You're Reading a Free Preview tolong di arti kan ke latin nyaa quisgbt1.apa arti dari kerukunan?jelaskan! boleh dibantu gak soalnya itu tes Dai rukun Islam#yang niat#tolong paman/kakak hukum memegang kelamin sendiri dengan tangan kanan ما هو المت الاسم ؟Apa tanda tandanya kalimah isim dan beserta contohnya berbahasa Arab { quiz }Tuliskan warna-warna dalam bahasa Arab!! (terserah mau berapa)minimal 7 warna apa tujuan orang belajar Al Qur'an Yang bisa baca makasih bersabar lebih utama dari pada? Oleh A Khorul Anam Tiga aspek dalam syariat Islam ini menjadi satu paket, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Misal, tidak sempurna puasa seseorang yang hanya menahan lapar dan haus tapi masih mengizinkan dirinya ghibah dan dengki, marah, dan selalu berprasangka negatif terhadap Allah. Tidak boleh sedikit-sedikit bilang sesat atau menjelaskan perihal haram dengan membentak-bentak atau dengan mata melotot. Dan seterusnya. Bahwa ketika keimanan utama (aspek pertama) sudah diucapkan rutin minimal sembilan kali sehari dalam tasyahud shalat, maka para ulama menekankan pentingnya penyatuan aspek kedua dan ketiga. bahkan dikatakan, orang yang berfikih (tahu halal haram) tapi tidak bertasawuf (tidak baik kelakuannya dan buruk isi hatinya) maka ia disebut fasik (tak taat terhadap syariat); dan orang yang bertasawuf tapi tidak paham dan tidak menjalankan detil ketentuan fikih disebut zindik (melenceng). Demikianlah. Di lingkungan NU, kajian (dan pengamalannya sekaligus) terkait tiga aspek syariat Islam itu diarahkan pada ulama khusus. Bidang keimanan diarahkan ke Imam Abu Hasan Al-Asy'ari dan Almaturidi, itu pun lebih fokus lagi ke Al-Asy'ari. Dalam fikih diarahkan ke Imam madhab empat, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal, itu pun di pesantren hanya fokus ke madzhab Syafi'i. Dalam hal tasawuf, diarahkan ke Imam Ghazali dan Iman Junaid al-Baghdadi, meskipun di pesantren tidak banyak yang kenal karya atau pemikiran tasawuf al-Baghdadi. Memang sangat luas cakupan kajian pada tiga aspek syariat Islam itu, namun perlu dibatasi dan diarahkan agar agama tidak hanya menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat. Agama adalah pengamalan. Terkhusus pada aspek ketiga kali ini, bahkan dalam penyebaran ajaran Islam di Nusantara malahan para ulama penyebar Islam lebih Walisongo malahan fokus ke aspek ini. Misal, Masyarakat diajak menonton wayang dengan syarat mengucapkan sekaten (dua kalimat sahadat) yang entah apa itu maknanya, kemudian diajarkan nilai-nilai Islam, sebelum detil mengajarkan soal tata cara wudlu atau shalat, ketentuan zakat, apalagi kewajiban puasa sehari penuh. Bahkan nilai-nilai Islam itu disambungkan dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh agama-agama atau dalam tradisi masyarakat yang sudah dijalankan dari waktu ke waktu, yang oleh kelompok puritan dituduh sebagai bid'ah karena tidak sesuai dengan kebiasaan orang Arab. di Nusantara, aspek ketiga ini yang diutamakan, dan justru inilah yang menyebabkan Islam berkembang pesat pada abad ke-13-15 bahkan menjadi mayoritas di Nusantara dan bertahan meskipun dilewati masa penjajahan orang Eropa. Pada sisi tertentu memang Rasulullah telah menyampaikan bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan aspek yang ketiga itu. Innama bu'itstu liutammima makarimal akhlaq. Terakhir. Untuk meluluhkan hati agar benar-benar menghayati dan mengamalkan beberapa nilai dalam ajaran tasawuf seperti taubat, sabar, syukur, rendah hati, penyayang sesama, dan siafat baik lainnya, kita diajurkan mengikuti tarekat. Tarikat artinya jalan khusus untuk mencapai intisari ajaran tasawuf. Ada banyak