Penyair dan sastrawan yang terkenal pada tahun 741 sampai 794 masehi adalah

Zubaidah sangat mencintai ilmu pengetahuan dan dermawan.

muslimgirl.net

Zubaidah, Perempuan di Balik Suksesnya Dinasti Abassiyah.

Rep: Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat masa Dinasti Abbasiyah, ada tokoh ulama perempuan sekaligus putri dari khalifah yang sangat dermawan. Dia adalah Zubaidah binti Abu Ja’far al-Manshur.

Baca Juga

Ayahnya merupakan khalifah kedua Dinasti Abbasiyah. Zubaidah lahir di Kota Mosul, Irak pada 766 masehi dan wafat di Baghdad tahun 831 masehi.

Sang ibu, bernama Salsabil. Zubaidah menikah dengan Harun ar-Rasyid yang kemudian menjadi khalifah terkenal.

Dijelaskan dalam buku Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah oleh K.H. Husein Muhammad, sosok Zubaidah adalah perempuan yang cerdas, baik hati, cantik, dan sangat mencintai ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap sastra membuat dia menjadi seorang penyair.

Konon, dia sering mengundang para cendekiawan dan sastrawan terkemuka ke istananya untuk berdisusi tentang sastra dan pembacaan puisi. Beberapa di antaranya adalah penyair Abu Nawas, Husein bin adh-Dhahak, sastrawan dan filsuf al-Jahizh, Muslim bin al-Walid, Abu al-‘Atahiyah, dan lain-lain.

Pada masa itu, sastra dan ilmu pengetahuan berkembang pesat dan Baghdad menjadi pusat peradaban dunia. Islam mengalami zaman keemasan atau yang disebut The Golden Age.

Kesuksesan kepemimpinan Harun ar-Rasyid tak terlepas dari sosok Zubaidah, sang istri yang berada di balik kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Zubaidah merupakan seorang ibu negara yang sangat cakap membantu tugas-tugas suaminya.

Dia tak segan berbagi tugas dengan suaminya ketika suaminya hendak keluar kota untuk melakukan ekspansi pemerintahan. Zubaidah juga terkenal sebagai seorang ulama, ahli fikih, dan ahli ibadah.

Konon, dia mempunyai pelayan perempuan yang hafal Alquran. Mereka setiap hari secara bergiliran melakukan sema’an Alquran di istana.

Zubaidah sering mengusulkan dan mendorong suaminya membangun sarana dan fasilitas pendidikan, gedung kesenian, serta mendirikan perpustakaan. Perpustakaan itu kemudian diberi nama Baitul Hikmah atau Rumah Kebijaksanaan yang berfungsi sebagai tempat menghimpun buku dan karya ilmu pengetahuan dari penjuru dunia.

Selain itu, ia juga meminta suaminya mendirikan Majelis al-Mudzakarah, yakni lembaga pengkajian masalah keagamaan yang diselenggarakan di rumah, masjid, dan istana kerajaannya. Selain kecerdasannya, sifat dermawan Zubaidah pun membuat orang-orang menyukainya.

Dia pernah membiayai ratusan orang untuk melaksanakan haji. Pada suatu hari, ia pergi melaksanakan haji ke Baitullah.

Di sana, dia melihat orang-orang sulit mendapatkan air minum. Lalu Zubaidah memanggil bendahara dan memerintahkan untuk menyediakan insinyur dan arsitek bangunan.

Mereka diperintahkan membuat saluran air sepanjang 10 kilometer dari Makkah hingga Hunain yang kemudian dikenal dengan nama Ain Zubaidah atau mata air Zubaidah. Beberapa sumber menyebut biaya yang dihabiskan dalam pembangunan saluran air ini sekitar 1,5 juta dinar dan ada yang mengatakan 1,7 juta dinar.

Penulis biografi tokoh perempuan, Al-Yafi’I dalam bukunya A’lam an-Nisa’ menyebutkan mata air Zubaidah tersebut sebagai sebuah bangunan yang amat kukuh di atas gunung yang sulit digambarkan keindahannya. Jejaknya masih terlihat dan mencakup bangunan besar yang mengagumkan. 

