Sebutkan tokoh tokoh yang berkunjung ke dalat vietnam

Oleh: Selamat Ginting -- Dalat, Saigon, Vietnam, 12 Agustus 1945, pukul 10 pagi. Insinyur Soekarno, Doktorandus Mohammad Hatta, dan Dokter Radjiman Wedyodiningrat diterima Panglima Angkatan Perang Jepang untuk Asia Tenggara, Jenderal Terauchi.

Ketiga tokoh pergerakan Indonesia itu diberitahu bahwa Pemerintah Jepang sudah memutuskan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. "Kapan pun bangsa Indonesia siap, kemerdekaan boleh dinyatakan." Itulah yang diucapkan Jenderal Terauchi pada pertemuan tersebut. Meskipun demikian, Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Bung Karno sempat menanyakan, "Apakah sudah boleh bekerja sekitar 25 Agustus 1945?" Dengan santai, Jenderal Terauchi menjawab, "Silakan saja, terserah tuan-tuan."

Sebutkan tokoh tokoh yang berkunjung ke dalat vietnam

Foto:Bloksot.com

Di akhir acara, Terauchi mengucapkan selamat kepada tiga tokoh pergerakan Indonesia itu. Pertemuan itu diakhiri jamuan minum teh dan makan kue-kue.

Sesungguhnya, untuk bisa sampai Dalat tersebut bukanlah perjalanan yang mudah. Ketiga tokoh itu diundang Jenderal Terauchi setelah Soekarno dan Hatta berhasil membentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 7 Agustus 1945. PPKI merupakan kelanjutan dari BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).

Selesai dilantik sebagai ketua dan wakil ketua PPKI, Bung Karno dan Bung Hatta diundang untuk menemui Jenderal Terauchi di Dalat, Saigon. Turut diundang pula Radjiman, sebagai mantan ketua BPUPKI.

Pada 8 Agustus 1945, mereka bertiga meninggalkan Jakarta, pukul lima pagi, untuk memulai sebuah penerbangan yang berbahaya. Mereka diantar Letnan Kolonel Nomura dan Miyosi sebagai penerjemah dengan 20-an perwira Jepang yang lain.

Penerbangan ini harus dirahasiakan bahkan kepada keluarga terdekat sekalipun. Pesawat terbang yang mereka tumpangi sewaktu-waktu bisa disergap dan ditembak jatuh oleh pesawat-pesawat pemburu Sekutu yang pada saat itu sudah menguasai wilayah Burma dan sebagian dari Semenanjung Malaya.

Pada 9 Agustus 1945, rombongan menginap semalam di Singapura. Mereka menghindari penerbangan malam di bawah bayang-bayang sergapan pesawat musuh. Mereka tidak ingin bernasib sama dengan Laksamana Yamamato, pahlawan perang Jepang dalam penyerangan Pearl Harbour. Pesawat yang ditumpangi Yamamoto disergap dan ditembak jatuh pesawat pemburu AS saat akan mengunjungi pasukannya di salah satu medan perang di Pasifik.

Saat itu, intelijen sekutu beranggapan Soekarno adalah seorang kolaborator Jepang. Mereka ingin menangkap Soekarno. Maka, keberadaan ketiga tokoh pergerakan Indonesia itu dirahasiakan tentara Jepang.

Pada 10 Agustus 1945, dalam guncangan hebat, pesawat yang ditumpangi Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Radjiman mendarat di Saigon pukul tujuh malam. Bung Karno mengaku bahwa semua barang-barang di dalam pesawat berserakan. Ia pun belum tahu mengapa dipanggil oleh Panglima Tertinggi Jepang di Asia Tenggara itu. Malam itu, mereka diinapkan di Istana Saigon dalam pengawalan ketat.

Pada 11 Agustus 1945, siang hari, ketiga tokoh kemerdekaan ini diterbangkan ke Dalat. Sesampai di sana, mereka menginap lagi semalam. Ketiganya masih bertanya-tanya, apa yang akan terjadi keesokan harinya.

