Sebutkan 3 nama Perang dan asal daerah terjadinya Perang melawan penjajahan Belanda

KOMPAS.com - Kawasan Maluku pada abad pertengahan merupakan surga bagi para pencari rempah-rempah dengan kualitas terbaik.

Banyak pedagang internasional seperti Cina, India bahkan Arab datang di kawasan ini untuk berdagang rempah-rempah.

Pada sekitar abad 16-17 M, bangsa-bangsa Eropa seperti Inggris, Belanda, Spanyol dan Portugis mencoba memperebutkan kekuasaan dagang atas Maluku.

Latar belakang

Pada awal abad 19, kawasan Maluku kembali berada dibawah kekuasaan Belanda setelah Inggris menandatangani perjanjian traktat London dengan menyerahkan wilayah kekuasaan Indonesia kepada Belanda.

Pendudukan kembali Belanda di Maluku membawa banyak masalah dan kesengsaraan bagi rakyat Maluku.

Rakyat Maluku tidak mau terus menderita dibawah keserahahan bangsa belanda, oleh karena itu, perlu mengadakan perlawanan untuk menentang kebijakan belanda di bawah pimpinan  komando Thomas Matulessy atau biasa disebut Kapitan Pattimura.

Baca juga: Perlawanan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi Terhadap VOC

Dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (1981) karya M.C Ricklefs, disebutkan bahwa latar belakang perlawanan masyarakat Maluku terhadap Belanda pada 1817 adalah :

  1. Tindakan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilakukan Belanda melalui pelayaran Hongi di Maluku.
  2. Timbulnya kesengsaraan Maluku karena kebijakan penyerahan wajib berupa penyerahan ikan asin, kopi dan hasil laut lainnya kepada Belanda.
  3. Sikap Residen Saparua yang memberlakukan masyarakat Maluku dengan sewenang-wenang.

Perlawanan Maluku

Rakyat Maluku pada Mei 1817 membuat beberapa pertemuan untuk membahas strategi dan konsep perlawanan terhadap Belanda.

Baca juga: Perang Tondano Melawan Belanda

Dalam pertemuan 14 Mei 1817, rakyat Maluku mengangkat Thomas Matulessy yang merupakan bekas tentara Korps Ambon dan menamainya sebagai Kapiten Pattimura.

Pada 16 Mei 1817, operasi penyerangan pos-pos dan benteng Belanda di Saparua dimulai oleh Kapitan Pattimura dan pasukannya.

Operasi tersebut berhasil merebut benteng Duurstede dan menewaskan kepala residen Saparua bernama van den Berg beserta pasukannya.

Belanda berupaya untuk merebut kembali benteng Duurstede dengan mendatangkan bantuan dari Ambon pada 20 Mei 1817. Belanda dengan kekuatan lebih 200 prajurit di bawah pimpinan Mayor Beetjes menyerang Pattimura dan pasukannya di Saparua.

Upaya perebutan kembali benteng Duurstede dan Saparua dapat digagalkan oleh Pattimura dan pasukannya. Kemenangan dalam pertempuran lain juga didapatkan oleh Pattimura di sekitar pulau Seram, Hatawano, Hitu, Haruku, Waisisil dan Larike.

Baca juga: Perlawanan Kolonialisme dan Imperialisme: Maluku Angkat Senjata

kemdikbud.go.id Ilustrasi perang Maluku melawan Belanda

Akhir perlawanan

Perlawanan rakyat Maluku terhadap Belanda mulai terlihat pada Agustus 1817. Pihak Belanda meminta bantuan dari Batavia untuk memadamkan perlawanan Pattimura.

Dilansir dari buku Kapitan Pattimura (1985) karya I.O Nanulaitta, menyebutkan bahwa Pattimura dikhianati oleh raja Booi dari Saparua dengan membocorkan informasi tentang strategi perang Pattimura dan rakyat Maluku, sehingga Belanda mampu merebut kembali Saparua.

Pada Desember 1817, Pattimura dihukum gantung di Ambon bersama 3 orang lainnya serta menandai berakhirnya perlawanan rakyat Maluku terhadap Belanda.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

KOMPAS.com - Perang Padri merupakan peperangan yang terjadi di Sumatera Barat tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung pada 1803-1838.