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

NET

Ilustrasi

Red: cr01

REPUBLIKA.CO.ID, Dia adalah khalifah Daulah Abbasiyah ke-20. Nama Khalifah Ar-Radhi Billah (934-940 M) adalah Abu Al-Abbas Muhammad bin Al-Muqtadir bin Al-Mu’tadhid bin Thalhah bin Al-Mutawakkil. Dia dilahirkan pada 297 H. Ibunya mantan budak yang berasal dari Romawi bernama Zhalum.Ar-Radhi dilantik sebagai khalifah pada saat Al-Qahir dicopot dari kursi khilafah. Kemudian dia memerintahkan kepada Ibnu Muqlah untuk menuliskan semua kejahatan yang dilakukan Al-Qahir dan memerintahkan untuk membacanya di depan khalayak ramai.Pada 323 H, pemerintahan Khalifah Ar-Radhi berjalan tenang tanpa gejolak. Ia membagi kekuasaannya dengan anak-anaknya. Dia memberi tugas kepada anaknya, Abu Al-Fadhl, untuk mengatur wilayah timur, sedangkan Abu Ja’far ditugaskan untuk mengurus wilayah bagian barat.Pada masa kekhalifahannya, persisnya tahun ini pula, terjadi sebuah peristiwa yang sangat bersejarah dan dikenal dengan sebutan Peristiwa Syannabud, yaitu tobatnya Syannabud dari penyimpangannya terhadap Al-Qur'an. Tobatnya Syannabud ini dihadiri pula oleh Al-Wazir Abu Ali bin Muqlah.Pada saat wibawa kekhalifahan Bani Abbasiyah menurun tajam karena adanya gerakan Qaramithah dan perbuatan-perbuatan bid’ah di berbagai wilayah, muncullah keberanian yang demikian kuat dari pemerintah Bani Umayyah, yang ada di wilayah Andalusia, yang saat itu berada di bawah pimpinan Amir Abdurrahman bin Muhammad Al-Umawi Al-Marwani untuk mendirikan pemerintahan sendiri.Dia menyebut dirinya sebagai Amirul Mukminin An-Nashir Lidinillah. Dia berhasil menguasai sebagian besar wilayah Andalusia (Spanyol). Dia memiliki wibawa yang sangat besar, semangat jihad yang tinggi dan mampu melakukan penaklukan-penaklukan serta memiliki kepribadian yang menarik dan menakjubkan. Amir Abdurrahman berhasil menaklukkan para pemberontak dan mampu membuka tujuh puluh benteng.Dengan demikian, pada saat itu ada tiga golongan yang menyebut dirinya sebagai Amirul Mukminin. Pertama, Bani Abbas yang ada di Baghdad; kedua, penguasa Umawi yang ada di Andalusia; dan ketiga, Al-Mahdi di Qairawan.Pad 328 H, Baghdad tergenang banjir yang tingginya mencapai tujuh belas depa. Banyak manusia dan hewan yang mati dalam bencana banjir ini. Sedangkan pada 329 H, Khalifah Ar-Radhi sakit dan meninggal pada bulan Rabiul Akhir. Pada saat meninggal, dia baru berusia 31 tahun.Khalifah Ar-Radhi dikenal sebagai seorang yang terbuka dan dermawan, luas ilmunya dan seorang penyair piawai serta bergaul dengan para ulama. Dia memiliki kumpulan syair yang dibukukan. Al-Khatib menuturkan, “Ar-Radhi memiliki banyak keutamaan. Ia adalah khalifah terakhir yang memiliki kumpulan syair yang dibukukan, dan khalifah terakhir yang mampu melakukan khutbah Jumat. Dia adalah khalifah pertama yang duduk bersama rakyat. Dia banyak melakukan hal-hal yang sesuai dengan cara-cara orang terdahulu, bahkan dalam berpakaian dia juga banyak meniru orang-orang terdahulu.”Abu Hasan Zarqawaih meriwayatkan dari Ismail Al-Khatabi. Ismail berkata, “Khalifah Ar-Radhi memintaku datang pada malam Idul Fitri, lalu saya datang menemuinya. Khalifah berkata, ‘Wahai Ismail, aku telah meneguhkan tekad untuk melakukan shalat Idul Fitri bersama-sama dengan rakyatku esok hari. Maka apa yang pantas aku ucapkan setelah aku berdoa kepada Allah untuk diriku sendiri?’