tarekat yang berkembang di Indonesia, seperti Qadiriyah Naqsabandiyah, Naqsabandiyah, Syaziliyah, Tijaniyah dan lain-lain. Beberapa aspek ajaran tarekat seperti urutan dan jumlah dzikir yang dilafadzkan usai shalat lima waktu, urutan dan dzumlah bacaan lafadz tertentu dalam tradisi tahlilan sudah diamalkan dengan baik oleh masyarakat meskipun tidak bertarikat. Amalan-amalan ini beserta berbagai tirakatnya, dan nilai-nilainya yang disampaikan oleh para mursyid tarekat atau oleh para kiai dan ustadz tidak lain adalah untuk mengasah hati (mujahadah) agar bisa menghayati dan mengamalkan nilai-nilai ajaran tasawuf. Urutannya: bersyariat dulu atau menjalankan ketentuan fikih, lalu bertarekat, baru orang akan menemukan hakikat ajaran Islam. Wallahu A'lam. Staf Pengajar UNUSIA Jakarta
Islam merupakan agama yang sangat diridhoi oleh Allah SWT. Para mudjahid membagi Islam ke dalam tiga kerangka pokok yaitu aqidah, Syariah dan akhlak. Semuanya merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Drs. Nasruddin Razak menyebutkan dalam bukunya “Dainul Islam” bahwa : Islam adalah dalam satu kesatuan ajaran, ajaran yang satu dengan yang lainnya mempunyai nisbat dan hubungan yang saling berkaitan. Maka Islam dapat kita lihat serempak dalam tiga segi: Aqidah, syariah dan nizam. Nizam adalah serupa dengan sistem, cara hidup atau the way of life. Islam sebagai suatu sistem, pertama kali kita lihat sebagai iman (kepercayaan), kemudian sistem ibadah (penyembuhan) sistem akhlak. Islam juga merupakan suatu cara hidup, mempunyai cara hidup dalam berkeluarga, cara hidup sosial, cara hidup dalam bidang politik, cara hidup ekonomi dan lain sebagainya. Untuk lebih jelasnya maka kita akan membahas lebih dalam mengenai ketiga aspek ajaran Islam di bawah ini. Mengenai akidah, syari’ah dan akhlak. Akidah adalah sesuatu yang dianut oleh manusia dan diyakininya baik berwujud agama dan yang lainnya. Aqidah (kepercayaan) itu adalah sesuatu hal yang pertama-tama yang diserahkan oleh Rasulullah dan yang dituntutnya dari manusia untuk dipercayai dalam tahapan pertama daripada tahapan-tahapan dakwah Islamiyah dan yang merupakan pada seruan setiap Rasul yang diutus oleh Allah swt. Aqidah secara etimologi berarti ikatan atau sangkutan. Dan secara terminologi berarti creedo, creed yaitu keyakinan hidup. Iman dalam arti yang khusus, yakni pengikraran yang bertolak dari hati. Bentuk jamaknua ‘aqaid atau ma’rifat, ilmu ushuluddin, ilmu kalam, ilmu hakikat dan ilmu tauhid. Sayid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian keimanan atau aqidah itu tersusun dari enam perkara yaitu: 2. Ma’rifat dengan Alam yang ada dibalik alam semesta ini. 3. Ma’rifat dengan kitab-kitab Allah 4. Ma’rifat dengan Nabi-nabi serta Rasul-rasul Allah. 5. Ma’rifat dengan hari akhir. 6. Ma’rifat dengan takdir “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan Hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia”. Akidah dalam Islam meliputi keyakinan dalam hati tentang Allah sebagai Tuhan yang wajib disembah, ucapan denagn lisan dalam bentuk dua kalimah syahadat, diwujudkan dalam perbuatan dengan amal shaleh. Akidah dalam Islam harus berpengaruh pada segala aktivitas yangt dilakukan oleh menusia. Sehingga aktivitas tersebut dapat bernilai ibadah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akidah dalam Islam tidak hanya sekedar keyakinan dalam hati, melainkan tahap lanjutan yang akna menjadi acuan dan dasar dalam bertingkah laku, serta berbuat yang pada akhirnya akan menghasilkan amal shaleh. Syariat adalah peraturan-peraturan yang diciptakan Allah atau yang diciptakan pokok-pokoknya di dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan saudara sesama muslim, dengan saudara sesama manusia, dengan alam dan hubungannya dengan kehidupan. Cara untuk mengadakan hubungan tersebut adalah: a. Cara manusia berhubungan dengan Tuhan b. Cara manusia berhubungan dengan sesama muslim c. Cara manusia berhubungan dengan saudara sesama manusia d. Cara manusia berhubungan dengan alam e. Cara manusia berhubungan dengan kehidupan. Syari’ah pada asalnya bermakna “jalan yang lempeng” Pengertian syari’ah yang sering dipakai dikalangan para ahli hukum, ialah: “Hukum-hukum yang diciptakan oleh Allah SWT untuk segala hambaNya agar mereka itu mengamalkannya untuk kebahagiaan dunia akhirat, baik hukum-hukum itu bertalian dengan perbuatan, aqidah dan akhlak”. Para ahli fiqh memakai kata syari’ah ini sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk para hambaNya dengan perantaraan Rasulullah supaya para hambaNya tersebut melaksanakannya dengan dasar iman yang hukum tersebut mencakup seluruh kehidupan manusia. Syari’ah berasal dari wahyu Allah yang dituangkan dalam al-Quran dan al-Hadits, diwajibkan untuk ditaati dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, apabila manusia ingin hidup bahagia dan tenteram baik di dunia dan di akhirat maka Allah berfirman Syari’ah juga merupakan tata ketentuan yang telah mengatur dengan sebaik-baiknya bagaimana seorang muslim melakukan kewajibannya terhadap Allah secara vertikal dan bagaimana pula seorang muslim mendapatkan hak dan melaksanakan kewajibannya secara horizontal terhadap sesama makhluk Allah. Syari’ah berpusat pada dua segi kehidupan yang cukup mendasar yaitu aspek ibadah dan muamalah. Aspek ibadah terdiri dari dua jenis yaitu ibadah dalam pengertian umum dan ibadah dalam pengertian khusus. Ibadah dalam pengertian umum yakni semua amalan yang diizinkan oleh Allah dan yangn tidak ditetapkan secara terperinci mengenai keharusan mengerjakannya. Sedangkan ibadah dalam arti khusus yakni apa-apa yang telah ditetapkan Allah secara terperinci baik tingkat maupun kaifiyat atau dalam cara-cara tertentu. Sesuai dengan fungsi, tujuan dan nilai yang terkandung dalam peribadatan dapat diketahui tiga macam bentuk ibadah yaitu Ø Ibadah syahsiyah adalah ibadah perorangan dalam rangka pembentukan watak yang formil yakni kepribadian muslim, seperti ibadah shalat dan syahadat. Ø Ibadah ijtima’iyah syaltout yaitu ibadah kemasyarakatan yang bernilai amaliyah social untuk membentuk rasa tanggung jawab sosial, seperti zakat dan puasa. Ø Ibadah siyasah adalah ibadah yang secara tidak langsung terkandung aspek politis biasanya berupa ibadah haji untuk membina persatuan dan kesatuan umat. Akhlak ialah suatu gejala kejiwaan yang sudah meresap dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa mempergunakan pertimbangan terlebih dahulu. Apabila yang timbul daripadanya adalah perbuatan-perbuatan baik, terpuji menurut akal dan syara’ maka disebut akhlak baik, sebaliknya apabila yang timbul dari padanya adalah perbuatan yang jelek maka dinamakan akhlak yang buruk. Dalam menjalankannya sebaiknya berpedoman kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Secara garis besarnya menurut sifatnya terbagi kepada dua yakni akhlak terpuji dan akhlak tercela. Dari segi bentuknya kahlak dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu: b. Akhlak terhadap manusia c. Akhlak terhadap makhluk-makhluk lain. Masalah-masalah pokok yang menyangkut akhlak, menurut al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin ialah: a) Hikmah yakni kemampuan jiwa untuk membedakan yang benar dari yang salah dalam segala perbuatan yang ada di bawah kekuasaan manusia. b) Keadilan yakni kemampuan