Perang Padri awalnya terjadi karena adanya perbedaan prinsip mengenai agama antara kaum Padri dengan kaum Adat.

Namun, lama-lama perang Padri menjadi perjuangan melawan penjajah Belanda. Karena kaum Padri dan kaum Adat bergabung jadi satu berjuang melawan Belanda.

Penyebab Perang Padri

Perang Padri terjadi karena ada pertentangan dari kaum Padri atau kelompok ulama terhadap kebiasaan-kebiasaan buruk yang terjadi di masyarakat.

Kebiasaan tersebut seperti, judi, sabung ayam, minuman keras, tembakau maupun menggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan.

Baca juga: Sejarah Perang Badar

Sebelum masyarakat sudah berkata akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut.

Namun masyarakat masih tetap menjalankan kebiasaan tersebut dan membuat kaum Padri marah sehingga terjadinya peperangan.

Perang Padri bisa disebut juga sebagai perang saudara. Karena dalam perang tersebut melibatkan Minang dan Mandailing.

Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan, sementara kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah.

Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 (2005) karya Merle Calvin Ricklefs, Gerakan pembaruan Islam tersebut dikenal sebagai gerakan Padri. Karena mereka telah menunaikan ibadah haji di Makkah.

Suatu kelompok yang terdiri dari tiga orang haji kembali ke Minangkabau sekitar 1803 atau 1804.

Mereka terilhami oleh penaklukan Makkah oleh kaum pembaharu. Kemudian mereka ingin memperbaharui masyarakat Minangkabau.

Pimpinan-pimpinan utama kaum Padri diberi gelar kehormatan Minangkabau untuk pada guru agama, yakni Tuanku.

Salah satu pemimpin yang paling terkemuka adalah Tuanku Imam Bonjol.

Baca juga: Gaya Militer Turki Utsmani dalam Perang Pangeran Diponegoro

Selama perang saudara meletus yang ingin melakukan pembaruan, kaum Padri menghadapi perlawanan sengit di Tanah Datar dan di dataran-dataran rendah.

Namun kaum Padri mampu meraih kemenangan. Pada 1815, sebagian besar keluarga kerajaan Minangkabau terbunuh di Tanah Datar.

Keterlibatan Belanda

Dalam perang saudara tersebut kaum Adat mulai mendesak dan meminta bantuan Belanda pada 1821.

Mereka menandatangani suatu perjanjian penyerahan Minangkabau kepada Belanda. Padahal mereka sudah tidak lagi mempunyai kekuasaan riil.

Tak lama itu serangan pertama Belanda dilakukan kepada kaum Padri. Serangan tersebut mampu memukul mundur kaum Padri keluar dari Pagaruyung.

Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen.

Sementara itu kaum Padri menyusun strategi dan kekuatan di Lintau.

Pada 1822, pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Goffinet oleh kaum Padri. Dalam peristiwa itu Kapten Goffinet terluka dan tewas.

Pada September 1822, Belanda kembali ke Batusangkar setelah tertekan oleh serangan kaum Padri yang dipimpin Tuanku Nan Renceh.

Baca juga: Latar Belakang Terjadinya Perang Dingin

Namun keterlibatan Belanda membuat keadaan semakin kacau dan rumit. Karena Belanda malah ikut mencampuri kaut Adat.

Pada 1833, kaum Adat bergabung dengan Kaum Padri dan bersama-sama berjuang melawan Belanda.

Gencatan senjata

Pada Januari 1825, terjadi gencatan senjata dengan adanya Perjanjian Masang. Karena Belanda menyadari menghadai peperangan yang berat.

Apalagi di waktu bersamaan Belanda juga sedang menghadapi perang di Eropa dan melawan Pangeran Diponegoro di Jawa yang mengeluarkan biaya banyak.

Kaum Padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol mencoba melakukan pemulihan kekuatan dan mencoba merangkul kaum Adat untuk bersama-sama berjuang melawan Belanda.

Lahirlah konsensus bersama yang berusaha menegakkan ajaran Islam dan Al-Quran di tanah Minangkabau.

Pada 1832 perang kembali terjadi dan kaum Padri dapat dikalahkan meski mendapat bantuan dari Aceh. Pada 1833 Belanda mulai melancarkan serangan-serangan baru.

Apalagi menyadari tidak lagi perang melawan kaum Padri, tapi juga seluruh masyarakat Minangkabau.