Saya merenung sejenak dengan kepala menunduk. Lalu saya katakan padanya, ‘Wahai Amirul Mukminin, jika selesai berdoa untuk dirimu sendiri, maka ucapkanlah, “Ya Rabb-ku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada orangtuaku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai.” (QS An-Naml: 19).

Khalifah berkata, ‘Cukuplah apa yang engkau katakan.’ Setelah saya pulang, ada seorang pelayan yang mengikutiku dari belakang, dan dia memberiku uang sebanyak empat ratus dinar.”

sumber : Sejarah Para Khalifah karya Hepi Andi Bastoni

Abu Nawas atau dikenal sebagai Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami (756-814), atau Abū-Nuwās (Bahasa Arab:ابونواس), adalah seorang pujangga Arab. Dia dilahirkan di kota Ahvaz di negeri Persia, dengan darah Arab dan Persia mengalir di tubuhnya.[1][2]

Penyair dan sastrawan yang terkenal pada tahun 741 sampai 794 masehi adalah

Abu Nuwas

Abu Nuwas digambar oleh Kahlil Gibran pada 1916.

Lahirca. 756
Ahvaz, Kekhalifahan AbbasiyahMeninggalca. 814 – 756; umur -59–-58 tahun
Baghdad, Kekhalifahan AbbasiyahPekerjaanPujanggaBahasaBahasa ArabKebangsaanKekhalifahan AbbasiyahKewarganegaraanBagdadAliran sastraSufisme

Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam dalam salah satu cerita ia pernah berpura pura gila karena tidak ingin menjadi kadi setelah mendengar wasiat ayahnya dengan cara menaiki batang pisang seperti kuda kudaan ia juga sering ditantang oleh raja Harun Ar-Rasyid maupun oleh teman temanya dengan hal yang aneh, berisiko dan bahkan tidak mungkin terjadi seperti memindahkan istana raja ke bukit, memantati raja dan lain lain.[3]

Abu Nawas terlahir pada tahun 747 M sebagai anak yatim di kota Ahvaz, Iran. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Hasan ibn Hani Al-Hakami. Sepeninggal ayahnya, Abu Nawas kemudian dibawa ibunya ke kota Basra, Irak. Dia di sana belajar beberapa ilmu agama seperti ilmu hadits, sastra Arab, dan ilmu Al-Quran.[4]

Memulai karier di Bagdad

Tak lama setelah belajar ilmu-ilmu agama, Abu Nawas bertemu dengan Walibah ibn Habib Al-Asad. Walibah memberikan pelajaran kepada Abu Nawas untuk memperhalus kembali bahasa yang dia gunakan. Dia juga pergi ke Kufah untuk bertemu dengan orang-orang Arab Badui, supaya ia dapat memperhalus serta memperdalam kesustraan bahasa Arab. Oleh karena itu, tak lama kemudian Abu Nawas terkenal sebagai seseorang sastrawan cemerlang. Abu Nawas dengan cepat menjadi terkenal karena puisinya yang jenaka dan lucu, tidak berhubungan dengan tema-tema tradisional seperti tema padang pasir, tetapi berbicara tentang kehidupan kota dan menyanyikan kegembiraan meminum anggur serta cinta dari anak laki-laki muda dengan humor nakal. Puisi pujiannya yang berisi puji-pujian memungkinkannya untuk ikut mendukung Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan ia juga mengaitkan dirinya dengan keluarga wazir Barmak, yang saat itu berada di puncak kekuasaan mereka. Akhirnya, dia pun dipercaya sebagai orang kepercayaan oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid, pemimpin dinasti Abbasiyah yang kelima.[5]

