Penyebaran agama islam di wilayah Kalimantan dapat diamati dari Hikayat Banjar milik kerajaan

Penyebaran agama islam di wilayah Kalimantan dapat diamati dari Hikayat Banjar milik kerajaan

Penyebaran agama islam di wilayah Kalimantan dapat diamati dari Hikayat Banjar milik kerajaan
Lihat Foto

Google Images

Peta Kalimantan

KOMPAS.com - Masuknya Islam di Kalimantan berasal dari dua sumber yaitu, Malaka (dari Barat) dan Jawa (dari Selatan).

Proses Islamisasi di pulau Kalimantan secara efektif baru dimulai pada sekitar abad 15-16 Masehi. Berkembangnya Islam di Kalimantan turut menggeser eksistensi agama Hindu-Buddha dan berdampak pada munculnya kerajaan Islam di Kalimantan.

Berikut kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan:

Dalam buku Islamisasi dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia (2012) karya Daliman, kerajaan Sukadana berdiri pada sekitar awal abad 17 Masehi oleh Muhammad Safiudin.

Baca juga: Kerajaan Islam di Jawa

Kerajaan ini terletak di bagian Barat Daya pulau Kalimantan. Islamisasi kerajaan Sukadana dilakukan oleh ulama-ulama dari kerajaan Demak. Selain dari Jawa, Islamisasi di kerajaan ini juga dilakukan oleh pedagang-pedagang Islam dari luar negeri.

Kerajaan Sukadana bercorak ekonomi maritim dan pertambangan. Kerajaan ini terkenal dengan hasil tambang emas, perak dan intan.

Masyarakat kerajan Sukadana telah mampu mengolah logam mulia dan batu mulia menjadi perhiasan-perhiasan dengan nilai jual yang tinggi. Ibu Kota kerajaan Sukadana memiliki reputasi sebagai pusat kerajinan intan terbaik di kawasan laut Nusantara.

  • Penyebaran agama islam di wilayah Kalimantan dapat diamati dari Hikayat Banjar milik kerajaan

    Penyebaran agama islam di wilayah Kalimantan dapat diamati dari Hikayat Banjar milik kerajaan
    Lihat Foto

    kemdikbud.go.id

    Kerajaan Banjar

    Kerajaan Banjar

Kerajaan Banjar telah berdiri sebelum Islam masuk di Indonesia. Dalam buku Islam di Indonesia (1974) karya Harry J Benda, disebutkan bahwa kerajaan ini dulunya merupakan kerajaan Hindu yang berada di bawah kekuasaan Majapahit.

Baca juga: Masuknya Islam dan Jaringan Perdagangan di Indonesia

Pasca keruntuhan Majapahit, Banjar menjalin perjanjian dengan kerajaan Demak untuk menaklukan kerajaan Negara Dana. Sebagai balasannya, Kerajaan Demak meminta Raden Samudra untuk memeluk Islam dan Kerajaan Banjar menjadi daerah vassal (bawahan) dari Demak.

Pada masa Sultan Tahmidillah, terdapat seorang ulama besar dalam masyarakat Islam Banjar. Ia mampu menyiarkan agama Islam hingga pedalaman Kalimantan.

Kerajaan Banjar terletak di pesisir Kalimantan Selatan. Ibu Kota dari kerajaan Banjar adalah Banjarmasin. Kota ini terletak di muara Sungai Barito, sehingga memungkinkan kapal-kapal besar untuk berlabuh atau transit di sana.

Kerajaan ini memiliki corak ekonomi perdagangan maritim dan pertambangan. Komoditas utama dari kerajaan Banjar adalah intan, emas dan perak.

Baca juga: Kerajaan Islam di Sumatera

Letak kerajaan Banjar yang strategis menjadi keuntungan bagi sektor perekonomian mereka. Kerajaan Banjar memiliki pelabuhan internasional yang dijadikan sebagai tempat transit kapal-kapal dagang dari Asia Timur dan Asia Selatan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Ada banyak teo ri tentang kapan Islam masuk di Kalimantan.

m.wikitravel.org

Pulau Kalimantan akan menjadi prioritas pemerintah dalam menerapkan kebijakan satu peta (one map policy).

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Islam mengakar kuat di Pulau Kalimantan, seiring dengan perkembangan Islam di bumi Nusantara. Ada banyak teo ri tentang kapan Islam masuk di Kalimantan. Marzuki dalam Tarikh dan Kebudayaan Islam menjelaskan, di Pulau Kali mantan Islam masuk melalui pintu timur. Kalimantan Timur pertama kali diislamkan oleh Datuk Ri Bandang dan Tunggang Parangan.

Kedua mubalig ini datang ke Kutai (Kalimantan Timur) setelah orang-orang Makassar masuk Islam. Proses Islamisasi di sini dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi sekitar 1575 M. Teori lain menya takan, Islamisasi Kalimantan mungkin berlangsung atau dimulai dari Kerajaan Bru nei. Pada masa itu, Brunei merupakan pelabuhan dagang yang paling terkenal di Kalimantan.

Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional III, di seluruh Kalimantan terdapat kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam, baik yang besar maupun yang kecil. Berikut ini tiga kerajaan Islam yang pernah eksis di Kalimantan.

Kerajaan Banjar

Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu, yaitu Nagara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai kini.

Raden Samudra dinobatkan sebagai raja Banjar oleh Patih Masiri, Muhur, Balit, dan Kuwin. Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudra minta bantuan Demak sehingga mendapat kemenangan.

Sejak itulah penguasa Kerajaan Samudra menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan Suryanullah. Islamisasi di daerah ini terjadi sekitar 1550 M. Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah Kerajaan Banjar meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan.

Kerajaan Kutai

Kerajaan Kutai terletak di tepi Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, yaitu di sekitar pertemuan Sungai Mahakam dengan anak sungainya. Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Dulunya kerajaan ini bercorak Hindu.

Karena letak kerajaan yang strategis, yakni berada di jalur perdagangan antara Cina dan India sehingga menunjang ekonomi kerajaan dan menjadi pintu masuknya bagi agama Islam.

Kedatangan Islam di Kalimantan Timur dapat diketahui dari Hikayat Kutai, yang menyatakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Mahkota, datang dua orang mubalig yang bernama Tuan ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan. Mereka datang di daerah Kutai setelah mengislamkan masyarakat Sulawesi Selatan.

Peristiwa ini terjadi pada akhir abad ke-16. Pada abad ke-17, aga ma Islam mulai diterima dengan baik oleh Ke rajaan Kutai Kertanegara dan rakyat-rakyatnya.

Kerajaan Pontianak

Kesultanan Pontianak didirikan pada akhir abad ke-18 M, sekaligus merupakan kesultanan termuda yang lahir di wilayah Kalimantan Barat. Sebelumnya, telah banyak terdapat kesultanan atau kerajaan lainnya yang telah lebih dulu berdiri di wilayah ini. Seperti Kerajaan Landak (1472M), Matan (16M), Mempawah (16M), Sambas (17M), dan lainnya.

Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Ra ya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Ka dariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Da lam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Ia me merintah dari tahun 1771-1808.

Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Pontianak terus mengalami kemajuan hingga menjadi kekuatan baru di wi la yah Kalimantan Barat dalam aktvitas perda gang an nya. Hal ini karena posisi kerajaan yang strate gis sehingga banyak pedagang asing yang singgah.

  • kerajaan islam di kalimantan
  • islam di kalimantan
  • islam di indonesia

Penyebaran agama islam di wilayah Kalimantan dapat diamati dari Hikayat Banjar milik kerajaan

sumber : Mozaik Republika

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...

Hikayat Banjar, nama umum yang dipakai kepada menyebut kelompok berbagai naskah-naskah tambo/babad sejarah Kesultanan Banjarmasin dan Kerajaan Kotawaringin, Indonesia. Naskah-naskah ini yang selanjutnya dikata Hikayat Banjar terdiri atas Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II. Hikayat Banjar resensi I diambil Kisah Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin serta naskah yang serupa yang yang lain, sedangkan Hikayat Banjar resensi II diambil dari Sejarah Lambung Mangkurat, Tutur Candi, dll.

Hikayat Banjar mengandungi sejarah raja-raja Banjar di Kalimantan Selatan dan raja-raja Kotawaringin di Kalimantan Tengah. Sesudah dikelompokkan maka diketahui naskah-naskah tersebut secara garis luhur terdiri dua golongan menurut alur kisahnya yang persangkaan berbeda satu sama lain, yang dikata Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II.

