Sebutkan faktor penyebab terjadinya Kerawanan pangan di Indonesia

Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati…”

Potongan lirik lagu berjudul Ibu Pertiwi itu dirasa tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia sekarang ini. Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak bulan Maret mengganggu banyak sekali sektor-sektor yang menyokong kehidupan masyarakat, termasuk diantaranya sektor pertanian. Sektor pertanian menjadi sorotan karena memiliki kaitan erat dengan ketahanan pangan nasional. Tentunya pada masa pandemi yang sulit seperti sekarang ini ketahanan pangan menjadi sesuatu yang harus diupayakan untuk menghindar dari krisis pangan yang seakan menghantui Indonesia.

Sebutkan faktor penyebab terjadinya Kerawanan pangan di Indonesia
(databoks.katadata.co.id)

Meskipun menurut data yang dilansir dari Badan Pusat Statistik Kementrian Pertanian stok pangan nasional diprediksi akan mengalami surplus hingga bulan Juni 2020, namun hal ini bukan berarti bahwa Indonesia serta merta terbebas dari ancaman krisis pangan yang bisa terjadi dimasa mendatang. Ditambah lagi, masa pandemi COVID-19 yang belum pasti akan berakhir kapan memiliki dampak yang sangat terasa di bidang pertanian.

Ketahanan pangan sendiri memiliki dua kata kunci penting yaitu ketersediaan pangan yang cukup dan merata serta akses penduduk terhadap pangan, baik secara fisik maupun ekonomi. Dr. Susanawati, SP., MP, dosen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), mengatakan bahwa jika diidentifikasi dari kedua poin tersebut, ketahanan pangan kita secara umum dapat dikatakan sedang terganggu. Dalam masa pandemi ini pemerintah telah memberlakukan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di beberapa daerah, masyarakat juga diminta untuk mengurangi kontak fisik dan melakukan pekerjaan dari rumah. Hal ini dapat berpengaruh pada produksi, distribusi, dan juga konsumsi pangan.

Sarana untuk melakukan distribusi pangan menjadi terbatas sehingga terjadi kurangnya produktifitas pangan. Selain itu, dengan pola hidup masyarakat yang berubah, otomatis permintaan masyarakat sebagai konsumen pangan juga berubah. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan harga-harga pada produk pangan. Salah satu contoh nyata yang dapat dilihat adalah ketika kebanyakan restoran dan kafe ditutup, maka permintaan bahan pangan pun menurun. “Akhirnya, bahan pangan yang sudah terlanjur diproduksi dalam jumlah besar mengalami penurunan nilai jual. Banyaknya UKM yang akhirnya harus gulung tikar di tengah situasi pandemi serta banyaknya pekerja yang dirumahkan juga berpengaruh pada akses ekonomi masyarakat terhadap pangan dimana daya beli yang dimiliki masyarakat pun menurun,” urai dosen yang akrab disapa Nana ini lagi.

Senada dengan Susanawati, Ir. Gatot Supangkat, M.S, Kepala Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah, mengungkapkan bahwa meskipun jumlah produksi pangan saat ini tidak mengalami banyak perubahan dan masih dapat dikatakan aman, permasalahan krisis pangan tetap dapat terjadi kedepannya. Permasalahan yang paling besar terjadi pada distribusi pangan. Dengan adanya pembatasan-pembatasan, distribusi pangan menjadi lemah. Akibatnya, stok pangan tidak merata di semua daerah. Ada daerah yang mengalami defisit dan ada pula yang mengalami produksi berlebih.

Petani selaku kunci dari pangan Indonesia selama masa pandemi ini diharapkan dapat tetap sehat dan bekerja dengan maksimal. Permasalahannya adalah sekarang ini jumlah petani di Indonesia banyak yang tergolong masuk ke usia tua, minim sekali jumlah petani yang berasal dari kalangan milenial. Hal ini dapat berpengaruh pada produktivitas pangan. Mirisnya, penggusuran dan kriminalisasi terhadap petani juga kerap terjadi, bahkan pada masa-masa pandemi seperti ini yang diharapkan masyarakat dapat saling berempati satu sama lain. Permasalahan lain yang berkaitan dengan pangan adalah ketersediaan lahan. Lahan pertanian kerap kali dialihfungsikan untuk keperluan tambang dan yang lainnya. Akibatnya, lahan untuk bertani menjadi semakin sempit bahkan lahan pertanian menjadi rusak tercemar oleh limbah-limbah dari tambang maupun pabrik.

Menurut kedua narasumber, pemerintah harus mengambil langkah dalam mencegah terjadinya krisis pangan. Dimulai dari menyejahterakan petani melalui bantuan dan fasilitas seperti misalnya bantuan relaksasi kredit kepada para petani miskin. Para petani juga sebaiknya dikenalkan dengan teknologi untuk membantu mereka dalam mendistribusikan serta menjaga kestabilan harga produk pangan dimasa pandemi seperti ini. Gatot bahkan menyarankan agar para petani diberi fasilitas berupa teknologi, modal, dan pemasaran melalui program BUMITANI (Badan Usaha Milik Petani). Pertanian lokal dan lumbung pangan di tiap wilayah harus dihidupkan kembali untuk membangun nasionalisme. Selain itu, pemerintah juga dianggap perlu untuk memetakan potensi-potensi pertanian yang ada, melakukan stabilisasi harga pangan, melakukan konsolidasi terkait lahan pertanian, dan juga membuat regulasi-regulasi yang berkaitan dengan permasalahan pangan yang ada.