jiwa untuk mengendalikan daya (kekuatan), marah, dan daya nafsu serta mendorongnya kepada tuntunan hikmah dengan membatsi gerak-geriknya. c) Syaja’ah yakni keadaan daya gadlah yang tunduk dan taat kepada akal dalam semua gerak maju dan mundurnya. d) Iffah yakni keadaan daya nafsu terpimpin dan terdidik dengan pendidikan dan pimpinan akal dan agama. D. Metode Pencapaian Aqidah dan Akhlak Metode pencapaian aqidah Islam dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: a. Doktriner yang bersumber pada wahyu ilahi yang disampaikan melalui RasulNya dan pesan Allah tersebut telah diabadikan dalam satu kitab Al-Quran yang secara operasionalnya dijelaskan oleh sabda Nabi-Nya. b. Filosofiks atau bias disebut juga dengan melalui hikmah di mana Tuhan mengarahkan kebijaksanaan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya Tuhan dengan cara memperhatikan fenomena yang diambil sebagai bukti-bukti adanya Tuhan melalui kontemplasi yang mendalam. c. Metode Ilmiah dengan memperhatikan fenomena alam sebagai bukti adanya Allah SWT. Misalkan melalui cosmologi, antropologi, psikologi, botani, oceanographi dan lain sebagainya. d. Irfani’ah yaitu metode yang menekankan pada intuisi dan perasaan hati seseorang setelah emlalui upaya suluk (perbuatan yang biasa dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu). Metode ini membagi alam dalam dua kategori, yakni pertama, alam nyata yang mampu diobservasi dan kedua, alam intuisi yang berkaitan dengan jiwa dan tidak mungkin mampu ditundukkan dengan analogi atau pengalaman. Sedangkan metode yang digunakan dalam pencapaian akhlak terdapat tiga cara yaitu: a) Metode Takhalli yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela lahir dan batin. Dalam mencapai metode Tahalli seseorang harus bias menghindari sifat-sifat mazmumah. b) Metode Tahalli yaitu mengisi diri dengan sifat-sifat mahmudah secara lahir dan batin. c) Metode Tajalli yaitu merasa akan keagungan Allah SWT. E. Prinsip-prinsip Aqidah dan Akhlak Prinsip aqidah dan akhlak di antaranya adalah: a. Aqidah yang didasarkan atas tauhid, yaitu mengesakan Allah dari segala dominasi yang lain. Prinsip at-Tauhid tidak juga mempertentangkan antara dunia dengan akhirat. Oleh sebab itu prinsip at-Tauhid harus ditopang dengan lima komitmen, yaitu: Ø Memiliki komitmen utuh kepada Tuhan dan menjalankan pesanNya. Ø Menolak pedoman hidup yang bukan berasal dari Tuhan. Ø Bersikap progresif dengan selalu menekan penilaian kualitas hidup adapt istiadat, tradisi, dan faham hidup. Ø Tujuan hidupnya amat jelas, yaitu semua aktivitas hanya untuk Allah semata. Dijelaskan dalam Q. S. Al-An’Am “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam”. Ø Memiliki visi yang jelas dengan manusia lain, sehingga terjalin keharmonisan antara manusia dan Tuahannya, dengan lingkungan di sekitarnya. b. Aqidah harus dipelajari secara terus menerus (Continue) dan diamalkan hingga akhir hayat dan di dakwahkan kepada yang lain. Sumber aqidah Allah yakni Dzat yang Maha Benar. Oleh sebab itu dalam mempelajari aqidah harus melalui wahyuNya. “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”. c. Scope pembahasan aqidah tentang Tuhan dibatasi dengan larangan memperbincangkan dan memperdebatkan tentang eksistensi Dzat Tuhan, sebab dalam satu hal ini manusia tidak akan pernah mampu menguasai. d. Akal dipergunakan manusia untuk memperkuat aqidah, bukan untuk mencari aqidah, karena semua telah jelas dalam al-Quran dan al-Hadits. Prinsip-prinsip umum yang dipergunakan dalam akhlak adalah: a) Akhlak yang baik yakni berlandaskan al-Quran dan al-Hadits. b) Adanya keseimbangan antara berakhlak kepada Allah, sesama