Salat berjamaah khusus perempuan yang diimami laki-laki dewasa shalatnya

Shalat Berdua dengan Bukan Mahram, Bolehkah?

Republika/Agung Supri

Umat Muslim saat melaksanakan shalat (ilustrasi).

Red: Heri Ruslan

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb.

Ustaz, apakah boleh shalat berjamaah berdua yang bukan mahram di mushala kantor? Dan, apakah boleh kalau sedang dalam perjalanan, di mana yang lain sedang tidak shalat, dan hanya kita sendiri yang shalat berjamaah dengan seorang laki-laki?

Hamidah Puji - Bali

Waalaikumsalam wr wb.

Islam menegaskan bahwa diharamkan bagi laki-laki berdua-duaan dengan perempuan yang bukan mahramnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Nabi SAW.Ibnu Abbas RA meriwayatkan bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan perempuan kecuali disertai seorang mahram, dan janganlah seorang perempuan bepergian kecuali bersama mahramnya.” Lalu, ada seorang laki-laki berdiri  dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya termasuk yang terdaftar pada perang ini dan itu, sedangkan istriku keluar untuk menunaikan ibadah haji.” Maka, Beliau bersabda, “Pergilah berhaji bersama istrimu.” (HR Bukhari dan Muslim).Dalam hadis lain disebutkan, Nabi SAW bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan melainkan ketiganya adalah setan.” (HR Tirmizi dan Ahmad).Oleh karena itu, jika shalatnya seorang perempuan sebagai makmum di belakang seorang laki-laki yang bukan mahram menjadikan mereka berdua-duaan (khalwat) maka hukumnya tidak boleh karena ini menjadi sebab kepada sesuatu yang haram. Dan, dalam kaidah fikih dijelaskan bahwa sesuatu yang menyebabkan kepada yang haram maka hukumnya adalah haram.Dalam kitabnya, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam Nawawi menyatakan, makruh hukumnya seorang laki-laki shalat dengan seorang perempuan yang asing  (bukan mahramnya) berdasarkan hadis Nabi SAW, “Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan melainkan ketiganya adalah setan.” Lalu, Imam Nawawi menegaskan bahwa yang dimaksud dengan makruh di sini adalah makruh tahrim (yaitu perkara yang diharamkan dalam syariat yang berakibat dosa bagi yang melakukannya, tapi berdasarkan dalil yang bersifat zhanni), yaitu jika laki-laki itu menjadi berdua-duaan dengan wanita tersebut.Imam Nawawi melanjutkan, “Ulama mazhab Syafii mengatakan, jika seorang laki-laki mengimami istri atau mahramnya dan berdua-duaan dengannya, hukumnya boleh karena ia dibolehkan untuk berdua-duaan dengannya di luar waktu shalat. Sedangkan, jika ia mengimami wanita asing dan berdua-duaan dengannya maka itu diharamkan bagi laki-laki dan wanita tersebut berdasarkan hadis-hadis Nabi SAW tersebut.Maka, jika shalat berjamaah dengan laki-laki yang bukan mahram di mushala kantor itu menjadikannya berdua-duaan dengannya, hukumnya adalah haram. Tetapi, jika di mushala itu ada orang lain, meskipun ia tidak shalat maka hukumnya menjadi boleh karena penyebab dilarangnya sudah tidak ada, yaitu berdua-duaan.

Wallahu a’lam bish shawwab.

Ustaz Bachtiar Nasir

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Red:

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum fikih wanita yang mengimami shalat berjamaah bagi kaum wanita lainnya. Ada ulama yang memandang sunah, makruh, bahkan tidak membolehkannya. Persoalan juga berlanjut pada pelaksanaannya. Jika memang boleh sekelompok wanita ingin melaksanakan shalat berjamaah, lantas bagaimanakah tata cara pelaksanaannya? Apakah shalat mereka sebagaimana layaknya shalat yang diimami laki-laki?

Mazhab Hanafiyah berpendapat, shalat berjamaah bagi wanita hukumnya makruh. Pendapat ini diyakini ulama Mazhab Hanafiyah, seperti Az-Zaila’i dan Badruddin Al-Aini. "Makruh hukumnya, jika seorang wanita mengimami jamaah wanita. Begitu juga shalat berjamaah bagi para wanita, makruh hukumnya," jelas Al-Aini dalam kitabnya Al-Binayah Syarah Al-Hidayah (2/336). Ulama Mazhab Hanafiyah lainnya, Ibnu Abdin, dalam kitabnya Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar mengatakan, wanita yang ingin shalat berjamaah sesama wanita dihukum makruh. Mereka boleh melakukan shalat berjamaah dengan sebab-sebab tertentu. Menurut Abdin, jika kaum wanita tetap ingin shalat berjamaah, posisi imam harus berada di tengah-tengah (tidak maju sendiri di depan). Sedangkan, Mazhab Malikiyah memahami, shalat yang diimami wanita tidak sah, walaupun seluruh makmumnya adalah wanita. Hal ini diyakini para ulama mazhab ini seperti Abu At-Thahir At-Tanwikhi Al-Mahdawi. Dalam kitabnya, At-Tanbih ’ala Mabadi Taujih, ia menyebutkan, pendapat yang masyhur dalam persoalan fikih ini adalah pendapat yang tidak membolehkannya. Pendapat ulama Maliki lainnya, Ibnu Aiman yang meriwayatkan dari Malik mengatakan, larangan wanita menjadi imam jika makmumnya laki-laki. Hal ini berdalil dari sabda Rasulullah SAW, "Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki." (HR Ibnu Maajah). Namun, jika jamaah shalat tersebut semuanya wanita, tak menjadi persoalan bagi salah seorang wanita di antara mereka untuk mengimami shalat berjamaah. Namun, pendapat ini dibantah Al-Mahdawi, ulama dari kalangan Maliki sendiri. Menurutnya, menjadi imam tidak boleh dilakukan oleh wanita secara mutlak. Demikian juga dengan shalat. Sama halnya mengimami shalat fardhu atau shalat sunah. Sama juga halnya mengimami makmum yang wanita saja, apalagi mengimami makmum laki-laki. Ia berdalil, suara wanita adalah aurat. Sedangkan, imam harus membaca takbir setiap perpindahan gerakan shalat. Demikian juga untuk shalat jahar (Subuh, Maghrib, dan Isya). Imam harus membaca surat al-Fatihah dan ayat-ayat Alquran. Demikian ia terangkan dalam kitabnya, At-Tanbih ‘ala Mabadi At-Taujih (1/441). Al-Qarafi, ulama Mazhab Maliki, dalam kitabnya Mudawwanah (2/241) menambahkan, larangan bagi wanita menjadi imam shalat sifatnya umum dan mutlak. Sebagaimana syarat sahnya shalat, imam haruslah laki-laki. Ia merujuk kepada pendapat Imam Malik sendiri, shalat berjamaah kaum wanita tidak sah dan harus diulang kembali. Adapun di kalangan Mazhab Syafi'iyah sendiri, lebih dekat dengan pendapat Ibnu Aiman dari Mazhab Maliki. Kaum Syafi'iyah meyakini, larangan wanita mengimami shalat berjamaah jika ada di antara makmumnya yang laki-laki. Jika semua mereka adalah wanita, shalatnya dipandang sah. Sebagaimana diterangkan Ibnu Maajah dalam Al-Minhaj Al-Qawim karya Ibnu Hajar al-Haitami, ia hanya melarang wanita mengimami laki-laki. Demikian pula pendapat Al-Khatib asy-Syirbini, salah seorang ulama Syafi'iyah. Menurutnya, shalat berjamaahnya kaum wanita adalah sah, sebagaimana sahnya shalat laki-laki sesama laki-laki. Asy Syirbini mengategorikan lima bentuk shalat berjamaah yang dipandang sah, yaitu laki-laki bermakmum kepada laki-laki, khuntsa (kelamin ganda) bermakmum kepada laki-laki, wanita bermakmum kepada laki-laki, wanita bermakmum kepada khuntsa, wanita bermakmum kepada wanita. Demikian seperti diterangkan dalam kitabnya Mughni Al-Muhtaj (1/482). Jadi, ringkasnya Mazhab Syafi'iyah memandang sah shalat berjamaah kaum wanita, bahkan memandangnya sebagai sunah (dianjurkan). "Bagi Mazhab Syafi’i, disunahkan bagi wanita mengimami jamaah wanita dalam shalat wajib dan shalat sunah," demikian diterangkan Imam Al-Mawardi, ulama Mazhab Syafi'iyah dalam kitabnya Al-Hawi Al-Kabir (2/356) Pendapat yang sama dengan Syafi'iyah juga didukung Mazhab Hanabilah. Ulama dari kalangan Hanbali, Ibnu Qudamah, menyetujui wanita menjadi imam bagi kaum wanita lainnya, baik dalam shalat sunah maupun wajib. Imam Ahmad sendiri tak mempersoalkan jika kaum wanita ingin menegakkan shalat berjamaah sesama mereka. Pendapat ini juga didukung Mazhab Zahiriyah. Mereka memandang shalat berjamaah yang dilakukan sekelompok wanita adalah hasan (amal baik). Tokoh mazhab ini, Ibnu Hazm, mengatakan, pembolehan shalat berjamaah wanita tersebut karena tidak ditemui dalil spesifik yang melarangnya. Demikian ia terangkan dalam kitabnya Al-Muhalla bil Atsar (2/167). Lantas bagi mazhab yang membolehkan, bagaimanakah tata cara pelaksanaan shalat berjamaah tersebut? Mazhab Hanafiyah mengatakan, imam wanita harus berdiri di tengah dan sejajar dengan wanita lainnya. Kalaupun agak maju sedikit ke depan, diperbolehkan. Namun, tidak seperti imam laki-laki yang berdiri sendiri di depan. Ia hanya maju sedikit sebagai penanda bahwa dia adalah imam. Demikian diterangkan ulama mazhab ini, seperti As-Sarakhsi, Al-Kasani, dan Ibnu Humam. Pendapat yang sama juga diyakini Mazhab Syafi'iyah. Imam harus berdiri di  tengah dan posisinya sejajar dengan shaf pertama. Menurut As-Syairazi, Aisyah RA dan Ummu Salamah RA pernah mengimami shalat para sahabiyah dengan berdiri sejajar dengan mereka. (HR Baihaqi).

Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bil Atsar (2/168) menambahkan, boleh bagi imam wanita untuk mengeraskan bacaannya. Hal itu dapat dilakukan jika lokasi shalat berjamaah ada di rumah dan terhindar dari fitnah. n ed: hafidz muftisany

Salat berjamaah khusus perempuan yang diimami laki-laki dewasa shalatnya

Dhafi Quiz

Find Answers To Your Multiple Choice Questions (MCQ) Easily at cp.dhafi.link. with Accurate Answer. >>


Salat berjamaah khusus perempuan yang diimami laki-laki dewasa shalatnya

Ini adalah Daftar Pilihan Jawaban yang Tersedia :

  1. sah
  2. tidak sah
  3. harus diqadha
  4. makruh

Jawaban terbaik adalah A. sah.

Dilansir dari guru Pembuat kuis di seluruh dunia. Jawaban yang benar untuk Pertanyaan ❝Shalat jamaah khusus perempuan yang diimami laki-laki dewasa hukumnya❞ Adalah A. sah.
Saya Menyarankan Anda untuk membaca pertanyaan dan jawaban berikutnya, Yaitu Apa arti mustami adzan? (Multiple Choice Quiz) dengan jawaban yang sangat akurat.

Klik Untuk Melihat Jawaban

Apa itu cp.dhafi.link??

Kuis Dhafi Merupakan situs pendidikan pembelajaran online untuk memberikan bantuan dan wawasan kepada siswa yang sedang dalam tahap pembelajaran. mereka akan dapat dengan mudah menemukan jawaban atas pertanyaan di sekolah. Kami berusaha untuk menerbitkan kuis Ensiklopedia yang bermanfaat bagi siswa. Semua fasilitas di sini 100% Gratis untuk kamu. Semoga Situs Kami Bisa Bermanfaat Bagi kamu. Terima kasih telah berkunjung.