Ya, pada 12 Agustus 1945 itulah sejarah mencatat bahwa Pemerintah Jepang sudah memutuskan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Namun, itu bukan kali pertama Jepang memberikan janji-janji manis kemerdekaan kepada Indonesia. Sebab, dua tahun sebelumnya, tepatnya pada November 1943, Bung Karno dan Bung Hatta juga diundang untuk mengunjungi Jepang.

Kaisar Hirohito secara mengejutkan menjabat tangan Bung Karno dan Bung Hatta. Padahal, menurut adat kebiasaan Kekaisaran Jepang, sang Kaisar hanya mau menjabat tangan seorang kepala negara. Jadi, kalau sang Kaisar menjabat tangan kedua tokoh pergerakan Indonesia itu artinya mereka mengakui kemerdekaan Indonesia.

Janji diulur

Sebelumnya, janji kemerdekaan juga sudah diberikan lebih dulu kepada Burma dan Filipina. Namun, tidak untuk Indonesia yang kala itu disebut Jepang sebagai Hindia Timur. Kenyataan itu membuat para tokoh pergerakan Indonesia mulai merasa tidak sabar dan diliputi kemarahan.

Menjelang pertengahan 1944, kekuatan Jepang dalam Perang Pasifik semakin meredup. Militer Jepang menderita kekalahan di sejumlah palagan pertempuran. Di situlah saatnya memikirkan kembali proposal dari Kementerian Luar Negeri Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Hindia Timur.

Sejarawan Taufik Abdullah mencatat, ada tiga alasan yang dikemukakan untuk mengajukan proposal tentang janji kemerdekaan. Pertama, untuk menarik simpati rakyat. Kedua, untuk memperkuat politik Asia Timur Raya. Ketiga, untuk mendapatkan keuntungan dalam percaturan perang.

September 1944 terbitlah Deklarasi Koiso. Perdana Menteri Jepang Koiso (pengganti Tojo) mengumumkan bahwa Kekaisaran Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Hindia Timur, To Indo no jori dokuritu. Hindia Timur sanggup merdeka sekarang, sebagaimana juga sudah dijanjikan kepada Burma dan Filipina. Mendapat kabar seperti itu, Bung Karno menangis saking gembiranya bersama-sama kawan Jepang.

Euforia kegembiraan lenyap dalam sekejap. Terjadi silang pendapat dalam tubuh tentara Jepang di Indonesia dalam melaksanakan perintah Perdana Menteri Koiso tersebut. Tentara Angkatan Darat ke-16 yang berkuasa di Jawa menginginkan seluruh wilayah Hindia Belanda dimerdekakan.

Namun, Tentara Angkatan Darat ke-25 yang berkuasa di Sumatra tidak setuju kalau Sumatra ikut dimerdekakan. Sementara, Angkatan Laut yang berkuasa di Indonesia Timur hanya setuju kalau kemerdekaan hanya untuk wilayah yang dikuasai oleh Angkatan Darat saja.

Bung Karno marah dan mengeluh kepada pembesar Jepang di Jakarta. "Tuan mengatakan seakan-akan kami memerlukan perabotan, radio, dan ini dan itu sebelum kami kawin. Permintaan kami hanyalah membuat sebuah rumah dengan sehelai tikar."

Akhirnya, Bung Karno menulis sebuah surat bernada keras kepada mahasiswa Indonesia di Jepang. Pada 24 September 1944, surat itu sampai di Asrama Mahasiswa Kokusai Gakuyukai di Tokyo, salah satu bagiannya adalah, "… perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia lebih penting daripada janji Jepang."

Sikap keras Bung Karno mengkhawatirkan kawan-kawan Jepang dekatnya. Miyoshi, seorang pejabat Gunseikanbu khawatir akan terjadi revolusi yang tidak diinginkan kalau tidak ada tindakan sebelum hari ulang tahun keempat Jepang di Indonesia, yaitu 9 Maret 1945.

Untuk meredam kegusaran Bung Karno dan teman-teman, akhirnya dibentuklah BPUPKI berdasarkan Makloemat Gunseikan Nomor 23 pada 29 April 1945. Di lembaga inilah KRT Dokter Radjiman Wedyodiningrat, seorang mantan dokter Keraton Surakarta dan sekaligus sebagai anggota tertua, dipilih menjadi ketua BPUPKI.