Hikayat Banjar resensi I pada anggota yang belakang sekali teks bertarikh dari 1663 atau sesudahnya; anggota permulaannya yaitu bertambah lama. Teks ini sepanjang 4,787 baris (120 halaman). Edisi teks bersama penjelasan lanjut dari segi konteks sejarah budaya dan kesusteraan diterbitkan oleh pandai filologi Belanda Hans Ras pada 1968.[1] Anggota yang belakang sekali Hikayat Banjar menceritakan kemelut politik di Kesultanan Banjar yaitu perebutan kekuasaan selang Pangeran Ratu, Ratu Bagus dan Pangeran Suria Nata II yang terjadi pada tahun 1663.

Dalam Hikayat Banjar, sering digunakan manira kepada kata ganti orang pertama dan pakanira (pakenira) kepada kata ganti orang kedua yang merupakan Bahasa Bagongan yang digunakan di Kesultanan Banten. Beberapa kosakata di dalam keraton Banjar yang digunakan dalam Hikayat Banjar mengacu pada istilah yang digunakan di keraton Banten, misalnya kata Siti Luhur (bahasa Jawa: Siti Hinggil), kamitan (kemitan), wawangkon, paseban dan sbgnya. Istilah Siti Luhur hanya digunakan di keraton Banjar dan keraton Banten, sedangkan di keraton Cirebon serta keraton Jawa yang lain digunakan istilah Siti Hinggil.

Daftar pokok

  • 1 Bangun
  • 2 Versi berbeda
  • 3 Pranala luar
  • 4 Catatan kaki

Bangun

Secara bangun Hikayat Banjar bisa dibagi dalam sembilan anggota. Kisah pertama mengisahkan asal Kerajaan Hindu di Tenggara pulau Kalimantan (sekarang provinsi Kalimantan Selatan). Fungsi kisah ini yaitu jelas kepada memberikan model bagi organisasi politik kerajaan dan menetapkan pedoman bagi istiadat istana dan kesusilaan. Ini disertai dengan delapan anggota mengisahkan secara terus-menerus mengenai:

  • raja dan permaisuri pertama dinasti (Kerajaan Negara Dipa), disertai dengan anggota susur galur (kraton I)
  • raja pertama Negara Daha, disertai anggota susur galur (kraton II)
  • raja pertama Banjarmasin, disertai anggota susur galur (kraton III)
  • raja pertama Martapura, disertai anggota susur galur (kraton IV)

Versi berbeda

Teks Hikayat Banjar telah ditulis dan disalin beberapa kali. Daripada beberapa anggota yang dikekalkan; versi "Resensi II" diambil dari versi bertambah lama yang bermula dari tradisi lisan [yang merupakan naskah bercorak dunia pewayangan yang sering dikata Tutur Candi], sementara versi lain di Leiden University Library MS. Or. 1701, mewakili versi bertambah tua.

Pranala luar

Catatan kaki


edunitas.com


Page 2

Hikayat Banjar, nama umum yang dipakai kepada menyebut kumpulan bermacam naskah-naskah tambo/babad sejarah Kesultanan Banjarmasin dan Kerajaan Kotawaringin, Indonesia. Naskah-naskah ini yang kesudahan dinamakan Hikayat Banjar terdiri dari Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II. Hikayat Banjar resensi I diambil Kisah Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin serta naskah yang serupa lainnyanya, sedangkan Hikayat Banjar resensi II diambil dari Sejarah Lambung Mangkurat, Tutur Candi, dll.

Hikayat Banjar mengandungi sejarah raja-raja Banjar di Kalimantan Selatan dan raja-raja Kotawaringin di Kalimantan Tengah. Sesudah dikelompokkan maka dikenali naskah-naskah tersebut secara garis akbar terdiri dua golongan menurut alur kisahnya yang lebih kurang beda satu sama lain, yang dinamakan Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II.

Hikayat Banjar resensi I pada anggota penghabisan teks bertarikh dari 1663 atau sesudahnya; anggota awalnya adalah semakin lama. Teks ini sepanjang 4,787 baris (120 halaman). Edisi teks bersama penjelasan lanjut dari sisi konteks sejarah budaya dan kesusteraan diterbitkan oleh berbakat filologi Belanda Hans Ras pada 1968.[1] Anggota penghabisan Hikayat Banjar menceritakan kemelut politik di Kesultanan Banjar yaitu perebutan kekuasaan selang Pangeran Ratu, Ratu Bagus dan Pangeran Suria Nata II yang terjadi pada tahun 1663.

Dalam Hikayat Banjar, sering digunakan manira kepada kata ganti orang pertama dan pakanira (pakenira) kepada kata ganti orang kedua yang merupakan Bahasa Bagongan yang digunakan di Kesultanan Banten. Sebagian kosakata di dalam keraton Banjar yang digunakan dalam Hikayat Banjar mengacu pada istilah yang digunakan di keraton Banten, misalnya kata Siti Luhur (bahasa Jawa: Siti Hinggil), kamitan (kemitan), wawangkon, paseban dan baginya. Istilah Siti Luhur hanya digunakan di keraton Banjar dan keraton Banten, sedangkan di keraton Cirebon serta keraton Jawa lainnya digunakan istilah Siti Hinggil.

Daftar konten

  • 1 Susunan
  • 2 Versi beda
  • 3 Pranala luar
  • 4 Catatan kaki

Susunan

Secara susunan Hikayat Banjar dapat dibagi dalam sembilan anggota. Kisah pertama mengisahkan asal Kerajaan Hindu di Tenggara pulau Kalimantan (sekarang provinsi Kalimantan Selatan). Fungsi kisah ini adalah jelas kepada memberikan model bagi organisasi politik kerajaan dan menetapkan pedoman bagi istiadat istana dan kesusilaan. Ini diiringi dengan delapan anggota mengisahkan secara berulang-ulang mengenai:

  • raja dan permaisuri pertama dinasti (Kerajaan Negara Dipa), diiringi dengan anggota susur galur (kraton I)
  • raja pertama Negara Daha, diiringi anggota susur galur (kraton II)
  • raja pertama Banjarmasin, diiringi anggota susur galur (kraton III)
  • raja pertama Martapura, diiringi anggota susur galur (kraton IV)

Versi beda

Teks Hikayat Banjar telah ditulis dan disalin sebagian kali. Daripada sebagian anggota yang dikekalkan; versi "Resensi II" diambil dari versi semakin lama yang bermula dari tradisi lisan [yang merupakan naskah bercorak dunia pewayangan yang sering dinamakan Tutur Candi], sementara versi lain di Leiden University Library MS. Or. 1701, mewakili versi semakin tua.

Pranala luar

Catatan kaki


edunitas.com


Page 3

Hikayat Banjar, nama umum yang dipakai kepada menyebut kumpulan bermacam naskah-naskah tambo/babad sejarah Kesultanan Banjarmasin dan Kerajaan Kotawaringin, Indonesia. Naskah-naskah ini yang kesudahan dinamakan Hikayat Banjar terdiri dari Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II. Hikayat Banjar resensi I diambil Kisah Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin serta naskah yang serupa lainnyanya, sedangkan Hikayat Banjar resensi II diambil dari Sejarah Lambung Mangkurat, Tutur Candi, dll.

Hikayat Banjar mengandungi sejarah raja-raja Banjar di Kalimantan Selatan dan raja-raja Kotawaringin di Kalimantan Tengah. Sesudah dikelompokkan maka dikenali naskah-naskah tersebut secara garis akbar terdiri dua golongan menurut alur kisahnya yang lebih kurang beda satu sama lain, yang dinamakan Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II.

Hikayat Banjar resensi I pada anggota penghabisan teks bertarikh dari 1663 atau sesudahnya; anggota awalnya adalah semakin lama. Teks ini sepanjang 4,787 baris (120 halaman). Edisi teks bersama penjelasan lanjut dari sisi konteks sejarah budaya dan kesusteraan diterbitkan oleh berbakat filologi Belanda Hans Ras pada 1968.[1] Anggota penghabisan Hikayat Banjar menceritakan kemelut politik di Kesultanan Banjar yaitu perebutan kekuasaan selang Pangeran Ratu, Ratu Bagus dan Pangeran Suria Nata II yang terjadi pada tahun 1663.

Dalam Hikayat Banjar, sering digunakan manira kepada kata ganti orang pertama dan pakanira (pakenira) kepada kata ganti orang kedua yang merupakan Bahasa Bagongan yang digunakan di Kesultanan Banten. Sebagian kosakata di dalam keraton Banjar yang digunakan dalam Hikayat Banjar mengacu pada istilah yang digunakan di keraton Banten, misalnya kata Siti Luhur (bahasa Jawa: Siti Hinggil), kamitan (kemitan), wawangkon, paseban dan baginya. Istilah Siti Luhur hanya digunakan di keraton Banjar dan keraton Banten, sedangkan di keraton Cirebon serta keraton Jawa lainnya digunakan istilah Siti Hinggil.