Pertaubatan

Meski Abu Nawas pernah mendapat pendidikan agama, Abu Nawas di semasa mudanya adalah seseorang yang menyukai kehidupan hura-hura dan berpesta pora. Dia adalah seorang pemabuk berat. Hal ini dapat diketahui melalui beberapa tema-tema puisi yang dia ciptakan di saat masa mudanya dulu. Syair-syairnya masa itu lebih banyak bercerita tentang minuman, wanita, dan cinta. Meski seorang pemabuk, kepiawaiannya dalam mencipta syair ketika itu nyaris tak tertandingi. Terbukti, walaupun dalam keadaan mabuk, ia tetap mampu menelurkan mutiara-mutiara kata yang indah. Hingga pada suatu saat, ketika Abu Nawas membacakan puisi tentang Kafilah Bani Mudhar, dia dihukum karena membuat Khalifah murka karena isi puisi itu sangat menyinggung sang Khalifah. Abu Nawas pun dipenjara karenanya.[6]

Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Syair-syairnya tentang tobat bisa dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi.[7]

Kematian

Perihal tahun kewafatannya, banyak pihak yang berbeda pendapat. Informasi yang berkaitan dengan kematiannya tidak pasti dan saling bertentangan. Ada yang mengatakan bahwa tahun meninggalnya Abu Nawas terjadi pada tahun 806 M. Di sisi lain, ada yang mengatakan ia meninggal pada tahun 813 M. Ada juga yang mengatakan bahwa Abu Nawas sebenarnya meninggal pada tahun 814 M, selisih satu tahun dengan versi sebelumnya. Dia dimakamkan di kota Bagdad, Irak.[4]

Abu Nawas dianggap sebagai salah satu sastrawan yang terbesar dalam literatur Arab klasik. Dia mempengaruhi banyak sastrawan generasi kemudian, termasuk Omar Khayam, dan Hafiz yang di mana keduanya adalah penyair dari Persia. Di antara puisi-puisinya yang paling terkenal adalah beberapa yang mengejek tema konvensional, yaitu nostalgia untuk kehidupan orang-orang Badui, dan dengan antusias memuji kehidupan yang diperbarui di Bagdad sebagai perbedaan yang kontras. Dia adalah salah satu dari beberapa orang yang kepadanya penemuan bentuk sastra mu'ammā (secara harfiah 'dibutakan' atau 'digelapkan').[8]

Puisi-puisinya sempurna secara tata bahasa, dan didasarkan pada tradisi Arab. Dia terkenal dengan kepengarangan tardiyyah (puisi mengambil adegan berburu sebagai subjeknya), yang dengan itu, dia mencapai peringkat genre dalam dirinya sendiri. Tema perburuan sudah ditemukan di puisi pra-Islam dan di Mu'allaqa Imrou'l Qays, yang mengabdikan tujuh ayat untuk deskripsi perburuan rusa. Hal yang sama berlaku untuk peran mendasar dalam pengembangan puisi yang bertemakan pesta pora dan bermabukan sebagai genre sendiri. Tema ini juga hadir dalam puisi kuno, seperti yang ditunjukkan pada baris pembukaan lain Mu'allaqat.

Akhirnya, Abu Nawas suka membuat skandal masyarakat dengan secara terbuka menulis hal-hal yang dilarang oleh Islam. Tema dari puisi tersebut umumnya adalah tentang kehidupan kota. Tema utamanya adalah cinta, anggur, anak laki-laki dan perburuan, kebebasan, tetapi juga kecemasan akan kematian dan penuaan. Pikiran kritisnya berubah terutama terhadap institusi keagamaan.[9]