Bersamanya ada dua wakil ketua (dari Jepang dan dari Indonesia) dan 60 anggota. Secara umum Jepang memilih anggota-anggota BPUPKI yang tidak terlalu berjiwa revolusioner, kerakyatan, dan agak kekiri-kirian.

Masa sidang pertama BPUPKI dimulai pada 29 Mei 1945, membicarakan segala hal yang berbau filosofis, termasuk dasar negara dan konsep negara apa yang akan didirikan kelak. Masa sidang kedua dimulai pada 10 Juli 1945, fokus pada dimulainya pembicaraan mengenai hukum dasar negara atau konstitusi. Di sinilah adu argumentasi para pendiri negara ini ditampilkan.

Dalam sidang-sidang inilah Bung Karno memprovokasi dengan idiom-idiom revolusioner seperti "Indonesia merdeka selekas-lekasnya" atau "Indonesia merdeka sekarang juga". Atau kalimat sentilan seperti ini, seperti yang saya kutip dari catatan Aiko Kurasawa dalam bukunya, Bung Karno di Bawah Bendera Jepang.

"Kemerdekaan itu tampaknya seperti perkawinan. Siapakah yang menunggu sampai gajinya naik, sampai, katakanlah 500 gulden, dan menunggu sampai rumah yang dibangunnya selesai?"

1. Pemanggilan Tokoh Indonesia ke Dalat, Vietnam.

Tanggal 9 Agustus 1945,Marsekal Terauchi, Panglima besar tentara Jepang di Asia Tenggara memanggil Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat kemarkasnya di Dalat (Saigon). Ia kemudian menyampaikan keputusan pemerintah Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Keputusan ini dilatar belakangi keinginan menarik dukungan dan simpati lebih banyak dari bangsa Indonesia yang saat itu tentara Jepang semakin terdesak oleh sekutu.Sebenarnya, pertemuan di Dalat tersebut merupakan momentum penting bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi, peristiwa ini merupakan pemicu dari terjadinya perbedaan pendapat antara tokoh golongan tua dan golongan muda.

2. Peristiwa Rengasdengklok.

Berita peristiwa pemboman kota Hirosima pada tanggal 6 Agustus 1945 serta Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945, disusul jepang menyerahkan diri kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, meskipun berita tersebut di tutupi, pada akhirnya sampai juga kepada telinga pada pemuda melalui siaran radio BBC di Bandung. Hal ini memperkuat tekada dan semangat para pemuda untuk segera bergerak memproklamirkan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Setelah mendengar kekalahan Jepang tersebut, tanggal 15 Agustus 1945 para pemuda berkumpul diruang belakang gedung Bakteriologi, Jalan Pegangsaan Timur no.13, Jakarta, dibawah pimpinan Chaerul Saleh. Pertemuan ini membahas kekalahan Jepang dan persiapan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hasil keputusannya adalah bahwa kemerdekaan Indonesia adalah masalah bangsa Indonesia sendiri yang tidak dapat digantungkan pada bangsa lain. Oleh karena itu proklamasi kemerdekaan harus dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri.

Para pemuda segera mengirimkan utusan (Wikana dan Darwis) untuk segera menghadap Ir. Soekarno dan Moh. Hatta agar segera menyampaikan hasil rapat tersebut. Namun kedua tokoh tersebut menolak gagasan para pemuda dengan alasan Jepang masih bersenjata lengkap dan mempunyai tugas untuk memelihara status quo sebelum pasukan sekutu datang ke Indonesia. Selain itu, Soekarno-Hatta baru akan membicarakan masalah kemerdekaan Indonesia dalam sidang PPKI pada tangal 16 Agustus 1945.


Namun kedua tokoh ini menolak gagasan pemuda tersebut dengan alasan Jepang masih bersenjata lengkap dan mempunyai tugas memelihara status quo sebelum pasukan sekutu datang ke Indonesia. Selain itu Soekarno-Hatta baru akan membicarakan masalah kemerdekaan Indonesia dalam sidang PPKI tanggal 16 Agustus 1945.

Wikana dan Darwis melaporkan hasil pembicaraan dengan Soekarno-Hatta kepada para pemuda yang telah berkumpul di Asrama Menteng 31 pada pukul 24.00 wib. Para pemuda tersebut antara lain Chaerul Saleh, Yusuf Kunto, Surachmat, Johan Nur, Singgih, Mandani, Sutrisno, Sampun, Subadio, Kusnandar, Abdurrahman dan Dr. Muwardi. 

Setelah para pemuda mendengar hasil laporan tersebut, para pemuda merasa kecewa sehingga suasana rapat menjadi panas. Akhirnya diputuskan perlunya untuk mengamankan Soekarno-Hatta keluar kota yang jauh dari pengaruh Jepang. Persoalan Soekarno-Hatta selanjutnya diserahkan kepada Syudanco Singgih dan kawan-kawan dari Peta Jakarta.

Dalam melaksanakan tugasnya, Syudanco Singgih didampingi Sukarni dan Yusuf Kunto. Menurut Singgih Soekarno-Hatta akan dibawa ke Rengasdengklok sebagai tempat untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan alasan:


  

1. Rengasdengklok dilatar belakangi laut Jawa, sehingga jika ada serangan dari tentara Jepang dapat segera pergi melalui laut. 

2. Didaerah sekitar Rengasdengklok, di Purwakarta, Cilamaya (barat), Kedung Gedeh (selatan), dan Bekasi (Timur) telah siap pasukan Peta untuk menjaga segala kemungkinan.

Setelah rapat selesai, dengan mengendarai mobil, Singgih bersama Sutrisno, Sampun dan Surachmat menuju rumah Ir. Soekarno dan menjemput Moh. Hatta untuk membawa mereka beserta keluarga ke Rengasdengklok.

Setelah sampai di rengasdengklok, Soekarno-Hatta tetap tidak bersedia menyatakan kemerdekaan sebelum ada surat pernyataan resmi menyerah dari Jepang. Namun ditengah perdebatan itu, Ahmad Subarjo muncul dan memberitahukan kepada Soekarno-Hatta bahwa Jepang memang telah menyerah kepada sekutu. Mendengar kabar itu, Soekarno-Hatta akhirnya bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Selanjutnya, diadakan perundingan dengan kelompok pemuda dan Ahmad Subarjo memberikan jaminan kepada para pemuda bahwa Soekarno-Hatta akan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Setelah tercapai, pada sore harinya Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta bersama Ahmad Subarjo dan Sudiro. 

3. Perumusan Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 

Sekitar pukul 02.00 wib dini hari, soekarno-Hatta tiba di Jakarta. Atas usaha Ahmad Subarjo diperoleh sebuah tempat, yaitu dirumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, seorang perwira Jepang dengan jabatan Wakil Komandan Angkatan Laut Jepang di Jakarta. Rumah tersebut terletak dijalan Imam Bonjol No.1 Jakarta Pusat. Tempat tersebut dianggap sebagai tempat paling aman dari ancaman pemerintah militer.

Sebelum Soekarno-Hatta merumuskan teks Proklamasi, ia menghadap dulu Jendral Nishimura yang menyatakan bahwa Jepang tetap akan mempertahankan kekuasaannya di Indonesia. Soekarno-Hatta akhirnya memutuskan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa campur tangan Jepang. Mereka kemudian menuju rumah laksamana Muda Tadashi Maeda. Disana ternyata telah berkumpul para pemuda dan beberapa tokoh PPKI. Ketika para pemimpin nasional sedang merumuskan teks proklamasi. Laksamana muda Tadashi Maeda mengundurkan diri dan pergi keruang tidurnya. Sementara itu datang orang kepercayaan Nishimura, yaitu Miyosi bersama Sukarni, Sudiro dan B.M. Diah menyaksikan Soekarno-Hatta dan ahmad Subarjo merumuskan naskah teks proklamasi.

Setelah selesai dirumuskan, Ir. Soekarno membacakan naskah teks proklamasi dihadapan hadirin. Moh. Hatta menyarankan agar semua yang hadir menandatanganinya. Namun, usul ini ditentang golongan muda. Sukarni kemudian mengusulkan agar naskah tersebut hanya ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia. Usul tersebut diterima oleh semua pihak. Ir Soekarno kemudian meminta Sayuti Melik untuk mengetiknya.

Setelah diketik naskah teks Proklamasi mengalami beberapa perbaikan, yaitu mengubah kata ’tempoh’ menjadi ’tempo’, ’wakil bangsa Indonesia’ menjadi ’atas nama bangsa Indonesia’, ’Djakarta 17-8-05’ menjadi ’Djakarta hari 17 boelan 8 tahoen 05’. Naskah yang telah diketik kemudian ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Selanjutnya, Sukarni mengusulkan agar naskah proklamasi kemerdekaan dibacakan didepan massa di lapangan Ikada. Namun usul tersebut ditolak karena Ir. Soekarno menganggap lapangan Ikada adalah lokasi yang bisa menimbulkan bentrokan antara rakyat dan pihak militer Jepang. Ir. Soekarno kemudian menyarankan dirumahnya di jalan Pegangsaan Timur no. 56 Jakarta. Saran ini disetujui semua pihak. 

4. Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pada waktu fajar tanggal 17 Agustus 1945, para perumus teks proklamasi baru keluar dari rumah laksamana Maeda. Beberapa jam berikutnya, mereka berkumpul kembali dikediaman Soekarno untuk melaksanakan upacara proklamasi kemerdekaan Indonesia. Orang-orang kemudian sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk upacara.

Sudiro, Sekretaris Ir. Soekarno menugasi S. Suhud (Komandan pengawal rumah Bung Karno dan pemimpin barisan pelopor) agar menyiapkan tiang bendera dari bambu. Bendera merah putih yang dijahit ibu Fatmawati telah disiapkan. Pasukan PETA dibawah komandan Syudanco Latief Hendraningrat dan Syudanco Abdurrahman, dengan senjata lengkap telah berjaga disekitar rumah tersebut.

Menjelang pukul 10.00, tokoh-tokoh nasional telah hadir ditempat upacara. Diantaranya Dr. Buntaran, M. Sam Ratulangi, A.A. Maramis, Ki Hajar Dewantara, K.H. Mas Mansyur, Mr. Sartono, S.K. Trumurti, M. Tabrani, Dr. Muwardi, Sayuti Melik, A.G. Pringgodigdo, Pandu Kartawiguna dan para tokoh pemuda.

Para hari Jum’at, bulan Ramadhan tanggal 17 Agustus 1945, tepat pukul 10.00 wib dilaksanakan upacara Proklamasi kemerdekaan indonesia dengan susunan acara : 

a. Pembacaan teks Proklamasi.


b. Pengibaran bendera merah putih.
c. Sambutan walikota Jakarta Suwirjo dan Dr. Muwardi. 

Dengan suara yang mantap, Ir. Soerkarno menyampaikan pidato pendahuluan yang singkat dilanjutkan dengan membacakan teks proklamasi kemerdekaan.

Setelah pembacaan proklamasi, Syudanco Latief Hendraningrat mengerek bendera merah putih diiringi lagu Indonesia raya oleh seluruh peserta upacara. Upacara kemudian ditutup dengan sambutan walikota Jakarta Suwirjo dan Dr. Muwardi. Setelah itu para hadirin berpelukan dan kemudian menyalami Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Dengan proklamasi kemerdekaan itu, berakhirlah penjajahan Jepang di Indonesia selama kurang lebih 3,5 tahun.Ketiga tokoh pergerakan Indonesia itu diberitahu bahwa Pemerintah Jepang sudah memutuskan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. "Kapan pun bangsa Indonesia siap, kemerdekaan boleh dinyatakan." Itulah yang diucapkan Jenderal Terauchi pada pertemuan tersebut. Meskipun demikian, Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.

Bung Karno sempat menanyakan, "Apakah sudah boleh bekerja sekitar 25 Agustus 1945?" Dengan santai, Jenderal Terauchi menjawab, "Silakan saja, terserah tuan-tuan."

Sebutkan tokoh tokoh yang berkunjung ke dalat vietnam

Foto:Bloksot.com Di akhir acara, Terauchi mengucapkan selamat kepada tiga tokoh pergerakan Indonesia itu. Pertemuan itu diakhiri jamuan minum teh dan makan kue-kue. Sesungguhnya, untuk bisa sampai Dalat tersebut bukanlah perjalanan yang mudah. Ketiga tokoh itu diundang Jenderal Terauchi setelah Soekarno dan Hatta berhasil membentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 7 Agustus 1945. PPKI merupakan kelanjutan dari BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Selesai dilantik sebagai ketua dan wakil ketua PPKI, Bung Karno dan Bung Hatta diundang untuk menemui Jenderal Terauchi di Dalat, Saigon. Turut diundang pula Radjiman, sebagai mantan ketua BPUPKI. Pada 8 Agustus 1945, mereka bertiga meninggalkan Jakarta, pukul lima pagi, untuk memulai sebuah penerbangan yang berbahaya. Mereka diantar Letnan Kolonel Nomura dan Miyosi sebagai penerjemah dengan 20-an perwira Jepang yang lain. Penerbangan ini harus dirahasiakan bahkan kepada keluarga terdekat sekalipun. Pesawat terbang yang mereka tumpangi sewaktu-waktu bisa disergap dan ditembak jatuh oleh pesawat-pesawat pemburu Sekutu yang pada saat itu sudah menguasai wilayah Burma dan sebagian dari Semenanjung Malaya. Pada 9 Agustus 1945, rombongan menginap semalam di Singapura. Mereka menghindari penerbangan malam di bawah bayang-bayang sergapan pesawat musuh. Mereka tidak ingin bernasib sama dengan Laksamana Yamamato, pahlawan perang Jepang dalam penyerangan Pearl Harbour. Pesawat yang ditumpangi Yamamoto disergap dan ditembak jatuh pesawat pemburu AS saat akan mengunjungi pasukannya di salah satu medan perang di Pasifik. Saat itu, intelijen sekutu beranggapan Soekarno adalah seorang kolaborator Jepang. Mereka ingin menangkap Soekarno. Maka, keberadaan ketiga tokoh pergerakan Indonesia itu dirahasiakan tentara Jepang. Pada 10 Agustus 1945, dalam guncangan hebat, pesawat yang ditumpangi Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Radjiman mendarat di Saigon pukul tujuh malam. Bung Karno mengaku bahwa semua barang-barang di dalam pesawat berserakan. Ia pun belum tahu mengapa dipanggil oleh Panglima Tertinggi Jepang di Asia Tenggara itu. Malam itu, mereka diinapkan di Istana Saigon dalam pengawalan ketat. Pada 11 Agustus 1945, siang hari, ketiga tokoh kemerdekaan ini diterbangkan ke Dalat. Sesampai di sana, mereka menginap lagi semalam. Ketiganya masih bertanya-tanya, apa yang akan terjadi keesokan harinya. Ya, pada 12 Agustus 1945 itulah sejarah mencatat bahwa Pemerintah Jepang sudah memutuskan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun, itu bukan kali pertama Jepang memberikan janji-janji manis kemerdekaan kepada Indonesia. Sebab, dua tahun sebelumnya, tepatnya pada November 1943, Bung Karno dan Bung Hatta juga diundang untuk mengunjungi Jepang. Kaisar Hirohito secara mengejutkan menjabat tangan Bung Karno dan Bung Hatta. Padahal, menurut adat kebiasaan Kekaisaran Jepang, sang Kaisar hanya mau menjabat tangan seorang kepala negara. Jadi, kalau sang Kaisar menjabat tangan kedua tokoh pergerakan Indonesia itu artinya mereka mengakui kemerdekaan Indonesia.

Janji diulur

Sebelumnya, janji kemerdekaan juga sudah diberikan lebih dulu kepada Burma dan Filipina. Namun, tidak untuk Indonesia yang kala itu disebut Jepang sebagai Hindia Timur. Kenyataan itu membuat para tokoh pergerakan Indonesia mulai merasa tidak sabar dan diliputi kemarahan. Menjelang pertengahan 1944, kekuatan Jepang dalam Perang Pasifik semakin meredup. Militer Jepang menderita kekalahan di sejumlah palagan pertempuran. Di situlah saatnya memikirkan kembali proposal dari Kementerian Luar Negeri Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Hindia Timur. Sejarawan Taufik Abdullah mencatat, ada tiga alasan yang dikemukakan untuk mengajukan proposal tentang janji kemerdekaan. Pertama, untuk menarik simpati rakyat. Kedua, untuk memperkuat politik Asia Timur Raya. Ketiga, untuk mendapatkan keuntungan dalam percaturan perang.

September 1944 terbitlah Deklarasi Koiso. Perdana Menteri Jepang Koiso (pengganti Tojo) mengumumkan bahwa Kekaisaran Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada Hindia Timur, To Indo no jori dokuritu. Hindia Timur sanggup merdeka sekarang, sebagaimana juga sudah dijanjikan kepada Burma dan Filipina. Mendapat kabar seperti itu, Bung Karno menangis saking gembiranya bersama-sama kawan Jepang.

Euforia kegembiraan lenyap dalam sekejap. Terjadi silang pendapat dalam tubuh tentara Jepang di Indonesia dalam melaksanakan perintah Perdana Menteri Koiso tersebut. Tentara Angkatan Darat ke-16 yang berkuasa di Jawa menginginkan seluruh wilayah Hindia Belanda dimerdekakan. Namun, Tentara Angkatan Darat ke-25 yang berkuasa di Sumatra tidak setuju kalau Sumatra ikut dimerdekakan. Sementara, Angkatan Laut yang berkuasa di Indonesia Timur hanya setuju kalau kemerdekaan hanya untuk wilayah yang dikuasai oleh Angkatan Darat saja. Bung Karno marah dan mengeluh kepada pembesar Jepang di Jakarta. "Tuan mengatakan seakan-akan kami memerlukan perabotan, radio, dan ini dan itu sebelum kami kawin. Permintaan kami hanyalah membuat sebuah rumah dengan sehelai tikar." Akhirnya, Bung Karno menulis sebuah surat bernada keras kepada mahasiswa Indonesia di Jepang. Pada 24 September 1944, surat itu sampai di Asrama Mahasiswa Kokusai Gakuyukai di Tokyo, salah satu bagiannya adalah, "… perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia lebih penting daripada janji Jepang." Sikap keras Bung Karno mengkhawatirkan kawan-kawan Jepang dekatnya. Miyoshi, seorang pejabat Gunseikanbu khawatir akan terjadi revolusi yang tidak diinginkan kalau tidak ada tindakan sebelum hari ulang tahun keempat Jepang di Indonesia, yaitu 9 Maret 1945. Untuk meredam kegusaran Bung Karno dan teman-teman, akhirnya dibentuklah BPUPKI berdasarkan Makloemat Gunseikan Nomor 23 pada 29 April 1945. Di lembaga inilah KRT Dokter Radjiman Wedyodiningrat, seorang mantan dokter Keraton Surakarta dan sekaligus sebagai anggota tertua, dipilih menjadi ketua BPUPKI. Bersamanya ada dua wakil ketua (dari Jepang dan dari Indonesia) dan 60 anggota. Secara umum Jepang memilih anggota-anggota BPUPKI yang tidak terlalu berjiwa revolusioner, kerakyatan, dan agak kekiri-kirian. Masa sidang pertama BPUPKI dimulai pada 29 Mei 1945, membicarakan segala hal yang berbau filosofis, termasuk dasar negara dan konsep negara apa yang akan didirikan kelak. Masa sidang kedua dimulai pada 10 Juli 1945, fokus pada dimulainya pembicaraan mengenai hukum dasar negara atau konstitusi. Di sinilah adu argumentasi para pendiri negara ini ditampilkan.

Dalam sidang-sidang inilah Bung Karno memprovokasi dengan idiom-idiom revolusioner seperti "Indonesia merdeka selekas-lekasnya" atau "Indonesia merdeka sekarang juga". Atau kalimat sentilan seperti ini, seperti yang saya kutip dari catatan Aiko Kurasawa dalam bukunya, Bung Karno di Bawah Bendera Jepang.