Selain peran pemerintah, masyarakat juga dapat ikut andil dalam menjaga ketahanan pangan untuk menghindari adanya krisis pangan. Masyarakat memiliki peluang untuk membangun kedaulatan dan kemandirian pangan. Dalam masa pandemi seperti ini, masyarakat cenderung menjadi lebih kreatif dan bisa berkreasi untuk mengakali situasi yang ada. Termasuk halnya dalam menjaga akses terhadap pangan. Masyarakat diharapkan memiliki kesadaran untuk melakukan penanaman mandiri minimal untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Ada banyak sekali cara untuk melakukan penanaman mandiri seperti misalnya urban farming dan juga melakukan penanaman dengan metode hidroponik dengan memanfaatkan lahan-lahan yang ada di rumah. (ays)

Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidak-stabilan ekonomi. Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi pangan yang kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.

Bagi Indonesia, pangan sering diidentikkan dengan beras karena jenis pangan ini merupakan makanan pokok utama. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti meroketnya kenaikan harga beras pada waktu krisis ekonomi 1997/1998, yang berkembang menjadi krisis multidimensi, telah memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas Nasional.

Nilai strategis beras juga disebabkan karena beras adalah makanan pokok paling penting. Industri perberasan memiliki pengaruh yang besar dalam bidang ekonomi (dalam hal penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan dan dinamika ekonomi perdesaan, sebagai wage good), lingkungan (menjaga tata guna air dan kebersihan udara) dan sosial politik (sebagai perekat bangsa, mewujudkan ketertiban dan keamanan). Beras juga merupakan sumber utama pemenuhan gizi yang meliputi kalori, protein, lemak dan vitamin.

Dengan pertimbangan pentingnya beras tersebut, Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan terutama yang bersumber dari peningkatan produksi dalam negeri. Pertimbangan tersebut menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya semakin besar dengan sebaran populasi yang luas dan cakupan geografis yang tersebar. Untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya, Indonesia memerlukan ketersediaan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kecukupan konsumsi maupun stok nasional yang cukup sesuai persyaratan operasional logistik yang luas dan tersebar. Indonesia harus menjaga ketahanan pangannya.

Pengertian ketahanan pangan, tidak lepas dari UU No. 18/2012 tentang Pangan. Disebutkan dalam UU tersebut bahwa Ketahanan Pangan adalah “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.

UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety). “Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal”.

Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat”. “Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi”.

Definisi ketahanan pangan dalam UU No 18 tahun 2012 diatas merupakan penyempurnaan dan “pengkayaan cakupan” dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996 yang memasukkan “perorangan” dan “sesuai keyakinan agama” serta “budaya” bangsa. Definisi UU No 18 tahun 2012 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai preferensinya.

Berbagai gejolak sosial dan politik dapat juga terjadi jika ketahanan pangan terganggu. Kondisi kritis ini bahkan dapat membahayakan stabilisasi nasional yang dapat meruntuhkan Pemerintah yang sedang berkuasa. Pengalaman telah membuktikan kepada kita bahwa gangguan pada ketahanan seperti kenaikan harga beras pada waktu krisis moneter, dapat memicu kerawanan sosial yang membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. Untuk itulah, tidak salah apabila Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi masyarakat, baik dari produksi dalam negeri maupun dengan tambahan impor. Pemenuhan kebutuhan pangan dan menjaga ketahanan pangan menjadi semakin penting bagi Indonesia karena jumlah penduduknya sangat besar dengan cakupan geografis yang luas dan tersebar. Indonesia memerlukan pangan dalam jumlah mencukupi dan tersebar, yang memenuhi kriteria konsumsi maupun logistik; yang mudah diakses oleh setiap orang; dan diyakini bahwa esok masih ada pangan buat rakyat.

Ketahanan pangan kita tidak lepas dari sifat produksi komoditi pangan itu sendiri yang musiman dan berfluktuasi karena sangat mudah dipengaruhi oleh iklim/cuaca. Perilaku produksi yang sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat mempengaruhi ketersediaan pangan nasional. Kalau perilaku produksi yang rentan terhadap perubahan iklim tersebut tidak dilengkapi dengan kebijakan pangan yang tangguh maka akan sangat merugikan, baik untuk produsen maupun konsumen, khususnya produsen berskala produksi kecil dan konsumen berpendapatan rendah. Karakteristik komoditi pangan yang mudah rusak, lahan produksi petani yang terbatas; sarana dan prasarana pendukung pertanian yang kurang memadai dan lemahnya penanganan panen dan pasca panen mendorong Pemerintah untuk melakukan intervensi dengan mewujudkan kebijakan ketahanan pangan.

Permasalahan yang muncul lainnya di dalam distribusi. Stok pangan yang tersedia sebagian besar di daerah produksi harus didistribusikan antar daerah/antar pulau. Namun tidak jarang sarana dan prasaran distribusi masih terbatas dan kadang lebih mahal daripada distribusi dari luar negeri (kasus pengiriman sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta yang lebih mahal daripada dari Australia ke Jakarta; atau biaya pengiriman beras dari Surabaya ke Medan yang lebih mahal dari pada pengiriman dari Vietnam ke Jakarta).

Dari sisi tataniaga, sudah menjadi rahasia umum akan panjangnya rantai pasokan yang mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar dengan penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli). Sedangkan dari sisi konsumsi, pangan merupakan pengeluaran terbesar bagi rumah tangga (di atas 50% dari jumlah pengeluaran). Yang disayangkan adalah fenomena substitusi pangan pokok dari pangan lokal ke bahan pangan impor.

Dengan pertimbangan permasalahan pangan tersebut di atas maka kebijaksanaan pangan nasional harus dapat mengakomodasikan dan menyeimbangkan antara aspek penawaran/produksi dan permintaan. Pengelolaan kedua aspek tersebut harus mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional yang tangguh menghadapi segala gejolak. Pengelolaannya harus dilakukan dengan optimal mengingat kedua aspek tersebut dapat tidak sejalan atau bertolak belakang. (@2014)