Karya Abu Nawas adalah bagian dari gerakan pembaruan puisi Arab, yang dimulai pada masa Bani Umayyah (661-750) dan jatuh tempo di bawah kekhalifahan Abbasiyah pertama. Ia dianggap sebagai seniman penting gerakan ini, yang menganggap puisi sebagai ekspresi bebas dan langsung dan bukan sebagai pengulangan pola bahasa klasik dan blok bahasa.[10]

Bakra atau Khamriya adalah seni puitis Arab yang menjadi salah satu tema yang paling banyak dikembangkan, dan diperluas dari bagian dalam semenanjung Arab hingga ke Al-Andalus. Abu Nawas adalah salah satu penyair Persia-Arab yang paling sering menggunakan tema ini dalam karya-karyanya. Dalam puisi subgenre ini, penulis membangun teks melalui metafora dan melalui kepribadian dan harmoni yang besar melalui kosakata yang rumit, tentang pandangan akan minuman, bar dan biara, Kristen dan Yahudi, wanita cantik yang dikurung di mana ayahnya akan melepaskannya jika dalam kelimpahan harta, kehidupan pengadilan dengan kemewahan, kehancuran pemukiman, parfum dan agama.[11]

Cinta

Beberapa puisi-puisi Abu Nawas juga mengandung banyak seks, erotisme, kekuatan dan pengendalian diri. Membaca puisinya, orang mendapat kesan menghadiri pesta seks di sebuah bar di padang pasir, dengan minuman yang penuh dengan madu, makanan lezat dan gelas-gelas penuh anggur. Saat membaca puisinya, orang dapat membayangkan bayangan budak yang lemah dan orang-orang terkasih yang patuh, dikelilingi oleh sesama pengunjung dan mengundang orang-orang yang bersikap sembrana.[12]

Agama

Selain bertemakan kehidupan dunia yang bersifat hedonisme, Abu Nawas juga menciptakan puisi-puisi yang bertemakan agama Islam. Seperti bertema tentang pertaubatan dan masa penantian di hari tua. Secara umum, puisi dan syair yang ditulisnya terdiri dari beberapa tema. Ada yang bertema pujian, satir, zuhud, bahaya minum khamar, cinta, serta lelucon. Khusus untuk puisi yang bertemakan agama, Abu Nawas membuatnya selepas ia keluar dari penjara, yang disebabkan ia membuat puisi yang menyinggung Khalifah, yang berjudul Kafilah Bani Mudhar. Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa.[13]

Puisi-puisinya ada yang diterbitkan di Wina, Austria (pada tahun 1885). Kemudian di Greifswald (pada tahun 1861). Lalu cetakan litrografi di Kairo, Mesir (pada tahun 1277 H/1860 M) dan Beirut, Lebanon (pada tahun 1301 H/1884 M). Serta Bombay, India (pada tahun 1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, dan Mosul. Pada tahun 1855, kumpulan puisinya diedit oleh A Von Kremer dengan judul Diwans des Abu Nowas des Grosten Lyrischen Dichters der Araber.[14]

Kepada siapa katanya, Apakah Anda ingin pergi ke Mekah?

Saya menjawab: ya, Jika itu dengan sukacita

dari Bagdad akan berakhir.

Bagaimana saya bisa berhaji?

selama saya kebanjiran di sini

karena mak comblang atau tuan rumah?[15]

(Diterjemahkan dari Wikipedia bahasa Jerman)

Apakah kamu mencintaiku?

Ketika saya melihat wanita muda yang cantik itu

Dia tertawa dengan gigi yang indah.

Kami berdua akhirnya

Sendirian bersama Tuhan,

Dia meletakkan tangannya di tanganku

Dan membuat saya semua bicara.

Lalu dia berkata, "Apakah kamu mencintaiku?"

"Ya, melebihi cinta."

"Jadi," katanya, "kamu mau aku?"

"Segala yang kamu inginkan di dalam dirimu!"

"Jadi, takutlah pada Tuhan, lupakan aku!"

"Jika hatiku siap untuk menaatiku."[16]

(Diterjemahkan dari Wikipedia bahasa Esperanto)

Ampunan

Tuhan …

Jika dosaku

Semakin membesar

Sungguh aku tahu

Ampunan-Mu

Jauh lebih besar.