manusia, dan makhluk lain. c) Pelaksanaan akhlak harus bersamaan dengan pelaksanaan dengan aqidah dan syari’ah. d) Akhlak dilakukan semata-mata karena Allah, meskipun obyek akhlak kepada makhluk. e) Akhlak dilakukan menurut proporsinnya Islam dapat dilihat dalam tiga segi: Aqidah, syariah dan akhlak (nizam) . Nizam adalah serupa dengan sistem, cara hidup atau the way of life. Islam sebagai suatu sistem, pertama kali kita lihat sebagai iman (kepercayaan), kemudian sistem ibadah (penyembuhan) sistem akhlak. Islam juga merupakan suatu cara hidup, mempunyai cara hidup dalam berkeluarga, cara hidup sosial, cara hidup dalam bidang politik, cara hidup ekonomi dan lain sebagainya. Berikut penjelasannya: Aqidah (kepercayaan) itu adalah sesuatu hal yang pertama-tama yang diserahkan oleh Rasulullah dan yang dituntutnya dari manusia untuk dipercayai dalam tahapan pertama daripada tahapan-tahapan dakwah Islamiyah dan yang merupakan pada seruan setiap Rasul yang diutus oleh Allah SWT. Syariat adalah peraturan-peraturan yang diciptakan Allah atau yang diciptakan pokok-pokoknya di dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan saudara sesama muslim, dengan saudara sesama manusia, dengan alam dan hubungannya dengan kehidupan. Sedangkan akhlak adalah gejala kejiwaan yang sudah meresap dalam jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa mempergunakan pertimbangan terlebih dahulu.
Pelaksanaan Dakwah tidak boleh dilalaikan.[iii] Melalaikan program Dakwah akan berakibat hapusnya kebahagiaan dan kesejahteraan yang selalu menjadi idaman manusia.[iv] Beban Dakwah adalah tanggung jawab bersama membimbing umat selalu setia kepada kebenaran. Intensifitas peran Dakwah ilaa Allah adalah memimpin, mengajak, membimbing dan memberikan penyuluhan kepada umat binaan. Agar umat tidak ter-perosok kepada kepercayaan selain Allah (thaghut) [v] Dakwah ilaa Allah yang terprogram dan berkelanjutan terus menerus akan menghasilkan kehidupan manusia yang sejahtera secara hakiki. Lahir batin. Upaya Dakwah menyangkut semua minat, gita dan ikhtiar. Menciptakan keselamatan. Merakit kebahagiaan hidup dalam ukuran materi, dan ketenteraman bathin yang menjadi inti kenyamanan mental spiritual. Landasannya taqwa kepada Allah. Gerakan Dakwah ilaa Allah mesti bertumpu kepada paradigma tauhid, laa ilaaha illa Allah. Hidup dengan paradigma tauhid ialah sadar terhadap kewajiban hakiki sebagai makhluk Allah. Melaksanakan konsep perangai dari Khalik yang wajib dilaksanakan oleh setiap makhluk dalam bentuk akhlak. Tidak melalaikan perintah-perintah agama. Proaktif dalam menyiapkan perangkat dan peralatan Dakwah . Dakwah yang dijalankan Dewan Da’wah terhadap umat Islam di Indonesia adalah segala usaha untuk mengubah posisi, situasi kondisi umat menuju keadaan yang lebih baik. Maksudnya, agar dapat terpenuhi secara sungguh-sungguh perintah Allah. Mewujudkan suatu tatanan masyarakat berakhlaq mulia. Menjadi kelompok umat teladan. Bisa menjadi wasit yang adil dan sanggup menampilkan identiti umat pilihan. Serta merta menjadi suri kehidupan berbangsa. Dalam nafas kesejagatan dan hubungan bangsa-bangsa, peran Dakwah Islamiah menjadi sangat berarti. Secara aktif dan bersama-sama membentuk generasi umat manusia yang inovatif. Generasi umat manusia yang menguasai ilmu pengetahuan berpaksikan tauhidik, dan selalu menjunjung tinggi norma moral akhlakul karimah. Generasi yang kokoh aqidah, kuat ibadah, dan teguh memegang prinsip utama ajaran agama Islam dengan penguasaan ilmu pengetahuan yang bersifat utilitarian akan memiliki kesiapan untuk bertanding dan bersanding di segala posisi dan zaman. Dakwah membentuk umat yang sanggup menjadi penengah dan berperan dalam memacu gerak reformasi kehidupan bermasyarakat. Social reform. Dakwah membuat generasi penyelesai. Mampu mengetengahi persoalan bangsa-bangsa dalam hubungan regional dan internasional. Maka setiap upaya ke arah pembentukan generasi yang kuat akidah, teguh akhlak, lasak, kreatif dan inovatif dalam percaturan global merupa-kan prioritas utama dalam menampilkan program umatisasi. Dakwah Islamiah harus mampu tampil dengan program-program yang ummatik sifatnya. Dan akan merupakan bentuk yang sangat spesifik dalam realitas umatan wasatan. Berpikiran jernih, dinamik dan kritis dalam menghadapi serba cabaran dan tantangan. Umat yang akan dibangun dengan Dakwah memiliki kesanggupan besar untuk mengetengahkan ciri-ciri budaya Islami, membawa rahmat seluruh kehidupan. Dakwah berusaha mengubah masyarakat kepada keadaan yang lebih baik. Maka dakwah mesti dilaksanakan terpadu. Dakwah harus dapat dijalankan secara lebih efektif dan efisien menurut tuntunan dan pedoman Risalah Islam. Sudah barang tentu, untuk semua kegiatan Dakwah di lapangan, baik yang sudah ataupun yang sedang dilaksanakan, mesti tersusun dalam suatu filing dokumentatif. Terdata dengan baik dalam satu dokumentasi. Sehingga dengan mudah dapat diplot secara prioriti, menurut posisi dan hirarki yang tepat dalam satu peta kegiatan Dakwah. Keseluruhan kegiatan yang terdata baik dan sempurna, akan memberikan dukungan sangat berarti, bagi pembuatan dan penyiapan suatu “peta Dakwah ”. Peta Dakwah berperan penting menetapkan antisipasi dan inspirasi untuk satu gerakan Dakwah. Termasuk dalam menghadapi macam keadaan di semua level perkembangan. Begitu pula untuk menjawab berbagai aspek dalam kehidupan sosial, ekonomi, budaya, politik dan agama. Intervensi budaya dan upaya-upaya tanshiriyah di bidang politik siyasah, memerlukan penanganan serius dengan informasi tepat dan data-data akurat. Bapak Mohamad Natsir selalu berusaha mendorong Dewan Da’wah memiliki kemampuan tinggi dalam menempatkan tahapan Dakwah secara kreatif. Melalui pengupayaan diri para da’i diharapkan memiliki kesadaran tinggi -- to create the high level awareness -- dengan menanamkan kesiapan untuk menerima suatu perubahan secara dinamik futuristrik. Gagasan-gagasan Dakwah diterjemahkan dalam makna pengupayaan diri. Melalui program Dakwah nyata, seperti rumah-rumah sakit Islam, pondok pesantren, pesantren pertanian, masjid-masjid kampus, menghidupkan tanah mati, pesantren pertanian al-fallah, dan lain-lain, Dewan Da’wah tampak berkiprah. Pada mulanya gerak Dakwah dikaji dan ditelaah secara efektif melalui data informasi. Diolah dalam labor Dakwah. Dengan cara itu, lembaga Dewan Da’wah berkembang menjadi salah satu tempat membahas problematika Dakwah. Semua problema di medan Dakwah, yang terjadi dan ditemui para du’aat di setiap pelosok negeri, hingga ke wilayah terpencil sekalipun, tidak boleh luput dari pengkajian. Laporan du’at darimanapun datangnya, selalu ditunggu oleh Pak Natsir. Laporan para da’i menjadi prioritas pertama, untuk didengar dan dibahas. Kemudian selalu di-upayakan jalan keluar, melalui pemberdayaan hubungan emosional spiritual ahlul-qurba. Kadangkala dengan, atau tanpa dana tersedia. Program keumatan dalam bidang Dakwah tetap di-laksanakan. Dengan dorongan motivasi nawaitu menumbuhkan vitalitas dan kreativitas yang tinggi. Sehingga Dakwah tetap bergerak dan sanggup berjalan didaerah-daerah sesulit apapun. Kenyataannya, pergerakan Dakwah tidak hanya karena adanya suntikan dana semata. Lebih utama, karena selama adanya da’i Dewan Da’wah yang tetap berdakwah. Beriring dengan kekukuhan motivasi membina umat, lahirlah dukungan besar dari umat. Sering probelamatika da’i di lapangan Dakwah, hanya berisikan soal-soal kecil. Kadangkala, oleh orang lain biasa, disepelekan. Hal kecil, seperti masalah ember dan kuali, soal tikar dan atap masjid yang bocor, atau minyak tanah bagi lampu di surau, yang dilihat kecil masalahnya. Dan dikata persoalan kecil, kata para manager handal yang selama hidupnya hanya mengurusi kertas, atau berbagai persoalan di belakang meja, boleh ditunda dulu. Tetapi oleh juru Dakwah di lapangan, persoalan sekecil ini adalah masalah sangat besar. Tidak boleh diabaikan. Problema itu menyangkut kepentingan umat Dakwah. Masalah kecil itu, sedang menjadi beban di medan Dakwah. Bapak Mohamad Natsir selalu memberikan perhatian penuh dengan menasehatkan “bagi kebanyakan orang, soal-soal kecil itu kurang berarti, karena dia selalu menangani soal-soal besar”. Pak Natsir berkata, “bagi du’at di lapangan Dakwah, yang tengah berada di daerah jauh, bahkan terpencil, soal kecil itu adalah beban besar dan berat. Karena itu mereka mengadukan kepada kita”. Dewan Da’wah sejak awal gerakannya sangat intensif menangani problematika Dakwah, di lapangan sulit yang dihadapi setiap harinya. Bapak Mohamad Natsir, selalu siap dan terbuka dalam menerima setiap tamu yang datang. Terutama kalau yang datang itu adalah para du’at dari daerah. Kadangkala, dianggap sama pentingnya dengan menerima serombongan menteri. Menghadapi kondisi sangat sulit sekalipun, diminta perhatian sungguh-sungguh untuk melakukan inventarisasi permasalahan secara lebih mendetil. Tidak jarang pula tatkala para da’i Dewan Da’wah yang ditugaskan tersebar jauh di daerah seluruh pelosok Nusantara, tidak sempat menuliskan surat atau laporan, karena ketiadaan hubungan dan transportasi. Maka perwakilan Dewan Da’wah di daerah, selalu diminta untuk memantau keadaan para du’aat itu. Perjalanan menemui da’i di lapangan seringkali memakan waktu berhari-hari dengan kesulitan lapangan yang bervariasi pula. Kadang-kadang termasuk inventarisasi senduk kuali, alat peragat piring dan ceret, yang menjadi keperluan seharian para du’aat, yang bertugas di daerah terpencil itu. Semua laporan mesti ditulis terdokumentir. Lengkap dengan foto dan data-datanya. Begitu kepedulian dan teladan dari Mohamad Natsir. Keteladanan nyata dari Mohamad Natsir jelas tampak dalam gagasan-gagasan Dakwah dalam seperempat abad kepemimpinan beliau di Dewan Da’wah. Kehati-hatian melangkah dalam menatap alaf baru, patut ditiru. Sekecil apapun masalah tidak boleh diabaikan. Masalah umat yang menjadi binaan para da’i, menjadi penting dan pokok perhatian. Berapapun jumlahnya umat yang dihadapi, pasti tidak akan banyak artinya, jika unsur kesiapan da’i terabaikan. Menyiapkan kesiapan da’i, disinilah titik perhatian utama Dewan Da’wah sejak semula. Urusan dokumentasi, penelitian dan informasi tidak boleh diabaikan. Dokumentasi amat berguna untuk pengembangan kualitas pembinaan Dakwah Islamiah. Pengembangan Dakwah yang teratur, pada gilirannya akan selalu berbekas di hati umat. Begitulah upaya penanaman kesadaran tinggi selalu diupayakan. Bapak Mohamad Natsir sangat konsisten dalam memberikan pengawalan penuh. Setiap saat dan ketika. Agar nawaitu umat selalu terjaga. Nawaitu yang lurus dari da’i dan umat. Nawaitu akan memperlancar gerak Dakwah. Dakwah mesti selalu berurat di hati umat. Mengawal Dakwah sampai kehati umat menjadi program dasar utama. Disinilah kerja dakwah sejak awal berdiri Dewan Da’wah .G
[i] Kehidupan bertauhid, tampak jelas dalam setiap gerak dan prilaku hidup manusia secara sosial, ekonomi, budaya, maupun politik, dalam tatanan kemasyarakatan umat manusia.
[ii] QS. An Nahl (16) ayat 125, dan lihat juga QS.Al Hajj (22) ayat 67, QS.Al Qashash (28) ayat 87.
[iii] Gerak Dakwah Ilaa Allah, ajakan kepada kekuasaan Allah yang muthlak, dan menjadi komitmen ucapan dalam operasional sebagai bukti prilaku tauhid. Pandangan hidup tauhid (tauhidic weltanschau-ung) merupakan perpegangan hidup dalam seluruh upaya mengelola semua kehidupan dunia untuk ukhrawi. Tegas selalu memilih jalan yang benar, karena jalan yang benar sudah nyata berbeda dari jalan yang sesat.
[iv] Lihat QS.Ali Imran (3) ayat 104.
[v] Kepercayaan kepada thaghut terlihat pada tingkah laku seperti keyakinan terhadap kekuatan mistik, larut mencari kekuatan jin, mencari tenaga roh-roh gaib, paham kejailangkungan, bertapa di tempat sepi dan angker, semuanya tampil karena hilangnya tauhid dan akhirnya menipu diri sendiri. run:ye�$�.� < � P gkafiran di sini berdasar atasberlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan. Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an. Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat al-An'am: Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagian timur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itu sebelum zaman al-Ghazali telah muncul teologi baru yang menentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satu tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu jelas ia meninggalkan paham Mu'tazilahnya dan munculkan sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah teologi baru yang kemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari. Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'ari bercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat dari hal-hal 1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan filosofis. 2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis. 3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan. Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada berkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali, teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zaman al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filsuf-filsuf Islam. III.13. FILSAFAT ISLAM (3/3) oleh Harun Nasution Di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang sesudah serangan al-Ghazali tersebut. Ibn Bajjah (1082-1138) dalam bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan menghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahafut al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah. Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai permulaan dalam zaman, konsep al-Ghazali bahwa alam hadis, alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketika itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil. Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan, Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air. Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim menyebut pula, Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia' mengatakan pula, Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air. Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua benda yang berlainan. Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata Ibn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada," seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti yang dikatakan para filsuf. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun, menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah. Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada" tetapi dari sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah seperti disebut oleh ayat di atas. Filsafat memang tidak menerima konsep penciptann dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada," kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang terjadi ialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhan menjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula langit. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi susunannya adalah baru (hadis). Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa kepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiran filsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampau sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan qadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan demikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan, Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat 47/8 dari surat Ibrahim menyebut: Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit. Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di hari kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang lain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materi asal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur ini Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah seterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filsuf dalam filsafat mereka tentang qadimnya alam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan pihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masing tentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi pendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali. Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tak pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahui perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan mengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi dan materi dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifat immateri dan tak mempunyai pancaindra. Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam Tahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut hal itu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahajut al-Falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapat adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia mengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialah pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada. Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya pembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filsuf, dan kelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali dari filsafat mereka. Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain, menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an maka dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil adalah meningga]kan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya. Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam harmoni ini akal mempunyai kedudukan tinggi. Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat filsafat benar, sungguhpun menurut agama salah. Agama mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa. Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tinggal di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada 1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islam bagian barat. Di dunia Islam bagian timur, kecuali di kalangan Syi'ah, teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan dari pada jalan filsafat. Hilanglah pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datang abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam bidang pemikiran, filsafat dan sains, sebagaimana disebut di atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berpikir Ibn Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain. DAFTAR KEPUSTAKAAN De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R. Jones, London, Luzac & Co., 1970. Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t. Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966. Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni, 1961. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1983. Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964. Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969. Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938. O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs, London, Routledge & Kegan Paul, 1964. Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden, 1963. |