Baca juga: Perang Dingin: Faktor, Persaingan, dan Dampaknya

Belanda menutup pesisir barat yang merupakan garis bantuan ekonomi dan pesisir timur yang merupakan pintu gerbang perdagangan Minangkabau.

Pada 1837, Kota Bonjol yang berbenteng akhirnya dapat direbut. Namun, Tuanku Imam Bonjol mampu melarikan diri tapi kemudian menyerah.

Selanjutnya Tuangku Imam Bonjol diasingkan ke Priangan, kemudian Ambon dan akhirnya Manado.

Perang Padri berakhir pada 1838 di Daludalu dengan kemenangan Belanda. Semua perlawanan rakyat Minangkabau berhasil ditumpas Belanda.

Padangse Bovenlanden di bawah kendali Hindia Belanda dan Kerajaan Pagaruyung akhirnya menjadi bagian Pax Netherlandica

Selanjutnya Belanda mampu menguasai Minangkabau dan mengandalkan para kepada adat (penghulu). 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

JAKARTA - Sejarah menyebut jika Belanda pernah menjajah bangsa Indonesia selama 350 tahun. Dalam perjalanannya, sudah tentu banyak perlawanan dan perang besar yang dilakukan rakyat Nusantara. Tak jarang, perlawanan itu menyusahkan pihak Belanda. 

Perang Jawa adalah salah satu perang besar yang terjadi selama 5 tahuh yang dimulai pada 1825 hingga 1830. Dalam Jurnal Pendidikan Sejarah dan Kajian Sejarah berjudul ‘Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa 1825 – 1830’ disebutkan bahwa perang ini menjadi titik awal kolonialisme di Pulau Jawa.

Tokoh yang paling terkenal dalam perang ini adalah Pangeran Diponegoro. Ia memimpin perang ini dan dianggap sukses membakar semangat perjuangan masyarakat.

Perang Jawa dipicu karena datangnya Belanda di wilayah Jawa yang mengubah banyak permasalahan, termasuk sosial dan politik. Apalagi, Belanda mampu merayu pihak Kesultanan Yogyakarta hingga menimbulkan kemerosotan moral di dalam keraton.

Dalam pertempuran itu disebutkan 200 ribu masyarakat Jawa harus meregang nyawa. Sementara, seperempat dari tanah Jawa mengalami kerusakan sangat parah.

Kerugian tidak hanya dialami pihak Indonesia, namun juga dari pihak lawan yakni Belanda. Pemerintah Belanda harus menggelontorkan dana hingga 20 juta gulden untuk membiayai perang ini.

Hal itu menyebabkan kerugian hebat dan cukup menyusahkan para petinggi negara tersebut. Setelah mengalami 5 tahun pertempuran, Pangeran Diponegoro akhirnya mau menyerahkan diri pada 28 Maret 1930. Keputusan itu ia buat karena pasukannya mendapat tekanan dan dijepit di Magelang oleh Jenderal de Kock. 

Perang Aceh

Aceh menjadi wilayah yang juga tak luput dari sasaran tentara dan pemerintah Belanda. Negara Kincir Angin itu ingin menguasai rempah-rempah yang memang melimpah di Aceh. Sebagai bentuk perlawanan terhadap invasi Belanda, rakyat Aceh melakukan perlawanan hingga pecahlah Perang Aceh, mulai tahun 1873 sampai 1912.

Melansir jurnal Inovasi Penelitian bertajuk ‘Strategi Perang Semesta dalam Perang Aceh (1873 – 1912)’, disebutkan bahwa perang ini menjadi perang yang paling lama dialami Belanda.

Sementara itu, faktor lain yang mendorong terjadinya perang Aceh adalah karena Belanda menduduki Siak hingga melakukan Perjanjian Siak tahun 1858. Sultan Ismail diwajibkan untuk menyerahkan beberapa wilayah, yakni Langkat, Asahan, dan Deli ke tangan kompeni.

Wilayah laut Aceh juga menjadi sangat penting, strategis sekaligus sibuk saat Terusan Suarez dibuka oleh Ferdinand de Lessep.

Satu faktor yang paling penting dan sangat menyulut emosi warga Aceh adalah Belanda memerintahkan Aceh untuk tunduk. Petisi ini ditolak dengan tegas oleh Sultan Mahmud Syah. 