Daftar konten

  • 1 Susunan
  • 2 Versi beda
  • 3 Pranala luar
  • 4 Catatan kaki

Susunan

Secara susunan Hikayat Banjar dapat dibagi dalam sembilan anggota. Kisah pertama mengisahkan asal Kerajaan Hindu di Tenggara pulau Kalimantan (sekarang provinsi Kalimantan Selatan). Fungsi kisah ini adalah jelas kepada memberikan model bagi organisasi politik kerajaan dan menetapkan pedoman bagi istiadat istana dan kesusilaan. Ini diiringi dengan delapan anggota mengisahkan secara berulang-ulang mengenai:

  • raja dan permaisuri pertama dinasti (Kerajaan Negara Dipa), diiringi dengan anggota susur galur (kraton I)
  • raja pertama Negara Daha, diiringi anggota susur galur (kraton II)
  • raja pertama Banjarmasin, diiringi anggota susur galur (kraton III)
  • raja pertama Martapura, diiringi anggota susur galur (kraton IV)

Versi beda

Teks Hikayat Banjar telah ditulis dan disalin sebagian kali. Daripada sebagian anggota yang dikekalkan; versi "Resensi II" diambil dari versi semakin lama yang bermula dari tradisi lisan [yang merupakan naskah bercorak dunia pewayangan yang sering dinamakan Tutur Candi], sementara versi lain di Leiden University Library MS. Or. 1701, mewakili versi semakin tua.

Pranala luar

Catatan kaki


edunitas.com


Page 4

Hikayat Banjar, nama umum yang dipakai kepada menyebut kumpulan bermacam naskah-naskah tambo/babad sejarah Kesultanan Banjarmasin dan Kerajaan Kotawaringin, Indonesia. Naskah-naskah ini yang kesudahan dinamakan Hikayat Banjar terdiri dari Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II. Hikayat Banjar resensi I diambil Kisah Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin serta naskah yang serupa lainnyanya, sedangkan Hikayat Banjar resensi II diambil dari Sejarah Lambung Mangkurat, Tutur Candi, dll.

Hikayat Banjar mengandungi sejarah raja-raja Banjar di Kalimantan Selatan dan raja-raja Kotawaringin di Kalimantan Tengah. Sesudah dikelompokkan maka dikenali naskah-naskah tersebut secara garis akbar terdiri dua golongan menurut alur kisahnya yang lebih kurang beda satu sama lain, yang dinamakan Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II.

Hikayat Banjar resensi I pada anggota penghabisan teks bertarikh dari 1663 atau sesudahnya; anggota awalnya adalah semakin lama. Teks ini sepanjang 4,787 baris (120 halaman). Edisi teks bersama penjelasan lanjut dari sisi konteks sejarah budaya dan kesusteraan diterbitkan oleh berbakat filologi Belanda Hans Ras pada 1968.[1] Anggota penghabisan Hikayat Banjar menceritakan kemelut politik di Kesultanan Banjar yaitu perebutan kekuasaan selang Pangeran Ratu, Ratu Bagus dan Pangeran Suria Nata II yang terjadi pada tahun 1663.

Dalam Hikayat Banjar, sering digunakan manira kepada kata ganti orang pertama dan pakanira (pakenira) kepada kata ganti orang kedua yang merupakan Bahasa Bagongan yang digunakan di Kesultanan Banten. Sebagian kosakata di dalam keraton Banjar yang digunakan dalam Hikayat Banjar mengacu pada istilah yang digunakan di keraton Banten, misalnya kata Siti Luhur (bahasa Jawa: Siti Hinggil), kamitan (kemitan), wawangkon, paseban dan baginya. Istilah Siti Luhur hanya digunakan di keraton Banjar dan keraton Banten, sedangkan di keraton Cirebon serta keraton Jawa lainnya digunakan istilah Siti Hinggil.

Daftar konten

  • 1 Susunan
  • 2 Versi beda
  • 3 Pranala luar
  • 4 Catatan kaki

Susunan

Secara susunan Hikayat Banjar dapat dibagi dalam sembilan anggota. Kisah pertama mengisahkan asal Kerajaan Hindu di Tenggara pulau Kalimantan (sekarang provinsi Kalimantan Selatan). Fungsi kisah ini adalah jelas kepada memberikan model bagi organisasi politik kerajaan dan menetapkan pedoman bagi istiadat istana dan kesusilaan. Ini diiringi dengan delapan anggota mengisahkan secara berulang-ulang mengenai:

  • raja dan permaisuri pertama dinasti (Kerajaan Negara Dipa), diiringi dengan anggota susur galur (kraton I)
  • raja pertama Negara Daha, diiringi anggota susur galur (kraton II)
  • raja pertama Banjarmasin, diiringi anggota susur galur (kraton III)
  • raja pertama Martapura, diiringi anggota susur galur (kraton IV)

Versi beda

Teks Hikayat Banjar telah ditulis dan disalin sebagian kali. Daripada sebagian anggota yang dikekalkan; versi "Resensi II" diambil dari versi semakin lama yang bermula dari tradisi lisan [yang merupakan naskah bercorak dunia pewayangan yang sering dinamakan Tutur Candi], sementara versi lain di Leiden University Library MS. Or. 1701, mewakili versi semakin tua.

Pranala luar

Catatan kaki


edunitas.com


Page 5

Hikayat Banjar, nama umum yang dipakai kepada menyebut kumpulan bermacam naskah-naskah tambo/babad sejarah Kesultanan Banjarmasin dan Kerajaan Kotawaringin, Indonesia. Naskah-naskah ini yang kesudahan dinamakan Hikayat Banjar terdiri dari Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II. Hikayat Banjar resensi I diambil Kisah Turunan Raja-raja Banjar dan Kotawaringin serta naskah yang serupa lainnyanya, sedangkan Hikayat Banjar resensi II diambil dari Sejarah Lambung Mangkurat, Tutur Candi, dll.

Hikayat Banjar mengandungi sejarah raja-raja Banjar di Kalimantan Selatan dan raja-raja Kotawaringin di Kalimantan Tengah. Sesudah dikelompokkan maka dikenali naskah-naskah tersebut secara garis akbar terdiri dua golongan menurut alur kisahnya yang lebih kurang beda satu sama lain, yang dinamakan Hikayat Banjar resensi I dan Hikayat Banjar resensi II.

Hikayat Banjar resensi I pada anggota penghabisan teks bertarikh dari 1663 atau sesudahnya; anggota awalnya adalah semakin lama. Teks ini sepanjang 4,787 baris (120 halaman). Edisi teks bersama penjelasan lanjut dari sisi konteks sejarah budaya dan kesusteraan diterbitkan oleh berbakat filologi Belanda Hans Ras pada 1968.[1] Anggota penghabisan Hikayat Banjar menceritakan kemelut politik di Kesultanan Banjar yaitu perebutan kekuasaan selang Pangeran Ratu, Ratu Bagus dan Pangeran Suria Nata II yang terjadi pada tahun 1663.

Dalam Hikayat Banjar, sering digunakan manira kepada kata ganti orang pertama dan pakanira (pakenira) kepada kata ganti orang kedua yang merupakan Bahasa Bagongan yang digunakan di Kesultanan Banten. Sebagian kosakata di dalam keraton Banjar yang digunakan dalam Hikayat Banjar mengacu pada istilah yang digunakan di keraton Banten, misalnya kata Siti Luhur (bahasa Jawa: Siti Hinggil), kamitan (kemitan), wawangkon, paseban dan baginya. Istilah Siti Luhur hanya digunakan di keraton Banjar dan keraton Banten, sedangkan di keraton Cirebon serta keraton Jawa lainnya digunakan istilah Siti Hinggil.

Daftar konten

  • 1 Susunan
  • 2 Versi beda
  • 3 Pranala luar
  • 4 Catatan kaki

Susunan

Secara susunan Hikayat Banjar dapat dibagi dalam sembilan anggota. Kisah pertama mengisahkan asal Kerajaan Hindu di Tenggara pulau Kalimantan (sekarang provinsi Kalimantan Selatan). Fungsi kisah ini adalah jelas kepada memberikan model bagi organisasi politik kerajaan dan menetapkan pedoman bagi istiadat istana dan kesusilaan. Ini diiringi dengan delapan anggota mengisahkan secara berulang-ulang mengenai:

  • raja dan permaisuri pertama dinasti (Kerajaan Negara Dipa), diiringi dengan anggota susur galur (kraton I)
  • raja pertama Negara Daha, diiringi anggota susur galur (kraton II)
  • raja pertama Banjarmasin, diiringi anggota susur galur (kraton III)
  • raja pertama Martapura, diiringi anggota susur galur (kraton IV)

Versi beda

Teks Hikayat Banjar telah ditulis dan disalin sebagian kali. Daripada sebagian anggota yang dikekalkan; versi "Resensi II" diambil dari versi semakin lama yang bermula dari tradisi lisan [yang merupakan naskah bercorak dunia pewayangan yang sering dinamakan Tutur Candi], sementara versi lain di Leiden University Library MS. Or. 1701, mewakili versi semakin tua.

Pranala luar

Catatan kaki


edunitas.com


Page 6

Hideki Tojo (東條 英機 Tōjō Hideki) (30 Desember 1884–23 Desember 1948) adalah jenderal Jepang dan PM ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Tojo ialah anggota klik tentara yang mendorong Jepang dalam perang di penghabisan 1930-an. Sebagai Menteri Perang pada 1940 ialah penolong dalam kepemimpinan Jepang dalam Blok Poros dengan Jerman Nazi dan Italia. Di selang keputusannya ialah izin persetujuan pemerintah dalam percobaan biologis terhadap para tawanan perang.

Mulai 1941, Tojo ialah PM dan menguasai seluruh militer Jepang, yang begitu mendominasi Jepang saat itu yang dia sesungguhnya ialah diktator bangsa. Dia digantikan pada 1944 menyusul serentetan kekalahan tentara Jepang. Sesudah perang, dia menembak dirinya sendiri di dada untuk bunuh diri namun gagal.


Dia kesudahan diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai penjahat perang. Dia dibicarakan bersalah atas tuduhan 1 (peperangan serangan, dan perang dalam pelanggaran terhadap hukum internasional), tuduhan 27 (mengadakan perang tak beralasan terhadap Tiongkok), tuduhan 29 (peperangan sifat menyerang melawan AS), tuduhan 31 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Persemakmuran Inggris), tuduhan 32 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Belanda), tuduhan 33 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Perancis (Indochina)), dan tuduhan 54 (memerintahkan, membenarkan, dan mengizinkan perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap penjahat perang dan lainnya). Dia divonis mati pada 12 November 1948, dan menerima hukuman gantung.

Karena tingkah laku kriminal di bawah otoritasnya, Tojo dianggap bertanggung jawab membunuh hampir 4 juta orang-orang Tionghoa.


edunitas.com


Page 7

Hideki Tojo (東條 英機 Tōjō Hideki) (30 Desember 1884–23 Desember 1948) adalah jenderal Jepang dan PM ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Tojo ialah anggota klik tentara yang mendorong Jepang dalam perang di penghabisan 1930-an. Sebagai Menteri Perang pada 1940 ialah penolong dalam kepemimpinan Jepang dalam Blok Poros dengan Jerman Nazi dan Italia. Di selang keputusannya ialah izin persetujuan pemerintah dalam percobaan biologis terhadap para tawanan perang.

Mulai 1941, Tojo ialah PM dan menguasai seluruh militer Jepang, yang begitu mendominasi Jepang saat itu yang dia sesungguhnya ialah diktator bangsa. Dia digantikan pada 1944 menyusul serentetan kekalahan tentara Jepang. Sesudah perang, dia menembak dirinya sendiri di dada untuk bunuh diri namun gagal.


Dia kesudahan diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai penjahat perang. Dia dibicarakan berbuat salah atas tuduhan 1 (peperangan serangan, dan perang dalam pelanggaran terhadap hukum internasional), tuduhan 27 (mengadakan perang tak beralasan terhadap Tiongkok), tuduhan 29 (peperangan sifat menyerang melawan AS), tuduhan 31 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Persemakmuran Inggris), tuduhan 32 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Belanda), tuduhan 33 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Perancis (Indochina)), dan tuduhan 54 (memerintahkan, membenarkan, dan mengizinkan perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap penjahat perang dan lainnya). Dia divonis mati pada 12 November 1948, dan menerima hukuman gantung.

Karena tingkah laku kriminal di bawah otoritasnya, Tojo dianggap bertanggung jawab membunuh hampir 4 juta orang-orang Tionghoa.


edunitas.com


Page 8

Hideki Tojo (東條 英機 Tōjō Hideki) (30 Desember 1884–23 Desember 1948) adalah jenderal Jepang dan PM ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Tojo ialah anggota klik tentara yang mendorong Jepang dalam perang di penghabisan 1930-an. Sebagai Menteri Perang pada 1940 ialah penolong dalam kepemimpinan Jepang dalam Blok Poros dengan Jerman Nazi dan Italia. Di selang keputusannya ialah izin persetujuan pemerintah dalam percobaan biologis terhadap para tawanan perang.

Mulai 1941, Tojo ialah PM dan menguasai seluruh militer Jepang, yang begitu mendominasi Jepang saat itu yang dia sesungguhnya ialah diktator bangsa. Dia digantikan pada 1944 menyusul serentetan kekalahan tentara Jepang. Sesudah perang, dia menembak dirinya sendiri di dada untuk bunuh diri namun gagal.


Dia kesudahan diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai penjahat perang. Dia dibicarakan berbuat salah atas tuduhan 1 (peperangan serangan, dan perang dalam pelanggaran terhadap hukum internasional), tuduhan 27 (mengadakan perang tak beralasan terhadap Tiongkok), tuduhan 29 (peperangan sifat menyerang melawan AS), tuduhan 31 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Persemakmuran Inggris), tuduhan 32 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Belanda), tuduhan 33 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Perancis (Indochina)), dan tuduhan 54 (memerintahkan, membenarkan, dan mengizinkan perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap penjahat perang dan lainnya). Dia divonis mati pada 12 November 1948, dan menerima hukuman gantung.

Karena tingkah laku kriminal di bawah otoritasnya, Tojo dianggap bertanggung jawab membunuh hampir 4 juta orang-orang Tionghoa.


edunitas.com


Page 9

Hideki Tojo (東條 英機 Tōjō Hideki) (30 Desember 1884–23 Desember 1948) adalah jenderal Jepang dan PM ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Tojo ialah anggota klik tentara yang mendorong Jepang dalam perang di penghabisan 1930-an. Sebagai Menteri Perang pada 1940 ialah penolong dalam kepemimpinan Jepang dalam Blok Poros dengan Jerman Nazi dan Italia. Di selang keputusannya ialah izin persetujuan pemerintah dalam percobaan biologis terhadap para tawanan perang.

Mulai 1941, Tojo ialah PM dan menguasai seluruh militer Jepang, yang begitu mendominasi Jepang saat itu yang dia sesungguhnya ialah diktator bangsa. Dia digantikan pada 1944 menyusul serentetan kekalahan tentara Jepang. Sesudah perang, dia menembak dirinya sendiri di dada untuk bunuh diri namun gagal.


Dia kesudahan diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai penjahat perang. Dia dibicarakan bersalah atas tuduhan 1 (peperangan serangan, dan perang dalam pelanggaran terhadap hukum internasional), tuduhan 27 (mengadakan perang tak beralasan terhadap Tiongkok), tuduhan 29 (peperangan sifat menyerang melawan AS), tuduhan 31 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Persemakmuran Inggris), tuduhan 32 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Belanda), tuduhan 33 (mengadakan perang sifat menyerang melawan Perancis (Indochina)), dan tuduhan 54 (memerintahkan, membenarkan, dan mengizinkan perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap penjahat perang dan lainnya). Dia divonis mati pada 12 November 1948, dan menerima hukuman gantung.

Karena tingkah laku kriminal di bawah otoritasnya, Tojo dianggap bertanggung jawab membunuh hampir 4 juta orang-orang Tionghoa.


edunitas.com


Page 10

Sultan Hidayatullah Halil illah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman, atau bertambah dikenal untuk Pangeran Hidayatullah atau Hidayatullah II (kelahiran di Martapura,1822 – meninggal di Cianjur, Jawa Barat, 24 November 1904 pada umur 82 tahun) adalah salah seorang pimpinan Perang Banjar dan berkat jasa-jasa kepada bangsa dan negara, pada tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama.

Daftar inti

  • 1 Riwayat
  • 2 Keturunan
  • 3 Referensi
  • 4 Rujukan
  • 5 Pranala luar

Riwayat

Dia dinaikkan langsung oleh Sultan Adam menjadi Sultan Banjar untuk meneruskan pemerintahan kesultanan Banjar menggantikan sang kakek (Sultan Adam). Hidayatullah menjadi satu-satunya pimpinan rakyat Banjar selang tahun 1859 hingga 1862[5] pasca Hindia Belanda memakzulkan kakak laki-laki tirinya Tamjidullah II untuk Sultan Banjar versi Belanda pada 25 Juni 1859. Walaupun menurut surat wasiat Sultan Adam beliau dipilihkan untuk Sultan Banjar penggantinya kelak, tetapi masih banyak rintangan yang menghalanginya, oleh Belanda beliau hanya mendapat jabatan mangkubumi sejak 9 Oktober 1856. Langkahnya untuk pengganti Sultan Adam melebihi buka pada pada Februari 1859, Nyai Ratu Komala Sari (permaisuri almarhum Sultan Adam) beserta puteri-puterinya, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa kesultanan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Sebelumnya Nyai Ratu Komala Sari sempat mengusulkan satu-satunya puteranya yang masih hidup yaitu Pangeran Prabu Anom untuk pengganti Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun daya dan pada bulan September 1859, Pangeran Hidayatullah II dinobatkan oleh para panglima untuk Sultan Banjar dan untuk mangkubumi adalah Pangeran Wira Kasuma, putera Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman dengan Nyai Alimah.

Ayah dia adalah Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah, sedangkan ibu dia adalah Ratu Siti binti Pangeran Mangkubumi Nata yang juga bangsawan keraton Banjar (golongan tutus/purih raja). Pangeran Hidayatullah mewarisi darah biru keraton Banjar (berdarah kasuma alias ningrat murni) dari kedua orangtuanya, karenanya menurut hukum budaya keraton untuk kandidat utama untuk Sultan Banjar dibandingkan Pangeran Tamjidullah II yang berasal dari isteri selir (Nyai) yang bukan tutus (bangsawan keraton Banjar). Kandidat yang lain (yang diusulkan permaisuri Sultan Adam) adalah Pangeran Prabu Anom putera almarhum Sultan Adam dengan Nyai Ratu Komalasari, pangeran ini diasingkan Belanda ke Jawa dengan surat yang ditandatangani oleh Sultan Tamjidullah II, sehari setelah pengangkatannya oleh Belanda menjadi Sultan Banjar. Peristiwa diasingkannya Pangeran Prabu Anom / paman Sultan Hidayatullah dan pengasingan Pangeran Tamjidillah menciptakan geram Sultan Hidayatullah dan bangsawan lainnya. Campur tangan Belanda dalam pengangkatan Sultan Banjar berkaitan status Kesultanan Banjar yang menjadi tanah pinjaman (daerah protektorat) dari VOC-Belanda sejak 13 Agustus 1787 di masa Tahmidullah II.

Pangeran Hidayatullah adalah Sultan Banjar yang dengan tipu muslihat Penjajah Belanda ditangkap dan selanjutnya diasingkan bersama dengan anggota keluarga dan pengiringnya ke Cianjur. Di sana dia tinggal dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan Kampung Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah wafat dan dimakamkan di Cianjur. Sultan Hidayatullah pada tahun 1999 mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.

Pada 30 April 1856, Pangeran Hidayatullah menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara kepada Hindia Belanda karena pengangkatannya untuk Mangkubumi Kesultanan Banjar yang sebelumnya didiskusikan terlebih dahulu dengan kakeknya Sultan Adam.

Pada 9 Oktober 1856, Hindia Belanda mengangkat Hidayatullah untuk mangkubumi untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh kaum ulama dan bangsawan keraton untuk Sultan Muda.

Pada 18 April 1859 terjadi Penyerangan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau milik Hindia Belanda dipimpin oleh Pangeran Antasari, Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan Sultan Hidayatulah .

Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah untuk Sultan Banjar oleh Kolonel A.J. Andresen untuk memulihkan kondisi. Dengan Siasat meletakkan Sultan Hidayatullah untuk Sultan Banjar dan menurunkan Pangeran Tamjidullah karena Belanda menilai penyerangan tambang batubara mereka berkaitan dengan kekuasaan di Kesultanan Banjar. Sultan Hidayatulllah dinilai untuk tokoh penting dalam penyerbuan ke tambang batubara Pengaron, sehingga harus dijinakkan dengan meletakkan Sultan pada jabatannya sesuai surat wasiat Sultan Adam. Akan tetapi pengangkatan oleh Belanda ini didorong mentah-mentah dan didukung oleh seluruh Bangsawan maupun rakyatnya.

Pada 5 Februari 1860 Belanda mengumumkan bahwa jabatan Mangkubumi Pangeran Hidayat dihapuskan.[6] Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar.

Pada 10 Desember 1860, Pangeran Hidayatullah melantik Gamar dengan gelar Tumenggung Cakra Yuda untuk mengadakan perang Sabil terhadap Belanda.

Dalam bulan Juni 1861 Sultan Hidayatullah berada di Gunung Pamaton (Kabupaten Banjar). Rakyat Gunung Pamaton menyambut kedatangan Sultan Hidayatullah dan rakyat menciptakan benteng pertahanan untuk usaha mencegah serangan Belanda yang akan menangkapnya. Sementara itu Sultan Hidayatullah berunding dengan Mufti di Martapura. Perundingan pertama diadakan di Kalampayan dan yang kedua di kampung Dalam Pagar. Dalam perundingan itu disepakati rencana akan melaksanakan serangan umum terhadap kota Martapura. Para penghulu dan alim ulama akan mengerahkan seluruh rakyat melaksanakan jihad perang sambil mengusir Belanda dari bumi Banjar.

Serangan umum ini direncanakan dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 1861, tetapi rencana itu tiris ke tangan Belanda. Oleh karena itu sebelum tanggal 20 Juni Belanda secara tiba-tiba menyerang benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Sultan Hidayatullah. Serangan Belanda itu dapat digagalkan dengan banyak membawa korban di pihak Belanda. Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung Pamaton dan di daerah Banyu Irang, Pambakal Intal dan pasukan Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan daya Kopral Neyeelie. Mayat-mayat pasukan Belanda ini dihanyutkan di sungai Pasiraman. Pambakal Intal berhasil menduduki senjata serdadu Belanda ini.

Untuk menghadapi serangan umum terhadap Martapura ini Assisten Residen Mayor Koch yang merangkap menjadi Panglima di daerah Martapura memohon bantuan kepada Residen Gustave Verspijck di Banjarmasin. Residen segera mengirimkan bantuan dengan mengirimkan kapal perang Van Os yang mengangkut meriam dan perlengkapan perang lainnya. Serangan selanjutnya dilaksanakan oleh Mayor Koch secara besar-besaran terhadap benteng Gunung Pamaton, mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang tiris ke pihak Belanda. Rakyat seluruh daerah Martapura dan bertambah kurangnya bangung melaksanakan serangan sehingga nyaris di seluruh pelosok terjadi pertempuran. Pertempuran terjadi pula di Kuala Tambangan. Tumenggung Gamar yang akan membawa pasukannya memasuki kota Martapura ternyata tidak berhasil, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang bertambah kuat.

Pambakal Mail terlibat perang menghadapi serdadu Belanda di bertambah kurang daerah Mataraman, sementara di Gunung Pamaton pertempuran terus berkobar. Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil didudukinya, tetapi juga membakar rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa. Membinasakan kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak. Dalam pertempuran di Gunung Pamaton tsb banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm tewas kena tombak dan tusukan keris di perutnya.

Serangan bulan Juni 1861 terhadap benteng Gunung Pamaton berhasil digagalkan oleh rakyat yang hanya memiliki persenjataan sederhana. Memang benteng Gunung Pamaton ketika itu dipertahankan oleh pimpinan perang yang gagah berani, selain Sultan Hidayatullah terdapat pula Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara. Selain itu terdapat pula pahlawan wanita Kiai Cakrawati yang selalu menunggang kuda yang sebelumnya ikut mempertahankan Benteng Gunung Madang, dan ketika itu ikut mempertahankan Benteng Gunung Pamaton.

Dalam bulan Agustus 1861 Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya menyerbu Gunung Pamaton. Sebelum serangan dilaksanakan. Mayor Koch menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan konsumsi, dan menghancurkan hutan-hutan yang dapat menjadi benteng pertahanan. Mayor Koch gagal dalam usahanya untuk menangkap Sultan Hidayatullah dan pimpinan perang lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah dihindarkan, karena rakyat menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki persenjataan yang bertambah berpihak kepada yang benar. Perang gerilya adalah salah satu siasat untuk mengantisipasi musuh yang memiliki persenjataan yang bertambah unggul.

Setelah ditipu dengan terlebih dahulu menyandera ibunya, Sultan Hidayatullah pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur.

Keturunan

Anak-anak Pangeran Hidayat diantaranya :

  1. Putri Bintang (anak Ratu Mas Bandara)
  2. Putri Bulan (anak Siti Aer Mas)
  3. Ratu Kusuma Indra (anak Siti Aer Mas)
  4. Pangeran Abdul Rahman (anak Ratu Mas Ratna Kediri)
  5. Ratu Saleha (anak Nyai Rahamah)
  6. Gusti Sari Banun (anak Nyai Rahamah)
  7. Pangeran Sasra Kasuma (anak Nyai Noerain)
  8. Gusti Muhammad Saleh (anak Nyai Arpiah)
  9. dan untuknya

Referensi

  1. ^ (Belanda) van Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863 2. D. A. Thieme. hlm. 162. 
  2. ^ (Belanda) Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, E.J. Brill, 1917
  3. ^ (Belanda) Le Rutte, J. M. C. E. (1863). Episode uit den Banjermasingschen oorlog. A.W. Sythoff. hlm. 10. 
  4. ^ a b (Indonesia) Mohamad Idwar Saleh; Tutur Candi, sebuah karya sastra sejarah Banjarmasin, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1986
  5. ^ http://web.raex.com/~obsidian/seasiaisl.html#Bandjarmasin
  6. ^ (Indonesia) Tamar Djaja, Referensi Indonesia: riwajat hidup orang-orang akbar tanah cairan, Volume 2, Bulan Bintang, 1966

Rujukan

  • Van Rees WA. 1865. De Bandjarmasinsche Krijg van 1859-1863, Arnhem: Thieme.

Pranala luar


edunitas.com


Page 11

Alsulthan Hidayat Oellah[1]
Sultan Banjar
Penyebaran agama islam di wilayah Kalimantan dapat diamati dari Hikayat Banjar milik kerajaan

Lukisan Sultan Hidayatullah II

Masa kekuasaanSeptember 1859 – 2 Maret 1862
Dinobatkan9 Oktober 1856 (Mangkubumi Banjar)
September 1859 (Sultan Banjar, dinobatkan rakyat Banua Lima)
GelarSultan Hidayatullah II
Sultan Hidayat[2]Pangeran Hidayat

Pangeran Hydaijat Oellah[3]


Gusti Andarun atau Gusti Darun[4]:
PendahuluSultan Tamjidullah al-Watsiq Billah
PenggantiPanembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin
Pasangan

Ratu Mas Bandara binti Pangeran Marta bin Pangeran penghulu Muhammad Yassin
Ratu Mas Ratna Kediri binti Pangeran Parbaya bin Pangeran Mangkoe Boemi Nata
Gusti Siti Aer Mas binti Pangeran Tahmid bin Sultan Sulaiman[4]Nyai ArpiahNyai RahamahNyai UmpayNyai PutihNyai JamedahNyai AmpitNyai Semarang

Nyai NoerainAnak♂ Pangeran Sasra Kasuma (anak Nyai Noerain)♀ Putri Bintang (anak Ratu Mas Bandara)♀ Putri Bulan (anak Gusti Siti Aer Mas)♀ Ratu Kasuma Indra (anak Gusti Siti Aer Mas)♂ Pangeran Abdul Rahman (anak Ratu Mas Ratna Kediri)♀ Ratu Saleha (anak Nyai Rahamah)♀ Gusti Sari Banun (anak Nyai Rahamah)

♂ Gusti Muhammad Saleh (anak Nyai Arpiah

WangsaDinasti BanjarmasinAyahPangeran Sultan Muda Abdur-Rahman bin Sultan AdamIbuRatu Siti binti Pangeran Mangkoe Boemi Nata bin Sultan Sulaiman

Sultan Hidayatullah Halil illah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman, atau lebih dikenal untuk Pangeran Hidayatullah atau Hidayatullah II (kelahiran di Martapura,1822 – meninggal di Cianjur, Jawa Barat, 24 November 1904 pada umur 82 tahun) adalah salah seorang pimpinan Perang Banjar dan berkat jasa-jasa kepada bangsa dan negara, pada tahun 1999 pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama.

Daftar inti

  • 1 Riwayat
  • 2 Keturunan
  • 3 Referensi
  • 4 Rujukan
  • 5 Pranala luar

Riwayat

Dia dinaikkan langsung oleh Sultan Adam menjadi Sultan Banjar untuk meneruskan pemerintahan kesultanan Banjar menggantikan sang kakek (Sultan Adam). Hidayatullah menjadi satu-satunya pimpinan rakyat Banjar selang tahun 1859 hingga 1862[5] pasca Hindia Belanda memakzulkan akang tirinya Tamjidullah II untuk Sultan Banjar versi Belanda pada 25 Juni 1859. Walaupun menurut surat wasiat Sultan Adam beliau dipilihkan untuk Sultan Banjar penggantinya kelak, tetapi masih banyak rintangan yang menghalanginya, oleh Belanda beliau hanya mendapat jabatan mangkubumi sejak 9 Oktober 1856. Langkahnya untuk pengganti Sultan Adam melebihi buka pada pada Februari 1859, Nyai Ratu Komala Sari (permaisuri almarhum Sultan Adam) beserta puteri-puterinya, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa kesultanan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Sebelumnya Nyai Ratu Komala Sari sempat mengusulkan satu-satunya puteranya yang masih hidup yaitu Pangeran Prabu Anom untuk pengganti Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun daya dan pada bulan September 1859, Pangeran Hidayatullah II dinobatkan oleh para panglima untuk Sultan Banjar dan untuk mangkubumi adalah Pangeran Wira Kasuma, putera Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman dengan Nyai Alimah.

Ayah dia adalah Pangeran Ratu Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan Adam Al-Watsiq Billah, sedangkan ibu dia adalah Ratu Siti binti Pangeran Mangkubumi Nata yang juga bangsawan keraton Banjar (golongan tutus/purih raja). Pangeran Hidayatullah mewarisi darah biru keraton Banjar (berdarah kasuma alias ningrat murni) dari kedua orangtuanya, karenanya menurut hukum budaya keraton untuk kandidat utama untuk Sultan Banjar dibandingkan Pangeran Tamjidullah II yang berasal dari isteri selir (Nyai) yang bukan tutus (bangsawan keraton Banjar). Kandidat yang lain (yang diusulkan permaisuri Sultan Adam) adalah Pangeran Prabu Anom putera almarhum Sultan Adam dengan Nyai Ratu Komalasari, pangeran ini diasingkan Belanda ke Jawa dengan surat yang ditandatangani oleh Sultan Tamjidullah II, sehari setelah pengangkatannya oleh Belanda menjadi Sultan Banjar. Peristiwa diasingkannya Pangeran Prabu Anom / paman Sultan Hidayatullah dan pengasingan Pangeran Tamjidillah menciptakan geram Sultan Hidayatullah dan bangsawan lainnya. Campur tangan Belanda dalam pengangkatan Sultan Banjar berkaitan status Kesultanan Banjar yang menjadi tanah pinjaman (daerah protektorat) dari VOC-Belanda sejak 13 Agustus 1787 di masa Tahmidullah II.

Pangeran Hidayatullah adalah Sultan Banjar yang dengan tipu muslihat Penjajah Belanda ditangkap dan selanjutnya diasingkan bersama dengan anggota keluarga dan pengiringnya ke Cianjur. Di sana dia tinggal dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan Kampung Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah wafat dan dimakamkan di Cianjur. Sultan Hidayatullah pada tahun 1999 mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.

Pada 30 April 1856, Pangeran Hidayatullah menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara kepada Hindia Belanda karena pengangkatannya untuk Mangkubumi Kesultanan Banjar yang sebelumnya didiskusikan terlebih dahulu dengan kakeknya Sultan Adam.

Pada 9 Oktober 1856, Hindia Belanda mengangkat Hidayatullah untuk mangkubumi untuk meredam pergolakan di Kesultanan Banjar atas tersingkirnya Pangeran Hidayatullah yang didukung oleh kaum ulama dan bangsawan keraton untuk Sultan Muda.

Pada 18 April 1859 terjadi Penyerangan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau milik Hindia Belanda dipimpin oleh Pangeran Antasari, Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan atas persetujuan Sultan Hidayatulah .

Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah untuk Sultan Banjar oleh Kolonel A.J. Andresen untuk memulihkan kondisi. Dengan Siasat meletakkan Sultan Hidayatullah untuk Sultan Banjar dan menurunkan Pangeran Tamjidullah karena Belanda menilai penyerangan tambang batubara mereka berkaitan dengan kekuasaan di Kesultanan Banjar. Sultan Hidayatulllah dinilai untuk tokoh penting dalam penyerbuan ke tambang batubara Pengaron, sehingga harus dijinakkan dengan meletakkan Sultan pada jabatannya sesuai surat wasiat Sultan Adam. Akan tetapi pengangkatan oleh Belanda ini didorong mentah-mentah dan didukung oleh seluruh Bangsawan maupun rakyatnya.

Pada 5 Februari 1860 Belanda mengumumkan bahwa jabatan Mangkubumi Pangeran Hidayat dihapuskan.[6] Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar.

Pada 10 Desember 1860, Pangeran Hidayatullah melantik Gamar dengan gelar Tumenggung Cakra Yuda untuk mengadakan perang Sabil terhadap Belanda.

Dalam bulan Juni 1861 Sultan Hidayatullah berada di Gunung Pamaton (Kabupaten Banjar). Rakyat Gunung Pamaton menyambut kedatangan Sultan Hidayatullah dan rakyat menciptakan benteng pertahanan untuk usaha mencegah serangan Belanda yang akan menangkapnya. Sementara itu Sultan Hidayatullah berunding dengan Mufti di Martapura. Perundingan pertama diadakan di Kalampayan dan yang kedua di kampung Dalam Pagar. Dalam perundingan itu disepakati rencana akan melaksanakan serangan umum terhadap kota Martapura. Para penghulu dan alim ulama akan mengerahkan seluruh rakyat melaksanakan jihad perang sambil mengusir Belanda dari bumi Banjar.

Serangan umum ini direncanakan dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 1861, tetapi rencana itu tiris ke tangan Belanda. Oleh karena itu sebelum tanggal 20 Juni Belanda secara tiba-tiba menyerang benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Sultan Hidayatullah. Serangan Belanda itu dapat digagalkan dengan banyak membawa korban di pihak Belanda. Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung Pamaton dan di daerah Banyu Irang, Pambakal Intal dan pasukan Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan daya Kopral Neyeelie. Mayat-mayat pasukan Belanda ini dihanyutkan di sungai Pasiraman. Pambakal Intal berhasil menduduki senjata serdadu Belanda ini.

Untuk menghadapi serangan umum terhadap Martapura ini Assisten Residen Mayor Koch yang merangkap menjadi Panglima di daerah Martapura memohon bantuan kepada Residen Gustave Verspijck di Banjarmasin. Residen segera mengirimkan bantuan dengan mengirimkan kapal perang Van Os yang mengangkut meriam dan perlengkapan perang lainnya. Serangan selanjutnya dilaksanakan oleh Mayor Koch secara besar-besaran terhadap benteng Gunung Pamaton, mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang tiris ke pihak Belanda. Rakyat seluruh daerah Martapura dan lebih kurangnya bangung melaksanakan serangan sehingga nyaris di seluruh pelosok terjadi pertempuran. Pertempuran terjadi pula di Kuala Tambangan. Tumenggung Gamar yang akan membawa pasukannya memasuki kota Martapura ternyata tidak berhasil, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih kuat.

Pambakal Mail terlibat perang menghadapi serdadu Belanda di lebih kurang daerah Mataraman, sementara di Gunung Pamaton pertempuran terus berkobar. Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil didudukinya, tetapi juga membakar rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa. Membinasakan kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak. Dalam pertempuran di Gunung Pamaton tsb banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm tewas kena tombak dan tusukan keris di perutnya.

Serangan bulan Juni 1861 terhadap benteng Gunung Pamaton berhasil digagalkan oleh rakyat yang hanya memiliki persenjataan sederhana. Memang benteng Gunung Pamaton ketika itu dipertahankan oleh pimpinan perang yang gagah berani, selain Sultan Hidayatullah terdapat pula Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara. Selain itu terdapat pula pahlawan wanita Kiai Cakrawati yang selalu menunggang kuda yang sebelumnya ikut mempertahankan Benteng Gunung Madang, dan ketika itu ikut mempertahankan Benteng Gunung Pamaton.

Dalam bulan Agustus 1861 Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya menyerbu Gunung Pamaton. Sebelum serangan dilaksanakan. Mayor Koch menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan konsumsi, dan menghancurkan hutan-hutan yang dapat menjadi benteng pertahanan. Mayor Koch gagal dalam usahanya untuk menangkap Sultan Hidayatullah dan pimpinan perang lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah dihindarkan, karena rakyat menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih berpihak kepada yang benar. Perang gerilya adalah salah satu siasat untuk mengantisipasi musuh yang memiliki persenjataan yang lebih unggul.

Setelah ditipu dengan terlebih dahulu menyandera ibunya, Sultan Hidayatullah pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur.

Keturunan

Anak-anak Pangeran Hidayat diantaranya :

  1. Putri Bintang (anak Ratu Mas Bandara)
  2. Putri Bulan (anak Siti Aer Mas)
  3. Ratu Kusuma Indra (anak Siti Aer Mas)
  4. Pangeran Abdul Rahman (anak Ratu Mas Ratna Kediri)
  5. Ratu Saleha (anak Nyai Rahamah)
  6. Gusti Sari Banun (anak Nyai Rahamah)
  7. Pangeran Sasra Kasuma (anak Nyai Noerain)
  8. Gusti Muhammad Saleh (anak Nyai Arpiah)
  9. dan untuknya

Referensi

  1. ^ (Belanda) van Rees, Willem Adriaan (1865). De bandjermasinsche krijg van 1859-1863 2. D. A. Thieme. hlm. 162. 
  2. ^ (Belanda) Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap, Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, E.J. Brill, 1917
  3. ^ (Belanda) Le Rutte, J. M. C. E. (1863). Episode uit den Banjermasingschen oorlog. A.W. Sythoff. hlm. 10. 
  4. ^ a b (Indonesia) Mohamad Idwar Saleh; Tutur Candi, sebuah karya sastra sejarah Banjarmasin, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1986
  5. ^ http://web.raex.com/~obsidian/seasiaisl.html#Bandjarmasin
  6. ^ (Indonesia) Tamar Djaja, Referensi Indonesia: riwajat hidup orang-orang akbar tanah air, Volume 2, Bulan Bintang, 1966

Rujukan

  • Van Rees WA. 1865. De Bandjarmasinsche Krijg van 1859-1863, Arnhem: Thieme.

Pranala luar


edunitas.com

Page 12

Hideki Tojo (東條 英機 Tōjō Hideki) (30 Desember 1884–23 Desember 1948) adalah jenderal Jepang dan PM ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Tojo ialah bagian klik tentara yang mendorong Jepang dalam perang di akhir 1930-an. Sebagai Menteri Perang pada 1940 ialah penolong dalam kepemimpinan Jepang dalam Blok Poros dengan Jerman Nazi dan Italia. Di antara keputusannya ialah izin persetujuan pemerintah dalam percobaan biologis terhadap para tawanan perang.

Mulai 1941, Tojo ialah PM dan menguasai seluruh militer Jepang, yang begitu mendominasi Jepang saat itu yang beliau sesungguhnya ialah diktator bangsa. Beliau digantikan pada 1944 menyusul serentetan kekalahan tentara Jepang. Sesudah perang, beliau menembak dirinya sendiri di dada untuk bunuh diri namun gagal.


Beliau akhir diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai penjahat perang. Beliau dinyatakan ada kesalahan atas tuduhan 1 (peperangan penyerangan negara, dan perang dalam pelanggaran terhadap hukum internasional), tuduhan 27 (mengadakan perang tak beralasan terhadap Tiongkok), tuduhan 29 (peperangan bernafsu menyerang melawan AS), tuduhan 31 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Persemakmuran Inggris), tuduhan 32 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Belanda), tuduhan 33 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Perancis (Indochina)), dan tuduhan 54 (memerintahkan, membenarkan, dan mengizinkan perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap penjahat perang dan lainnya). Beliau divonis mati pada 12 November 1948, dan menerima hukuman gantung.

Karena afal kriminal di bawah otoritasnya, Tojo dianggap bertanggung jawab membunuh hampir 4 juta orang-orang Tionghoa.


edunitas.com


Page 13

Hideki Tojo (東條 英機 Tōjō Hideki) (30 Desember 1884–23 Desember 1948) adalah jenderal Jepang dan PM ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Tojo ialah bagian klik tentara yang mendorong Jepang dalam perang di akhir 1930-an. Sebagai Menteri Perang pada 1940 ialah penolong dalam kepemimpinan Jepang dalam Blok Poros dengan Jerman Nazi dan Italia. Di antara keputusannya ialah izin persetujuan pemerintah dalam percobaan biologis terhadap para tawanan perang.

Mulai 1941, Tojo ialah PM dan menguasai seluruh militer Jepang, yang begitu mendominasi Jepang masa itu yang beliau sesungguhnya ialah diktator bangsa. Beliau dialihkan pada 1944 menyusul serentetan kekalahan tentara Jepang. Sesudah perang, beliau menembak dirinya sendiri di dada untuk bunuh diri namun gagal.


Beliau akhir diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai penjahat perang. Beliau dinyatakan ada kekeliruan atas tuduhan 1 (peperangan penyerangan negara, dan perang dalam pelanggaran terhadap hukum internasional), tuduhan 27 (mengadakan perang tak beralasan terhadap Tiongkok), tuduhan 29 (peperangan bernafsu menyerang melawan AS), tuduhan 31 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Persemakmuran Inggris), tuduhan 32 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Belanda), tuduhan 33 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Perancis (Indochina)), dan tuduhan 54 (memerintahkan, membenarkan, dan mengizinkan perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap penjahat perang dan lainnya). Beliau divonis mati pada 12 November 1948, dan menerima hukuman gantung.

Karena afal kriminal di bawah otoritasnya, Tojo dianggap bertanggung jawab membunuh nyaris 4 juta orang-orang Tionghoa.


edunitas.com


Page 14

Hideki Tojo (東條 英機 Tōjō Hideki) (30 Desember 1884–23 Desember 1948) adalah jenderal Jepang dan PM ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Tojo ialah bagian klik tentara yang mendorong Jepang dalam perang di akhir 1930-an. Sebagai Menteri Perang pada 1940 ialah penolong dalam kepemimpinan Jepang dalam Blok Poros dengan Jerman Nazi dan Italia. Di antara keputusannya ialah izin persetujuan pemerintah dalam percobaan biologis terhadap para tawanan perang.

Mulai 1941, Tojo ialah PM dan menguasai seluruh militer Jepang, yang begitu mendominasi Jepang masa itu yang beliau sesungguhnya ialah diktator bangsa. Beliau dialihkan pada 1944 menyusul serentetan kekalahan tentara Jepang. Sesudah perang, beliau menembak dirinya sendiri di dada untuk bunuh diri namun gagal.


Beliau akhir diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai penjahat perang. Beliau dinyatakan ada kekeliruan atas tuduhan 1 (peperangan penyerangan negara, dan perang dalam pelanggaran terhadap hukum internasional), tuduhan 27 (mengadakan perang tak beralasan terhadap Tiongkok), tuduhan 29 (peperangan bernafsu menyerang melawan AS), tuduhan 31 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Persemakmuran Inggris), tuduhan 32 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Belanda), tuduhan 33 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Perancis (Indochina)), dan tuduhan 54 (memerintahkan, membenarkan, dan mengizinkan perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap penjahat perang dan lainnya). Beliau divonis mati pada 12 November 1948, dan menerima hukuman gantung.

Karena afal kriminal di bawah otoritasnya, Tojo dianggap bertanggung jawab membunuh nyaris 4 juta orang-orang Tionghoa.


edunitas.com


Page 15

Hideki Tojo (東條 英機 Tōjō Hideki) (30 Desember 1884–23 Desember 1948) adalah jenderal Jepang dan PM ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Tojo ialah bagian klik tentara yang mendorong Jepang dalam perang di akhir 1930-an. Sebagai Menteri Perang pada 1940 ialah penolong dalam kepemimpinan Jepang dalam Blok Poros dengan Jerman Nazi dan Italia. Di antara keputusannya ialah izin persetujuan pemerintah dalam percobaan biologis terhadap para tawanan perang.

Mulai 1941, Tojo ialah PM dan menguasai seluruh militer Jepang, yang begitu mendominasi Jepang saat itu yang beliau sesungguhnya ialah diktator bangsa. Beliau digantikan pada 1944 menyusul serentetan kekalahan tentara Jepang. Sesudah perang, beliau menembak dirinya sendiri di dada untuk bunuh diri namun gagal.


Beliau akhir diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai penjahat perang. Beliau dinyatakan ada kesalahan atas tuduhan 1 (peperangan penyerangan negara, dan perang dalam pelanggaran terhadap hukum internasional), tuduhan 27 (mengadakan perang tak beralasan terhadap Tiongkok), tuduhan 29 (peperangan bernafsu menyerang melawan AS), tuduhan 31 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Persemakmuran Inggris), tuduhan 32 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Belanda), tuduhan 33 (mengadakan perang bernafsu menyerang melawan Perancis (Indochina)), dan tuduhan 54 (memerintahkan, membenarkan, dan mengizinkan perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap penjahat perang dan lainnya). Beliau divonis mati pada 12 November 1948, dan menerima hukuman gantung.

Karena afal kriminal di bawah otoritasnya, Tojo dianggap bertanggung jawab membunuh hampir 4 juta orang-orang Tionghoa.


edunitas.com


Page 16

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 3, 3 Diva (album), 3 Doa 3 Cinta (film), 3 Doors Down, 3 Februari, 30 Oktober, 30 Persei, 30 Rock, 30 September, 33 (angka), 330, 330 (angka), 330-an, 360-an, 360-an SM, 3600 Detik, 360s, 390 's, 390 SM, 390-an, 390-an SM


Page 17

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 3, 3 Diva (album), 3 Doa 3 Cinta (film), 3 Doors Down, 3 Februari, 30 Oktober, 30 Persei, 30 Rock, 30 September, 33 (angka), 330, 330 (angka), 330-an, 360-an, 360-an SM, 3600 Detik, 360s, 390 's, 390 SM, 390-an, 390-an SM


Page 18

Tags (tagged): 3 Title of articles, 3 April, 3 Juno, 3 Letters of John, 3 November, 300, 3000 BC, 303, 30s, 325, 33, 340s, 341, 37, 380's, 381, 387, 3rd century BC, 3rd Millennium, 3rd millennium BC, 3x3 Eyes


Page 19

Tags (tagged): 3 Title of articles, 3 April, 3 Juno, 3 Letters of John, 3 November, 300, 3000 BC, 303, 30s, 325, 33, 340s, 341, 37, 380's, 381, 387, 3rd century BC, 3rd Millennium, 3rd millennium BC, 3x3 Eyes


Page 20

Tags (tagged): D Title of articles, Dagoberto Fontes, Dahana, Dahomey, Dai Iswandi, Damarcus Beasley, Damarwulan, Damas, Damascus, dance Didong, dance jaipongan, dance Janger, dance Laweut, Daniel Alejandro Lembo Betancor, Daniel Alfei, Daniel Alves, Daniel Amokachi, Daniel Gygax, Daniel Hernandez Gimenez, Daniel Jara Martinez, Daniel Jarque


Page 21

Tags (tagged): D Title of articles, Dagoberto Fontes, Dahana, Dahomey, Dai Iswandi, Damarcus Beasley, Damarwulan, Damas, Damascus, dance Didong, dance jaipongan, dance Janger, dance Laweut, Daniel Alejandro Lembo Betancor, Daniel Alfei, Daniel Alves, Daniel Amokachi, Daniel Gygax, Daniel Hernandez Gimenez, Daniel Jara Martinez, Daniel Jarque


Page 22

Tags (tagged): C Title of articles, Cabinet Development I, Cabinet Dwikora II, Cabinet Dwikora III, cabinet Halim, Cagliari, Cagliari Calcio, Cahkwe, Cai, Cali, California, California Gurls, californium, Cameron Jerome, Cameroon, Cameroon Football Federation, Cameroon national football team, Campo Grande, Campo San Martino, Campobasso, Campodarsego


Page 23

Tags (tagged): C Title of articles, Cabinet Development I, Cabinet Dwikora II, Cabinet Dwikora III, cabinet Halim, Cagliari, Cagliari Calcio, Cahkwe, Cai, Cali, California, California Gurls, californium, Cameron Jerome, Cameroon, Cameroon Football Federation, Cameroon national football team, Campo Grande, Campo San Martino, Campobasso, Campodarsego


Page 24

Tags (tagged): B Title of articles, Bacterium, Bacukiki West, Parepare, Badajoz, Badakhshan Province, Badung Strait, Baduy, Baekje, Baerum, Bai'at 'Aqabah First, Bai'at 'Aqabah Second, Baichung Bhutia, Baihakki Khaizan, Balfour (Disambiguation), Balfour Declaration of 1917, Balfour, Ulu Ogan Histories, Balhae, Ballon dOr, Balloon, Balloon Soap, Balochistan (Pakistan)


Page 25

Tags (tagged): B Title of articles, Bacterium, Bacukiki West, Parepare, Badajoz, Badakhshan Province, Badung Strait, Baduy, Baekje, Baerum, Bai'at 'Aqabah First, Bai'at 'Aqabah Second, Baichung Bhutia, Baihakki Khaizan, Balfour (Disambiguation), Balfour Declaration of 1917, Balfour, Ulu Ogan Histories, Balhae, Ballon dOr, Balloon, Balloon Soap, Balochistan (Pakistan)


Page 26

Tags (tagged): E Title of articles, Earth, Laweyan, Surakarta, earthenware, earthquake, Ease of Doing Business Index, East Minarti, East Morotai, Morotai Island, East Nusa Tenggara, East of England, Ebenezer Odunlami, Eber, Eberardo Villalobos, Eberardo Villalobos Schad, economy, Economy of Algeria, Economy of Bangladesh, Economy of Cambodia, Eddy Sabara, Ede (gemeente), Edelmiro Arevalo, Eden Ben Basat