Jika hanya

orang-orang baik

yang berseru kepada-Mu

lantas kepada siapa

seorang pendosa harus mengadu?[17]

Dia adalah salah satu dari berbagai orang yang dipercaya sebagai penemu bentuk sastra dari mu‘ammā. Sebuah teka-teki yang dipecahkan dengan menggabungkan huruf-huruf penyusun kata atau nama yang bisa ditemukan.[18]

Karya-karya Abu Nawas bebas beredar hingga tahun-tahun awal abad kedua puluh. Pada tahun 1932 edisi modern pertama yang disensor dari karya-karyanya muncul di kota Kairo. Pada Januari 2001, Kementerian Kebudayaan Mesir memerintahkan pembakaran sekitar 6.000 buku puisi homo erotik karya Abu Nuwas.[19][20]

Pada tahun 1976, sebuah kawah di planet Merkurius dinamai untuk menghormati Abu Nuwas.[21]

Penggambaran fiksi terhadap Abu Nawas sebagai karakter protagonis dapat ditemui di novel "The Father of Locks" dan "The Khalifah's Mirror" oleh Andrew Killeen, di mana ia digambarkan sebagai mata-mata yang bekerja untuk Ja'far al-Barmaki.[22]

Dalam novel Sudan Season of Migration to the North (1966) oleh Tayeb Salih, puisi cinta Abu Nuwas dikutip secara luas oleh salah satu karakter protagonis novel itu, Mustafa Sa'eed, sebagai sarana merayu seorang wanita Inggris muda di London.[23]

Bagdad

Al-Khatib al-Baghdadi penulis The History of Baghdad, menulis bahwa Abu Nawas dimakamkan di pemakaman Syunizi di Baghdad.[24]

Di kota Bagdad, ada beberapa tempat yang dinamai penyair. Ada sebuah jalan yang di beri nama Abu Nawas. Jalan Abu Nawas membentang di sepanjang tepi timur Tigris yang dulunya dikenal sebagai daerah yang menunjukkan barang pameran kota.[25][26]

Seniman Tanzania, Godfrey Mwampembwa, menciptakan sebuah buku komik Swahili bernama Abunuwasi, yang diterbitkan pada tahun 1996. Komik ini menampilkan tokoh penipu bernama Abunuwasi sebagai protagonis dalam tiga cerita yang mengambil inspirasi dari cerita rakyat Afrika Timur serta fiksi Abu Nuwas dari Seribu Satu Malam.[27][28]

Budaya Indonesia

Tokoh Abu Nawas di Indonesia sering kali disalahpahami dengan tokoh sufi satirikal yang bernama Nasruddin. Kedua tokoh tersebut nyatanya adalah orang yang berbeda dan hidup di masa yang berbeda. Abu Nawas hidup di kota Bagdad pada abad ke-8 Masehi di masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah Al-Amin. Pada masanya, Abu Nawas lebih terkenal dengan karya sastra puisinya daripada kehidupan sufi dan humornya. Sedangkan Nasruddin Hoja hidup di Turki pada abad ke-13 Masehi di masa Kesultanan Seljuk Rum. Tokoh yang satu ini lebih terkenal dari sisi humornya dan dia bukan seorang sastrawan seperti Abu Nawas. Mungkin salah satu hal yang membuat mereka berdua sering disalahkaprahkan adalah karena memiliki banyak persamaan. Baik Abu Nawas maupun Nasruddin, mereka sama-sama seorang sufi yang humoris, dan mereka juga berdua dekat dengan penguasa yang hidup di zamannya [1].[29]

  1. ^ Esat Ayyıldız. "Ebû Nuvâs’ın Şarap (Hamriyyât) Şiirleri". Bozok Üniversitesi İlahiyat Fakültesi Dergisi 18 / 18 (2020): 147-173.
  2. ^ "Ibn Khallikān". Encyclopaedia of Islam, THREE. Diakses tanggal 2020-04-07. 
  3. ^ Neubauer, Eckhard (2001). "Ibn al-Nadīm". Oxford Music Online. Oxford University Press. 
  4. ^ a b "Tokoh Sufi: Abu Nawas, Penyair Ulung Nan Jenaka". Republika Online. 2011-08-03. Diakses tanggal 2020-04-07. 
  5. ^ Hakim, Abdul. "Abu Nawas, Penyair Juga Orang Tercerdik di Dunia – Universitas Abulyatama" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-04-07. 
  6. ^ "Ini Kisah Abu Nawas yang Menyinggung Penyakit Kepribadian Anda". Tribun Timur. Diakses tanggal 2020-04-07. 
  7. ^ "Sekelumit tentang Sosok Abu Nawas yang Perlu Dikenal". SUFIZ.COM (dalam bahasa Inggris). 2018-05-12. Diakses tanggal 2020-01-13. 
  8. ^ Meisami, Julie Scott; Starkey, Paul, ed. (2003-09-01). Encyclopedia of Arabic Literature. Routledge. ISBN 978-0-203-02042-5. 
  9. ^ Il s'agit des vers 63 à 69 ; cf.Les Suspendues (Al-Mu'allaqât), trad. et prés. Heidi TOELLE, éd. Flammarion, coll. GF, Paris, 2009, p. 67-97
  10. ^ Chebel, 2005, p. 21.
  11. ^ Gil, 2009, p. 266.
  12. ^ Chebel, 2005, p. 23.
  13. ^ "Humor Cerdas: Abu Nawas, Nasrudin Hoja, dan Syekh Bahlul". Republika Online. 2019-09-11. Diakses tanggal 2020-04-07. 
  14. ^ "Abu Nawas Legenda Humor Penyair Islam". Republika Online. 2009-03-01. Diakses tanggal 2020-01-12. 
  15. ^ "Abu Nuwas". Wikipedia (dalam bahasa Jerman). 2019-10-15. 
  16. ^ "Abu Nuŭas". Vikipedio (dalam bahasa Esperanto). 2019-11-02. 
  17. ^ https://www.sufiz.com/jejak-sufi/sekelumit-tentang-sosok-abu-nawas-yang-perlu-dikenal.html
  18. ^ G. J. H. van Gelder, "mu‘ammā", in Encyclopedia of Arabic Literature, ed. by Julie Scott Meisami and Paul Starkey, 2 vols (London: Routledge, 1998), II 534.
  19. ^ Al-Hayat, January 13, 2001
  20. ^ Middle East Report, 219 Summer 2001
  21. ^ Abu Nuwas (kawah)
  22. ^ "The Father of Locks by Andrew Killeen : Our Books :: Dedalus Books, Publishers of Literary Fiction". Dedalusbooks.com. Diakses tanggal 2014-06-20. 
  23. ^ al-Ṭayyib., Ṣāliḥ; الطيب., صالح، (2009). Season of migration to the north. Johnson-Davies, Denys., Lalami, Laila, 1968- (edisi ke-[Rev. ed.]). New York. hlm. 119–120. ISBN 9781590173022. OCLC 236338842. 
  24. ^ Khallikān, Ibn (1842). Ibn Khallikan's biographical dictionary - Google Books. Diakses tanggal 2010-09-12. 
  25. ^ Abū Nuwās Street di Encyclopædia Britannica
  26. ^ "DVIDS - News - A Walk in the Park". Dvidshub.net. Diakses tanggal 2010-09-12. 
  27. ^ name="Pilcher">Pilcher, Tim and Brad Brooks. (Foreword: Dave Gibbons). The Essential Guide to World Comics. Collins and Brown. 2005. 297.
  28. ^ Gado (Author) (1996). Abunuwasi (Swahili Edition) (9789966960900): Gado: Books. ISBN 9966960902. 
  29. ^ "Nasruddin". Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2019-06-14. 

  • Perbedaan antara Nasrudin dan Abu Nawas.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Abu_Nawas&oldid=18600241"