Pemerintah Belanda sepertinya juga terpancing emosi. Mereka mendeklarasikan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. Lebih dari 3.000 pasukan Belanda di bawah kendali J.H Kohler melakukan penyerbuan ke tanah Serambi Mekah. 

Meskipun sudah melakukan perlawanan sekuat tenaga, akhirnya Aceh harus menyerah kepada Belanda. Sultan Alauddin Muhammad Saud Syah beserta Panglima Polem mendapat serangan dan tekanan yang teramat berat dari Belanda. Keduanya lantas menyerah. Setelahnya, Belanda bisa berkuasa penuh di Aceh.

Perang Padri 

Meskipun awalnya terjadi karena adanya pertentangan dalam masalah adat, Perang Padri berubah menjadi perang yang dilakukan untuk mengusir Belanda. Perang Padri dimulai pada 1803 dan berakhir tahun 1838.

Tokoh-tokoh yang terlibat dalam perlawanan dari masyarakat Minangkabau ini adalah Nan Renceh, Tuanku Tambusai, Tuanku Imam Bonjol, dan Tuanku Rao. Tuanku Rao adalah Panglima yang paling gigih dan terkemuka. Ia sangat berambisi melibat tentara Belanda di wilayah Padang Lawas, Kotanopan, Pasaman, dan Padang Sidempuan.

Sama seperti Perang Jawa, Perang Padri juga membuat jebol kantong pemerintah kolonial dan cukup menyusahkan. Pada 11 Januari 1833, kubu pertahanan mendadak diserang oleh kaum Adat dan kaum Padri. Peristiwa itu menewaskan lebih dari 190 tentara Belanda, dan ada juga yang dari pihak pribumi.

Namun, salah satu tokoh penting yakni Tuanku Imam Bonjol berhasil ditangkap Belanda di tahun 1937 dan diasingkan ke beberapa wilayah (Cianjur, Ambon dan Minahasa) hingga akhir hayatnya. 

Setahun setelah penangkapan itu, perang kembali terjadi. Kali ini Belanda lebih unggul dan berhasil merangsek masuk ke wilayah pertahanan masyarakat di Dalu-Dalu. Pemimpin rakyat Minangkabau kala itu, Tuanku Tambusai berhasil pergi ke Negeri Sembilan di Malaysia.

Lambat laun, kekuatan dan pertahanan Minangkabau pun merosot. Belanda dengan mudah menguasai wilayah ini, sekaligus menjadi tanda bahwa Perang Padri telah usai.

Diolah berbagai sumber/Ajeng Wirachmi/Litbang MPI

Page 2

Hal itu menyebabkan kerugian hebat dan cukup menyusahkan para petinggi negara tersebut. Setelah mengalami 5 tahun pertempuran, Pangeran Diponegoro akhirnya mau menyerahkan diri pada 28 Maret 1930. Keputusan itu ia buat karena pasukannya mendapat tekanan dan dijepit di Magelang oleh Jenderal de Kock. 

Perang Aceh

Aceh menjadi wilayah yang juga tak luput dari sasaran tentara dan pemerintah Belanda. Negara Kincir Angin itu ingin menguasai rempah-rempah yang memang melimpah di Aceh. Sebagai bentuk perlawanan terhadap invasi Belanda, rakyat Aceh melakukan perlawanan hingga pecahlah Perang Aceh, mulai tahun 1873 sampai 1912.

Melansir jurnal Inovasi Penelitian bertajuk ‘Strategi Perang Semesta dalam Perang Aceh (1873 – 1912)’, disebutkan bahwa perang ini menjadi perang yang paling lama dialami Belanda.

Sementara itu, faktor lain yang mendorong terjadinya perang Aceh adalah karena Belanda menduduki Siak hingga melakukan Perjanjian Siak tahun 1858. Sultan Ismail diwajibkan untuk menyerahkan beberapa wilayah, yakni Langkat, Asahan, dan Deli ke tangan kompeni.

Wilayah laut Aceh juga menjadi sangat penting, strategis sekaligus sibuk saat Terusan Suarez dibuka oleh Ferdinand de Lessep.

  • #sejarah Indonesia
  • #Perang
  • #Perang Indonesia Melawan Belanda

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA