Sabda bahagia merupakan harapan setiap manusia yang menginginkan

Kebahagiaan merupakan dambaan dan impian semua orang. Semua orang mencari dan mengusahakan kebahagiaan dengan caranya masing-masing. Sebuah ilustrasi di bawah ini mengisahkan tentang seorang yang mencari kebahagiaan.

Seorang pemuda berjalan tampak sangat kelelahan. Rupanya ia berjalan sudah seharian mencari sesuatu. Ia pun akhirnya duduk di sebuah kursi taman untuk beristirahat. Tidak jauh darinya, duduk seorang tua. Orang tua ini mendekatinya dan bertanya, “sepertinya engkau sangat kelelahan anak muda?” “Ya, sudah seharian aku berjalan, tetapi aku tidak menemukan kebahagiaan,” jawab anak muda itu.

Orang tua itu berkata, “Apakah engkau melihat kupu-kupu di taman itu? Tangkaplah seekor untukku, engkau akan menemukan kebahagiaan.”.Pemuda itu pun langsung pergi ke taman dan mengejar kupu-kupu itu. Kupu-kupu beterbangan sesuka hatinya untuk menghidari tangkapan Sang Pemuda. Pemuda it uterus mengejar dengan menyibakkan pepohonan di taman itu dan peduli bagaimana keadaan taman itu, is terus mengejar kupu-kupu itu. Setelah sekian lama mencoba menangkap kupu-kupu, pemuda ini pun akhirnya menyerah. Ia tidak menangkap seekor kupu-kupu.

Orang tua itu mendekati pemuda itu dan berkata, “Hentikan perburuanmu anak muda. Beristirahatlah di sini bersamaku.” Pemuda itu pun duduk di dekat orang tua itu sambil mengatur nafasnya yang mulai tidak teratur karena kecapaian. Orang tua itu pun berkata, “Rupanya begitu caramu menangkap kebahagiaan.  Engkau menjadi tidak peduli dengan sekitarmu. Engkau merusak tanaman, bunga, dan rumput di taman itu. Sekarang, cobalah perhatikan kupu-kupu itu. Mereka terbang berkelompok.” Pemuda itu mengamati kupu-kupu yang beterbangan di taman itu. Orang tua itu berjalan kea rah kupu-kupu itu dengan tenang. Pemuda itu melihat kupu-kupu itu sesekali hinggap pada orang tua itu. Orang tua itu pun berkata, “Kabahagiaan tidak perlu dikejar. Kebahagiaan mendatangi kita ketika kita peduli dengan sekitar kita dan kita bersyukur dengan apa yang kita miliki.[1]

Pemazmur berkata kepada kita, “Apabila engkau makan hasil jerih payah tanganmu, berbahgialah engkau dan baiklah keadaanmu” (Mzm. 128:2). Hal ini mengajarkan kepada kita kebahagiaan akan menjadi bagian kita ketika kita bisa menikmati apa yang ada pada diri kita. Banyak orang mencari kebahgiaan yang sejati, tetapi mereka tidak mengetahui di mana kebahagiaan sejati itu.

Pada suatu ketika, seorang mahadewa memanggil tiga dewa bawahannya. Ia berkata, “Aku mempunyai benda yang sangat berharga. Benda ini aku beri nama kebahagiaan. Aku ingin menyimpan benda ini dan berharap manusia bisa menemukannya. Tempat itu jangan terlalu sulit sehingga manusia tidak bisa mendapatkannya, tetapi juga jangan di empat yang terlalu mudah ditemukan sehingga manusia menganggap ini murahan. Di manakah sebaiknya aku meletakannya?”

Dewa pertama menjawab, “Kita bisa menempatkannya di puncak gunung yang tinggi.” Mahadewa menjawab, “Jangan, manusia akan sulit menemukannya. Anak-anak tidak mungkin bisa mendapatkannya.” Dewa kedua menjawab, “Di dasar samudera saja Mahadewa.” Mahadewa menjawab, “Tidak. Tidak semua orang akan mampu menyelam sampai dasar samudera.” Dewa ketiga menjawab, “Saya tahu tempat itu Mahadewa. Tempatkan benda itu di hati setiap manusia. Tempat itu sangat dekat dengan manusia, tetapi juga bisa menjadi sangat jauh. Orang tinggal melihat dan memerhatikan hatinya maka ia akan menemukannya.” Mahadewa menjawab, “Idemu sangat baik. Aku setuju.” Akhirnya kebahagiaan itu ditempatkan di setiap hati manusia.

Kebahagian sejati sesungguhnya sangat dekat dengan kita. Kebahagiaan tidak perlu jauh-jauh di cari. Banyak orang tidak mendapatkan kebahagiaan sejari karena mencari di tempat yang salah. Mereka mencari kebagiaan sejati di kekayaan, popularitas, jabatan, dan berbagai hal lain yang sangat duniawi. Ironis sekali. Setelah berjuang mencarinya, banyak orang tidak bisa mendapatkannya. Mereka hidup dalam hati yang merana, sekalipun mereka telah mendapatkan ketenaran, kekayaan, atau hal duniawi lainnya. Hal duniawi bisa memberi kebahagiaan dalam hidup kita, tetapi itu sesaat dan terlalu singkat.

Seorang jutawan Texas mencurahkan isi hatinya demikian, “Dahulu sangka saya kebahagiaan itu dapat dibeli dengan uang. Ternyata salah, saya sangat kecewa.” Marylin Manroe, seorang bintang film tenar mengeluh, “Saya mempunyai uang, kecantikan, dan daya tarik. Saya dipuja-puja orang. Seharusnya, saya seorang wanita yang paling bahagia di dunia ini. Namun, hati saya risau. Apakah sebabnya?” Seorang laki-laki pergi kepada seorang dokter penyakit jiwa. Ia berkata, “Dokter, saya kesepian, putus asa, dan susah. Dapatkah dokter menolong saya?” Dokter itu menganjurkan ia pergi ke tempat pertunjukkan sirkus. Katanya di sana ada seorang pelawak terkenal yang dapat membuat orang yang paling susah hatinya tertawa ria. Pasien itu menjawab, “Sayalah pelawak itu.”

Dunia dengan segala isinya pada kenyataannya tidak bisa memberikan kebahagiaan sejati pada manusia. Dan banyak manusia tidak bisa menikmati kebahagiaan yang sejati karena mereka salah memahami tentang kebahagiaan. Ada tiga kesalahan pemahaman yang membuat manusia tidak bisa menikmati kebagiaan. Pertama, mereka salah mendefinsikan kebahagiaan. Mereka kebanyakan mendefinisikan kebagiaan dengan hidup tanpa masalah, tanpa hambatan, dan tanpa kekurangan. Ibaratnya, hidup manusia itu seperti berjalan di jalan tol yang kosong.

Kedua, manusia mencari kebahagiaan di luar dirinya sendiri, padahal kebahagiaan itu ada dalam diri manusia itu, di hati. Ketiga, manusia mengira bahwa kebahagiaan itu merupakan sesuatu yang terjadi secara otomatis. Mereka mengira kebahagiaan datang secara otomatis ketika apa yang mereka inginkan atau harapkan ternyata dalam hidup mereka. Namun, faktanya ternyata tidak demikian.

Matius 5-7 merupakan rangkaian pengajaran Tuhan Yesus di bukit. Matius 5:1-2 menunjukkan konteks peristiwa ini terjadi. Matius 5:1 berkata, “Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya.” Bagian ini mungkin agak membingungkan ketika kita memerhatikan pernyatan dari Lukas 6:15 yang merupakan kisah yang parallel, “Lalu Ia turun dengan mereka dan berhenti pada suatu tempat yang datar: di situ berkumpul sejumlah besar dari murid-murid-Nya dan banyak orang lain yang datang dari seluruh Yudea dan dari Yerusalem dan dari daerah pantai Tirus dan Sidon” (Luk 6:17 ITB). Hal ini perlu disinkronkan supaya tidak terjadi salah paham. Calvin berpendapat bahwa Lukas 6:17-19 terpisah dengan Lukas 6:20. Jadi, menurut Calvin, Lukas tidak menjelaskan tempat di mana Sabda Bahagia itu dinyatakan, tetapi ini menunjuk pada peristiwa yang sama dalam Matius 5. Dengan demikian, penyataan Matius dan Lukas di sini adalah penyataan dan peristiwa yang sama, tetapi Lukas tidak menjelaskan tempatnya. Penyataan Lukas 6:17-19 tentang tempat, berhenti pada suatu tempat yang datar, terpisah dari Lukas 6:20.

John Stott menyatakan hal yang lebih masuk akal. John Stott mengemukakan bahwa Matius menyatakan tentang tempat yang datar menunjuk pada bagian bukit itu. Tempat datar itu terletak di sebuah bukit. Matius menyoroti atau melihat tempat itu secara global, yang bentul bukit dan Tuhan Yesus naik ke bukit itu. Lukas menyoroti atau melihat tempat yang datar, yaitu suatu tempat di atas bukit yang berbentuk datar. Jadi, kedua bagian firman ini tidak saling bertentangan, tetapi melihat dari sudut yang berbeda sehingga kita memiliki data yang lebih lengkap. Jadi, Tuhan Yesus naik ke bukit dan memilih satu bagian bukit itu yang datar dan luas untuk Dia mengajar murid-murid-Nya.[2]

Ada yang mengatakan bahwa tempat ini tidak jauh dari Tagba. Egeria melukiskan bahwa tempat itu berupa gua. Arkeolog Fransiskan, Bellarmino Bagatti, dalam penggaliannya pada 1935 menemukan sisa-sisa reruntuhan kapel berukuran 7,20 x 4,48 m yang dibangun pada abad ke-4 dengan sangkristi berbentuk gua. Kemungkinan besar kapel itu dihancurkan pasukan Persia pada 614. Pada masa kini, ada sebuah bukit, perbukitan Sheikh Ali, yang dikenal oleh orang Kristen sebagai bukit Sabda Bahagia. Pada 1938, para biarawan Fransiskan membangun sebuah gereja Bizantin. Gereja ini berbentuk oktagonal. Gereja dengan arsitektur dari A. Barluzzi ini berada sekitar 100 meter dari danau Galilea. Namun, gereja ini sekadar tempat untuk mengenang atau mengabadikan pengajaran Tuhan Yesus tentang Sabda Bahagia, bukan untuk mengenang atau menunjukkan tempat di mana Tuhan Yesus mengajar Sabda Bahagia. Gereja ini sangat mempesona. Delapan sabda bahagia tertulis di kedelapan sisi tembok gereja. Di bagian lantainya terdapat mosaik-mosaik yang menggambarkan tiga keutamaan theologial (iman, pengharapan, dan kasih) dan empat keutamaan dasar (kebijaksanaan, keadilan, kesetiaan, dan pengendalian diri). Gereja itu sungguh-sungguh indah dengan panorama Danau Galilea dan Lembah Golan.[3]

Sesampainya di atas bukit itu, Tuhan Yesus mengajar murid-murid-Nya, Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka (Mat 5:2 ITB). Pengajaran secara keseluruhan dalam kisah ini dirangkai oleh Matius dalam pasal 5 sampai 7. Ini merupakan rangkain pengajaran Tuhan Yesus tentang prinsip-prinsip hidup dalam Kerajaan Allah. Hal ini selaras dengan tema utama Injil Matius yang menekankan tentang kedatangan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah itu ditawarkan dan hukum atau etika hidup dalam Kerajaan Allah dinyatakan oleh Tuhan Yesus dalam bagian ini.

Tuhan Yesus menyataan tentang kebahagiaan. Sabda bahagia ini merupakan pengantar dan dasar untuk tuntutan-tuntutan radikal Yesus bagi orang yang mau menjadi pengikut-Nya. Syarat-syarat itu berat sehingga orang perlu melihat apa yang akan diperolehnya nanti, yakni keselamatan dan kebahagiaan. Di sini, Tuhan Yesus menunjukkan hakikat kebahagiaan dan bagaimana mendapatkannya.

Sabda bahagia bisa dikelompokkan dalam dua kelompok orang. Kelompok pertama menunjuk pada orang-orang yang tidak beruntung. Penekanan pada bagian ini pada sikap hati mereka (miskin dalam roh, lemah lembut, lapar dan haus akan kebenaran). Kebaikan dan penderitaan mereka yang kurang beruntung ini akan dibalas dcngan kebaikan Allah yang jauh lebih hesar (akan beroleh kemurahan, melihat Allah, disebut anak-anak Allah, empunya Kerajaan Surga). Mereka akan berbahagia karena upah mereka yang besar di surga. Ketidakberuntungan mereka pada masa ini dikontraskan dcngan kelimpahan yang akan mereka terima kelak (akan dihibur, dipuaskan, memiliki bumi). Jadi, mereka bisa mengalami kebahagiaan dalam kekurangberuntungan mereka karena mereka memiliki perspektif yang benar dan mengarahkan pandangan mereka pada upah surgawi. Kelompok kedua diawali dengan orang-orang yang baik (murah hati, suci hati, membawa damai). Sabda Bahagia mengajarkan tentang etika hidup sebagai warga Kerajaan Allah yang hidup di tengah-tengah dunia yang penuh dengan perselisihan dan perlawanan.

Tuhan Yesus membuka pengajaran-Nya dengan penyatakan “berbahagialah”. Ini menunjuk pada kebahagiaan yang otentik, yang kontras dengan dunia ini. Kata ini dari istilah Yunani makarios (μακάριος). Jadi, penting bagi kita untuk memahami istilah ini untuk menemukan arti kebahagiaan yang Tuhan maksudkan di sini. Kata makarios dalam terjemahan lain diterjemahkan dengan blessed, diberkatilah. Orang yang berbahagia adalah orang yang diberkati atau berkat Tuhan membuat seseorang berbahagia.

Pada zaman Yunani kuno, makarios menunjuk pada dewa. Orang yang diberkati adalah dewa. Mereka telah mencapai keadaan kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup yang melampaui semua prestasi/karir, usaha, dan bahkan kematian. Orang yang diberkati adalah makhluk yang hidup di dunia lain jauh dari masalah dan kekhawatiran orang biasa. Untuk diberkati atau berbahagia, seseoang harus menjadi tuhan.

Makarios mengambil makna kedua. Makarios di sini diartikan “mati”. Orang yang diberkati adalah orang yang telah melalui kematian, yaitu telah mencapai dunia lain, dunia para dewa. Mereka sekarang melampaui masalah dan kekhawatiran kehidupan duniawi. Untuk diberkati, seseorang harus mati. Itulah asal muasal hari orang-orang kudus yang berbeda – mereka mengingat tanggal kematian mereka. Semua orang kudus adalah semua orang yang telah meninggal dalam iman yang namanya tidak diketahui.

Dalam penggunaan bahasa Yunani, makarios datang untuk mengacu pada elit, kelompok atas masyarakat, orang-orang kaya. Ini disebut orang-orang kaya dan berkuasa. Mereka menempatkan diri mereka di atas kedudukan, masalah, dan kekhawatiran rakyat kecil – pekerja-pekerja kantor, yang terus-menerus berjuang, khawatir, dan kerja keras dalam kehidupan. Untuk diberkati, seseorang harus sangat kaya dan berkuasa.

Ketika kata ini digunakan dalam terjemahan Yunani dari Perjanjian Lama, hal itu mengambil arti lain. Ini mengacu pada hasil hidup benar atau kebenaran. Jika seseorang hidup benar, ia diberkati. Diberkati berarti seseorang menerima hal-hal duniawi, hal-hal materi: istri yang baik, banyak anak, tanaman, kekayaan, kehormatan, kebijaksanaan, keindahan, kesehatan yang baik, dan lain-lain. Seseorang yang diberkati memiliki lebih banyak hal dan hal-hal itu lebih baik daripada orang biasa. Untuk diberkati, seseorang harus memiliki hal-hal besar dan indah.

Matius (yang mencerminkan pikiran Yesus) menggunakan kata ini dalam cara yang sama sekali berbeda. Orang yang diberkati (berbahagia) tidak menunjuk pada orang-orang elit, kaya, dan berkuasa. Sebaliknya, Yesus mengucapkan berkat Tuhan pada orang yang rendah hati: orang miskin, lapar, haus, lemah lembut, dan berkabung (berduka). Sepanjang sejarah kata ini, kata ini  selalu menunjuk pada kelompok orang yang dianggap diberkati, orang kaya dan berkuasa (kuat). Yesus membalik semua itu. Para elit dalam kerajaan Allah, yang diberkati dalam Kerajaan Allah, adalah mereka yang berada di bawah tumpukan kemanusiaan, kelompok manusia yang dipinggirkan atau dianggap kelas bawah.

New Interpreter’s Bible menyatakan beberapa makna yang signifikan dengan ucapan bahagia di sini. Bagaimana pun, Yesus menggunakan kata ini dengan pemahaman Perjanjian Lama dan literatur-literatur yang berkembang pada masa itu, literatur Yahudi dan kafir. Penggunaan makarios oleh Yesus dan orang-orang Kristen mula-mula mencerminkan penggunaan kata ini dalam ucapan bahagia dalam tradisi Yahudi. Mereka menemukan makna ini dalam dua bentuk, yaitu kebijaksanaan (hikmat) dan nubuat. Bentuk ini memberikan bentuk fungsi yang khas. Dalam literature hikmat, makarios menyatakan berkat bagi semua orang yang dalam keadaan beruntung, berdasarkan pengamatan dan keadaan. Mereka menyatakan orang ini bahagia. Nabi-nabi menggunakan kata ini dalam perspektif nubuat yang menyatakan hadirnya berkat masa depan bagi mereka yang saat ini tidak beruntung atau dalam kondisi buruk. Hal ini juga menunjuk pada orang-orang yang dibenarkan pada masa yang akan datang (eskatologis) pada kedatangan Kerajaan Allah (Yes. 30:18; 32:20) di mana mereka akan menikmati kebahagiaan. Makarios dipakai di luar Injil Sinoptik digunakan dalam kitab nubuat, Kitab Wahyu (1: 3; 14:13; 16:15; 19: 9; 20: 6; 22: 7, 14).

Berdasarkan penggunaan kata dan pemaknaan kata yang ada, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk memahami kata, yaitu:

  1. Sabda bahagia bukanlah saran praktis untuk hidup sukses, melainkan deklarasi Tuhan Yesus untuk Kerajaan Allah yang sudah dan akan datang. Ini adalah hukum dan etika Kerajaan Allah. Perspektif ini mengarahkan kita untuk melihat Sabda Bahagia sebagai nilai-nilai Kerajaan Allah yang harus dihidupi orang percaya sebagai warga Kerajaan Allah.
  2. Sabda bahagia adalah hasil tindakan ilahi. Kebahagiaan atau keberkatan adalah hasil dari tindakan ilahi dalam diri orang percaya. Ini merupakan realitas objektif, bukan subjektif. Kebalikan dari keadaan kebahagiaan adalah ketidakbahagiaan (kutuk).
  3. Sekalipun Sabda Bahagia tidak dinyatakan dalam bentuk imperatif, tetapi hal ini menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan atau dinyatakan.
  4. Sabda Bahagia tidak mendorong orang percaya untuk bertindak pasif dalam menantikan pemenuhan berkat kebahagiaan, tetapi aktif dalam menantikan penyataan Kerajaan Allah dengan bertekun dalam kondisi mereka saat ini.
  5. Dalam perspektif kenabian, Sabda Bahgia menyatakan kebenaran yang tidak bergantung pada situasi dan kondisi masa kini, tetapi kondisi pada masa depan (eskatologis). Hal ini berkaitan dengan penyataan penuh dan nyata akan Kerajaan Allah. Sabda Bahagia bukanlah sekadar menyangkut kebenaran masa kini, tetapi juga masa depan (eskatologis). Ini adalah kebenaran otentik yang harus dipahami orang percaya. Ini sebuah antisipasi akan hadirnya Kerajaan Allah secara nyata dan penuh di bumi ini pada saat Kristus dating kedua kali menjadi Raja.[4]

Sabda Bahagia ditujukan kepada semua orang percaya. Sabda ini ingin menegaskan realitas otentik orang percaya. Dua realitas yang bisa dijelaskan di sini adalah:

  1. Engkau akan bahagia (you shall be happy)
  2. Kalau engkau meluruskan jalanmu, engkau akan bahagia (If you straigten your way, then you will be happy)

Kebahagiaan ini hanya akan kita dapatkan ketika kita hidup dalam Tuhan. Inilah kebahagiaan sejati dan otentik. Kata makarios menekankan pada orang, pemilik kebahagiaan. Kebahagiaan ini menjadi milik yang melekat dalam dirinya. Tepat Matius menggunakan kata ini dalam Sabda Bahagia di mana kata makarios menekankan pada orangnya sebagai pemilik kebahagiaan. Terjemahan bahasa Indonesia, berbahagialah” kurang tepat sebab terjemahan ini mengesankan bahwa ini kata kerja imperative. Padahal, ini adalah kata benda. Terjemahan yang lebih memungkinkan adalah “Oh, betapa bahagianya orang yang ….” Kata yang mirip dengan kata ini adalah eulogemenoi. Kata ini diterjemahkan juga dengan diberkatai atau bahagia. Namun, kata ini lebih menekankan pada hadiah atau imbalan, bukan kepemilikan.

[1]http://www.renunganhariankristen.net/kebahagiaan-itu-ada-di-dekat-kita/

[2] Penafsir lain mengatakan bahwa bagian ini tidak saling kontradiksi karena Matius 5 dan Lukas 6 menunjuk pada dua tempat dan dua peristiwa berbeda. Perbedaan tempat ditunjukkan dengan bukit dan tanah datar. Perbedaan peristiwa ditunjukkan dengan perbedaan audien di mana Matius menyatakan bahwa pendengar adalah murid-murid Tuhan Yesus, sedangkan Lukas menunjukkan ada murid-murid Tuhan Yesus dan orang banyak.

[3]Surip Stanislaus, Kata-kata Susah Bertuah (Jakarta: Lembaga Biblika Indonesia, t.t.).

[4] http://www.crossmarks.com/brian/allsaintb.htm