasien.

Setelah mengembalikan dan mengikat semangat pasien, kemantan menyusupkan tangannya kembali ke dalam bungkusan kain merah dan menarik “potongan semangat” di dalamnya. Kali ini kemantan mengarahkan ke perut pasien. Ketika semangat dimasukkan ke tempatnya, ia mengusapkan ibu jarinya di titik ini. Kemudian ia mencelupkan jari-jarinya ke dalam air bunga, menyucikannya di api dan kembali mengusap dengan lembut perut bagian atas pasien. Kemudian, kemantan memegang tangan pasien dan melipat jari-jarinya. Ia menjajarkan jarinya dan mengusapkan bertih di ujungnya. Ia juga mengusap dahinya yang berkeringat dengan ujung jarinya. Sekali lagi ia menyusupkan tangannya ke dalam bungkusan, menarik “potongan semangat” yang lain dengan jari dan ibu jari, dan mengarahkan ke jari-jari pasien. Kemantan kemudian mencelupkan jari-jarinya ke dalam air bunga, menyucikan jari-jarinya di api dan memegang jari-jari pasien beberapa saat untuk mengamankan semangat yang telah dipulihkan. Pasien kemudian meletakkan kakinya bersama-sama dengan dengan suara cicitan burung shaman menarik potongan semangat lainnya dari bungkusan diarahkan pada ibu jari pasien, dan kemudian membawa jarinya untuk menyentuhnya. Ia mencelupkan jari-jarinya ke air bunga, mengambil bertih, meletakkannya di atas api, dan kemudian mengusap ibu jari pasien dengan bertih.

Sekarang setelah semangat pasien kembali lagi ke dalam tubuhnya, kemantan menjauh dari pasien. Ia mengangkat bungkusan kain ke telinga kanannya dan mengguncangnya, memeriksanya apakah masih ada yang tertinggal. Jika diyakininya tidak ada yang tertinggal lagi, kemantan akan bangkit dan memutar membalutkan kain di atas kepala pasien. Di putaran terakhir ia mengangkat dan menurunkan bungkusan tepat di atas ubun-ubun pasien. Setelah ia mengamankan dan menenangkan seluruh semangat di tubuh pasien, biasanya ibu dan atau ibu-ibu klasifikatori pasien yang melakukannya untuk menenangkan (burung) semangat yang baru kembali ke dalam tubuh dengan suara cicitan induk burung.

Setelah memutar bungkusan di atas kepala pasien (muinak inak), kemantan membawa bungkusan ke bawah, mengikuti bentuk tubuh pasien: pertama di sisi kanan, kemudian kiri. Kemantan bangkit, mengambil model persembahan dan memutarnya di atas kepala pasien, kembali pembantu kemantan menirukan suara burung.

Pengobatan juga dilakukan dengan memakai model. Kemantan membawa model ke pintu dan meminta obat kepada roh. Ia menunggu sambil memegang model di depannya. Seorang dibalak berdiri di belakangnya. Setelah itu dengan membawa model yang telah mengandung obat, kemantan memutarkan model itu di atas kepala pasien lagi. Lalu seperti prosesi di atas, kemantan melanjutkannya dengan bungkusan kain.

Selanjutnya, kemantan melakukan proses pengobatan paga di’i, untuk memagari agar semangat tidak lepas lagi. Ia kemudian menari lagi. Jika dibalak mengatakan kepada kemantan sudah waktunya untuk “balik” (kembali), kemantan segera bersila di depan model bersembahan seperti ketika ia memulai dikei dan menutup kepalanya dengan kain. Ia mengangkat dua tangannya setinggi mata dan menyembah roh. Ia meminta lilin dengan gerakan tangannya dan didayak memberikannya. Ia melanjutkan menyanyikan lagu sambil menggerak-gerakkan lututnya ke atas dan ke bawah mengikuti irama gendang. Setelah menyanyi sementara waktu ia meletakkan lilin dan menyembah lagi. Kemudian ia mengangkat kain merah yang ada di atas kepalanya dengan memegang ujungnya dan merentangkannya di atas kepalanya. Ia menjatuhkan badan ke depan sampai wajahnya menyentuh lantai, menutup kepalanya dan tubuhnya dengan kain. Ketika ia membungkuk kata wa’salam terdengar, namun mantera yang mengikutinya lambat-laun terdengar seperti gumaman. Semenit kemudian, ia menegakkan punggungnya seperti terpaku. Ia menarik rambut di atas kepalanya, membasuh wajahnya dengan air bunga dan membungkus pisau kayunya, yang tidak digunakannya, dan boneka burung di kainnya. Ia bangkit, berjalan menuju pasien dan memutarkan bungkusan kain untuk kali terakhir di atas kepalanya. Ia kemudian berjalan ke penabuh gendang yang telah memukul gendang selama acara ini, dan memutarkan bungkusan ini di atas kepalanya, untuk mengamankan semangat di tubuhnya juga setelah kerja kerasnya. Akhirnya, kemantan duduk, namun biasanya masih terlihat seperti terpaku. Seorang didayak mungkin akan mengambil sedikit bertih dan menaburkannya padanya. Setelah itu, biasanya kemantan akan melompat dan meyakinkan setiap orang bahwa ia telah kembali (olah balik).

[Sumber: Nathan Porath. 2003. When the Bird Flies: Shamanic therapy and the Maintenance of Worldly Boundaries among an Indigeneous People of Riau (Sumatra), Leiden University: Research School CNWS; Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau].