Transaksi-transaksi yang dilarang untuk dilakukan dalam Islam adalah transaksi yang disebabkan oleh kedua faktor berikut : 1. Haram zatnya (objek transaksinya) Suatu transaksi dilarang karena objek (barang dan/atau jasa) yang ditransaksikan merupakan objek yang dilarang (haram) dalam hukum agama Islam. Seperti memperjualbeli kan alkohol, narkoba, organ manusia, dll. 2. Haram Selain Zatnya (Cara Bertransaksi-nya) Jenis ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu :
Wahbah al-Zuhaili memberi pengertian tentang gharar sebagai al-khatar dan altaghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakekatnya menimbulkan kebencian, oleh karena itu dikatakan: al-dunya mata`ul ghuruur artinya dunia itu adalah kesenangan yang menipu. Dengan demikian menurut bahasa, arti gharar adalah al-khida` (penipuan), suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjualbelikan dan tidak dapat diserahkan. Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini adalah suatu kontrak yang dibuat berasaskan andaian (ihtimal) semata. Inilah yang disebut gharar (ketidak jelasan) yang dilarang dalam Islam, kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut adalah:
Imam an-Nawawi menyatakan, larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai perananan yang begitu hebat dalam menjamin keadilan, jika kedua belah pihak saling meridhai, kontrak tadi secara dztnya tetap termasuk dalam kategori bay’ al-gharar yang diharamkkan. Secara umum, bentuk Gharar dapat dibagi menjadi 4 : 1. Gharar dalam Kuantitas Misalnya seorang petani tembakau sudah membuat kesepakatan jual beli dengan pabrik rokok atas tembakau yang bahkan belum panen. Pada kasus ini, pada kedua belah pihak baik petani tembakau maupun pabrik rokok mengalami ketidakpastian mengenai berapa pastinya jumlah tembakau yang akan panen. Sehingga terdapat gharar atas barang yang ditransaksikan. 2. Gharar dalam Kualitas Misalnya seorang pembeli sudah membuat kesepakatan untuk membeli anak kambing yang masih berada di dalam kandungan. Pada kasus ini, baik penjual maupun pembeli tidak mengetahui dengan pasti apakah nantinya anak kambing ini akan lahir dengan sehat, cacat, atau bahkan mati. Sehingga terdapat ketidakpastian akan barang yang diperjualbelikan. 3. Gharar dalam Harga Misalnya Tn. A menjual motornya kepada Tn. B dengan harga Rp 8.000.000 jika dibayar lunas dan Rp 10.000.000 jika dicicil selama 10 bulan. Pada kasus ini, tidak ada kejelasan mengenai harga mana yang dipakai. Bagaimana jika Tn. B dapat melunasi motornya dalam waktu kurang dari 10 bulan? Harga mana yang akan dipakai? Hal inilah yang menjadi suatu ketidakpastian dalam transaksi. 4. Gharar menyangkut waktu penyerahan Misalnya Basti sudah lama menginginkan handphone milik Miro. Handphone tersebut bernilai Rp 4.000.000 di pasaran. Suatu saat, handphone tersebut hilang. Miro menawarkan Basti untuk membeli handphone tersebut seharga Rp 1.500.000 dan barang akan segera diserahkan begitu ditemukan. Dalam kasus ini, tidak ada kepastian mengenai kapan handphone tersebut akan ditemukan, dan bahkan mungkin tidak akan ditemukan. Hal ini menimbulkan gharar dalam waktu penyerahan barang transaksi.
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman; الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al Baqarah (2): 275] Di dalam Sunnah, Nabiyullah Mohammad saw دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً “Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah). Kirim ke teman | Versi cetak
Transaksi dalam Islam haruslah didasari dengan adanya saling suka, hal ini untuk memperoleh suatu transaksi yang saling menguntungkan dengan cara yang adil, sehingga tidak menimbulkan kerugian terhadap pihak lainnya. Allah SWT telah berfirman:
Adapun sebab mengapa sebuah transaksi dilarang yaitu karena haram zatnya (objek yang diperjualbelikan seperti minuman beralkolhol, babi, dan bangkai), haram selain zatnya (cara bertransaksinya), dan tidak sah (lengkap) akadnya (rukun dan syarat yang tidak terpenuhi dan terjadinya ta’alluq). Untuk lebih memperdalam lagi jenis transaksi apa saja yang dilarang dalam Islam, simak berikut ini ya. Pexels/PixabayAl-maisir berasal dari bahasa Arab yakni yasara atau yusr berarti mudah. Maisir merupakan bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan dengan disepakati bahwa pihak yang menang akan mendapatkan hasil dari taruhan tersebut, sedangkan pihak yang kalah mengalami kerugian besar karena tidak mendapatkan untung dari permainan itu. Jenis-jenis maisir yang harus kita hindari seperti mengadu nasib dengan undian, bertaruh dengan uang, dan lain sebagainya. Berkaitan dengan maisir Allah SWT telah berfirman: Unsplash/Andrea Piacquadio Gharar dalam bahasa Arab ialah al-khathr artinya “pertaruhan”. Gharar berarti transaksi yang mengandung unsur ketidakjelasan, sehingga dapat diartikan bahwa si pembeli tidak mengetahui secara pasti apa yang dibelinya dan bagi si penjual pun tidak mengetahui apa yang dijualnya secara pasti. Contohnya seperti membeli anak sapi dalam kandungan atau membeli hasil pertanian yang belum melewati masa panen tiba. Jenis transaksi ini tidak diperbolehkan dalam Islam, sebagaimana hadis berikut:
Baca Juga: Sarat Makna, Ini 5 Keistimewaan Doa Sapu Jagad yang Disukai Rasulullah Unsplash/Alex HudsonDikatakan sebagai tadlis yaitu salah satu pihak menyembunyikan informasi dari pihak lainnya, sehingga menimbulkan keuntungan kepada satu pihak saja dan merugikan pihak lain. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan informasi atas objek yang sedang diperjualbelikan. Tadlis dapat terjadi karena empat hal yakni dalam kuantitas, kualitas, harga, dan barang. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
Riba dapat diartikan sebagai mengambil “kelebihan” yang dilakukan dalam bertransaksi yang bertentangan dengan syariat. Hal ini sudah jelas tercantum dalam Al-Qur’an yaitu:
Jenis riba digolongkan menjadi empat yaitu, riba fadhl, riba nasi’ah, riba qard, dan riba jahiliyah. Riba fadhl yakni terjadinya pertukaran antara barang sejenis dengan takaran yang berbeda, atau pertukaran barang itu termasuk dalam jenis barang ribawi (harus dibayar sesuai dengan jumlah timbangannya dan kualitasnya) seperti kurma, gandum, emas, sya’ir (gandum merah), garam, dan perak. Riba nasi’ah lahir sebab adanya perubahan atau perbedaan tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Riba qard yaitu adanya tambahan tertentu yang disyaratkan kepada yang berhutang pada saat melakukan awal transaksi. Terakhir, riba jahiliyah yaitu utang harus dibayar melebihi dari pokoknya karena si peminjam tidak dapat membayar sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Pixabay/Capri23autoRisywah ialah perbuatan yang memberi sesuatu kepada pihak lainnya, padahal bukan haknya atau juga dikenal dengan istilah suap menyuap. Menurut pendapat para ulama bahwa ar-Rasyi (penyuap) dan al-Murtasyi (penerima suap) perbuatan ini termasuk ke dalam kelompok dosa besar. Hal ini termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 188 yaitu sebagai berikut. Unsplash/Erik Hathaway Ba’i najasy atau manipulasi permintaan, bertujuan untuk meningkatkan omset penjualan dengan cara menciptakan penawaran palsu. Ambil contoh misalnya, pedagang berkerja sama dengan seseorang untuk berpura-pura menawarkan barang dagangannya dengan harga yang tinggi, tujuannya untuk memperdaya pembeli lainnya agar membeli dengan harga palsu itu atau bahkan bisa lebih tinggi lagi. Hal ini termasuk dalam kategori penipuan, untuk itu transaksi jenis ini dilarang. Unsplash/Dewang GuptaLain hal dengan ba’i najasy, ikhtikar atau manipulasi penawaran ini dilakukan sebagai upaya memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat dengan cara menjual jumlah barang yang langka ditawarkan dengan harga yang selangit. Misalnya seperti yang baru terjadi kemarin, harga masker dijual dengan harga yang tinggi, usut punya usut ternyata ada beberapa oknum yang sengaja melakukan penimbunan barang sehingga ia dapat menjualnya dengan harga tinggi, hal ini tak lain ia lakukan untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Maka sudah jelas bahwa transaksi jenis ini dilarang dan harus dihindari. Bai al-mudtarr indentik dengan jual butuh yaitu dilakukan karena salah satu pihak dalam kondisi yang sangat membutuhkan, sehingga tidak menutup kemungkinan oleh pihak yang kuat mendapatkan keuntungan yang lebih, akan tetapi merugikan pihak yang lainnya. Misalnya seperti ini, seseorang dalam kondisi sangat membutuhkan uang, alhasil dengan sangat terpaksa ia menjual tanahnya yang jauh dari harga pasar. Dalam melakukan sebuah transaksi harus berdasarkan pada unsur kerelaan, namun bai’ al-mudtarr sangatlah tidak mencerminkan keadilan yang berlandaskan pada prinsip syariah. Pexels/PixabayIkrah adalah suatu perbuatan yang ditimbulkan dari pemaksa untuk mengerjakan perbuatan yang dituntut oleh pemaksa. Ikrah dibagi menjadi dua yaitu ikrah mulji’ ialah sebuah paksaan yang dapat menghilangkan kerelaan dan merusak ikhtiyar (pilihan) pada orang yang dipaksa. Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa ikrah mulji’ yaitu sebagai pemaksaan yang membuat seseorang tidak mempunyai kemampuan seperti seseorang mengancam orang lain dengan sesuatu yang merusak dirinya. Kedua, ghairu mulji’ yakni paksaan yang dapat menghilangkan kerelaan, akan tetapi tidak sampai merusak ikhtiyar pada seseorang yang sedang dipaksa. Baca Juga: 5 Manfaat Sedekah Buat Kamu yang Sering Melakukannya
Baca Artikel Selengkapnya IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis. |